PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

10 July 2020

INA MARIA SENAREN | Barmherzige Mutter Maria



Bila kita mendengarkan lantunan lagu-lagu Maria dalam bahasa Lamaholot, kita akan mendapatkan kesan nada-nada sendu dan lirik pinta keluh-kesah yang dominan. Dalam hal ini figur Maria ditempatkan tidak jauh dari realitas penderitaan manusia. Sebagaimana Maria yang tetap setia mendampingi Putranya Yesus hingga memanggkunya kembali di bawah salib, umat Lamaholot meyakini bahwa Maria adalah sosok ibu (Lamaholot: „Ina“) yang tetap peduli dan cinta pada anaknya. Dalam kerangka berpikir budaya Lamaholot, irisan yang erat antara Maria dan situasi penderitaan manusia yang dilukiskan dalam lagu-lagu merupakan kristalisasi dari pengalaman wanita/ibu (Lamaholot) pada umumnya yang siap berkorban dan menderita (dalam budaya Lamaholot dikenal Mitos „Tonu Wujo“, tentang seorang perempuan yang mengorbankan dirinya bagi kelangsungan hidup banyak orang.) Dalam figur Maria sebagai Bunda yang menderita bersama Putranya Yesus orang katolik Lamaholot menemukan ekspresi penderitaan mereka sendiri dan di dalamnya mereka menemukan keteduhan dalam arung pencaharian. Dengan demikian, lirik-lirik lagu Maria dalam bahasa Lamaholot mengingatkan kita bahwa „Maria memang dapat menjadi rekan seperjalanan yang sangat baik dalam beriman karena dia mengalami pergulatan dan penderitaan seperti yang mesti dialami semua manusia. Namun, seorang beriman yang sejati tidak berhenti pada Maria. Bersama Maria dia mengarahkan pandangannya pada Allah“ (Kleden, Paulus Budi: 2011).

-------------------------------*****--------------------------------


Marienlieder in der Lamaholot-Sprache (Flores, Ost-NusaTenggara, Indonesien) sind sehr häufig von Traurigkeit und Leiden gezeichnet. In den Liedern erfahren wir, dass Maria nicht weit von der Realität des menschlichen Leids ist. Als Mutter (Lamaholot-Sprache: „Ina) ist Maria immer da bei ihren Kindern. Diese (Glaubens)vorstellung ist auch durch Lamaholot-Kultur geprägt: man kennt den Mythos „Tonu Wujo“ über den Ursprung des Reises aus den Körperteilen eines getöteten Mädchens. Christliche Lamaholot-Völker glauben, dass sie mit Maria in der Lage sind, Krisenzeiten besser zu überstehen. „Ein wahrer Gläubiger hört jedoch nicht bei Maria auf.“ Marienlieder in der Lamaholot-Sprache mallen uns ein Bild als Weg, wie unser Glaube gelingen kann: mit Maria kommen wir zu Jesus.

Vianey Lein

No comments:

Post a Comment