PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

31 March 2020

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 27 Maret 2020
(Bacaan Injil diambil dari Markus 4:35-41)
“Ketika senja datang” (Mrk 4:35). Perikop Injil yang baru saja kita dengar dimulai seperti ini. Selama berminggu-minggu sekarang hari sudah senja. Kegelapan tebal telah menyelimuti lapangan-lapangan kita, jalan-jalan kita, dan kota-kota kita; kegelapan itu telah mengambil alih hidup kita, memenuhi segala sesuatu dengan keheningan yang menulikan telinga dan kehampaan yang menyusahkan, yang menghentikan segala sesuatu yang melintas; kita merasakannya di udara, kita memperhatikannya dalam tingkah laku orang-orang, tatapan yang mereka berikan. Kita mendapati diri takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Bacaan Injil, kita terperangah oleh badai yang tak terduga dan bergejolak. Kita telah menyadari bahwa kita berada di perahu yang sama, kita semua rapuh dan bingung, tetapi pada saat yang sama, kita semua dipanggil untuk bersatu, kita masing-masing perlu menghibur sesama, adalah penting dan dibutuhkan. Di perahu ini … kita semua berada. Sama seperti para murid, yang dengan cemas seiya sekata, mengatakan “Kita binasa” (ayat 38), jadi kita juga telah menyadari bahwa kita tidak dapat terus memikirkan diri kita sendiri, tetapi bersama-sama kita semata dapat melakukan hal ini.
Mudahnya mengenali diri kita sendiri dalam cerita ini. Yang lebih sulit untuk dipahami adalah sikap Yesus. Sementara para murid-Nya secara alami begitu ketakutan dan putus asa, Ia berdiri di buritan, di bagian perahu yang akan tenggelam terlebih dulu. Dan apa yang dilakukan-Nya? Meskipun terjadi badai, Ia tidur nyenyak, percaya pada Bapa; inilah satu-satunya waktu dalam Injil kita melihat Yesus sedang tidur. Ketika Ia bangun, setelah menenangkan badai dan air, Ia menegur para murid : “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (ayat 40).
Marilah kita berusaha memahaminya. Berupa apakah kurangnya iman para murid, jika dibandingkan dengan keyakinan Yesus? Mereka tidak berhenti percaya kepada-Nya; bahkan, mereka memanggil-Nya. Tetapi kita melihat bagaimana mereka memanggil-Nya : “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (ayat 38). Apakah Engkau tidak peduli : mereka berpikir bahwa Yesus tidak berkepentingan pada mereka, tidak peduli pada mereka. Salah satu hal yang paling menyakitkan kita dan keluarga-keluarga kita ketika kita mendengar dikatakan : “Apakah kamu tidak peduli padaku?”. Ungkapan yang melukai dan melancarkan badai di dalam hati kita. Ungkapan itu akan mengguncang Yesus juga. Karena Ia, melebihi siapa pun, peduli pada kita. Memang, begitu mereka memanggil-Nya, Ia menyelamatkan murid-murid-Nya dari keputusasaan mereka.
Badai menyingkap kerentanan kita dan membuka kedok kepastian palsu dan berlebihan yang di sekitarnya kita telah menyusun jadwal harian kita, rancangan kita, kebiasaan kita, dan berbagai prioritas. Ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita telah memperkenankan hal-hal yang sungguh memelihara, menopang dan memperkuat hidup kita dan masyarakat kita menjadi pudar dan suram. Prahara itu menelanjangi semua gagasan yang sudah kita kemas dan melupakan apa yang memelihara jiwa bangsa kita; semua upaya yang membius kita dengan cara berpikir dan bertindak yang diperkirakan akan “menyelamatkan” kita, tetapi sebaliknya terbukti tidak mampu menempatkan kita berkenaan dengan akar kita dan tetap menghidupkan ingatan akan orang-orang yang telah mendahului kita. Kita menghilangkan antibodi yang kita butuhkan untuk menghadapi kesulitan.
Dalam badai ini, bagian muka penyederhanaan gagasan yang dikenal luas ini yang dengannya kita menyamarkan ego kita, yang senantiasa mengkhawatirkan citra kita, telah lenyap, sekali lagi mengungkapkan (berbahagianya) kepemilikan bersama, yang daripadanya kita tidak dapat tercerabut : kepemilikan kita sebagai saudara dan saudari.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Tuhan, sabda-Mu petang ini melanda kami dan memandang kami, kami semua. Di dunia ini, yang Engkau kasihi melebihi yang kami lakukan, kami telah berjalan maju dengan sangat cepat, merasa kuat dan mampu melakukan apa pun. Keserakahan demi keuntungan, kami membiarkan diri terjebak dalam berbagai hal, dan terpikat oleh ketergesa-gesaan. Kami tidak berhenti pada teguran-Mu terhadap kami, kami tidak terguncang oleh peperangan atau ketidakadilan di seluruh dunia, kami juga tidak mendengarkan jeritan kaum miskin atau planet kita yang kurang sehat. Kami terus melanjutkan tanpa menghiraukannya, berpikir bahwa kami akan tetap sehat di dunia yang sakit. Sekarang kami berada di dalam lautan badai, kami mohon kepada-Mu : “Bangunlah, Tuhan!”.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Tuhan, Engkau sedang memanggil kami, memanggil kami untuk beriman. Orang-orang tidak begitu yakin bahwa Engkau ada, tetapi datang kepada-Mu dan percaya kepada-Mu. Masa Prapaskah ini panggilan-Mu begitu bergema : “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu” (Yl 2:12). Engkau sedang memanggil kami untuk menggunakan masa pencobaan ini sebagai masa untuk memilih. Masa Prapaskah bukan masa penghakiman-Mu, tetapi masa penghakiman kami : masa untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, masa untuk memisahkan apa yang perlu dari apa yang tidak perlu. Masa Prapaskah adalah masa untuk memulihkan hidup kami ke jalan yang berkaitan dengan-Mu, Tuhan, dan sesama. Kami dapat melihat begitu banyak rekan yang menjadi teladan untuk perjalanan, yang, meskipun takut, telah bereaksi dengan memberikan hidup mereka. Inilah kekuatan Roh Kudus yang tercurah dan terbentuk dalam penyangkalan diri yang teguh dan berlimpah. Kehidupan dalam Roh Kuduslah yang dapat menebus, menghargai, dan menunjukkan bagaimana kehidupan kita terjalin bersama dan didukung oleh orang-orang kebanyakan – seringkali orang-orang yang terlupakan – yang tidak muncul dalam berita utama surat kabar dan majalah atau di panggung besar pertunjukan terbaru, tetapi yang tanpa ragu-ragu pada hari-hari ini menorehkan peristiwa-peristiwa penting di zaman kita : para dokter, para perawat, para pegawai pasar swalayan, para petugas kebersihan, para pengasuh, para penyedia transportasi, para aparat hukum dan ketertiban, para sukarelawan, para imam, para pelaku hidup bakti dan banyak lagi lainnya yang telah memahami bahwa tidak seorang pun mencapai keselamatan dengan diri mereka sendiri. Dalam menghadapi begitu banyak penderitaan, di mana perkembangan otentik bangsa kita dinilai, kita mengalami doa imami Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21). Berapa banyak orang yang setiap hari sedang menjalankan kesabaran dan menawarkan pengharapan, memiliki kepedulian untuk tidak menabur kepanikan tetapi berbagi tanggung jawab. Berapa banyak ayah, ibu, kakek-nenek, dan guru yang sedang menunjukkan kepada anak-anak kami, dalam gerakan-gerakan kecil sehari-hari, bagaimana menghadapi dan mengendalikan krisis dengan menyesuaikan rutinitas mereka, menengadah dan membina doa. Berapa banyak yang sedang memanjatkan dan mempersembahkan doa pengantaraan demi kebaikan semua orang. Doa dan pelayanan yang teduh : inilah senjata kemenangan kami.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Iman dimulai ketika kita menyadari bahwa kita membutuhkan keselamatan. Kita tidak memadai; dengan diri kita sendiri, kita terperosok : kita membutuhkan Tuhan seperti para nakhoda yang membutuhkan bintang pada zaman dahulu kala. Marilah kita mengundang Yesus ke dalam perahu kehidupan kita. Marilah kita menyerahkan ketakutan kita kepada-Nya sehingga Ia bisa menaklukkan ketakutan tersebut. Seperti para murid, kita akan mengalami bahwa berada bersama-Nya di atas perahu tidak akan ada kekaraman. Karena inilah kekuatan Allah : berbalik kepada segala yang baik yang terjadi pada diri kita, bahkan segala yang buruk. Ia membawa ketenangan ke dalam badai kita, karena bersama Allah hidup tidak pernah mati.
Tuhan meminta kita dan, di tengah-tengah prahara kita, mengundang kita untuk membangkitkan kembali dan melaksanakan kesetiakawanan dan harapan yang mampu memberikan kekuatan, dukungan, dan makna pada masa-masa ini ketika segalanya tampak menggelepar. Tuhan bangun untuk membangunkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kita. Kita memiliki sebuah jangkar : melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan. Kita memiliki sebuah kemudi : dengan salib-Nya, kita telah ditebus. Kita memiliki harapan : melalui salib-Nya, kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tidak ada satupun dan seorang pun dapat memisahkan kita dari kasih-Nya yang sedang menebus. Di tengah-tengah keterasingan ketika kita sedang menderita karena kurangnya kelembutan dan kesempatan untuk bertemu, serta kita mengalami kehilangan begitu banyak hal, marilah kita sekali lagi mendengarkan pemberitaan yang menyelamatkan kita : Ia telah bangkit dan hidup di samping kita. Tuhan meminta kita dari salib-Nya untuk menemukan kembali kehidupan yang menanti kita, memandang mereka yang memandang kita, memperkuat, mengenali dan menumbuhkan rahmat yang hidup di dalam diri kita. Janganlah kita memadamkan nyala api yang pudar (bdk. Yes 42:3) yang tidak pernah goyah, dan marilah kita memperkenankan harapan untuk dinyalakan kembali.
Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk memeluk segala kesulitan saat ini, meninggalkan sejenak keinginan kita akan kekuasaan dan harta guna memberikan ruang bagi daya cipta yang hanya dapat diilhami oleh Roh Kudus. Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk menciptakan ruang di mana setiap orang dapat mengenali bahwa mereka dipanggil, serta memungkinkan bentuk-bentuk baru keramahan, persaudaraan, dan kesetiakawanan. Melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan guna memeluk harapan dan memperkenankannya memperkuat dan menopang segala tindak tanduk dan segala cara yang mungkin untuk membantu kita melindungi diri dan sesama. Memeluk Tuhan guna memeluk harapan : itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari ketakutan dan memberi kita harapan.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Saudara-saudari yang terkasih, dari tempat yang menceritakan iman Petrus yang sekokoh batu karang ini, petang ini saya ingin mempercayakan kamu semua kepada Tuhan, melalui perantaraan Maria, Kesehatan Umat dan Bintang Lautan yang Berbadai. Dari deretan pilar yang memeluk kota Roma dan seluruh dunia ini, semoga berkat Allah turun atasmu sebagai pelukan penghiburan. Tuhan, semoga Engkau memberkati dunia, berikanlah kesehatan bagi tubuh kami dan hiburlah hati kami. Engkau meminta kami untuk tidak takut. Namun iman kami lemah dan kami takut. Tetapi Engkau, Tuhan, tidak akan meninggalkan kami di bawah kekuasaan badai. Bersabdalah lagi kepada kami : “Janganlah kamu takut” (Mat 28:5). Dan kami, bersama-sama dengan Petrus, “menyerahkan segala kekhawatiran kami kepada-Mu, sebab Engkau yang memelihara kami” (bdk. 1 Ptr 5:7).
(dialihbahasakan dari  Vatican.va oleh Peter Suriadi – Bogor, 28 Maret 2020)

No comments:

Post a Comment