PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

15 January 2019

ARNOLD JANSSEN DAN RISIKO SEBUAH PILIHAN


Pada Februari 1876 Arnold Janssen menulis pada „Kleiner Herz-Jesu-Bote“ - Bentara Hati Kecil Kudus Yesus (sebuah majalah yang dirintisnya sendiri pada tahun 1874 untuk membahasa tema seputar misi dan pembangunan rumah induk SVD di Steyl ): „Pada akhirnya, apa yang menyangkut rumah (misi) kita ini, ia merupakan sebuah tanaman kecil yang masih terlalu lemah …. … Tapi toh kita yakin, bahwa dengan ramhat TUHAN, ia dapat tumbuh dan berkembang. Seorang anak kecil dapat tumbuh menjadi pemuda yang berani, dan pada akhirnya menjadi pria yang tangguh“.

Pengakuan Arnold Janssen yang ditulisnya pada bagian akhir artikelnya itu menggambarkan, bahwa pembagunan rumah misi di Steyl merupakan pekerjaan yang tidak ringan; apalagi di tengah situasi Kulturkampf di Jerman niat itu tentu mendatangkan risiko besar. Arnold Janssen pun mengakui itu: „Saya pergi ke Steyl dengan memikul sebuah batu besar di punggung“; ditambah lagi dengan dukungan yang sangat sedikit dari rekan-rekannya, kritik maupun komentar sinis: „Saya sepertinya diseret di belukar duri“ (Verbum SVD 2003).

Namun semuanya itu tidak membatalkan niat Arnold. Mengambil segala risiko itu merupakan bagian dari jawabannya atas rahmat kasih Allah yang telah membanjiri hidupnya, yang telah membentuk dirinya. Arnold Janssen berani keluar dari zona nyaman kehidupannya, keluar dari „dirinya“ sendiri untuk menjadi duta kasih Ilahi, agar „hati Yesus hidup dalam hati semua orang“ - "Vivat Cor Jesu in Cordibus Hominum! 

Selamat merayakan Pesta St. Arnoldus Janssen, terkhusus buat anggota Serikat Sabda Allah (SVD). Memulai sesuatu yang „baru“ tentu selalu menuai pro maupun kontra, sebagiamana yang dialami St. Arnold Janssen. Dan hidup terkadang mengharuskan kita untuk menerima risiko atas setiap jawaban atau keputusan yang kita ambil: Hidup adalah sebuah pilihan.

Semoga seluruh karya misi yang dirintis turut membentuk masa depan penuh harap bagi orang-orang yang dilayani,, terlebih bagi mereka yang membutuhkan, kaum terpinggir dan yang sering diabaikan dalam gereja dan masyarakat!


Dan „semoga Hati Yesus hidup dalam hati semua kita". VL

14 January 2019

SAMBUT BARU – KOMUNI PERTAMA DALAM KACAMATA ATA MOKANTARAK (Sebuah Refleksi Kritis)


SAMBUT BARU – KOMUNI PERTAMA DALAM KACAMATA ATA MOKANTARAK
(Sebuah Refleksi Kritis)

Perayaan Sambut Baru atau Komuni Pertama di stasi kita, Stasi Lewokung, tinggal menghitung hari. Keluarga-keluarga sudah pada sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk salah satu perayaan penting ini. Di sini saya coba mengulas topik „Sambut Baru“ berdasarkan pengamatan saya di kampung: apa dan bagaimana pemahaman masyarakat tentang perayaan ini. Saya mencoba menguraikannya ke dalam beberapa aspek:

Pertama, Aspek Religius.

Sudah tentu – dan semua kita tahu itu – bahwa „Sambut Baru“ merupakan salah satu sakramen dalam ajaran dan tradisi Gereja Katolik sebagai tanda dan sarana keselamat. Karena itu, Sambut Baru pertama-pertama dan terutama adalah sebuah perayaan iman: kita merayakan INKARNASI diri Allah; Allah yang menjadi Manusia dalam diri Yesus Kristus yang masuk ke dalam situasi kehidupan kita (harapan dan kecemasan, kebahagiaan dan penderitaan) dan membawa kita kepada keselamatan lewat saksi hidupnya, penderitaan salib dan kengkitan-Nya. Misteri iman akan keselamatan inilah yang kita rayakan dalam EKARISTI/MISA sebagai kenangan akan TUHAN yang wafat dan bangkit. Dengan demikian, SAMBUT BARU adalah sebuah momen PEMBERIAN DIRI TUHAN untuk anak-anak dan keluarga. Tuhan datang untuk menemui mereka dan membawa hadiah yang istimewa, yakni TUBUHNYA sendiri. Dalam konteks pemahaman iman seperti ini, kita berharap agar para anak calon sambut baru tidak hanya sekali datang menyambut RAHMAT (Latin=gratia, gratis) keselamatan itu  (Komuni PERTAMA), tetapi juga ada Komuni Kedua Ketiga, Keempat, dan seterusnya sepanjang hidup.

Kedua, Aspek Sosiologis

Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa, Sambut Baru juga merupakan perayaan kebersamaan, perayaan kekeluargaan. Pengertian seperti ini juga menegaskan makna dari KOMUNI itu sendiri, yakni PERSEKUTUAN – tidak hanya sebgai umat ALLAH tetapi juga sebagai satu keluarga besar. Semua kita pasti berharap, agar perayaan KOMUNI PERTAMA itu dapat menjadi momen yang mempersatukan seluruh anggota keluarga untuk mensyukuri HADIAH yang diperoleh anak kita dalam Sakramen Ekaristi/Komuni Pertama.

Ketiga, Aspek Kultural/Adat

Aspek ini juga beririsan dengan aspek sosiologis, seperti yang telah diuraikan di atas. Sistem perkawinan adat Lamaholot LIKAT TELO telah memetakan kita sebagai masyarakat adat ke dalam jaringan suku-suku yang kompleks, yang mana, di dalamnya tersirat tugas dan tanggung jawab, baik sebagai NANA JADI-UA, OPU/BELAKE-INA/BINE, dll. Perayaan Sambut Baru, yang pada tempat pertama adalah perayaan iman, ditransformasikan ke dalam kultis adat oleh karena PERAN yang disematkan dalam relasi antar-suku. Jadi semacam sebuah AUTOMATISME beban moril yang diletakkan ke atas pundak setiap suku.

Keempat, Aspek EKonomi

Perayaan Sambut Baru yang bermula (dan bermuara) pada MIMBAR dan ALTAR pun mengalir ke ruang-ruang PASAR (ekonomi). Ini merupakan hukum ekonomi pasar yang tak bisa kita sangkal bahwa, suksesnya sebuah perayaan menuntut nominal rupiah yang tentunya tidak sedikit. Mulai dari iuran sambut baru, perlengkapan perayaan di gereja seperti lilin dan alkitab, busana sambut baru sampai pada kebutuhan pesta (beras, ternak sembelihan [sapi, babi, kambing, ayam, ikan], bumbu-bumbu, kue, minuman, rokok, dll) - semuanya itu butuh uang. Atas dasar biaya pengeluaran pesta itu, kita lalu terjebak dalam pemikiran utilitarisme yang menekan aspek manfaat, bahwa saya harus mendapatkan kembali apa yang telah saya keluarkan. Semua biaya pengeluaran untuk Sambut Baru menjadi semacam saham atau investasi yang saya tanam untuk kemudian mendapatkan laba yang lebih besar nanti saat perayaan puncak. Lebih parah lagi, ada orang tua yang menunda pesta agar lebih banyak undangan yang hadir – meski itu tidak memberi garansi keuntungan atau paling tidak pengembalian modal.  

Kesimpulan
Aspek-aspek yang saya paparkan disini muncul dari pengamatan dan pengalaman pribadi. Mungkin bisa dikoreksi atau ditambahkan lagi aspek lainnya. Dan saya secara sengaja mengurutkan point-point dengan sebuah kesadaran akan skala prioritas: mana yang lebih dinomorsatukan DALAM MEMAKNAI perayaan Sambut Baru. Boleh jadi, ada yang membalikkan urutan yang ada: ekonomi, kultur/adat, kebersamaan, religius sesuai dengan apa yang ia rasakan. Namun, kita berharap agar yang seperti ini tidak ada. Mari kita kembalikan inti perayaan Sambut Baru - Komuni Pertama pada makna yang sessungguhnya. Dan hal ini mengandaikan jika setiap kita tidak mengutamakan prestise atau harga diri dan kedudukan, melainkan jauh lebih peka dan solider terhadap situasi orang tua anak-anak sambut baru yang tidak lain adalah keluarga kita sendiri.

Kritik dan Diskusi

Satu lagi catatan tambahan yang mungkin kita diskusikan bersama yakni, fenomena pemberian „diskon“ (gratifikasi) kepada para guru sehari setelah perayaan sambut baru berupa ayam (kayu api, kue, dll). Saya sendiri tidak tahu pasti, kapan praktek seperti ini dijalankan dan atas pendasaran apa terus dipelihara (hingga kini?). Mungkin kita jarang mendengar keluhan dari orang tua anak sambut baru karena merasa mereka malu dan segan. Dan oleh karena beban moral yang dan semacam tanggung jawab yang dituntut, apa pun situasinya, mereka akan tetap berjuang, bahkan harus mengorbankan apa yang tidak semestinya. Di sini saya mengangkat topi dan menaruh hormat dan bangga pada orang tua anak sambut baru, bahwa dalam kesusahan dan kesulitan serta kesibukan perayaan , mereka masih berjuang untuk para guru.

 Saya pribadi pernah mendengar beberapa keluhan secara tersembunyi, tetapi toh mereka penuhi juga tuntutan itu karena perasaan malu dan sikap menghargai. Mungkin kita tidak sampai berpikir, bahwa bisa jadi ayam yang diberikan kepada para guru semestinya dibutuhkan untuk perayaan di rumah atau keluarga. Namun karena demi tuntutan itu, mereka mengorbankannya untuk para guru. Atau bahkan ada keluarga yang mesti merogoh saku untuk membeli lagi ayam buat para guru karena ayam dibutuhkan untuk perayaan di rumah pun tidak cukup.

Mungkin ada yang berdalih, bahwa itu merupakan tanda terima kasih untuk para guru. Kita justru berpikir secara kritis dan dengan jiwa besar, bahwa tanda TERIMA KASIH mesti lahir dari spontanitas/sukerela – bukan atas tuntutan atau desakan dari pihak luar. Itu adalah tanda TERIMA KASIH yang tulus. Bahkan, jika merujuk pada makna Sambut Baru, kita justru seharusnya memberi hadiah kepada anak sambut baru, sebagaimana yang diajarkan YESUS dengan memberikan TUBUHNYA sendiri bagi mereka. Kehadiran kita di rumah atau tenda pesta anak-anak sambut baru justru sungguh merupakan hadiah kita yang jauh lebih berarti dan berharga untuk berbagi kebahagian bersama mereka, apa pun itu „bentuk“ pestanya, yang mana sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang atau situasi ekonomi dan kebutuhan setiap keluarga.

Akhirnya, selamat dan proficiat untuk adik-adik calon Sambut Baru! Selamat menyongsong Yesus, Sahabat kalian, yang akan setia bersama kalian dalam ziarah iman dan ziarah hidup selanjutnya. Dan untuk orang tua dan keluarga mereka kita doakan, agar seluruh persiapan berjalan dengan baik, mulai dari persiapan hati dan batin sampai pada urusan „likat“.
Salam Lewo Tana _ Vian Lein

DEMOKRASI POST-TRUTH Tentang Hoax dalam Demokrasi


DEMOKRASI POST-TRUTH
Tentang Hoax dalam Demokrasi

Vianey Lein
Alumni Philosphisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin
Tinggal di Jerman

Pada November 2016 silam seri kamus Inggris Oxford dictionaries dari Universitas Oxford  membaptis „post-truth“ (post-faktisch) sebagai „World of the Year“. Kata „post-truth“ merujuk pada fenomena politik internasional (luar negeri) sepanjang tahun 2016 seperti Brexit (keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat yang dinilai penuh manipulasi. Penetapan „post-truth“ sebagai istilah penting dalam tahun 2016 juga mengacu pada modus konsumsi media online masyarakat yang cenderung menjadikan media sosial sebagai sumber tunggal kebenaran sebuah informasi atau berita. Istilah „post-truth“ digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan di mana fakta-fakta tidak menjadi relevan dalam politik dan pembentukan opini publik. Dalam setiap ruang politik dan diskusi publik data-data faktual bukan lagi menjadi rujukan kebenaran dalam kebijakan-kebijakan politik melainkan intrik-intrik manipulatif dan spekulatif media yang berusaha menggiring masyarakat ke lubang hitam „hoax“.

Beberapa minggu lalu salah satu stasiun TV swasta di tanah air menggelar debat antar Tim Sukses dari pasangan Cagub dan Cawagub yang maju dalam putaran ke dua Pilkada DKI. Bertajuk „Menanti Jawara Jakarta“ debat antar Timses itu mengusung tema Hoax atau berita bohong seputar kontestasi Pemilukada yang tersebar masif di media sosial. Masing-masing Timses dimintai pendapat terkait berita bohong yang tersebar dan bagaimana menyikapinya. Ansil Lema, salah satu peserta debat yang mewakili tim pemenangan Ahok-Djarot menilai, bahwa hoax adalah musuh bersama yang mesti dilawan karena mencederai peradaban demokrasi.

Media atau pers sebagai salah satu pilar demokrasi memiliki pengaruh penting dalam ranah kehidupan publik. Kesadaran publik sebagai masyarakat yang demokratis pun turut menjadikan mereka „bersandar“ pada media dalam penentuan sikap politik. Iklim reformasi yang membuka kran-kran kebebasan pers telah memungkinkan orang berpendapat secara bebas. Kanal-kanal media membuka ruang partisipasi publik dalam mendiskusikan hal-hal menyangkut kehidupan bersama. Namun antusiasme dan intensitas warga di arus informasi dalam usaha mengawal demokrasi bukanlah tanpa masalah. Di tengah menjamurnya media online dan cetak di Tanah Air yang cenderung disetir oleh logika pasar dan politik, ditemukan berbagai distorsi fakta dalam pemberitaan yang berusaha „merekayasa kesadaran“ publik. „Kabut“ berita yang simpang siur dan penuh rekayasa disebarkan untuk tujuan propaganda politik. Lalu lintas informasi mulai dari penyebaran dan cara mengkonsumsi berita tidak lagi bergerak berdasarkan fakta lapangan, tetapi di bawah operasi perasaan dan bias-bias kebencian yang perlahan siap menelanjangi harga diri dan martabat orang atau kelompok lain yang disebut rival politiknya. Mekanisme propaganda politik seperti ini mesti diberi alarm sejak dini untuk diketahui publik karena mengancam demokrasi bangsa dan menjadi potensi konflik. Ini merupakan tantangan bersama dalam usaha membangun demokrasi yang lebih matang dan beradab. Selain kerangka konstitusional yang mengatur ruang kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, salah satu  kunci penting dalam menyikapi berbagai berita bohong adalah rasionalitas publik yang adalah konsumen informasi. Sikap dan tindakan publik ini merupakan dimensi sentral dalam „ruang terbuka2 (ruang publik) masyarakat.

Ruang Terbuka untuk Diskusi

Menurut Habermas „ruang terbuka“ (seperti media) adalah sebuah jaringan (Netzwerk) yang begitu kompleks. Jaringan ini memiliki struktur „intermediasi“ dalam dirinya yang menghubungkan kehidupan politik di satu pihak dan sektor-sektor privat dunia kehidupan (Lebenswelt) serta sistem tindakan fungsional yang spesifik di lain pihak (Habermas: 1992: 452). Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa „ruang terbuka“ (publik) yang ideal mesti memenuhi tiga aspek, yakni: pertama, terbuka untuk semua kelompok, semua tema kolektiv dan diskursus; kedua, prinsip diskurisivitas, yakni sebuah proses pertimbangan rasional yang mencakup pertukaran argumen sehingga hasil konsesus tidak lahir dari ruang kompromistis; ketiga, fungsi legitimasi politik, bahwa diskursus publik selain mengedepankan pertimbangan keputusan elite politik, mesti juga  menjadi legitimasi keputusan politik dalam sebuah ruang diskursus terbuka.

„Ruang terbuka“ bukanlah sebuah institusi yang kaku secara sistematis melainkan perpaduan gagasan yang dogodok dalam debat dan diskusi. Artinya, ruang publik itu memiliki dimensi sosial-kultural yang memungkinkan artikulasi dari „tindakan komunikativ“. Tindakan komunikativ yang dimaksud adalah sebuah komunikasi di mana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya digerakkan oleh dan kepada orientasi „saling pengertian“. Dalam pemahaman inilah Habermas mengartikan dunia kehidupan sebagai „tempat transendental, di dalamnya terjadi perjumpaan antara pembicara dan pendengar […], segala perbedaan pendapat disampaikan dan diarahkan kepada kesepakatan bersama“ (Habermas: 1992: 192).  

Internet atau sosial media sebagai ekstrim baru untuk ruang diskusi publik mesti mempertimbangkan prinsip-prinsip „ruang terbuka“ agar demokrasi tidak tenggelam dalam kemunafikan para elite politik yang dikemas dalam narasi hoax - narasi kebohongan yang membahasakan secara dangkal realitas persolan yang kompleks dan berusaha menyangkal substansi dasar persoalan. Di sini rasionalitas publik diuji untuk membedakan antara fakta dan pendapat sehingga tidak secara gegabah mendiskreditkan „korban“ melainkan membuka diri untuk berdeliberasi dan beragumentasi.***