PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

15 February 2016

AIR: SEBUAH TEKA -TEKI


AIR: SEBUAH TEKA-TEKI
Vianey Lein

Putra Flores – Tinggal di Sankt Augustin - Jerman

 

Beberapa waktu lalu air menjadi satu wacana penting yang didiskusikan dan diberitakan dalam beberapa pers lokal NTT baik cetak maupun online. Liputan pers tentang realitas masyarakat yang mengalami kesulitan memperoleh air bersih, kegelisahan akibat penyakit diare sebagai konsekuensi logis dari minimnya persediaan air minum bersih, membangkitkan kesadaran dalam diri, bahwa air saat ini menjadi suatu persoalan yang kompleks. Isu air menjadikan kita semakin paham bahwa alam tidak lagi menyediakan cukup banyak mata air sesuai kebutuhan manusia yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Berapa liter air yang diperlukan seorang  Bupati  atau anggota DPRD setiap hari? Mungkin kurang lebih sama dengan kebutuhan seorang petani desa(?) Tentu kebutuhan akan air setiap orang tergantung pada jenis ruangan atau bangunan yang digunakan untuk beraktivitas, seperti rumah tinggal, rumah sakit, sekolah, perkantoran dan industri. Berdasarkan barometer kesehatan setiap orang dianjurkan untuk mengonsumsi air minum sebanyak 8-12 gelas (±2 liter) setiap hari. Berapa liter air yang dibutuhkan untuk masak, mandi, cuci pakaian, toilet, siram bunga dan cuci mobil? Masing-masing kita bisa membuat kalkulasi dan analisa sendiri atas kebutuhan air domestik atau mikro. Pada tingkat non demestik atau makro, sudah pasti bahwa publik memerlukan lebih banyak lagi air untuk industri, irigasi, perkantoran dan hotel.

Secara kasat mata boleh dikatakan, bahwa total pemakaian air rata-rata sehari untuk kebutuhan domestik jenis gedung rumah biasa adalah 160-250 liter per orang (Noerbambang dan Takeo Morimura: 1993). NTT memiliki jumlah kepadatan penduduk sebesar 5.356.567 jiwa yang tersebar di 3.200 desa dan kelurahan (LKPJ Gubernur NTT 2014). Jadi kira-kira NTT memerlukan 857.050.720 liter air setiap hari. Dari mana masyarakat NTT bisa memperoleh air sebanyak itu untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga? Apakah pegunungan NTT masih memiliki cukup sumber mata air? Fenomena El Nino yang melanda setiap tahun, berbagai kasus kebakaran hutan dan kurangnya persediaan air minum bersih di sebagian besar daerah NTT merupakan indikasi jelas bahwa alam NTT kian kritis dan tidak lagi memiliki potensi menyerap dan menampung air tanah. Mungkin beberapa puluh tahun silam kita masih mandi dan berenang di bawah arus sungai atau mata air yang terus mengalir; atau kita secara gratis dan bahkan berfoya-foya menikmati air yang terus mengalir 24 jam tanpa membayar iuran. Kini sebagian besar masyarakat harus menunggu dalam antrian panjang untuk mendapat kucuran air yang mengalir dua kali seminggu. Itu pun hanya untuk minum dan masak. Untuk kebutuhan mandi akan dipikirkan kemudian jika ada persediaan lebih; sementara ada kelompok yang menghabiskan air untuk menyiram halaman rumah, mencuci mobil dan bahkan mungkin memiliki kolam renang pribadi. Ironis memang!


Satu contoh yang lebih menarik lagi adalah keluhan sejumlah warga di Kabupaten Flores Timur tentang kinerja pelayanan PDAM. Kepada masyarakat ditawarkan pemasangan pipa saluran air di setiap rumah dengan metode pembayaran berangsur yang mempermudah masyarakat. Demi penghematan waktu dan tenaga  dalam usaha memperoleh air – oleh karena jarak tempuh yang lumayan jauh – warga berusaha untuk membayar angsuran pemasang pipa, agar tidak perlu lagi berjalan jauh dan menghabiskan waktu menunggu antrian. Namun usaha dan harapan masyarakat mentok pada program “bergilir”, yang akhir-akhir ini semakin gencar dilaksanakan seperti ada pemadaman bergilir dari PLN. Pada titik ini muncul pertanyaan: apakah petugas PDAM tidak membuat studi terlebih dahulu tentang debit air? Tidaklah mengherankan jika warga berceloteh: “pipa-pipa dipasang hanya untuk alirkan udara”.
 
Kucuran sumber air yang semakin minim dan kebutuhan rumah tangga dan industri yang terus meningkat merupakan sebuah teka-teki bagi pemerintah daerah, swasta, LSM dan seluruh masyarakat. Manajemen sumber daya air mulai dari tingkat propinsi hingga desa/kelurahan harus mencari solusinya secara bijak. Penghematan air dengan kesadaran bahwa debit air semakin berkurang, harus menjadi kultur yang dihidupi. Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) mesti menjawab kebutuhan masyarakat sesuai dengan retribusi air yang telah dibayar masyarakat, sehingga tidak ada keluhan yang mempertanyakan kinera kerja PDAM. Pengadaan sumur serapan dan tadah hujan bisa menjadi salah satu alternatif menjawabi kebutuhan masyarakat.

Untuk proyek jangka panjang, semua masyarakat digerakkan untuk menghijaukan kembali lahan yang gundul demi menjaga debit mata air yang ada. Upaya penyelamatan mata air dan lingkungan hari ini mungkin baru dirasakan hasilnya berpuluh-puluh tahun lagi oleh generas-generasi mendatang. Tetapi yang terpenting adalah bangkitnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk pelestarian lingkungan serta pembentukan karakter masyarakat yang ramah lingkungan. Masyarakat berwawasan lingkungan adalah masyarakat yang menggunakan air secara efisien serta menjaga kebersihan semua saluran air, parit-parit, sungai atau kali. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang “bekerja” untuk lingkungan dan bukan menjadikan wacana krisis ekologi sebagai kendaraan meraih jabatan atau penghargaan. Semua masyarakat terpanggil untuk berjuang mengatasi krisis air yang melanda daerah kita. Secara perlahan kita bergerak dari rumah tinggal, sekolah, kantor, dan pabrik-pabrik atau perusahan, di mana kita bekerja, untuk mencari jawaban atas teka-teki air.***

 

 

 

 

  
 
 

No comments:

Post a Comment