PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

27 December 2020

NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 1)

 NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS

Suatu Renungan atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit

 Bagian 1: Inkarnasi Logos dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos

Dalam memaknai perayaan Natal tahun 2020 Silvester Hurit menulis sebuah cerpen di mana kisah kelahiran Tuhan Yesus – Isa al Masih, 2000-an tahun silam ditorehkan dalam kehidupan dan pengalaman seorang kakek Ama Tobi dan cucunya Tala („Baju Natal Buat Sang Cucu“, Jawa Pos, 25.12.2020). Dengan plot cerita campuran maju -mundur dan latar waktu masa lampau (sejarah dan mitos) dan masa kini yang disajikan, penulis berusaha memproyeksikan kisah Natal dan perayaannya pada dinding sejarah serta legenda atau cerita mitos dari kampung-kampung di wilayah Lewo Lema. Di sini penulis berhasil merancang sebuah konstruksi „teologi kontekstual“ dengan metode literer, meski ia dalam karyanya tidak menggunakan terminologi teologis-dogmatis seperti inkarnasi logos, teologi inkulturasi, atau pun eko-teologi. Dengan gayanya yang bebas mengalir ia mengekspresikan dinamika berteologi-kontekstual. Dalam tulisan ini, saya mencoba menunjukkan unsur-unsur teologis itu.


„Baju Natal buat Sang Cucu“ merupakan sebuah cerpen tentang alam pemikiran: alam pemikiran masa dulu dan kini, global (Eropa) dan lokal, mitologis dan teologis-ilmiah, tentang yang sakral dan profan. Proses kreativ penulis yang memadukan narasi teologis natal dan narasi tradisional Nogo Letek – Pelatin Lela menunjukkan bahwa penulis tidak hanya mengembara dalam dunia imajinasinya, tetapi juga tenggelam dalam eksplorasi intelektual, seperti mempelajari mitologi dan kesejarahan. Ia lalu tidak hanya menuliskan teks tetapi juga membaca konteks lalu menulisnya kembali sebagai sebuah teks baru, atau lebih tepat melahirkan logos baru.

Inkarnasi Logos dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos

Perayaan Natal merupakan kenangan akan misteri inkarnasi logos (Sabda) – penjelmaan diri Allah menjadi Manusia – Sabda yang menjadi daging – dalam diri Yesus Kristus yang lahir di kandang hina (bdk. Prolog Yohanes 1,1-18: „Pada mulanya“ adalah firman/logos). Logos mengacu pada diri Allah, lewat logos (dengan ber-sabda) segala ciptaan dijadikan, logos membawa terang untuk hidup. „Firman (logos) itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.“ Inkarnasi Logos tak terlepas dari seluruh penciptaan kosmos - dunia dan segala isinya (kosmos: keteraturan). Dalam taurat Musa, yakni dalam kitab Genesis juga tertulis: „Allah melihat bahwa semuanya itu baik“.

Silvester pada awal ceritanya melukiskan suasana kosmis/natur menjelang Natal, bahwa alam di bagian timur Flores itu indah dan subur: bunga Natal yang bermekar, sayuran tumbuh subur, padi yang bertunas, daun jagung yang bergoyang, hingga ular tanah yang begitu banyak. Keindahan dan kesuburan alam itulah yang menjadi tunas lahirnya nama Flores: cabo de flores – tanjung bunga, oleh orang portugis. Tapi, mengapa dalam memeriahkan perayaan Natal orang-orang di kampung selalu berkiblat pada pemandangan kosmis di Eropa seperti pohon cemara dan salju, bukan pada pohon Desember yang disebut Silvester, atau pada rinai hujan atau kemarau?

Lebih lanjut dalam babak mitis tentang Pelatin Lela relasi harmonis antara manusia-alam mendapat sorotan penting. Atas tuntutan saudara-saudara Nogo Letek: binatang-binatang hutan datang bergotong royong membantu Pelatin Lela mendirikan korke hanya dalam sehari; kura-kura membantunya mengisi cairan gula tuak ke wadahnya tanpa sedikit pun tercampur air lait; semut-semut bergotong royong memisahkan biji jewawut dengan pasir. Intimitas antara manusia dan ekosistem ini mengingatkan kita pada kisah Santo Fransiskus - pelindung para aktivis lingkungan hidup - yang menyapa ciptaan-ciptaan lain, bahkan hewan terkecil sekalipun sebagai saudara dan saudari. Paus Fransiskus dalam Laudato si (Ensiklik tentang perawatan rumah kita bersama) mengingatkan: „Keyakinan seperti [ini] tidak dapat diremehkan sebagai romantisme yang naif, … Jika kita memandang alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian akan timbul secara spontan“ (Laudato si 11). Begitu pula ketika hujan dan angin mengiringi rombongan Pelatin Lela dan istirnya Nogo Letek kembali ke kampung halaman, ketika binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi restu serta bunga-bunga mengeluarkan wewanginannya – bukanlah personifikasi literer yang diselipkan begitu saja. Potongan kisah mitis ini hendak menyingkapkan kearifan masyarakat lokal, yakni koeksistensi manusia dan alam yang harmonis. Keyakinan seperti ini telah ada dan dihidupi jauh sebelum perjumpaan dengan agama-agama yang dibawa para misionaris, sebelum penelitian atau studi ilmiah dalam setiap dekade teknologi modern dan era globalisasi: „Bagi orang sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi, beringin-beringin itulah yang menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat menyisakan sedikit keteduhan. Rembesan air membantu tanaman dari siksa kekeringan. … … binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun tertolong. … .. … Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah yang mendandani serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.“ Namun, Penulis tak lama bermegah dan bermeditasi dalam indahnya alam Flores. Suasana kosmos itu berubah jadi chaos: bencana alam tanah „longsor“, pohon „beringin ditebang“, „gagal panen“ akibat „kekeringan, hama padi, ulat yang mengeroposkan jagung, dan „serangan tikus“. Sebagaimana Yohanes Pembatis, tokoh Advent dan Natal yang menyerukan pertobatan di padang gurun, penulis dalam cerpennya menyerukan pertobatan ekologis. Jerami kering pada kandang, lembu dan keledai adalah simbol misi Allah dan pengalaman manusia dan semua ciptaan, bahwa Allah ingin agar alam yang telah menjadi chaos diselamatkan.

Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur

Bersambung ... bagian 2 di sini

Cerpen "Baju Natal buat sang Cucu" klik di sini

Foto/gambar:  ©Jawapos.com

No comments:

Post a Comment