Text und Chord:
"Mandait" (bahasa batak) berarti: memungut, mengumpulkan. "Morit" (bahasa Lamaholot-Flores Timur) yang berarti: Hidup, Kehidupan. "Mandait Morit" merupakan sebuah narasi kehidupan yang dipungut-dikumpulkan di jalan waktu, yang tercecer di ruang-ruang kehidupan untuk dibagi, dikisahkan, baik dalam bentuk teks, audio maupun audio-visual, sebagaimana moto Mandait Morit: Berbagi KISAH, Berbagi KASIH. Gedankensplitter | Yang Tercecer | Mandait Morit
Labels
- ANTOLOGI PUISI 2010 (3)
- CATATAN LEPAS (40)
- Chord (1)
- Galeri LenSA (10)
- GEDICHTE (16)
- Goodnes of God (1)
- Güte von Gott (1)
- LAGU/LIEDER (6)
- Link Sastra (4)
- Lirik (1)
- OPINI (61)
- PRESSE (7)
- PUSTAKA LAMAHOLOT (9)
- RENUNGAN (19)
- Ruang Puisi (191)
- SERAMBI PARA PAKAR (11)
- WISSENSCHAFT (8)
PENULIS - AUTOR
- Gedankensplitter | Yang Tercecer | Mandait Morit
- Gera, Thüringen, Germany
- Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman
SUARA - KODA
KODAPana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.
11 October 2023
01 April 2021
PRO DEO ET PATRIA (Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep Laka Hurint)
PRO DEO ET PATRIA
Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep
Laka Hurint
Antara actio dan contemplatio
Bagi banyak orang, identfikasi
pertama dan dominan yang muncul saat melihat atau mengenang Bapa Josep adalah
doa, ekaristi, Kitab Suci. Seluruh hidup Bapa Josep sama sekali tak pernah
lepas dari aktifitas rohani dan latihan spiritual. Itu benar. Ketika masih
kecil, kami selalu diajaknya untuk berdoa bersama (keluarga) sebelum menonton
siaran televisi. Doa pribadi, doa bersama, membaca kitab suci – apalagi misa
dan ibadah hari minggu – menjadi santapan rohani yang tak boleh dilalaikan.
Bahkan sebelum berangkat ke kantor beliau selalu menempatkan diri mengikuti
misa harian. Mungkin bagi segelintir orang cara hidup seperti itu „menggelikan“
dan bahkan memandang aneh apa yang ia buat. Saya sendiri pun pernah merasa lucu
menyaksikan kesetiaannya dalam berdoa: berdoa dan membaca Kitab Suci sebelum
bekerja, doa malam sebelum tidur. Namun, dalam perjalanan waktu, perasaan geli
itu berubah menjadi tamparan dan cambuk di hati dan pikiran: bukankah itu
menjadi kebajikan seorang pengikut Tuhan? Kerinduan akan Tuhan dan penyerahan
diri padaNya adalah sikap dasar orang beriman.
Tapi, hidup rohani yang ia lakukan
bukanlah hanya untuk dirinya semata. Beliau selalu mengajak kami keluarga dan
anak-anak untuk berdoa. Dan pada hari minggu, ketika tidak ada pastor yang
melayani di Stasi Lewokung, Bapa Besa siap menghubungi pastor-pastor yang ia
kenal agar bisa memimpim misa di Gereja. Tidak hanya sampai di situ. Beliau
masih sempat mendata umat yang lanjut usia dan sakit agar bisa menerima komuni
kudus dari pastor. Tidak heran jika ada yang menyebutnya „Diakon“ – karena memang
dia setia mendampingi imam dalam melayani umat. Bahkan sampai akhir hidupnya,
dia masih aktif sebagai anggota konferia (salah satu paguyuban awam yang
bertugas membantu pastor dalam tugas pelayanan liturgis di Keuskupan
Larantuka). Dan saat menutup mata untuk abadi, belia mengenakan pakaian
konferia yang pernah ia kenakan selama tugas pelayanan. Besa, terima kasih
untuk kesaksian hidup rohanimu yang luar biasa dan maaf jika mata hati kami
buta untuk semuanya itu!
Lantas, apakah Bapa Josep hanya
menghabisi hari-hari hidupnya hanya dengan doa dan latihan rohani? Saya sendiri
baru mengetahui jejak karya Beliau di tahun 2018 kemarin, saat liburan di
kampung halaman. Baru malam itu beliau mengisahkan petualangan hidupnya di
dunia kerja. Lama Beliau mengabdikan diri sebagai kepala keungan daerah, pernah
menjabat Kepala Desa Mokantarak, pengurus Dewan Gereja Stasi dan Paroki. Bahkan
setelah masa pensiun Beliau masih ingin mengabdikan hidupnya untuk Gereja
Keusukupan Larantuka dalam dunia pendidikan (Yayasan Persekolahan Umat Katolik
Flores Timur: YAPERSUKTIM). Namun bagi Besa, deretan jabatan atau titel yang
pernah melekat pada dirimu sama sekali tidak menjadikan diri kita „besar“. Saya
setuju dengan Beliau. Banyak pejabat pemerintahan hanya karena kedudukan/status
dan uang menjadi hancur; keluarga pun berantakan. Jabatan dan nilai rupiah yang
memelekan mata itu menjadikan nama dan harga diri mereka diinjak-injak. Bagi
Bapa Josep, jabatan dan kedudukan adalah atribut seorang pelayan.
Kerendahan Hati
Jabatan-jabatan yang ada sama sekali
tidak menjadikannya orang penting dan dihormati. Setelah jam kerja kantor dan
kembali ke rumah, Bapa Josep tetap menjadi orang kecil, menjadi seperti orang
pada umumnya. Semua orang tahu, ia pernah menjadi peternak babi selama hidupnya
– bahkan sampai saat saat sebelum sakit, beliau masih aktif memelihara babi.
Saat berangkat ke kantor, ia lebih memilih jalan kaki hingga di Oka-Lewoloba (6-7
km) baru dilanjutkan dengan menumpang bemo ((transportasi
umum). Pemandangan pagi seperti ini menjadikan saya dan teman-teman yang saat
itu masih SMP malu karena kami dimanjakan oleh transportasi umum.
Bapa Besa tahu menempatkan diri dalam
masyarakat atau kelompok di mana ia berada. Rutinitas kehidupan doa dan jabatan
publik tidak menjadikan dia sebagai sosok yang asing atau aneh di masyarakat. Pada
hari minggu setelah perayaan ekaristi Bapa Besa sering berekreasi bersama
dengan orang-orang di kampung seperti bermain catur atau kartu. Tidak suit
baginya untuk memberi senyum pada orang lain dan tertawa bersama yang lain.
Bapa Josep sama, yang duduk main kartu di atas tikar bersama orang-orang di
kampung, juga pernah duduk bersama para uskup, imam atau pejabat pemerintahan
lain yang bertugas dan menggembala di Keuskupan
Larantuka – Kabupaten Flores Timur.
Sikap kerendahan hati ini juga ia
tunjukkan dan ajarkan pada anak-anak. Mengalah untuk kebaikan anak-anak dan
keluarga adalah pilihan yang sering dia ambil. Semua itu karena ia mencintai
keenam anaknya. Mungkin kadang harus menyimpan sendiri semua gundah hati, lalu
ia tumpahkan dalam doa-doa yang senantiasa ia ucap. Meski persoalan datang
melanda, tatapan tegar dan senyum harapan bahagia tetap terlihat di wajahnya. „Akh,
Besa ini hadapi persoalan-persoalan dalam keluarga biasa saja e…“, begitu
pernah saya berujar. Saya sangat yakin, kekuatan doa dan kedekatan dengan Tuhan
menjadikan Bapa Besa seperti itu.
Adikku mengisahkan, kalau sebelum ia
menutup mata abadi, ia meminta anak sulungnya yang adalah pastor (Romo Bonnie
Hurint, Pr) untuk memberikan komunio. Romo Bonie yang saat itu berada di
sampingnya, mengiyakan permintaan sang ayah. Hosti dan anggur sebagai lambang
tubuh dan darah Tuhan disantapnya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. Itu
adalah momen perjamuan terakhir beliau, ekaristi yang ia rindukan setiap hari. Segala
sakitmu kau serahkan ke dalam tanganNya. „Akh, begitu damainya Besa engkau
meninggal. Saya juga ingin seperti itu ketika hari itu tiba“. Hidupmu telah
menjadi berkat bagi banyak orang, bagi Gereja dan Tanah Air – pro Deo et patria. Saya jadi teringat lirik lagu ini:
Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri
Hidup ini hanya sementara
Oh Tuhan, pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Suatu saat aku tak berdaya
Hidup ini sudah jadi berkat
Besa, malam ini engkau berada bersama
Tuhan pada perjamuan malam terakhirnya; sementara kami masih berjuang melewati
hari-hari duka kami dengan air mata. Tapi kami percaya, engkau yang selama
hidupmu tekun berdoa, tetap mendoakan kami darii Surga. Kami percaya, Dia yang
tergantung di kayu salib menanggung segala sakit dan penderitaan kita – Dia
yang terluka karena salah dan dosa kita akan menyembuhkan luka-luka kita dengan
bilur-bilur lukaNya. Karena luka-lukaNya kita disembuhkan.
Besa, selamat jalan!
Terima Kasih untuk kesaksian dan
teladan hidup. Terima Kasih telah mengingatkan kami untuk tetap mejaga
keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa, ketika semua kami
lebih sibuk dan menghabiskan waktu untuk mengumpulkan harta dan lupa memberi
waktu untuk Tuhan.
Pana teti Tua Alla lango, tonga hau tede kame ana moen!
Vianey Lein – Erfurt, Jerman, 01. April 2021
Bildnachweis: oleh Katja Fissel dari Pixabay
09 March 2021
27 December 2020
NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 2)
NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS
Suatu Renungan
atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit
Bagian 2: Inkarnasi Logos dan Reinkarnasi sosio-politis
Kelahiran
Yesus – meski dalam kelemahan dan keterbatas di kandang hewan – membawa kegembiraan
dan harapan karena Ia adalah Mesias yang dinanti-nantikan „untuk menyampaikan
kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan
orang-orang yan tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang“
(Luk 4,18-19).
Lukisan Natal dalam balutan budaya Sumba. Foto ©FB Jack Umbu Warata |
Warta
dan pemaknaan Natal seperti ini sama sekali tak terpikirkan oleh anak kecil
seperti Tala. Bahkan untuk kebanyakan orang di kampung Tala
„kegembiraan Natal dan berita pembebasan“ masih terdengar sunyi. Yang
terpenting adalah „baju baru“ dan „pesta“ pora natal di lingkungan. Makna
perayaan Natal telah bergeser dari kemilau kesederhanaan di Betlehem kepada
glamor konsumerisme pasar. Dalam dialog tentang perjuangan Kakek Ama Tobi
untuk dapat membeli baju natal buat sang cucu, penulis menunjukkan kepada
pembaca tentang apa yang ia temukan, bahwa situasi kosmos - chaos itu tidak hanya terbatas pada proporsional ruang geometris
dan askpek estetis atau keindahan, melainkan juga tentang keteraturan dalam sosialiatas hidup masyarakat, keteraturan dalam
politik, sebagaimana Plato dalam Politeia:
„negara yang adil membutuhkan
jiwa-jiwa yang adil. Kota yang tertata rapi/adil dan jiwa yang tertata rapi/adil
akan tercapai jika masing-masing
bagian dari mereka memenuhi tugas dan tanggung jawab“ (Politeia 433b). Di sana
ia berani menggeledah „ketidak-beresan“ (ketidakteraturan) dalam institusi
gereja dan institusi pemerintah. Aspek kesederhanaan dan spirit kemiskinan bayi
Yesus lalu ditempatkan pada kontras kemewahan gereja: mobil Fortuner buat Romo
Deken, sumbangan untuk pesta Natal dari kepala kantor agama senilai 3 juta dan
pungutan wajib dalam lingkungan Gereja.
Masyarakat
lokal mungkin masih ingin religius memaknai natal dalam kesederhanaan, tetapi
mereka diganjal oleh realitas kehidupan dalam gelora pergeseran nilai-nilai dan
terkikisnya kearifan lokal, seperti Gereja yang tidak lagi berpihak pada kaum
miskin dan tertindas – melainkan berkompromi dengan penguasa dan pemegang
modal, dan Natal yang lebih mengutamakan penampilan lahiriah daripada perkara
batin. Kakek Ama Tobi menjadi semakin tidak berdaya di hadapan Bapa
Uskup, Romo Deken dan ketua komunitas
basis sebagai simbol penjaga moral gereja dan anggota DPR dan
kepada Kantor Agama sebagai aktor politik untuk menyuarakan aspirasi
rakyat. Dramaturgi politik yang dimainkan sudah tentu mencederai misi
pembebasan dan penyelematan gereja. Inkarnasi diri Allah menjadi manusia adalah
opsi keberpihakanNya kepada manusia yang lemah dan tak berdaya, yang
terpinggirkan dari masyarakat. Palungan, kandang dan para gembala adalah simbol
kedekatan dan keberpihakan Allah dengan orang-orang kecil dan miskin serta yang
menderita. Dalam kesederhanaan Natal di Betlehem para penguasa dan pemimpin
Gereja serta pemimpin masyarakat justru menyibukkan diri dengan hadiah-hadiah
dan ritual pesta pora. Konsumerisme dan Kapitalisme sudah menjadi bagian yang
sulit dipisahkan dari perayaan Natal. Metafor lain yang menunjukkan bahwa
kapitalisme juga telah merambat sampai ke pelosok-pelosok kampung adalah
„Coca-Cola“ (bdk. Cocacolonialism): „Ia mengambil sebotol Coca-Cola dan
memberikannya kepada Ama Tobi“.
Bujuk untuk menenangkan Sang cucu menjadi klimaks
cerita: „Yesus menerima
semua yang mau berteman dengan dia, termasuk yang tak punya baju baru“. Begitu
pula dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan (harus) bersifat telanjang, tak
perlu dibajui sehingga tampak. Ia tak perlu didandani agar tampil dalam
keaslian dan ketulusan.
Kenosis, Yesus yang mengosongkan dirinya, mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia – Allah yang rela menjadi senasib
dengan manusia – adalah hadiah terindah untuk semua umat. Natal: Allah menjadi
manusia, Ia datang membawa terang ke dalam dunia yang penuh dengan
ketidakadilan dan krisis ekologis. Natal: perayaan Tuhan hadir di kandang hina
mengajarkan kita untuk tidak kehilangan iman akan dunia yang lebih baik,
harapan untuk dapat mengubah dunia menjadi lebih berarti
dan cinta pada mereka yang miskin dan membutuhkan. Meng-inkarnasikan
diri dalam hidup kebersamaan, terlebih menjadi bagian dari kaum lemah dan
terpinggirkan dan terlibat dalam perjuangan mereka adalah hadiah natal
terindah.
Penulis telah berhasil menjembatani kisah Natal di
Betlehem 2000-an tahun silam dengan mitos dan kesejarahan sebuah kampung
terpencil pada masa lampau dan juga saat ini. Upaya mendialogkan Natal Tuhan
dengan tutur cerita lokal Nogo
Letek-Pelatin Lela merupakan
pendekatan kontekstual dalam berteologi yang sangat dibutuhkan, ia tidak melulu
berfokus pada teks-teks Alkitabiah atau doktrin-doktrin, melainkan terbuka
dengan nilai-nilai kultural dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari agar
dapat menolong berbagai pelayanan di gereja-gereja secara efektif (Bevans:
2009, 320). Kisah kelahiran Yesus dari Nazaret, kisah Penulis dan kisah Dunia
bersua dalam simpul hic
et nunc, kini dan di sini.
Silvester berhasil melahirkan kembali mitos dan kesejarahan penduduk lokal.
Dengan pisau bedah sastra ia berani mem-bidan-i kaum kecil yang telah lama
bunting dengan aneka krisis dan persoalan-persoalan. Mereka dan juga alam
tempat mereka hidup bagai wanita hamil yang ditinggal pergi setelah disetubuhi.
Tentang hal ini, penulis menghadirkan figur Pelatin
Lela yang disandingkan dengan ketokohan Santo Yosef:
lebih menjadi pendengar yang setia ketimbang banyak bicara, tidak memarken diri
atau menempatkan diri sebagai pusat perhatian, ya, dalam diam mereka melakukan
cinta dan menebarkan damai. Usaha mencari dan menemukan jalinan kesamaan „benang
merah“ antara warisan sabda leluhur (koda kirin) dalam budaya lokal dan
ajaran-ajaran Kristen (logos: warta Ilahi) ini adalah proses „melahirkan“ kandungan
„teologis-inkarnatoris“ yang terkandung dalam khazanah budaya (bdk. Ulin
Agan:2006, 297-332]
Sebagai penutup, saya mengutik kata-kata penyair
Angelus Silesius: „meskipun Christus ribuan kali lahir di Betlehem, tapi tidak
dalam palung hatimu, maka kamu akan hilang selamanya“.
Selesai!
Baca bagian 1 di sini
Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur
NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 1)
NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS
Suatu Renungan
atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit
Dalam memaknai perayaan Natal tahun 2020 Silvester Hurit menulis sebuah cerpen di mana kisah kelahiran Tuhan Yesus – Isa al Masih, 2000-an tahun silam ditorehkan dalam kehidupan dan pengalaman seorang kakek Ama Tobi dan cucunya Tala („Baju Natal Buat Sang Cucu“, Jawa Pos, 25.12.2020). Dengan plot cerita campuran maju -mundur dan latar waktu masa lampau (sejarah dan mitos) dan masa kini yang disajikan, penulis berusaha memproyeksikan kisah Natal dan perayaannya pada dinding sejarah serta legenda atau cerita mitos dari kampung-kampung di wilayah Lewo Lema. Di sini penulis berhasil merancang sebuah konstruksi „teologi kontekstual“ dengan metode literer, meski ia dalam karyanya tidak menggunakan terminologi teologis-dogmatis seperti inkarnasi logos, teologi inkulturasi, atau pun eko-teologi. Dengan gayanya yang bebas mengalir ia mengekspresikan dinamika berteologi-kontekstual. Dalam tulisan ini, saya mencoba menunjukkan unsur-unsur teologis itu.
„Baju Natal buat Sang Cucu“ merupakan sebuah cerpen tentang alam pemikiran: alam pemikiran masa dulu dan kini, global (Eropa) dan lokal, mitologis dan teologis-ilmiah, tentang yang sakral dan profan. Proses kreativ penulis yang memadukan narasi teologis natal dan narasi tradisional Nogo Letek – Pelatin Lela menunjukkan bahwa penulis tidak hanya mengembara dalam dunia imajinasinya, tetapi juga tenggelam dalam eksplorasi intelektual, seperti mempelajari mitologi dan kesejarahan. Ia lalu tidak hanya menuliskan teks tetapi juga membaca konteks lalu menulisnya kembali sebagai sebuah teks baru, atau lebih tepat melahirkan logos baru.
Inkarnasi Logos
dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos
Perayaan
Natal merupakan kenangan akan misteri inkarnasi logos (Sabda) –
penjelmaan diri Allah menjadi Manusia – Sabda yang menjadi daging – dalam diri
Yesus Kristus yang lahir di kandang hina (bdk. Prolog Yohanes 1,1-18: „Pada
mulanya“ adalah firman/logos). Logos mengacu pada diri Allah,
lewat logos (dengan ber-sabda) segala ciptaan dijadikan, logos membawa
terang untuk hidup. „Firman (logos)
itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat
kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal
Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.“ Inkarnasi Logos tak terlepas dari seluruh penciptaan kosmos - dunia dan
segala isinya (kosmos: keteraturan). Dalam taurat Musa, yakni dalam
kitab Genesis juga tertulis: „Allah melihat bahwa semuanya itu baik“.
Silvester pada awal ceritanya melukiskan suasana
kosmis/natur menjelang Natal, bahwa alam di bagian timur Flores itu indah dan
subur: bunga Natal yang bermekar, sayuran tumbuh subur, padi yang bertunas,
daun jagung yang bergoyang, hingga ular tanah yang begitu banyak. Keindahan dan
kesuburan alam itulah yang menjadi tunas lahirnya nama Flores: cabo de flores –
tanjung bunga, oleh orang portugis. Tapi, mengapa dalam memeriahkan perayaan
Natal orang-orang di kampung selalu berkiblat pada pemandangan kosmis di Eropa
seperti pohon cemara dan salju, bukan pada pohon Desember yang disebut Silvester,
atau pada rinai hujan atau kemarau?
Lebih lanjut dalam babak mitis tentang Pelatin
Lela relasi harmonis antara manusia-alam
mendapat sorotan penting. Atas tuntutan saudara-saudara Nogo Letek: binatang-binatang hutan
datang bergotong royong membantu Pelatin Lela mendirikan korke hanya dalam
sehari; kura-kura membantunya mengisi cairan gula tuak ke wadahnya tanpa
sedikit pun tercampur air lait; semut-semut bergotong royong memisahkan biji
jewawut dengan pasir. Intimitas
antara manusia dan ekosistem ini mengingatkan kita pada kisah Santo Fransiskus
- pelindung para aktivis lingkungan hidup - yang menyapa ciptaan-ciptaan lain,
bahkan hewan terkecil sekalipun sebagai saudara dan saudari. Paus Fransiskus dalam Laudato si (Ensiklik tentang perawatan rumah kita bersama)
mengingatkan: „Keyakinan seperti [ini] tidak dapat
diremehkan sebagai romantisme yang naif, … Jika kita memandang alam dan
lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi
berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan
dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga
tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika
kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian
akan timbul secara spontan“ (Laudato si 11). Begitu pula ketika hujan dan
angin mengiringi rombongan Pelatin Lela dan istirnya Nogo Letek kembali ke
kampung halaman, ketika binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi
restu serta bunga-bunga mengeluarkan wewanginannya – bukanlah personifikasi literer yang
diselipkan begitu saja. Potongan kisah mitis ini hendak menyingkapkan kearifan
masyarakat lokal, yakni koeksistensi manusia dan alam yang harmonis. Keyakinan
seperti ini telah ada dan dihidupi jauh sebelum perjumpaan dengan agama-agama
yang dibawa para misionaris, sebelum penelitian atau studi ilmiah dalam setiap
dekade teknologi modern dan era globalisasi: „Bagi orang sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi,
beringin-beringin itulah yang menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat
menyisakan sedikit keteduhan. Rembesan air membantu tanaman dari siksa
kekeringan. … … binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun
tertolong. … .. … Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah yang mendandani
serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.“ Namun, Penulis tak lama bermegah dan bermeditasi dalam indahnya alam
Flores. Suasana kosmos itu berubah
jadi chaos: bencana alam tanah „longsor“,
pohon „beringin ditebang“, „gagal panen“ akibat „kekeringan, hama padi, ulat
yang mengeroposkan jagung, dan „serangan tikus“. Sebagaimana Yohanes Pembatis,
tokoh Advent dan Natal yang menyerukan pertobatan di padang gurun, penulis dalam
cerpennya menyerukan pertobatan ekologis. Jerami kering pada kandang, lembu dan
keledai adalah simbol misi Allah dan pengalaman manusia dan semua ciptaan,
bahwa Allah ingin agar alam yang telah menjadi chaos diselamatkan.
Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur
Foto/gambar: ©Jawapos.com
24 December 2020
Epidemi Fanatisme: Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama
MENYEMBUHKAN EPIDEMI FANATISME
Tentang
Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama
Oleh: Vianey Soda Lein
Tenaga Pastoral pada Keuskupan Erfurt – Jerman
Alumnus
Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman
Paham
radikalisme dan intoleransi adalah sebuah persoalan yang kompleks dan diskursus
tentangnya tidak hanya berhenti pada tataran agama maupun politik. Psikologi
sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang diskusi
dengan mencoba membedah epidemi „kelainan“ beragama seperti terorisme dengan
pisau klinisnya, dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal
maupun sebagai entitas sosial sebagai bagian dari sebuah proses „menjadi“. Tesis
umum yang menjadi postulat dari telaah psikologis adalah: aksi teror seperti bom
bunuh diri merupakan gangguan jiwa. Seperti yang kita ketahui, deretan aksi
teror dan alur diskusi tentangnya tidak bisa dilepas-pisahkan dari idelogi
sebuah agama. Lantas, apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan
konseling prefentiv sebuah fanatisme yang adalah akar dari terorisme?
Merujuk
pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang
fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat
menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang
intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal
- sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin
memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier,
„Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya
bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan
membunuh para pengikut Kristus.
Sudah
pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan
kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain.
Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah dari dogmatisme sempit dan
dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah „kelainan“
dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti
cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama
Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini
berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di
Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan,
adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya
adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita,
bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu
semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“.
Berhadapan
dengan epidemi fanatisme yang menular dan ditularkan melalui manipulasi
sistematis dari atas mimbar agama dan podium politik, kita dituntut berpikir
kritis untuk mengevaluasi setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala.
Situasi di mana orang menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan
kemiskinan), doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada
anak-anak ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase
„mendikte“. Ini merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis
pendidikan dan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak
dini menanamkan nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan. Kultur dialog
semestinya ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat
dewasa, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke
sekolah-sekolah lintas agama atau pertukaran pelajar dan mahasiswa lintas sekolah
yang berbasis agama. Dengan demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan
keyakinan eksklusivisme; dan dalam diri mereka tertanam kesadaran untuk
menerima dan menghargai keberbedaan atau „keberlainan“. Ini merupakan langkah
prefentiv untuk mencegah menyebarnya fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai
langkah kuratif, setiap lembaga agama ditantang untuk mengevaluasi kembali visi
dan misi atau nilai-nilai kebenaran agama. Agama - dengan kemajemukan wajahnya - ada untuk kasih
dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan permusuhan. Ini merupakan visi
mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks prestasi sebuah misi agama tidak
diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki suatu agama atau aliran
kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan dengan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan hukum cinta kasih.
Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah sekadar sebuah
keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan keselamatan yang
dialami kini dan sini, hic et nunc.
Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk segera mengalami
kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam menghidupi agama:
lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri sebagai iklan
pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan mustahil,
pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun tertutup.
Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. „Keberlainan“ bukanlah virus atau kuman yang ditakuti dan mesti dibasmi; justru segala keberbedaan dan kemajemukan adalah pil atau vaksin yang menyembuhkan kebutaan fanatisme dan vitamin yang menguatkan „stamina“ persatuan dan persaudaraan. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara untuk menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita adalah simptom „kelainan“ dalam beragama dan cepat atau lambat akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Berhadapan dengan epidemi „radikalisme“ agama yang kian menyebar, setiap kita dituntut dan ditantang untuk berani bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog. Mari beriman secara sehat(i): dengan hati dan ratio. ***
Bild: © koufogiorgos.de
16 November 2020
Die Schönheit - Tentang Keindahan
der sie betrachtet.
---
Keindahan itu hidup dalam jiwa mereka yang memandangnya
(David Hume)
ALT-WERDEN - Tentang Usia
KINDER UND LIEBE - Anak-anak dan Cinta
Wenn Kinder ohne Liebe aufwachsen,
darf man sich nicht wundern,
wenn sie selber lieblos werden.
---
Kasih itu dapat dipelajari. Dan tak seorang yang belajar lebih baik
daripada anak-anak.
Jika anak-anak bertumbuh tanpa kasih,
maka tak boleh heran,
jika mereka juga menjadi pribadi tanpa kasih.
(Astrid Lindgren)
Gera Hauptbahnhof - Stasiun Kereta - Gera
und irgendwann machen wir hier Halt
Auch unser Leben durchläuft
verschiedene Stationen
Dort lernen wir Orte und Menschen kennen
----
Perjalanan kita bermula dari sini
dan pada saat terrtentu akan terhenti pula di sini
Hidup melewati berbagai pemberhentian
di sana kita berkenalan dengan tempat dan manusia
Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan Pembacaan Cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“
Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan
Pembacaan Cerpen „Hujan
Pertama dari Kampung Kafir“
Oleh:Vianey Lein*
Membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ karya Silvester Petara Hurit (Jawa Pos, 25.10.2020) adalah seperti membaca profil singkat sejarah misi katolik di Nusa Bunga – Flores, seperti yang dicatat oleh Karel Steenbrink dalam karyanya „Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942“ (Steenbrink: 2006). Sejarah misi katolik ditorehkan ke dalam „kenang“ pengalaman Fransiskus (bdk. Pemimpin tertinggi agama katolik: Paus Fransiskus). Untuk mendapat pemahaman yang menyeluruh tentang cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ dan apa yang hendak disuarakan penulis, orang perlu meninjau kembali secara ringkas aspek-aspek sejarah misi di Pulau Flores. Bagi yang pernah belajar atau mendengar tentang sejarah misi di Flores kesan dominan yang mungkin muncul saat membaca prosa naratif yang disuguhkan Silvester adalah, bahwa cerita ini bukan fiktif belaka. Terlepas dari kebenaran asumsi adanya „perkawinan“ fakta historis - daya imajiner penulis, cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ sesungguhnya menyuarakan beberapa kritik – tidak hanya tentang yang lampau, tetapi juga untuk masa kini dan masa akanan. Kekhasan dari cerpen ini adalah merekonstruksi narasi sejarah perjumpaan (konflik) antara misi katolik dan budaya lokal (agama natur). Ia semacam sebuah teks ratapan atas jejak-jejak tertinggal, sebuah gugat-protes atas silam yang kelam. Dalam pengertian ini, karya sastra yang dilahirkan Silvester dengan menguraikan serpihan-serpihan masa lalu itu mendapat forma dan substansi baru. Ini juga merupakan usaha penulis untuk menegaskan, bahwa budaya adalah DNA suatu komunitas masyarakat atau bangsa – dan penulis sendiri adalah juga tokoh yang giat „mewartakan“ dan melestarikan khazanah budaya seperti yang terkandung dalam mitos dan ritus.
Aku dan Yang Lain
Silvester
tidak secara gamblang menyebutkan locus dari setiap peristiwa yang dinarasikan.
Ia hanya menggunakan frase „belakang gunung“ untuk membahasakan latar
ceritanya. Penyebutan (orang) „belakang gunung“ pada masa lampau (dan juga
masih terdengar hingga kini di wilayah Larantuka-Flores Timur) bermaksud
membedakannya dari (orang) muka/depan gunung (orang pantai). Orang „belakang
gunung“ biasanya diidentikkan dengan kelompok tertinggal, jauh dari pusat
perkembangan kota, orang kolot dan „belum beradab“ Dalam lalu lintas misi
katolik pada masa lampau pengontrasan semacam ini terlihat juga dalam pemilahan
tegas antara „kekatolikan“ dan „kekafiran“ (Steenbrink: 2006: 179): „orang
belakang gunung“ identik dengan orang kafir, „orang yang berdiam dalam
kegelapan“, mistis; sementara „orang pantai“ identik dengan orang yang dibaptis
karena penyebaran ajaran iman pada masa lampau bermula dari wilayah pantai yang
dirintis oleh para misionaris Eropa dan pedagang rempah. Prejudice seperti ini
menempatkan „orang belakang gunung“ (orang kafir) sebagai ancaman yang
membahayakan dan merintangi misi penyebaran agama: „Yang selalu jadi persoalan
adalah orang-orang belakang gunung …“
oleh karena itu mesti ditentang dan dimusnahkan: „mereka melarang semua
ekspresi budaya serta memberangus simbol-simbolnya, ...“ Hal ini sejalan
seturut konsep misi di Flores (dan tentu daerah misi lainnya) pada masa itu
(1556-1965): mentobatkan dan membaptis sebanyak mungkin orang kafir, di bawah
payung Axioma „extra ecclesiam nulla salus“ – tidak ada keselamatan di luar
Gereja. Pengulangan diksi „(Orang) kafir „dan „(orang) belakang gunung“ yang
mendominasi cerpen bertindak sebagai lampu sorot yang menerangi pembaca untuk
memahami jalur ide yang dipetakan penulis.
Institusi
agama tidak memiliki otoritas untuk menghakimi dan menentukan keselamatan atau
nasib seseorang. (Ber)agama sebagai salah satu cara-pandang hidup – dalam
pemahaman yang amat sederhana - berusaha mengajar dan menuntun setiap orang
untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, termasuk hidup
berdampingan secara damai dalam kasih dengan kelompok yang berkeyakinan lain.
„Yang lain“ bukanlah sebagai ancaman yang membahayakan kehidupan beragama.
Perjumpaan dengan „yang lain“ merupakan ruang konfrontasi dan refleksi:
„Bagaimana saya mengerti dan menilai agama atau budaya lain? Bagaimana saya
mengerti dan menilai diri dan agama sendiri di hadapan agama dan budaya lain?“
Hermeneutika perjumpaan dengan „yang lain“ dalam terang pertanyaan ganda
Schmidt-Leukel ini dalam bukunya „Gott ohne Grenzen“ - Tuhan tanpa Sekat
(2005:34) adalah sebuah proses dialektis yang tidak hanya mengacu pada
„pemahaman bahasa“, melainkan juga „pemahaman tindakan“, „nilai-nilai dan
peristiwa“ serta „ekspresi“ cita rasa iman. Proses pemahaman ini menuntut
keterbukaan untuk saling mengakui keberlainan dan kesediaan membangun dialog.
Misi dan Kolonialisme -
Agama dan Negara
Dalam catatan sejarah, kristeninasi adalah bagian
yang tak terpisahkan dari imperialisme barat yang mengusung trial Gold (kekayaan), Gospel (penyebaran
agama/injil), Glory (kemuliaan/nama besar
negara). Misi dan Kolonialisme ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan.
Jadi, periodisasi penyebaran agama kristen di wilayah Flores bermula bersamaan
dengan mendaratnya kapal dagang Portugis yang dirintis oleh para pedagang dan
rahib Dominikan pada tahun 1600an (Piskaty: 1964: 44-49). Irisan kepentingan
antara Misi (Agama) dan Kolonialisme (Negara) dilukiskan Silsvester lewat
institusi-institusi pemerintah seperti militer/Hansip, birokrasi/camat fanatik
dan sekolah/guru konservatif yang bergerak mengontrol proyek misi. Resistansi
terhadap penguasa kolonial lalu melahirkan suatu narasi heroik. Dalam fragmen
konflik antara penjajah dan penduduk lokal, penulis seakan membalikkan apa yang
lazim dan dominan dalam narasi besar kolonialisme. Lukisan „kanibalisme“ adalah
sinisme penulis atas anggapan, bahwa orang belakang gunung adalah pembunuh –
bukan sebaliknya kaum penjajah yang mencaplok hak hidup dengan senjata dan
modal. Perselingkuhan antara agama dan negara tidak hanya menjadi pintu masuk
untuk mencaplok hasil bumi tetapi juga mengeksploitasi budaya dan menghancurkan
tatanan kehidupan penduduk lokal yang hidup menyatu dengan alam. Agama
ditunggangi dan membiarkan diri ditunggangi oleh nafsu kekuasaan bagi
kepentingan segelintir orang; mimbar ajaran lalu disulap jadi podium provokasi
dan penistaan, misi dan karya pelayanan dipelintir jadi proyek kapital, panggilan
profetis pun layu dan mati dalam kubang harta dan jabatan, realitas penderitaan
dan ketidakadilan dilegitimasi sebagai kutukan dari Tuhan: „Kekalahan
orang-orang belakang gunung tersebut diyakini sebagai cara Allah membinasakan
orang-orang kafir dan penyembah berhala“.
Pendidikan Agama: antara
Teologi dan Filsafat
„Jasa“
dan nama besar ayah Fransiskus terpatri dalam keberhasilan mengatolikkan orang
kampung dengan memanfaatkan sekolah dasar Katolik dengan guru-guru konservatif
sebagai tenaga pendidik. Internalisasi nilai-nilai religius tidaklah penting:
intinya murid-murid itu sudah dibaptis dan bersedia meninggalkan
tradisi-budayanya. Inilah model pendidikan agama pada masa itu yang diangkat
penulis dalam cerpennya.
Pendidikan
agama bukanlah perkara „memenangkan“ (jiwa) seseorang untuk bergabung dalam
komunitas agama tertentu (proses inisiasi) atau sebagai persiapan mengambil
bagian dalam ritual keagamaan (seperti sakramen). Salah satu hal penting yang
semestinya tidak boleh alpa dari ruang pendidikan agama adalah kesanggupan dan
keberanian berpikir kritis tentang iman dan bersedia mempetanggungjawabkannya.
Itu berarti, iman (fides) dan akal budi (ratio) - teologi dan filsafat, adalah
dua kebijaksanaan yang bersahabat. Pendidikan agama semestinya memampukan para
murid untuk masuk dalam ruang refleksi kritis tentang agama sendiri, juga
tentang agama-agama serta pandangan dunia atau ideologi lainnya. Proses
indoktrinasi tanpa refleksi dalam ruang-ruang belajar agama akan melumpuhkan
kemampuan bertanya dan daya nalar berpikir kritis serta melahirkan
lulusan-lulusan konservatif. Proses ajar-belajar agama lalu menjadi penanaman
nilai-nilai radikalisme yang menutup diri bagi „yang lain“. Kekhwatiran serta
protes penulis tentang kelam masa lalu dan buram masa depan berkaitan dengan
pendidikan agama seperti itu ditulisnya dalam larik: „Lahir struktur dan kelas
sosial baru yang dikendalikan oleh elite agama“.
Selepas
membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“, saya mengamini bahwa Penulis
sungguh bergumul dengan persoalan-persolan lokal, baik itu di masa lampau
maupun di masa kini sehingga ia dengan jelas dan gamblang mencurahkan itu dalam
karyanya. Tentu pembacaan ini muncul dari salah seorang pembaca di antara
sekian pembaca lainnya.
Pada
akhirnya, sesudah kita dicurahkan oleh „hujan pertama dari kampung orang-orang
kafir“, kita ditantang untuk memandang horison tentang „yang lain“, berani dan
sanggup mengalami, bahwa „hujan“ juga turun di kampung orang-orang kafir
lainnya - tidak untuk pertama kali, tetapi berkali-kali karena perjumpaan
dengan „yang lain“ adalah bagian yang tak terpisahkan diri dan cara meng-ada
kita.
*Penulis Tenaga pastoral pada Keuskupan Erfurt-Jerman, alumnus Philosophisch- theologische Hochschule St. Augustin, Jerman.
Cerpen "Hujan Pertama dari Kampung Kafir" karya Silvester klik di sini
Gambar: © Jawa Pos.com
10 July 2020
BUMI SEMAKIN PANAS (Die Erde wird wärmer)
HARI BERGANTI DAN SEMUANYA BERLALU BAGAIKAN SEKAM DITIUP ANGIN HILANG SATU-SATU HILANG DITELAN SANG WAKTU TAK ADA MATA YANG MENATAP BENCANA SEMAKIN DEKAT TAK ADA BIBIR YANG BERKATA BADAI KAN MENYAPU RATA YANG ADA HANYA PUING-PUING KEPINTARAN DI BAWAH MATAHARI DAN BURUNG NAZAR PUN TAKAN BERDATANGAN TUK SAMPAIKAN S‘LAMAT MALAM ______
Der Tag kommt und geht und alles geht vorbei Wie die Spreu vom Wind getrieben Stück für Stück verloren Verloren in der Zeit Kein Auge sieht Die Katastrophe ist schon nah Auch keine Lippen die sagen Der Sturm fegt alles davon Was bleibt sind die Trümmer der Klugheit Unter der Sonne Auch der Nazar-Vogel kommt nicht mehr vorbei Um "gute Nacht" zu wünschen
TOBA
INA MARIA SENAREN | Barmherzige Mutter Maria
31 March 2020
KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS
(Bacaan Injil diambil dari Markus 4:35-41)