PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

01 April 2021

PRO DEO ET PATRIA (Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep Laka Hurint)

 PRO DEO ET PATRIA

Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep Laka Hurint

„No, bagaimana engko lihat Besa (Bapa Besar)? Besa makin kurus toh?“, itu pertanyaan yang ia lontarkan ketika kami videocall beberapa minggu silam. „Besa memang kelihatan makin kurus, tapi wajah dan semangat masih seperti dulu, tidak ada yang berubah“, begitu jawab saya dan disambut gelak tawa kami berdua. Itu pembicaraan terakhir kami sebelum ia berjuang intensiv beberapa minggu terakhir di atas pembaringan melawan sakitnya. Malam tadi, pukul 22:00 waktu Jerman saya menerima telepon dari seorang adik. Dari balik balik telepon ia menyampaikan: „Tata (Kakak), Besa sudah jalan.“ Kami tak lagi bercerita lama; hanya sebentar, lalu pamit. Malam saya pun menjadi jalan panjang kenangan – mengingat momen-momen kenangan tentang dan bersama Bapa Besa Yosep Laka Hurint. Sebgaimana kata Pengkhotbah, hidup ini memang terbatas – untuk apapun di bawah langit ada waktunya – ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk mati - tetapi kenangan itu abadi. Dan kenangan-kenangan itu menjadi jendela bagii saya untuk memandang Bapa Besa dari jauh, kapan dan di mana pun – tak terbatas jarak dan ruang. Dan semua kita yakin, seorang tak akan mati jika masih ada orang mengenakan gambar kehidupan dalam hatinya.

Antara actio dan contemplatio

Bagi banyak orang, identfikasi pertama dan dominan yang muncul saat melihat atau mengenang Bapa Josep adalah doa, ekaristi, Kitab Suci. Seluruh hidup Bapa Josep sama sekali tak pernah lepas dari aktifitas rohani dan latihan spiritual. Itu benar. Ketika masih kecil, kami selalu diajaknya untuk berdoa bersama (keluarga) sebelum menonton siaran televisi. Doa pribadi, doa bersama, membaca kitab suci – apalagi misa dan ibadah hari minggu – menjadi santapan rohani yang tak boleh dilalaikan. Bahkan sebelum berangkat ke kantor beliau selalu menempatkan diri mengikuti misa harian. Mungkin bagi segelintir orang cara hidup seperti itu „menggelikan“ dan bahkan memandang aneh apa yang ia buat. Saya sendiri pun pernah merasa lucu menyaksikan kesetiaannya dalam berdoa: berdoa dan membaca Kitab Suci sebelum bekerja, doa malam sebelum tidur. Namun, dalam perjalanan waktu, perasaan geli itu berubah menjadi tamparan dan cambuk di hati dan pikiran: bukankah itu menjadi kebajikan seorang pengikut Tuhan? Kerinduan akan Tuhan dan penyerahan diri padaNya adalah sikap dasar orang beriman.

Tapi, hidup rohani yang ia lakukan bukanlah hanya untuk dirinya semata. Beliau selalu mengajak kami keluarga dan anak-anak untuk berdoa. Dan pada hari minggu, ketika tidak ada pastor yang melayani di Stasi Lewokung, Bapa Besa siap menghubungi pastor-pastor yang ia kenal agar bisa memimpim misa di Gereja. Tidak hanya sampai di situ. Beliau masih sempat mendata umat yang lanjut usia dan sakit agar bisa menerima komuni kudus dari pastor. Tidak heran jika ada yang menyebutnya „Diakon“ – karena memang dia setia mendampingi imam dalam melayani umat. Bahkan sampai akhir hidupnya, dia masih aktif sebagai anggota konferia (salah satu paguyuban awam yang bertugas membantu pastor dalam tugas pelayanan liturgis di Keuskupan Larantuka). Dan saat menutup mata untuk abadi, belia mengenakan pakaian konferia yang pernah ia kenakan selama tugas pelayanan. Besa, terima kasih untuk kesaksian hidup rohanimu yang luar biasa dan maaf jika mata hati kami buta untuk semuanya itu!

Lantas, apakah Bapa Josep hanya menghabisi hari-hari hidupnya hanya dengan doa dan latihan rohani? Saya sendiri baru mengetahui jejak karya Beliau di tahun 2018 kemarin, saat liburan di kampung halaman. Baru malam itu beliau mengisahkan petualangan hidupnya di dunia kerja. Lama Beliau mengabdikan diri sebagai kepala keungan daerah, pernah menjabat Kepala Desa Mokantarak, pengurus Dewan Gereja Stasi dan Paroki. Bahkan setelah masa pensiun Beliau masih ingin mengabdikan hidupnya untuk Gereja Keusukupan Larantuka dalam dunia pendidikan (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur: YAPERSUKTIM). Namun bagi Besa, deretan jabatan atau titel yang pernah melekat pada dirimu sama sekali tidak menjadikan diri kita „besar“. Saya setuju dengan Beliau. Banyak pejabat pemerintahan hanya karena kedudukan/status dan uang menjadi hancur; keluarga pun berantakan. Jabatan dan nilai rupiah yang memelekan mata itu menjadikan nama dan harga diri mereka diinjak-injak. Bagi Bapa Josep, jabatan dan kedudukan adalah atribut seorang pelayan.

Kerendahan Hati

Jabatan-jabatan yang ada sama sekali tidak menjadikannya orang penting dan dihormati. Setelah jam kerja kantor dan kembali ke rumah, Bapa Josep tetap menjadi orang kecil, menjadi seperti orang pada umumnya. Semua orang tahu, ia pernah menjadi peternak babi selama hidupnya – bahkan sampai saat saat sebelum sakit, beliau masih aktif memelihara babi. Saat berangkat ke kantor, ia lebih memilih jalan kaki hingga di Oka-Lewoloba (6-7 km) baru dilanjutkan dengan menumpang bemo ((transportasi umum). Pemandangan pagi seperti ini menjadikan saya dan teman-teman yang saat itu masih SMP malu karena kami dimanjakan oleh transportasi umum.

Bapa Besa tahu menempatkan diri dalam masyarakat atau kelompok di mana ia berada. Rutinitas kehidupan doa dan jabatan publik tidak menjadikan dia sebagai sosok yang asing atau aneh di masyarakat. Pada hari minggu setelah perayaan ekaristi Bapa Besa sering berekreasi bersama dengan orang-orang di kampung seperti bermain catur atau kartu. Tidak suit baginya untuk memberi senyum pada orang lain dan tertawa bersama yang lain. Bapa Josep sama, yang duduk main kartu di atas tikar bersama orang-orang di kampung, juga pernah duduk bersama para uskup, imam atau pejabat pemerintahan lain yang bertugas dan  menggembala di Keuskupan Larantuka – Kabupaten Flores Timur.

Sikap kerendahan hati ini juga ia tunjukkan dan ajarkan pada anak-anak. Mengalah untuk kebaikan anak-anak dan keluarga adalah pilihan yang sering dia ambil. Semua itu karena ia mencintai keenam anaknya. Mungkin kadang harus menyimpan sendiri semua gundah hati, lalu ia tumpahkan dalam doa-doa yang senantiasa ia ucap. Meski persoalan datang melanda, tatapan tegar dan senyum harapan bahagia tetap terlihat di wajahnya. „Akh, Besa ini hadapi persoalan-persoalan dalam keluarga biasa saja e…“, begitu pernah saya berujar. Saya sangat yakin, kekuatan doa dan kedekatan dengan Tuhan menjadikan Bapa Besa seperti itu.

Adikku mengisahkan, kalau sebelum ia menutup mata abadi, ia meminta anak sulungnya yang adalah pastor (Romo Bonnie Hurint, Pr) untuk memberikan komunio. Romo Bonie yang saat itu berada di sampingnya, mengiyakan permintaan sang ayah. Hosti dan anggur sebagai lambang tubuh dan darah Tuhan disantapnya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. Itu adalah momen perjamuan terakhir beliau, ekaristi yang ia rindukan setiap hari. Segala sakitmu kau serahkan ke dalam tanganNya. „Akh, begitu damainya Besa engkau meninggal. Saya juga ingin seperti itu ketika hari itu tiba“. Hidupmu telah menjadi berkat bagi banyak orang, bagi Gereja dan Tanah Air – pro Deo et patria.  Saya jadi teringat lirik lagu ini:

Hidup ini adalah kesempatan Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri
Hidup ini hanya sementara

Oh Tuhan, pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Suatu saat aku tak berdaya
Hidup ini sudah jadi berkat

Besa, malam ini engkau berada bersama Tuhan pada perjamuan malam terakhirnya; sementara kami masih berjuang melewati hari-hari duka kami dengan air mata. Tapi kami percaya, engkau yang selama hidupmu tekun berdoa, tetap mendoakan kami darii Surga. Kami percaya, Dia yang tergantung di kayu salib menanggung segala sakit dan penderitaan kita – Dia yang terluka karena salah dan dosa kita akan menyembuhkan luka-luka kita dengan bilur-bilur lukaNya. Karena luka-lukaNya kita disembuhkan.

Besa, selamat jalan!

Terima Kasih untuk kesaksian dan teladan hidup. Terima Kasih telah mengingatkan kami untuk tetap mejaga keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa, ketika semua kami lebih sibuk dan menghabiskan waktu untuk mengumpulkan harta dan lupa memberi waktu untuk Tuhan.

Pana teti Tua Alla lango, tonga hau tede kame ana moen!

Vianey Lein – Erfurt, Jerman, 01. April 2021

Bildnachweis: oleh Katja Fissel dari Pixabay 

09 March 2021

BLICK AUS DEM FENSTER



                                                            Freude

                                                            Ehrlichkeit

                                                            Natürlichkeit

                                                            Stille

                                                            Tiefe

                                                            Entfernung

                                                            Ruhe
 

Alles beginnt von vorne


 

27 December 2020

NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 2)

 NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS

Suatu Renungan atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit

Bagian 2: Inkarnasi Logos dan Reinkarnasi sosio-politis

Kelahiran Yesus – meski dalam kelemahan dan keterbatas di kandang hewan – membawa kegembiraan dan harapan karena Ia adalah Mesias yang dinanti-nantikan „untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yan tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang“ (Luk 4,18-19).

Lukisan Natal dalam balutan budaya Sumba. Foto ©FB Jack Umbu Warata

Warta dan pemaknaan Natal seperti ini sama sekali tak terpikirkan oleh anak kecil seperti Tala. Bahkan untuk kebanyakan orang di kampung Tala „kegembiraan Natal dan berita pembebasan“ masih terdengar sunyi. Yang terpenting adalah „baju baru“ dan „pesta“ pora natal di lingkungan. Makna perayaan Natal telah bergeser dari kemilau kesederhanaan di Betlehem kepada glamor konsumerisme pasar. Dalam dialog tentang perjuangan Kakek Ama Tobi untuk dapat membeli baju natal buat sang cucu, penulis menunjukkan kepada pembaca tentang apa yang ia temukan, bahwa situasi kosmos - chaos itu tidak hanya terbatas pada proporsional ruang geometris dan askpek estetis atau keindahan, melainkan juga tentang keteraturan dalam sosialiatas hidup masyarakat, keteraturan dalam politik, sebagaimana Plato dalam Politeia: „negara yang adil membutuhkan jiwa-jiwa yang adil. Kota yang tertata rapi/adil dan jiwa yang tertata rapi/adil akan tercapai jika masing-masing bagian dari mereka memenuhi tugas dan tanggung jawab“ (Politeia 433b). Di sana ia berani menggeledah „ketidak-beresan“ (ketidakteraturan) dalam institusi gereja dan institusi pemerintah. Aspek kesederhanaan dan spirit kemiskinan bayi Yesus lalu ditempatkan pada kontras kemewahan gereja: mobil Fortuner buat Romo Deken, sumbangan untuk pesta Natal dari kepala kantor agama senilai 3 juta dan pungutan wajib dalam lingkungan Gereja.

Masyarakat lokal mungkin masih ingin religius memaknai natal dalam kesederhanaan, tetapi mereka diganjal oleh realitas kehidupan dalam gelora pergeseran nilai-nilai dan terkikisnya kearifan lokal, seperti Gereja yang tidak lagi berpihak pada kaum miskin dan tertindas – melainkan berkompromi dengan penguasa dan pemegang modal, dan Natal yang lebih mengutamakan penampilan lahiriah daripada perkara batin. Kakek Ama Tobi menjadi semakin tidak berdaya di hadapan Bapa Uskup, Romo Deken dan ketua komunitas basis sebagai simbol penjaga moral gereja dan anggota DPR dan kepada Kantor Agama sebagai aktor politik untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Dramaturgi politik yang dimainkan sudah tentu mencederai misi pembebasan dan penyelematan gereja. Inkarnasi diri Allah menjadi manusia adalah opsi keberpihakanNya kepada manusia yang lemah dan tak berdaya, yang terpinggirkan dari masyarakat. Palungan, kandang dan para gembala adalah simbol kedekatan dan keberpihakan Allah dengan orang-orang kecil dan miskin serta yang menderita. Dalam kesederhanaan Natal di Betlehem para penguasa dan pemimpin Gereja serta pemimpin masyarakat justru menyibukkan diri dengan hadiah-hadiah dan ritual pesta pora. Konsumerisme dan Kapitalisme sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari perayaan Natal. Metafor lain yang menunjukkan bahwa kapitalisme juga telah merambat sampai ke pelosok-pelosok kampung adalah „Coca-Cola“ (bdk. Cocacolonialism): „Ia mengambil sebotol Coca-Cola dan memberikannya kepada Ama Tobi“.

Bujuk untuk menenangkan Sang cucu menjadi klimaks cerita: „Yesus menerima semua yang mau berteman dengan dia, termasuk yang tak punya baju baru“. Begitu pula dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan (harus) bersifat telanjang, tak perlu dibajui sehingga tampak. Ia tak perlu didandani agar tampil dalam keaslian dan ketulusan.

Kenosis, Yesus yang mengosongkan dirinya, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia – Allah yang rela menjadi senasib dengan manusia – adalah hadiah terindah untuk semua umat. Natal: Allah menjadi manusia, Ia datang membawa terang ke dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan krisis ekologis. Natal: perayaan Tuhan hadir di kandang hina mengajarkan kita untuk tidak kehilangan iman akan dunia yang lebih baik, harapan untuk dapat mengubah dunia menjadi lebih berarti dan cinta pada mereka yang miskin dan membutuhkan. Meng-inkarnasikan diri dalam hidup kebersamaan, terlebih menjadi bagian dari kaum lemah dan terpinggirkan dan terlibat dalam perjuangan mereka adalah hadiah natal terindah.

Penulis telah berhasil menjembatani kisah Natal di Betlehem 2000-an tahun silam dengan mitos dan kesejarahan sebuah kampung terpencil pada masa lampau dan juga saat ini. Upaya mendialogkan Natal Tuhan dengan tutur cerita lokal Nogo Letek-Pelatin Lela merupakan pendekatan kontekstual dalam berteologi yang sangat dibutuhkan, ia tidak melulu berfokus pada teks-teks Alkitabiah atau doktrin-doktrin, melainkan terbuka dengan nilai-nilai kultural dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari agar dapat menolong berbagai pelayanan di gereja-gereja secara efektif (Bevans: 2009, 320). Kisah kelahiran Yesus dari Nazaret, kisah Penulis dan kisah Dunia bersua dalam simpul hic et nunc, kini dan di sini. Silvester berhasil melahirkan kembali mitos dan kesejarahan penduduk lokal. Dengan pisau bedah sastra ia berani mem-bidan-i kaum kecil yang telah lama bunting dengan aneka krisis dan persoalan-persoalan. Mereka dan juga alam tempat mereka hidup bagai wanita hamil yang ditinggal pergi setelah disetubuhi. Tentang hal ini, penulis menghadirkan figur Pelatin Lela yang disandingkan dengan ketokohan Santo Yosef: lebih menjadi pendengar yang setia ketimbang banyak bicara, tidak memarken diri atau menempatkan diri sebagai pusat perhatian, ya, dalam diam mereka melakukan cinta dan menebarkan damai. Usaha mencari dan menemukan jalinan kesamaan „benang merah“ antara warisan sabda leluhur (koda kirin) dalam budaya lokal dan ajaran-ajaran Kristen (logos: warta Ilahi) ini adalah proses „melahirkan“ kandungan „teologis-inkarnatoris“ yang terkandung dalam khazanah budaya (bdk. Ulin Agan:2006, 297-332]

Sebagai penutup, saya mengutik kata-kata penyair Angelus Silesius: „meskipun Christus ribuan kali lahir di Betlehem, tapi tidak dalam palung hatimu, maka kamu akan hilang selamanya“.

Selesai!

Baca bagian 1 di sini

Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur

NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 1)

 NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS

Suatu Renungan atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit

 Bagian 1: Inkarnasi Logos dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos

Dalam memaknai perayaan Natal tahun 2020 Silvester Hurit menulis sebuah cerpen di mana kisah kelahiran Tuhan Yesus – Isa al Masih, 2000-an tahun silam ditorehkan dalam kehidupan dan pengalaman seorang kakek Ama Tobi dan cucunya Tala („Baju Natal Buat Sang Cucu“, Jawa Pos, 25.12.2020). Dengan plot cerita campuran maju -mundur dan latar waktu masa lampau (sejarah dan mitos) dan masa kini yang disajikan, penulis berusaha memproyeksikan kisah Natal dan perayaannya pada dinding sejarah serta legenda atau cerita mitos dari kampung-kampung di wilayah Lewo Lema. Di sini penulis berhasil merancang sebuah konstruksi „teologi kontekstual“ dengan metode literer, meski ia dalam karyanya tidak menggunakan terminologi teologis-dogmatis seperti inkarnasi logos, teologi inkulturasi, atau pun eko-teologi. Dengan gayanya yang bebas mengalir ia mengekspresikan dinamika berteologi-kontekstual. Dalam tulisan ini, saya mencoba menunjukkan unsur-unsur teologis itu.


„Baju Natal buat Sang Cucu“ merupakan sebuah cerpen tentang alam pemikiran: alam pemikiran masa dulu dan kini, global (Eropa) dan lokal, mitologis dan teologis-ilmiah, tentang yang sakral dan profan. Proses kreativ penulis yang memadukan narasi teologis natal dan narasi tradisional Nogo Letek – Pelatin Lela menunjukkan bahwa penulis tidak hanya mengembara dalam dunia imajinasinya, tetapi juga tenggelam dalam eksplorasi intelektual, seperti mempelajari mitologi dan kesejarahan. Ia lalu tidak hanya menuliskan teks tetapi juga membaca konteks lalu menulisnya kembali sebagai sebuah teks baru, atau lebih tepat melahirkan logos baru.

Inkarnasi Logos dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos

Perayaan Natal merupakan kenangan akan misteri inkarnasi logos (Sabda) – penjelmaan diri Allah menjadi Manusia – Sabda yang menjadi daging – dalam diri Yesus Kristus yang lahir di kandang hina (bdk. Prolog Yohanes 1,1-18: „Pada mulanya“ adalah firman/logos). Logos mengacu pada diri Allah, lewat logos (dengan ber-sabda) segala ciptaan dijadikan, logos membawa terang untuk hidup. „Firman (logos) itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.“ Inkarnasi Logos tak terlepas dari seluruh penciptaan kosmos - dunia dan segala isinya (kosmos: keteraturan). Dalam taurat Musa, yakni dalam kitab Genesis juga tertulis: „Allah melihat bahwa semuanya itu baik“.

Silvester pada awal ceritanya melukiskan suasana kosmis/natur menjelang Natal, bahwa alam di bagian timur Flores itu indah dan subur: bunga Natal yang bermekar, sayuran tumbuh subur, padi yang bertunas, daun jagung yang bergoyang, hingga ular tanah yang begitu banyak. Keindahan dan kesuburan alam itulah yang menjadi tunas lahirnya nama Flores: cabo de flores – tanjung bunga, oleh orang portugis. Tapi, mengapa dalam memeriahkan perayaan Natal orang-orang di kampung selalu berkiblat pada pemandangan kosmis di Eropa seperti pohon cemara dan salju, bukan pada pohon Desember yang disebut Silvester, atau pada rinai hujan atau kemarau?

Lebih lanjut dalam babak mitis tentang Pelatin Lela relasi harmonis antara manusia-alam mendapat sorotan penting. Atas tuntutan saudara-saudara Nogo Letek: binatang-binatang hutan datang bergotong royong membantu Pelatin Lela mendirikan korke hanya dalam sehari; kura-kura membantunya mengisi cairan gula tuak ke wadahnya tanpa sedikit pun tercampur air lait; semut-semut bergotong royong memisahkan biji jewawut dengan pasir. Intimitas antara manusia dan ekosistem ini mengingatkan kita pada kisah Santo Fransiskus - pelindung para aktivis lingkungan hidup - yang menyapa ciptaan-ciptaan lain, bahkan hewan terkecil sekalipun sebagai saudara dan saudari. Paus Fransiskus dalam Laudato si (Ensiklik tentang perawatan rumah kita bersama) mengingatkan: „Keyakinan seperti [ini] tidak dapat diremehkan sebagai romantisme yang naif, … Jika kita memandang alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian akan timbul secara spontan“ (Laudato si 11). Begitu pula ketika hujan dan angin mengiringi rombongan Pelatin Lela dan istirnya Nogo Letek kembali ke kampung halaman, ketika binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi restu serta bunga-bunga mengeluarkan wewanginannya – bukanlah personifikasi literer yang diselipkan begitu saja. Potongan kisah mitis ini hendak menyingkapkan kearifan masyarakat lokal, yakni koeksistensi manusia dan alam yang harmonis. Keyakinan seperti ini telah ada dan dihidupi jauh sebelum perjumpaan dengan agama-agama yang dibawa para misionaris, sebelum penelitian atau studi ilmiah dalam setiap dekade teknologi modern dan era globalisasi: „Bagi orang sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi, beringin-beringin itulah yang menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat menyisakan sedikit keteduhan. Rembesan air membantu tanaman dari siksa kekeringan. … … binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun tertolong. … .. … Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah yang mendandani serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.“ Namun, Penulis tak lama bermegah dan bermeditasi dalam indahnya alam Flores. Suasana kosmos itu berubah jadi chaos: bencana alam tanah „longsor“, pohon „beringin ditebang“, „gagal panen“ akibat „kekeringan, hama padi, ulat yang mengeroposkan jagung, dan „serangan tikus“. Sebagaimana Yohanes Pembatis, tokoh Advent dan Natal yang menyerukan pertobatan di padang gurun, penulis dalam cerpennya menyerukan pertobatan ekologis. Jerami kering pada kandang, lembu dan keledai adalah simbol misi Allah dan pengalaman manusia dan semua ciptaan, bahwa Allah ingin agar alam yang telah menjadi chaos diselamatkan.

Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur

Bersambung ... bagian 2 di sini

Cerpen "Baju Natal buat sang Cucu" klik di sini

Foto/gambar:  ©Jawapos.com

24 December 2020

Epidemi Fanatisme: Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama

 MENYEMBUHKAN EPIDEMI FANATISME

Tentang Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama

Oleh: Vianey Soda Lein

Tenaga Pastoral pada Keuskupan Erfurt – Jerman

Alumnus Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman

 

Paham radikalisme dan intoleransi adalah sebuah persoalan yang kompleks dan diskursus tentangnya tidak hanya berhenti pada tataran agama maupun politik. Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang diskusi dengan mencoba membedah epidemi „kelainan“ beragama seperti terorisme dengan pisau klinisnya, dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal maupun sebagai entitas sosial sebagai bagian dari sebuah proses „menjadi“. Tesis umum yang menjadi postulat dari telaah psikologis adalah: aksi teror seperti bom bunuh diri merupakan gangguan jiwa. Seperti yang kita ketahui, deretan aksi teror dan alur diskusi tentangnya tidak bisa dilepas-pisahkan dari idelogi sebuah agama. Lantas, apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan konseling prefentiv sebuah fanatisme yang adalah akar dari terorisme?

Merujuk pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier, „Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan membunuh para pengikut Kristus.

Sudah pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain. Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah dari dogmatisme sempit dan dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah „kelainan“ dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan, adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita, bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“.

Berhadapan dengan epidemi fanatisme yang menular dan ditularkan melalui manipulasi sistematis dari atas mimbar agama dan podium politik, kita dituntut berpikir kritis untuk mengevaluasi setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala. Situasi di mana orang menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan kemiskinan), doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada anak-anak ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase „mendikte“. Ini merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis pendidikan dan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak dini menanamkan nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan. Kultur dialog semestinya ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat dewasa, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah lintas agama atau pertukaran pelajar dan mahasiswa lintas sekolah yang berbasis agama. Dengan demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan keyakinan eksklusivisme; dan dalam diri mereka tertanam kesadaran untuk menerima dan menghargai keberbedaan atau „keberlainan“. Ini merupakan langkah prefentiv untuk mencegah menyebarnya fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai langkah kuratif, setiap lembaga agama ditantang untuk mengevaluasi kembali visi dan misi atau nilai-nilai kebenaran agama. Agama -  dengan kemajemukan wajahnya - ada untuk kasih dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan permusuhan. Ini merupakan visi mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks prestasi sebuah misi agama tidak diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki suatu agama atau aliran kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan hukum cinta kasih. Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah sekadar sebuah keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan keselamatan yang dialami kini dan sini, hic et nunc. Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk segera mengalami kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam menghidupi agama: lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri sebagai iklan pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan mustahil, pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun tertutup.

Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. „Keberlainan“ bukanlah virus atau kuman yang ditakuti dan mesti dibasmi; justru segala keberbedaan dan kemajemukan adalah pil atau vaksin yang menyembuhkan kebutaan fanatisme dan vitamin yang menguatkan „stamina“ persatuan dan persaudaraan. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara untuk menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita adalah simptom „kelainan“ dalam beragama dan cepat atau lambat akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Berhadapan dengan epidemi „radikalisme“ agama yang kian menyebar, setiap kita dituntut dan ditantang untuk berani bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog. Mari beriman secara sehat(i): dengan hati dan ratio. ***

Bild: © koufogiorgos.de


16 November 2020

KREUZ - Maria Laach


 Kreuz -  Benediktinerabtei Maria Laach

Prag - Republik Ceko

 

Prag - Republik Ceko

Die Schönheit - Tentang Keindahan


 Die Schönheit der Dinge lebt in der Seele dessen, 

der sie betrachtet.

---

Keindahan itu hidup dalam jiwa mereka yang memandangnya


(David Hume)

DER WEG UND DAS ZIEL - Jalan dan Tujuan Hidup


 Nur wer sein Ziel kennt, findet den Weg

---

Hanya mereka yang mengenal tujuan menemukan Jalan

(Laozi)

ALT-WERDEN - Tentang Usia


Alte Leute sind gefährlich; sie haben keine Angst vor der Zukunft.
---

Orang-orang yang lanjut usia itu berbahaya:
mereka tidak takut akan masa depan

(George Bernard Shaw)

KINDER UND LIEBE - Anak-anak dan Cinta

 

Liebe kann man lernen. Und niemand lernt besser als Kinder. 

Wenn Kinder ohne Liebe aufwachsen, 

darf man sich nicht wundern, 

wenn sie selber lieblos werden.

---

Kasih itu dapat dipelajari. Dan tak seorang yang belajar lebih baik

daripada anak-anak.

Jika anak-anak bertumbuh tanpa kasih,

maka tak boleh heran,

jika mereka juga menjadi pribadi tanpa kasih.

(Astrid Lindgren)


Gera Hauptbahnhof - Stasiun Kereta - Gera


 Von hier beginnen wir unsere Reise

und irgendwann machen wir hier Halt

Auch unser Leben durchläuft 

verschiedene Stationen

Dort lernen wir Orte und Menschen kennen

----

Perjalanan kita bermula dari sini

dan pada saat terrtentu akan terhenti pula di sini

Hidup melewati berbagai pemberhentian

di sana kita berkenalan dengan tempat dan manusia


KEMBANG SEPATU


 Hidup adalah proses menuju mekar

Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan Pembacaan Cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“

 Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan

Pembacaan Cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“

 

Oleh:Vianey Lein*

 

Membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ karya Silvester Petara Hurit (Jawa Pos, 25.10.2020) adalah seperti membaca profil singkat sejarah misi katolik di Nusa Bunga – Flores, seperti yang dicatat oleh Karel Steenbrink dalam karyanya „Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942“ (Steenbrink: 2006). Sejarah misi katolik ditorehkan ke dalam „kenang“ pengalaman Fransiskus (bdk. Pemimpin tertinggi agama katolik: Paus Fransiskus). Untuk mendapat pemahaman yang menyeluruh tentang cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ dan apa yang hendak disuarakan penulis, orang perlu meninjau kembali secara ringkas aspek-aspek sejarah misi di Pulau Flores. Bagi yang pernah belajar atau mendengar tentang sejarah misi di Flores kesan dominan yang mungkin muncul saat membaca prosa naratif yang disuguhkan Silvester adalah, bahwa cerita ini bukan fiktif belaka. Terlepas dari kebenaran asumsi adanya „perkawinan“ fakta historis - daya imajiner penulis, cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ sesungguhnya menyuarakan beberapa kritik – tidak hanya tentang yang lampau, tetapi juga untuk masa kini dan masa akanan. Kekhasan dari cerpen ini adalah merekonstruksi narasi sejarah perjumpaan (konflik) antara misi katolik dan budaya lokal (agama natur). Ia semacam sebuah teks ratapan atas jejak-jejak tertinggal, sebuah gugat-protes atas silam yang kelam. Dalam pengertian ini, karya sastra yang dilahirkan Silvester dengan menguraikan serpihan-serpihan masa lalu itu mendapat forma dan substansi baru. Ini juga merupakan usaha penulis untuk menegaskan, bahwa budaya adalah DNA suatu komunitas masyarakat atau bangsa – dan penulis sendiri adalah juga tokoh yang giat „mewartakan“ dan melestarikan khazanah budaya seperti yang terkandung dalam mitos dan ritus.

Aku dan Yang Lain

Silvester tidak secara gamblang menyebutkan locus dari setiap peristiwa yang dinarasikan. Ia hanya menggunakan frase „belakang gunung“ untuk membahasakan latar ceritanya. Penyebutan (orang) „belakang gunung“ pada masa lampau (dan juga masih terdengar hingga kini di wilayah Larantuka-Flores Timur) bermaksud membedakannya dari (orang) muka/depan gunung (orang pantai). Orang „belakang gunung“ biasanya diidentikkan dengan kelompok tertinggal, jauh dari pusat perkembangan kota, orang kolot dan „belum beradab“ Dalam lalu lintas misi katolik pada masa lampau pengontrasan semacam ini terlihat juga dalam pemilahan tegas antara „kekatolikan“ dan „kekafiran“ (Steenbrink: 2006: 179): „orang belakang gunung“ identik dengan orang kafir, „orang yang berdiam dalam kegelapan“, mistis; sementara „orang pantai“ identik dengan orang yang dibaptis karena penyebaran ajaran iman pada masa lampau bermula dari wilayah pantai yang dirintis oleh para misionaris Eropa dan pedagang rempah. Prejudice seperti ini menempatkan „orang belakang gunung“ (orang kafir) sebagai ancaman yang membahayakan dan merintangi misi penyebaran agama: „Yang selalu jadi persoalan adalah orang-orang belakang gunung …“  oleh karena itu mesti ditentang dan dimusnahkan: „mereka melarang semua ekspresi budaya serta memberangus simbol-simbolnya, ...“ Hal ini sejalan seturut konsep misi di Flores (dan tentu daerah misi lainnya) pada masa itu (1556-1965): mentobatkan dan membaptis sebanyak mungkin orang kafir, di bawah payung Axioma „extra ecclesiam nulla salus“ – tidak ada keselamatan di luar Gereja. Pengulangan diksi „(Orang) kafir „dan „(orang) belakang gunung“ yang mendominasi cerpen bertindak sebagai lampu sorot yang menerangi pembaca untuk memahami jalur ide yang dipetakan penulis.

Institusi agama tidak memiliki otoritas untuk menghakimi dan menentukan keselamatan atau nasib seseorang. (Ber)agama sebagai salah satu cara-pandang hidup – dalam pemahaman yang amat sederhana - berusaha mengajar dan menuntun setiap orang untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, termasuk hidup berdampingan secara damai dalam kasih dengan kelompok yang berkeyakinan lain. „Yang lain“ bukanlah sebagai ancaman yang membahayakan kehidupan beragama. Perjumpaan dengan „yang lain“ merupakan ruang konfrontasi dan refleksi: „Bagaimana saya mengerti dan menilai agama atau budaya lain? Bagaimana saya mengerti dan menilai diri dan agama sendiri di hadapan agama dan budaya lain?“ Hermeneutika perjumpaan dengan „yang lain“ dalam terang pertanyaan ganda Schmidt-Leukel ini dalam bukunya „Gott ohne Grenzen“ - Tuhan tanpa Sekat (2005:34) adalah sebuah proses dialektis yang tidak hanya mengacu pada „pemahaman bahasa“, melainkan juga „pemahaman tindakan“, „nilai-nilai dan peristiwa“ serta „ekspresi“ cita rasa iman. Proses pemahaman ini menuntut keterbukaan untuk saling mengakui keberlainan dan kesediaan membangun dialog.

Misi dan Kolonialisme - Agama dan Negara

Dalam catatan sejarah, kristeninasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme barat yang mengusung trial Gold (kekayaan), Gospel (penyebaran agama/injil), Glory (kemuliaan/nama besar negara). Misi dan Kolonialisme ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan. Jadi, periodisasi penyebaran agama kristen di wilayah Flores bermula bersamaan dengan mendaratnya kapal dagang Portugis yang dirintis oleh para pedagang dan rahib Dominikan pada tahun 1600an (Piskaty: 1964: 44-49). Irisan kepentingan antara Misi (Agama) dan Kolonialisme (Negara) dilukiskan Silsvester lewat institusi-institusi pemerintah seperti militer/Hansip, birokrasi/camat fanatik dan sekolah/guru konservatif yang bergerak mengontrol proyek misi. Resistansi terhadap penguasa kolonial lalu melahirkan suatu narasi heroik. Dalam fragmen konflik antara penjajah dan penduduk lokal, penulis seakan membalikkan apa yang lazim dan dominan dalam narasi besar kolonialisme. Lukisan „kanibalisme“ adalah sinisme penulis atas anggapan, bahwa orang belakang gunung adalah pembunuh – bukan sebaliknya kaum penjajah yang mencaplok hak hidup dengan senjata dan modal. Perselingkuhan antara agama dan negara tidak hanya menjadi pintu masuk untuk mencaplok hasil bumi tetapi juga mengeksploitasi budaya dan menghancurkan tatanan kehidupan penduduk lokal yang hidup menyatu dengan alam. Agama ditunggangi dan membiarkan diri ditunggangi oleh nafsu kekuasaan bagi kepentingan segelintir orang; mimbar ajaran lalu disulap jadi podium provokasi dan penistaan, misi dan karya pelayanan dipelintir jadi proyek kapital, panggilan profetis pun layu dan mati dalam kubang harta dan jabatan, realitas penderitaan dan ketidakadilan dilegitimasi sebagai kutukan dari Tuhan: „Kekalahan orang-orang belakang gunung tersebut diyakini sebagai cara Allah membinasakan orang-orang kafir dan penyembah berhala“.

Pendidikan Agama: antara Teologi dan Filsafat

„Jasa“ dan nama besar ayah Fransiskus terpatri dalam keberhasilan mengatolikkan orang kampung dengan memanfaatkan sekolah dasar Katolik dengan guru-guru konservatif sebagai tenaga pendidik. Internalisasi nilai-nilai religius tidaklah penting: intinya murid-murid itu sudah dibaptis dan bersedia meninggalkan tradisi-budayanya. Inilah model pendidikan agama pada masa itu yang diangkat penulis dalam cerpennya.

Pendidikan agama bukanlah perkara „memenangkan“ (jiwa) seseorang untuk bergabung dalam komunitas agama tertentu (proses inisiasi) atau sebagai persiapan mengambil bagian dalam ritual keagamaan (seperti sakramen). Salah satu hal penting yang semestinya tidak boleh alpa dari ruang pendidikan agama adalah kesanggupan dan keberanian berpikir kritis tentang iman dan bersedia mempetanggungjawabkannya. Itu berarti, iman (fides) dan akal budi (ratio) - teologi dan filsafat, adalah dua kebijaksanaan yang bersahabat. Pendidikan agama semestinya memampukan para murid untuk masuk dalam ruang refleksi kritis tentang agama sendiri, juga tentang agama-agama serta pandangan dunia atau ideologi lainnya. Proses indoktrinasi tanpa refleksi dalam ruang-ruang belajar agama akan melumpuhkan kemampuan bertanya dan daya nalar berpikir kritis serta melahirkan lulusan-lulusan konservatif. Proses ajar-belajar agama lalu menjadi penanaman nilai-nilai radikalisme yang menutup diri bagi „yang lain“. Kekhwatiran serta protes penulis tentang kelam masa lalu dan buram masa depan berkaitan dengan pendidikan agama seperti itu ditulisnya dalam larik: „Lahir struktur dan kelas sosial baru yang dikendalikan oleh elite agama“.

Selepas membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“, saya mengamini bahwa Penulis sungguh bergumul dengan persoalan-persolan lokal, baik itu di masa lampau maupun di masa kini sehingga ia dengan jelas dan gamblang mencurahkan itu dalam karyanya. Tentu pembacaan ini muncul dari salah seorang pembaca di antara sekian pembaca lainnya.

Pada akhirnya, sesudah kita dicurahkan oleh „hujan pertama dari kampung orang-orang kafir“, kita ditantang untuk memandang horison tentang „yang lain“, berani dan sanggup mengalami, bahwa „hujan“ juga turun di kampung orang-orang kafir lainnya - tidak untuk pertama kali, tetapi berkali-kali karena perjumpaan dengan „yang lain“ adalah bagian yang tak terpisahkan diri dan cara meng-ada kita.

*Penulis Tenaga pastoral pada Keuskupan Erfurt-Jerman, alumnus Philosophisch- theologische Hochschule St. Augustin, Jerman.

Cerpen "Hujan Pertama dari Kampung Kafir" karya Silvester klik di sini

Gambar: © Jawa Pos.com

10 July 2020

BUMI SEMAKIN PANAS (Die Erde wird wärmer)




HARI BERGANTI DAN SEMUANYA BERLALU BAGAIKAN SEKAM DITIUP ANGIN HILANG SATU-SATU HILANG DITELAN SANG WAKTU TAK ADA MATA YANG MENATAP BENCANA SEMAKIN DEKAT TAK ADA BIBIR YANG BERKATA BADAI KAN MENYAPU RATA YANG ADA HANYA PUING-PUING KEPINTARAN DI BAWAH MATAHARI DAN BURUNG NAZAR PUN TAKAN BERDATANGAN TUK SAMPAIKAN S‘LAMAT MALAM ______
Der Tag kommt und geht und alles geht vorbei Wie die Spreu vom Wind getrieben Stück für Stück verloren Verloren in der Zeit Kein Auge sieht Die Katastrophe ist schon nah Auch keine Lippen die sagen Der Sturm fegt alles davon Was bleibt sind die Trümmer der Klugheit Unter der Sonne Auch der Nazar-Vogel kommt nicht mehr vorbei Um "gute Nacht" zu wünschen

TOBA



Di danau ini aku belajar memeluk gelombang
Digulungnya lembar- lembar rindu yang belum tuntas kau baca

Di danau ini aku belajar mencium bibir pantai
Ditinggalkan basah pada jantung karang

Di danau ini aku belajar memandang jejak-jejak ombak yang silam
Diciptanya jarak-jarak tanpa alamat
Kepadanya tanganku melambai lesu

Di danau ini aku belajar mendengar angin
Dihanyutkan nama dan salammu antara buih-buih mencengkeram

Di danau ini aku belajar menyusuri wajahmu berpasir
Tergores kenangan demi kenangan

Di danau ini aku belajar menggaram duka
Diiris pisau jarak menembus rusuk-rusuk karang

Di danau ini aku belajar menebar jala
Yang pernah kita sulam di Simarjarunjung
Menabur kembang yang kita tanam di Sapo Juma Tongging

Di danau ini aku belajar mencintai badai yang menyimpan tangis
Mengerang di dasar rumahmu abadi
Mengegenang di jalan samudera menuju sana
Menggetarkan batu-batu rindu
Melengking ayat-ayat doa yang tercecer di buritan hidup.

INA MARIA SENAREN | Barmherzige Mutter Maria



Bila kita mendengarkan lantunan lagu-lagu Maria dalam bahasa Lamaholot, kita akan mendapatkan kesan nada-nada sendu dan lirik pinta keluh-kesah yang dominan. Dalam hal ini figur Maria ditempatkan tidak jauh dari realitas penderitaan manusia. Sebagaimana Maria yang tetap setia mendampingi Putranya Yesus hingga memanggkunya kembali di bawah salib, umat Lamaholot meyakini bahwa Maria adalah sosok ibu (Lamaholot: „Ina“) yang tetap peduli dan cinta pada anaknya. Dalam kerangka berpikir budaya Lamaholot, irisan yang erat antara Maria dan situasi penderitaan manusia yang dilukiskan dalam lagu-lagu merupakan kristalisasi dari pengalaman wanita/ibu (Lamaholot) pada umumnya yang siap berkorban dan menderita (dalam budaya Lamaholot dikenal Mitos „Tonu Wujo“, tentang seorang perempuan yang mengorbankan dirinya bagi kelangsungan hidup banyak orang.) Dalam figur Maria sebagai Bunda yang menderita bersama Putranya Yesus orang katolik Lamaholot menemukan ekspresi penderitaan mereka sendiri dan di dalamnya mereka menemukan keteduhan dalam arung pencaharian. Dengan demikian, lirik-lirik lagu Maria dalam bahasa Lamaholot mengingatkan kita bahwa „Maria memang dapat menjadi rekan seperjalanan yang sangat baik dalam beriman karena dia mengalami pergulatan dan penderitaan seperti yang mesti dialami semua manusia. Namun, seorang beriman yang sejati tidak berhenti pada Maria. Bersama Maria dia mengarahkan pandangannya pada Allah“ (Kleden, Paulus Budi: 2011).

-------------------------------*****--------------------------------


Marienlieder in der Lamaholot-Sprache (Flores, Ost-NusaTenggara, Indonesien) sind sehr häufig von Traurigkeit und Leiden gezeichnet. In den Liedern erfahren wir, dass Maria nicht weit von der Realität des menschlichen Leids ist. Als Mutter (Lamaholot-Sprache: „Ina) ist Maria immer da bei ihren Kindern. Diese (Glaubens)vorstellung ist auch durch Lamaholot-Kultur geprägt: man kennt den Mythos „Tonu Wujo“ über den Ursprung des Reises aus den Körperteilen eines getöteten Mädchens. Christliche Lamaholot-Völker glauben, dass sie mit Maria in der Lage sind, Krisenzeiten besser zu überstehen. „Ein wahrer Gläubiger hört jedoch nicht bei Maria auf.“ Marienlieder in der Lamaholot-Sprache mallen uns ein Bild als Weg, wie unser Glaube gelingen kann: mit Maria kommen wir zu Jesus.

Vianey Lein

31 March 2020

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 27 Maret 2020
(Bacaan Injil diambil dari Markus 4:35-41)
“Ketika senja datang” (Mrk 4:35). Perikop Injil yang baru saja kita dengar dimulai seperti ini. Selama berminggu-minggu sekarang hari sudah senja. Kegelapan tebal telah menyelimuti lapangan-lapangan kita, jalan-jalan kita, dan kota-kota kita; kegelapan itu telah mengambil alih hidup kita, memenuhi segala sesuatu dengan keheningan yang menulikan telinga dan kehampaan yang menyusahkan, yang menghentikan segala sesuatu yang melintas; kita merasakannya di udara, kita memperhatikannya dalam tingkah laku orang-orang, tatapan yang mereka berikan. Kita mendapati diri takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Bacaan Injil, kita terperangah oleh badai yang tak terduga dan bergejolak. Kita telah menyadari bahwa kita berada di perahu yang sama, kita semua rapuh dan bingung, tetapi pada saat yang sama, kita semua dipanggil untuk bersatu, kita masing-masing perlu menghibur sesama, adalah penting dan dibutuhkan. Di perahu ini … kita semua berada. Sama seperti para murid, yang dengan cemas seiya sekata, mengatakan “Kita binasa” (ayat 38), jadi kita juga telah menyadari bahwa kita tidak dapat terus memikirkan diri kita sendiri, tetapi bersama-sama kita semata dapat melakukan hal ini.
Mudahnya mengenali diri kita sendiri dalam cerita ini. Yang lebih sulit untuk dipahami adalah sikap Yesus. Sementara para murid-Nya secara alami begitu ketakutan dan putus asa, Ia berdiri di buritan, di bagian perahu yang akan tenggelam terlebih dulu. Dan apa yang dilakukan-Nya? Meskipun terjadi badai, Ia tidur nyenyak, percaya pada Bapa; inilah satu-satunya waktu dalam Injil kita melihat Yesus sedang tidur. Ketika Ia bangun, setelah menenangkan badai dan air, Ia menegur para murid : “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (ayat 40).
Marilah kita berusaha memahaminya. Berupa apakah kurangnya iman para murid, jika dibandingkan dengan keyakinan Yesus? Mereka tidak berhenti percaya kepada-Nya; bahkan, mereka memanggil-Nya. Tetapi kita melihat bagaimana mereka memanggil-Nya : “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (ayat 38). Apakah Engkau tidak peduli : mereka berpikir bahwa Yesus tidak berkepentingan pada mereka, tidak peduli pada mereka. Salah satu hal yang paling menyakitkan kita dan keluarga-keluarga kita ketika kita mendengar dikatakan : “Apakah kamu tidak peduli padaku?”. Ungkapan yang melukai dan melancarkan badai di dalam hati kita. Ungkapan itu akan mengguncang Yesus juga. Karena Ia, melebihi siapa pun, peduli pada kita. Memang, begitu mereka memanggil-Nya, Ia menyelamatkan murid-murid-Nya dari keputusasaan mereka.
Badai menyingkap kerentanan kita dan membuka kedok kepastian palsu dan berlebihan yang di sekitarnya kita telah menyusun jadwal harian kita, rancangan kita, kebiasaan kita, dan berbagai prioritas. Ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita telah memperkenankan hal-hal yang sungguh memelihara, menopang dan memperkuat hidup kita dan masyarakat kita menjadi pudar dan suram. Prahara itu menelanjangi semua gagasan yang sudah kita kemas dan melupakan apa yang memelihara jiwa bangsa kita; semua upaya yang membius kita dengan cara berpikir dan bertindak yang diperkirakan akan “menyelamatkan” kita, tetapi sebaliknya terbukti tidak mampu menempatkan kita berkenaan dengan akar kita dan tetap menghidupkan ingatan akan orang-orang yang telah mendahului kita. Kita menghilangkan antibodi yang kita butuhkan untuk menghadapi kesulitan.
Dalam badai ini, bagian muka penyederhanaan gagasan yang dikenal luas ini yang dengannya kita menyamarkan ego kita, yang senantiasa mengkhawatirkan citra kita, telah lenyap, sekali lagi mengungkapkan (berbahagianya) kepemilikan bersama, yang daripadanya kita tidak dapat tercerabut : kepemilikan kita sebagai saudara dan saudari.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Tuhan, sabda-Mu petang ini melanda kami dan memandang kami, kami semua. Di dunia ini, yang Engkau kasihi melebihi yang kami lakukan, kami telah berjalan maju dengan sangat cepat, merasa kuat dan mampu melakukan apa pun. Keserakahan demi keuntungan, kami membiarkan diri terjebak dalam berbagai hal, dan terpikat oleh ketergesa-gesaan. Kami tidak berhenti pada teguran-Mu terhadap kami, kami tidak terguncang oleh peperangan atau ketidakadilan di seluruh dunia, kami juga tidak mendengarkan jeritan kaum miskin atau planet kita yang kurang sehat. Kami terus melanjutkan tanpa menghiraukannya, berpikir bahwa kami akan tetap sehat di dunia yang sakit. Sekarang kami berada di dalam lautan badai, kami mohon kepada-Mu : “Bangunlah, Tuhan!”.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Tuhan, Engkau sedang memanggil kami, memanggil kami untuk beriman. Orang-orang tidak begitu yakin bahwa Engkau ada, tetapi datang kepada-Mu dan percaya kepada-Mu. Masa Prapaskah ini panggilan-Mu begitu bergema : “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu” (Yl 2:12). Engkau sedang memanggil kami untuk menggunakan masa pencobaan ini sebagai masa untuk memilih. Masa Prapaskah bukan masa penghakiman-Mu, tetapi masa penghakiman kami : masa untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, masa untuk memisahkan apa yang perlu dari apa yang tidak perlu. Masa Prapaskah adalah masa untuk memulihkan hidup kami ke jalan yang berkaitan dengan-Mu, Tuhan, dan sesama. Kami dapat melihat begitu banyak rekan yang menjadi teladan untuk perjalanan, yang, meskipun takut, telah bereaksi dengan memberikan hidup mereka. Inilah kekuatan Roh Kudus yang tercurah dan terbentuk dalam penyangkalan diri yang teguh dan berlimpah. Kehidupan dalam Roh Kuduslah yang dapat menebus, menghargai, dan menunjukkan bagaimana kehidupan kita terjalin bersama dan didukung oleh orang-orang kebanyakan – seringkali orang-orang yang terlupakan – yang tidak muncul dalam berita utama surat kabar dan majalah atau di panggung besar pertunjukan terbaru, tetapi yang tanpa ragu-ragu pada hari-hari ini menorehkan peristiwa-peristiwa penting di zaman kita : para dokter, para perawat, para pegawai pasar swalayan, para petugas kebersihan, para pengasuh, para penyedia transportasi, para aparat hukum dan ketertiban, para sukarelawan, para imam, para pelaku hidup bakti dan banyak lagi lainnya yang telah memahami bahwa tidak seorang pun mencapai keselamatan dengan diri mereka sendiri. Dalam menghadapi begitu banyak penderitaan, di mana perkembangan otentik bangsa kita dinilai, kita mengalami doa imami Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21). Berapa banyak orang yang setiap hari sedang menjalankan kesabaran dan menawarkan pengharapan, memiliki kepedulian untuk tidak menabur kepanikan tetapi berbagi tanggung jawab. Berapa banyak ayah, ibu, kakek-nenek, dan guru yang sedang menunjukkan kepada anak-anak kami, dalam gerakan-gerakan kecil sehari-hari, bagaimana menghadapi dan mengendalikan krisis dengan menyesuaikan rutinitas mereka, menengadah dan membina doa. Berapa banyak yang sedang memanjatkan dan mempersembahkan doa pengantaraan demi kebaikan semua orang. Doa dan pelayanan yang teduh : inilah senjata kemenangan kami.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Iman dimulai ketika kita menyadari bahwa kita membutuhkan keselamatan. Kita tidak memadai; dengan diri kita sendiri, kita terperosok : kita membutuhkan Tuhan seperti para nakhoda yang membutuhkan bintang pada zaman dahulu kala. Marilah kita mengundang Yesus ke dalam perahu kehidupan kita. Marilah kita menyerahkan ketakutan kita kepada-Nya sehingga Ia bisa menaklukkan ketakutan tersebut. Seperti para murid, kita akan mengalami bahwa berada bersama-Nya di atas perahu tidak akan ada kekaraman. Karena inilah kekuatan Allah : berbalik kepada segala yang baik yang terjadi pada diri kita, bahkan segala yang buruk. Ia membawa ketenangan ke dalam badai kita, karena bersama Allah hidup tidak pernah mati.
Tuhan meminta kita dan, di tengah-tengah prahara kita, mengundang kita untuk membangkitkan kembali dan melaksanakan kesetiakawanan dan harapan yang mampu memberikan kekuatan, dukungan, dan makna pada masa-masa ini ketika segalanya tampak menggelepar. Tuhan bangun untuk membangunkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kita. Kita memiliki sebuah jangkar : melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan. Kita memiliki sebuah kemudi : dengan salib-Nya, kita telah ditebus. Kita memiliki harapan : melalui salib-Nya, kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tidak ada satupun dan seorang pun dapat memisahkan kita dari kasih-Nya yang sedang menebus. Di tengah-tengah keterasingan ketika kita sedang menderita karena kurangnya kelembutan dan kesempatan untuk bertemu, serta kita mengalami kehilangan begitu banyak hal, marilah kita sekali lagi mendengarkan pemberitaan yang menyelamatkan kita : Ia telah bangkit dan hidup di samping kita. Tuhan meminta kita dari salib-Nya untuk menemukan kembali kehidupan yang menanti kita, memandang mereka yang memandang kita, memperkuat, mengenali dan menumbuhkan rahmat yang hidup di dalam diri kita. Janganlah kita memadamkan nyala api yang pudar (bdk. Yes 42:3) yang tidak pernah goyah, dan marilah kita memperkenankan harapan untuk dinyalakan kembali.
Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk memeluk segala kesulitan saat ini, meninggalkan sejenak keinginan kita akan kekuasaan dan harta guna memberikan ruang bagi daya cipta yang hanya dapat diilhami oleh Roh Kudus. Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk menciptakan ruang di mana setiap orang dapat mengenali bahwa mereka dipanggil, serta memungkinkan bentuk-bentuk baru keramahan, persaudaraan, dan kesetiakawanan. Melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan guna memeluk harapan dan memperkenankannya memperkuat dan menopang segala tindak tanduk dan segala cara yang mungkin untuk membantu kita melindungi diri dan sesama. Memeluk Tuhan guna memeluk harapan : itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari ketakutan dan memberi kita harapan.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Saudara-saudari yang terkasih, dari tempat yang menceritakan iman Petrus yang sekokoh batu karang ini, petang ini saya ingin mempercayakan kamu semua kepada Tuhan, melalui perantaraan Maria, Kesehatan Umat dan Bintang Lautan yang Berbadai. Dari deretan pilar yang memeluk kota Roma dan seluruh dunia ini, semoga berkat Allah turun atasmu sebagai pelukan penghiburan. Tuhan, semoga Engkau memberkati dunia, berikanlah kesehatan bagi tubuh kami dan hiburlah hati kami. Engkau meminta kami untuk tidak takut. Namun iman kami lemah dan kami takut. Tetapi Engkau, Tuhan, tidak akan meninggalkan kami di bawah kekuasaan badai. Bersabdalah lagi kepada kami : “Janganlah kamu takut” (Mat 28:5). Dan kami, bersama-sama dengan Petrus, “menyerahkan segala kekhawatiran kami kepada-Mu, sebab Engkau yang memelihara kami” (bdk. 1 Ptr 5:7).
(dialihbahasakan dari  Vatican.va oleh Peter Suriadi – Bogor, 28 Maret 2020)