AIR: SEBUAH TEKA-TEKI
Vianey
Lein
Putra
Flores – Tinggal di Sankt Augustin - Jerman
Beberapa
waktu lalu air menjadi satu wacana penting yang didiskusikan dan diberitakan
dalam beberapa pers lokal NTT baik cetak maupun online. Liputan pers tentang
realitas masyarakat yang mengalami kesulitan memperoleh air bersih, kegelisahan
akibat penyakit diare sebagai konsekuensi logis dari minimnya persediaan air
minum bersih, membangkitkan kesadaran dalam diri, bahwa air saat ini menjadi suatu
persoalan yang kompleks. Isu air menjadikan kita semakin paham bahwa alam tidak
lagi menyediakan cukup banyak mata air sesuai kebutuhan manusia yang terus
meningkat dari waktu ke waktu.
Berapa
liter air yang diperlukan seorang Bupati atau anggota DPRD setiap hari? Mungkin
kurang lebih sama dengan kebutuhan seorang petani desa(?) Tentu kebutuhan akan
air setiap orang tergantung pada jenis ruangan atau bangunan yang digunakan
untuk beraktivitas, seperti rumah tinggal, rumah sakit, sekolah, perkantoran
dan industri. Berdasarkan barometer kesehatan setiap orang dianjurkan untuk
mengonsumsi air minum sebanyak 8-12 gelas (±2 liter) setiap hari. Berapa liter air yang dibutuhkan untuk masak, mandi, cuci
pakaian, toilet, siram bunga dan cuci mobil? Masing-masing kita bisa membuat
kalkulasi dan analisa sendiri atas kebutuhan air domestik atau mikro. Pada
tingkat non demestik atau makro, sudah pasti bahwa publik memerlukan lebih
banyak lagi air untuk industri, irigasi, perkantoran dan hotel.
Secara kasat mata boleh dikatakan, bahwa total
pemakaian air rata-rata sehari untuk kebutuhan domestik jenis gedung rumah
biasa adalah 160-250 liter per orang (Noerbambang dan Takeo Morimura: 1993). NTT
memiliki jumlah kepadatan penduduk sebesar 5.356.567 jiwa yang tersebar di 3.200
desa dan kelurahan (LKPJ Gubernur NTT 2014). Jadi kira-kira NTT memerlukan 857.050.720
liter air setiap hari. Dari mana masyarakat NTT bisa memperoleh air sebanyak
itu untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga? Apakah pegunungan NTT masih
memiliki cukup sumber mata air? Fenomena El Nino yang melanda setiap tahun, berbagai
kasus kebakaran hutan dan kurangnya persediaan air minum bersih di sebagian
besar daerah NTT merupakan indikasi jelas bahwa alam NTT kian kritis dan tidak
lagi memiliki potensi menyerap dan menampung air tanah. Mungkin beberapa puluh
tahun silam kita masih mandi dan berenang di bawah arus sungai atau mata air
yang terus mengalir; atau kita secara gratis dan bahkan berfoya-foya menikmati
air yang terus mengalir 24 jam tanpa membayar iuran. Kini sebagian besar
masyarakat harus menunggu dalam antrian panjang untuk mendapat kucuran air yang
mengalir dua kali seminggu. Itu pun hanya untuk minum dan masak. Untuk
kebutuhan mandi akan dipikirkan kemudian jika ada persediaan lebih; sementara
ada kelompok yang menghabiskan air untuk menyiram halaman rumah, mencuci mobil
dan bahkan mungkin memiliki kolam renang pribadi. Ironis memang!
Kucuran sumber air yang semakin minim dan kebutuhan
rumah tangga dan industri yang terus meningkat merupakan sebuah teka-teki bagi
pemerintah daerah, swasta, LSM dan seluruh masyarakat. Manajemen sumber daya
air mulai dari tingkat propinsi hingga desa/kelurahan harus mencari solusinya
secara bijak. Penghematan air dengan kesadaran bahwa debit air semakin
berkurang, harus menjadi kultur yang dihidupi. Perusahan Daerah Air Minum
(PDAM) mesti menjawab kebutuhan masyarakat sesuai dengan retribusi air yang
telah dibayar masyarakat, sehingga tidak ada keluhan yang mempertanyakan kinera
kerja PDAM. Pengadaan sumur serapan dan tadah hujan bisa menjadi salah satu alternatif
menjawabi kebutuhan masyarakat.
Satu contoh yang lebih menarik lagi adalah keluhan
sejumlah warga di Kabupaten Flores Timur tentang kinerja pelayanan PDAM. Kepada
masyarakat ditawarkan pemasangan pipa saluran air di setiap rumah dengan metode
pembayaran berangsur yang mempermudah masyarakat. Demi penghematan waktu dan
tenaga dalam usaha memperoleh air – oleh
karena jarak tempuh yang lumayan jauh – warga berusaha untuk membayar angsuran
pemasang pipa, agar tidak perlu lagi berjalan jauh dan menghabiskan waktu
menunggu antrian. Namun usaha dan harapan masyarakat mentok pada program “bergilir”, yang akhir-akhir ini semakin
gencar dilaksanakan seperti ada pemadaman bergilir dari PLN. Pada titik ini
muncul pertanyaan: apakah petugas PDAM tidak membuat studi terlebih dahulu
tentang debit air? Tidaklah mengherankan jika warga berceloteh: “pipa-pipa
dipasang hanya untuk alirkan udara”.
Untuk proyek jangka panjang, semua masyarakat digerakkan
untuk menghijaukan kembali lahan yang gundul demi menjaga debit mata air yang
ada. Upaya penyelamatan mata air dan lingkungan hari ini mungkin baru dirasakan
hasilnya berpuluh-puluh tahun lagi oleh generas-generasi mendatang. Tetapi yang
terpenting adalah bangkitnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk
pelestarian lingkungan serta pembentukan karakter masyarakat yang ramah
lingkungan. Masyarakat berwawasan lingkungan adalah masyarakat yang menggunakan
air secara efisien serta menjaga kebersihan semua saluran
air, parit-parit, sungai atau kali. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang
“bekerja” untuk lingkungan dan bukan menjadikan wacana krisis ekologi sebagai
kendaraan meraih jabatan atau penghargaan. Semua masyarakat
terpanggil untuk berjuang mengatasi krisis air yang melanda daerah kita. Secara
perlahan kita bergerak dari rumah tinggal, sekolah, kantor, dan pabrik-pabrik
atau perusahan, di mana kita bekerja, untuk mencari jawaban atas teka-teki
air.***
No comments:
Post a Comment