MENYEMBUHKAN EPIDEMI FANATISME
Tentang
Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama
Oleh: Vianey Soda Lein
Tenaga Pastoral pada Keuskupan Erfurt – Jerman
Alumnus
Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman
Paham
radikalisme dan intoleransi adalah sebuah persoalan yang kompleks dan diskursus
tentangnya tidak hanya berhenti pada tataran agama maupun politik. Psikologi
sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang diskusi
dengan mencoba membedah epidemi „kelainan“ beragama seperti terorisme dengan
pisau klinisnya, dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal
maupun sebagai entitas sosial sebagai bagian dari sebuah proses „menjadi“. Tesis
umum yang menjadi postulat dari telaah psikologis adalah: aksi teror seperti bom
bunuh diri merupakan gangguan jiwa. Seperti yang kita ketahui, deretan aksi
teror dan alur diskusi tentangnya tidak bisa dilepas-pisahkan dari idelogi
sebuah agama. Lantas, apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan
konseling prefentiv sebuah fanatisme yang adalah akar dari terorisme?
Merujuk
pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang
fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat
menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang
intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal
- sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin
memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier,
„Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya
bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan
membunuh para pengikut Kristus.
Sudah
pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan
kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain.
Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah dari dogmatisme sempit dan
dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah „kelainan“
dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti
cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama
Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini
berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di
Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan,
adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya
adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita,
bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu
semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“.
Berhadapan
dengan epidemi fanatisme yang menular dan ditularkan melalui manipulasi
sistematis dari atas mimbar agama dan podium politik, kita dituntut berpikir
kritis untuk mengevaluasi setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala.
Situasi di mana orang menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan
kemiskinan), doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada
anak-anak ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase
„mendikte“. Ini merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis
pendidikan dan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak
dini menanamkan nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan. Kultur dialog
semestinya ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat
dewasa, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke
sekolah-sekolah lintas agama atau pertukaran pelajar dan mahasiswa lintas sekolah
yang berbasis agama. Dengan demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan
keyakinan eksklusivisme; dan dalam diri mereka tertanam kesadaran untuk
menerima dan menghargai keberbedaan atau „keberlainan“. Ini merupakan langkah
prefentiv untuk mencegah menyebarnya fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai
langkah kuratif, setiap lembaga agama ditantang untuk mengevaluasi kembali visi
dan misi atau nilai-nilai kebenaran agama. Agama - dengan kemajemukan wajahnya - ada untuk kasih
dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan permusuhan. Ini merupakan visi
mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks prestasi sebuah misi agama tidak
diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki suatu agama atau aliran
kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan dengan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan hukum cinta kasih.
Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah sekadar sebuah
keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan keselamatan yang
dialami kini dan sini, hic et nunc.
Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk segera mengalami
kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam menghidupi agama:
lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri sebagai iklan
pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan mustahil,
pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun tertutup.
Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. „Keberlainan“ bukanlah virus atau kuman yang ditakuti dan mesti dibasmi; justru segala keberbedaan dan kemajemukan adalah pil atau vaksin yang menyembuhkan kebutaan fanatisme dan vitamin yang menguatkan „stamina“ persatuan dan persaudaraan. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara untuk menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita adalah simptom „kelainan“ dalam beragama dan cepat atau lambat akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Berhadapan dengan epidemi „radikalisme“ agama yang kian menyebar, setiap kita dituntut dan ditantang untuk berani bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog. Mari beriman secara sehat(i): dengan hati dan ratio. ***
Bild: © koufogiorgos.de
No comments:
Post a Comment