SAMBUT
BARU – KOMUNI PERTAMA DALAM KACAMATA ATA MOKANTARAK
(Sebuah
Refleksi Kritis)
Perayaan Sambut Baru atau
Komuni Pertama di stasi kita, Stasi Lewokung, tinggal menghitung hari.
Keluarga-keluarga sudah pada sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk salah
satu perayaan penting ini. Di sini saya coba mengulas topik „Sambut Baru“
berdasarkan pengamatan saya di kampung: apa dan bagaimana pemahaman masyarakat
tentang perayaan ini. Saya mencoba menguraikannya ke dalam beberapa aspek:
Pertama, Aspek Religius.
Sudah tentu – dan semua kita
tahu itu – bahwa „Sambut Baru“ merupakan salah satu sakramen dalam ajaran dan
tradisi Gereja Katolik sebagai tanda dan sarana keselamat. Karena itu, Sambut
Baru pertama-pertama dan terutama adalah sebuah perayaan iman: kita merayakan INKARNASI
diri Allah; Allah yang menjadi Manusia dalam diri Yesus Kristus yang masuk ke
dalam situasi kehidupan kita (harapan dan kecemasan, kebahagiaan dan
penderitaan) dan membawa kita kepada keselamatan lewat saksi hidupnya,
penderitaan salib dan kengkitan-Nya. Misteri iman akan keselamatan inilah yang
kita rayakan dalam EKARISTI/MISA sebagai kenangan akan TUHAN yang wafat dan
bangkit. Dengan demikian, SAMBUT BARU adalah sebuah momen PEMBERIAN DIRI TUHAN
untuk anak-anak dan keluarga. Tuhan datang untuk menemui mereka dan membawa
hadiah yang istimewa, yakni TUBUHNYA sendiri. Dalam konteks pemahaman iman
seperti ini, kita berharap agar para anak calon sambut baru tidak hanya sekali
datang menyambut RAHMAT (Latin=gratia,
gratis) keselamatan itu (Komuni
PERTAMA), tetapi juga ada Komuni Kedua Ketiga, Keempat, dan seterusnya
sepanjang hidup.
Kedua, Aspek Sosiologis
Secara kasat mata kita bisa
melihat bahwa, Sambut Baru juga merupakan perayaan kebersamaan, perayaan
kekeluargaan. Pengertian seperti ini juga menegaskan makna dari KOMUNI itu
sendiri, yakni PERSEKUTUAN – tidak hanya sebgai umat ALLAH tetapi juga sebagai
satu keluarga besar. Semua kita pasti berharap, agar perayaan KOMUNI PERTAMA
itu dapat menjadi momen yang mempersatukan seluruh anggota keluarga untuk
mensyukuri HADIAH yang diperoleh anak kita dalam Sakramen Ekaristi/Komuni
Pertama.
Ketiga, Aspek Kultural/Adat
Aspek ini juga beririsan
dengan aspek sosiologis, seperti yang telah diuraikan di atas. Sistem perkawinan
adat Lamaholot LIKAT TELO telah memetakan kita sebagai masyarakat adat ke dalam
jaringan suku-suku yang kompleks, yang mana, di dalamnya tersirat tugas dan
tanggung jawab, baik sebagai NANA JADI-UA, OPU/BELAKE-INA/BINE, dll. Perayaan
Sambut Baru, yang pada tempat pertama adalah perayaan iman, ditransformasikan
ke dalam kultis adat oleh karena PERAN yang disematkan dalam relasi antar-suku.
Jadi semacam sebuah AUTOMATISME beban moril yang diletakkan ke atas pundak
setiap suku.
Keempat, Aspek EKonomi
Perayaan Sambut Baru yang
bermula (dan bermuara) pada MIMBAR dan ALTAR pun mengalir ke ruang-ruang PASAR
(ekonomi). Ini merupakan hukum ekonomi pasar yang tak bisa kita sangkal bahwa,
suksesnya sebuah perayaan menuntut nominal rupiah yang tentunya tidak sedikit.
Mulai dari iuran sambut baru, perlengkapan perayaan di gereja seperti lilin dan
alkitab, busana sambut baru sampai pada kebutuhan pesta (beras, ternak
sembelihan [sapi, babi, kambing, ayam, ikan], bumbu-bumbu, kue, minuman, rokok,
dll) - semuanya itu butuh uang. Atas dasar biaya pengeluaran pesta itu, kita
lalu terjebak dalam pemikiran utilitarisme yang menekan aspek manfaat, bahwa
saya harus mendapatkan kembali apa yang telah saya keluarkan. Semua biaya
pengeluaran untuk Sambut Baru menjadi semacam saham atau investasi yang saya
tanam untuk kemudian mendapatkan laba yang lebih besar nanti saat perayaan
puncak. Lebih parah lagi, ada orang tua yang menunda pesta agar lebih banyak
undangan yang hadir – meski itu tidak memberi garansi keuntungan atau paling
tidak pengembalian modal.
Kesimpulan
Aspek-aspek yang saya paparkan
disini muncul dari pengamatan dan pengalaman pribadi. Mungkin bisa dikoreksi
atau ditambahkan lagi aspek lainnya. Dan saya secara sengaja mengurutkan point-point
dengan sebuah kesadaran akan skala prioritas: mana yang lebih dinomorsatukan
DALAM MEMAKNAI perayaan Sambut Baru. Boleh jadi, ada yang membalikkan urutan
yang ada: ekonomi, kultur/adat, kebersamaan, religius sesuai dengan apa yang ia
rasakan. Namun, kita berharap agar yang seperti ini tidak ada. Mari kita kembalikan inti perayaan
Sambut Baru - Komuni Pertama pada makna yang sessungguhnya. Dan hal ini
mengandaikan jika setiap kita tidak mengutamakan prestise atau harga diri dan
kedudukan, melainkan jauh lebih peka dan solider terhadap situasi orang tua
anak-anak sambut baru yang tidak lain adalah keluarga kita sendiri.
Kritik dan Diskusi
Satu lagi catatan tambahan
yang mungkin kita diskusikan bersama yakni, fenomena pemberian „diskon“ (gratifikasi)
kepada para guru sehari setelah perayaan sambut baru berupa ayam (kayu api,
kue, dll). Saya sendiri tidak tahu pasti, kapan praktek seperti ini dijalankan
dan atas pendasaran apa terus dipelihara (hingga kini?). Mungkin kita jarang
mendengar keluhan dari orang tua anak sambut baru karena merasa mereka malu dan
segan. Dan oleh karena beban moral yang dan semacam tanggung jawab yang
dituntut, apa pun situasinya, mereka akan tetap berjuang, bahkan harus
mengorbankan apa yang tidak semestinya. Di sini saya mengangkat topi dan
menaruh hormat dan bangga pada orang tua anak sambut baru, bahwa dalam
kesusahan dan kesulitan serta kesibukan perayaan , mereka masih berjuang untuk
para guru.
Saya pribadi pernah mendengar beberapa keluhan
secara tersembunyi, tetapi toh mereka penuhi juga tuntutan itu karena perasaan
malu dan sikap menghargai. Mungkin kita tidak sampai berpikir, bahwa bisa jadi
ayam yang diberikan kepada para guru semestinya dibutuhkan untuk perayaan di
rumah atau keluarga. Namun karena demi tuntutan itu, mereka mengorbankannya
untuk para guru. Atau bahkan ada keluarga yang mesti merogoh saku untuk membeli
lagi ayam buat para guru karena ayam dibutuhkan untuk perayaan di rumah pun
tidak cukup.
Mungkin ada yang berdalih,
bahwa itu merupakan tanda terima kasih untuk para guru. Kita justru berpikir
secara kritis dan dengan jiwa besar, bahwa tanda TERIMA KASIH mesti lahir dari
spontanitas/sukerela – bukan atas tuntutan atau desakan dari pihak luar. Itu
adalah tanda TERIMA KASIH yang tulus. Bahkan, jika merujuk pada makna Sambut
Baru, kita justru seharusnya memberi hadiah kepada anak sambut baru,
sebagaimana yang diajarkan YESUS dengan memberikan TUBUHNYA sendiri bagi
mereka. Kehadiran kita di rumah atau tenda pesta anak-anak sambut baru justru
sungguh merupakan hadiah kita yang jauh lebih berarti dan berharga untuk
berbagi kebahagian bersama mereka, apa pun itu „bentuk“ pestanya, yang mana
sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang atau situasi ekonomi dan
kebutuhan setiap keluarga.
Akhirnya, selamat dan proficiat
untuk adik-adik calon Sambut Baru! Selamat menyongsong Yesus, Sahabat kalian,
yang akan setia bersama kalian dalam ziarah iman dan ziarah hidup selanjutnya. Dan
untuk orang tua dan keluarga mereka kita doakan, agar seluruh persiapan
berjalan dengan baik, mulai dari persiapan hati dan batin sampai pada urusan
„likat“.
Salam
Lewo Tana _ Vian Lein