NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS
Suatu Renungan
atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit
Dalam memaknai perayaan Natal tahun 2020 Silvester Hurit menulis sebuah cerpen di mana kisah kelahiran Tuhan Yesus – Isa al Masih, 2000-an tahun silam ditorehkan dalam kehidupan dan pengalaman seorang kakek Ama Tobi dan cucunya Tala („Baju Natal Buat Sang Cucu“, Jawa Pos, 25.12.2020). Dengan plot cerita campuran maju -mundur dan latar waktu masa lampau (sejarah dan mitos) dan masa kini yang disajikan, penulis berusaha memproyeksikan kisah Natal dan perayaannya pada dinding sejarah serta legenda atau cerita mitos dari kampung-kampung di wilayah Lewo Lema. Di sini penulis berhasil merancang sebuah konstruksi „teologi kontekstual“ dengan metode literer, meski ia dalam karyanya tidak menggunakan terminologi teologis-dogmatis seperti inkarnasi logos, teologi inkulturasi, atau pun eko-teologi. Dengan gayanya yang bebas mengalir ia mengekspresikan dinamika berteologi-kontekstual. Dalam tulisan ini, saya mencoba menunjukkan unsur-unsur teologis itu.
„Baju Natal buat Sang Cucu“ merupakan sebuah cerpen tentang alam pemikiran: alam pemikiran masa dulu dan kini, global (Eropa) dan lokal, mitologis dan teologis-ilmiah, tentang yang sakral dan profan. Proses kreativ penulis yang memadukan narasi teologis natal dan narasi tradisional Nogo Letek – Pelatin Lela menunjukkan bahwa penulis tidak hanya mengembara dalam dunia imajinasinya, tetapi juga tenggelam dalam eksplorasi intelektual, seperti mempelajari mitologi dan kesejarahan. Ia lalu tidak hanya menuliskan teks tetapi juga membaca konteks lalu menulisnya kembali sebagai sebuah teks baru, atau lebih tepat melahirkan logos baru.
Inkarnasi Logos
dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos
Perayaan
Natal merupakan kenangan akan misteri inkarnasi logos (Sabda) –
penjelmaan diri Allah menjadi Manusia – Sabda yang menjadi daging – dalam diri
Yesus Kristus yang lahir di kandang hina (bdk. Prolog Yohanes 1,1-18: „Pada
mulanya“ adalah firman/logos). Logos mengacu pada diri Allah,
lewat logos (dengan ber-sabda) segala ciptaan dijadikan, logos membawa
terang untuk hidup. „Firman (logos)
itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat
kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal
Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.“ Inkarnasi Logos tak terlepas dari seluruh penciptaan kosmos - dunia dan
segala isinya (kosmos: keteraturan). Dalam taurat Musa, yakni dalam
kitab Genesis juga tertulis: „Allah melihat bahwa semuanya itu baik“.
Silvester pada awal ceritanya melukiskan suasana
kosmis/natur menjelang Natal, bahwa alam di bagian timur Flores itu indah dan
subur: bunga Natal yang bermekar, sayuran tumbuh subur, padi yang bertunas,
daun jagung yang bergoyang, hingga ular tanah yang begitu banyak. Keindahan dan
kesuburan alam itulah yang menjadi tunas lahirnya nama Flores: cabo de flores –
tanjung bunga, oleh orang portugis. Tapi, mengapa dalam memeriahkan perayaan
Natal orang-orang di kampung selalu berkiblat pada pemandangan kosmis di Eropa
seperti pohon cemara dan salju, bukan pada pohon Desember yang disebut Silvester,
atau pada rinai hujan atau kemarau?
Lebih lanjut dalam babak mitis tentang Pelatin
Lela relasi harmonis antara manusia-alam
mendapat sorotan penting. Atas tuntutan saudara-saudara Nogo Letek: binatang-binatang hutan
datang bergotong royong membantu Pelatin Lela mendirikan korke hanya dalam
sehari; kura-kura membantunya mengisi cairan gula tuak ke wadahnya tanpa
sedikit pun tercampur air lait; semut-semut bergotong royong memisahkan biji
jewawut dengan pasir. Intimitas
antara manusia dan ekosistem ini mengingatkan kita pada kisah Santo Fransiskus
- pelindung para aktivis lingkungan hidup - yang menyapa ciptaan-ciptaan lain,
bahkan hewan terkecil sekalipun sebagai saudara dan saudari. Paus Fransiskus dalam Laudato si (Ensiklik tentang perawatan rumah kita bersama)
mengingatkan: „Keyakinan seperti [ini] tidak dapat
diremehkan sebagai romantisme yang naif, … Jika kita memandang alam dan
lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi
berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan
dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga
tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika
kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian
akan timbul secara spontan“ (Laudato si 11). Begitu pula ketika hujan dan
angin mengiringi rombongan Pelatin Lela dan istirnya Nogo Letek kembali ke
kampung halaman, ketika binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi
restu serta bunga-bunga mengeluarkan wewanginannya – bukanlah personifikasi literer yang
diselipkan begitu saja. Potongan kisah mitis ini hendak menyingkapkan kearifan
masyarakat lokal, yakni koeksistensi manusia dan alam yang harmonis. Keyakinan
seperti ini telah ada dan dihidupi jauh sebelum perjumpaan dengan agama-agama
yang dibawa para misionaris, sebelum penelitian atau studi ilmiah dalam setiap
dekade teknologi modern dan era globalisasi: „Bagi orang sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi,
beringin-beringin itulah yang menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat
menyisakan sedikit keteduhan. Rembesan air membantu tanaman dari siksa
kekeringan. … … binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun
tertolong. … .. … Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah yang mendandani
serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.“ Namun, Penulis tak lama bermegah dan bermeditasi dalam indahnya alam
Flores. Suasana kosmos itu berubah
jadi chaos: bencana alam tanah „longsor“,
pohon „beringin ditebang“, „gagal panen“ akibat „kekeringan, hama padi, ulat
yang mengeroposkan jagung, dan „serangan tikus“. Sebagaimana Yohanes Pembatis,
tokoh Advent dan Natal yang menyerukan pertobatan di padang gurun, penulis dalam
cerpennya menyerukan pertobatan ekologis. Jerami kering pada kandang, lembu dan
keledai adalah simbol misi Allah dan pengalaman manusia dan semua ciptaan,
bahwa Allah ingin agar alam yang telah menjadi chaos diselamatkan.
Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur
Foto/gambar: ©Jawapos.com
No comments:
Post a Comment