PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

24 December 2020

Epidemi Fanatisme: Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama

 MENYEMBUHKAN EPIDEMI FANATISME

Tentang Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama

Oleh: Vianey Soda Lein

Tenaga Pastoral pada Keuskupan Erfurt – Jerman

Alumnus Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman

 

Paham radikalisme dan intoleransi adalah sebuah persoalan yang kompleks dan diskursus tentangnya tidak hanya berhenti pada tataran agama maupun politik. Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang diskusi dengan mencoba membedah epidemi „kelainan“ beragama seperti terorisme dengan pisau klinisnya, dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal maupun sebagai entitas sosial sebagai bagian dari sebuah proses „menjadi“. Tesis umum yang menjadi postulat dari telaah psikologis adalah: aksi teror seperti bom bunuh diri merupakan gangguan jiwa. Seperti yang kita ketahui, deretan aksi teror dan alur diskusi tentangnya tidak bisa dilepas-pisahkan dari idelogi sebuah agama. Lantas, apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan konseling prefentiv sebuah fanatisme yang adalah akar dari terorisme?

Merujuk pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier, „Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan membunuh para pengikut Kristus.

Sudah pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain. Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah dari dogmatisme sempit dan dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah „kelainan“ dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan, adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita, bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“.

Berhadapan dengan epidemi fanatisme yang menular dan ditularkan melalui manipulasi sistematis dari atas mimbar agama dan podium politik, kita dituntut berpikir kritis untuk mengevaluasi setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala. Situasi di mana orang menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan kemiskinan), doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada anak-anak ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase „mendikte“. Ini merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis pendidikan dan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak dini menanamkan nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan. Kultur dialog semestinya ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat dewasa, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah lintas agama atau pertukaran pelajar dan mahasiswa lintas sekolah yang berbasis agama. Dengan demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan keyakinan eksklusivisme; dan dalam diri mereka tertanam kesadaran untuk menerima dan menghargai keberbedaan atau „keberlainan“. Ini merupakan langkah prefentiv untuk mencegah menyebarnya fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai langkah kuratif, setiap lembaga agama ditantang untuk mengevaluasi kembali visi dan misi atau nilai-nilai kebenaran agama. Agama -  dengan kemajemukan wajahnya - ada untuk kasih dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan permusuhan. Ini merupakan visi mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks prestasi sebuah misi agama tidak diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki suatu agama atau aliran kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan hukum cinta kasih. Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah sekadar sebuah keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan keselamatan yang dialami kini dan sini, hic et nunc. Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk segera mengalami kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam menghidupi agama: lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri sebagai iklan pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan mustahil, pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun tertutup.

Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. „Keberlainan“ bukanlah virus atau kuman yang ditakuti dan mesti dibasmi; justru segala keberbedaan dan kemajemukan adalah pil atau vaksin yang menyembuhkan kebutaan fanatisme dan vitamin yang menguatkan „stamina“ persatuan dan persaudaraan. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara untuk menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita adalah simptom „kelainan“ dalam beragama dan cepat atau lambat akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Berhadapan dengan epidemi „radikalisme“ agama yang kian menyebar, setiap kita dituntut dan ditantang untuk berani bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog. Mari beriman secara sehat(i): dengan hati dan ratio. ***

Bild: © koufogiorgos.de


No comments:

Post a Comment