DEMOKRASI POST-TRUTH
Tentang Hoax dalam Demokrasi
Vianey Lein
Alumni Philosphisch-
Theologische Hochschule SVD St. Augustin
Tinggal di Jerman
Pada November 2016 silam seri
kamus Inggris Oxford dictionaries dari Universitas Oxford membaptis „post-truth“ (post-faktisch) sebagai
„World of the Year“. Kata „post-truth“ merujuk pada fenomena politik
internasional (luar negeri) sepanjang tahun 2016 seperti Brexit (keluarnya
Britania Raya dari Uni Eropa) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika
Serikat yang dinilai penuh manipulasi. Penetapan „post-truth“ sebagai istilah
penting dalam tahun 2016 juga mengacu pada modus konsumsi media online
masyarakat yang cenderung menjadikan media sosial sebagai sumber tunggal
kebenaran sebuah informasi atau berita. Istilah „post-truth“ digunakan untuk
menggambarkan situasi atau keadaan di mana fakta-fakta tidak menjadi relevan
dalam politik dan pembentukan opini publik. Dalam setiap ruang politik dan
diskusi publik data-data faktual bukan lagi menjadi rujukan kebenaran dalam
kebijakan-kebijakan politik melainkan intrik-intrik manipulatif dan spekulatif
media yang berusaha menggiring masyarakat ke lubang hitam „hoax“.
Beberapa minggu lalu salah satu
stasiun TV swasta di tanah air menggelar debat antar Tim Sukses dari pasangan
Cagub dan Cawagub yang maju dalam putaran ke dua Pilkada DKI. Bertajuk „Menanti
Jawara Jakarta“ debat antar Timses itu mengusung tema Hoax atau berita bohong seputar kontestasi Pemilukada yang tersebar
masif di media sosial. Masing-masing Timses dimintai pendapat terkait berita
bohong yang tersebar dan bagaimana menyikapinya. Ansil Lema, salah satu peserta
debat yang mewakili tim pemenangan Ahok-Djarot menilai, bahwa hoax adalah musuh
bersama yang mesti dilawan karena mencederai peradaban demokrasi.
Media atau pers sebagai salah
satu pilar demokrasi memiliki pengaruh penting dalam ranah kehidupan publik. Kesadaran
publik sebagai masyarakat yang demokratis pun turut menjadikan mereka
„bersandar“ pada media dalam penentuan sikap politik. Iklim reformasi yang
membuka kran-kran kebebasan pers telah memungkinkan orang berpendapat secara
bebas. Kanal-kanal media membuka ruang partisipasi publik dalam mendiskusikan hal-hal
menyangkut kehidupan bersama. Namun antusiasme dan intensitas warga di arus informasi
dalam usaha mengawal demokrasi bukanlah tanpa masalah. Di tengah menjamurnya
media online dan cetak di Tanah Air yang cenderung disetir oleh logika pasar
dan politik, ditemukan berbagai distorsi fakta dalam pemberitaan yang berusaha
„merekayasa kesadaran“ publik. „Kabut“ berita yang simpang siur dan penuh
rekayasa disebarkan untuk tujuan propaganda politik. Lalu lintas informasi
mulai dari penyebaran dan cara mengkonsumsi berita tidak lagi bergerak
berdasarkan fakta lapangan, tetapi di bawah operasi perasaan dan bias-bias
kebencian yang perlahan siap menelanjangi harga diri dan martabat orang atau
kelompok lain yang disebut rival politiknya. Mekanisme propaganda politik seperti
ini mesti diberi alarm sejak dini untuk diketahui publik karena mengancam
demokrasi bangsa dan menjadi potensi konflik. Ini merupakan tantangan bersama
dalam usaha membangun demokrasi yang lebih matang dan beradab. Selain kerangka
konstitusional yang mengatur ruang kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat,
salah satu kunci penting dalam menyikapi
berbagai berita bohong adalah rasionalitas publik yang adalah konsumen
informasi. Sikap dan tindakan publik ini merupakan dimensi sentral dalam „ruang
terbuka2 (ruang publik) masyarakat.
Ruang Terbuka untuk Diskusi
Menurut Habermas „ruang terbuka“
(seperti media) adalah sebuah jaringan (Netzwerk) yang begitu kompleks.
Jaringan ini memiliki struktur „intermediasi“ dalam dirinya yang menghubungkan
kehidupan politik di satu pihak dan sektor-sektor privat dunia kehidupan (Lebenswelt)
serta sistem tindakan fungsional yang spesifik di lain pihak (Habermas: 1992:
452). Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa „ruang terbuka“ (publik) yang ideal
mesti memenuhi tiga aspek, yakni: pertama,
terbuka untuk semua kelompok, semua tema kolektiv dan diskursus; kedua, prinsip diskurisivitas, yakni sebuah proses pertimbangan
rasional yang mencakup pertukaran argumen sehingga hasil konsesus tidak lahir
dari ruang kompromistis; ketiga,
fungsi legitimasi politik, bahwa
diskursus publik selain mengedepankan pertimbangan keputusan elite politik,
mesti juga menjadi legitimasi keputusan
politik dalam sebuah ruang diskursus terbuka.
„Ruang terbuka“ bukanlah sebuah
institusi yang kaku secara sistematis melainkan perpaduan gagasan yang dogodok
dalam debat dan diskusi. Artinya, ruang publik itu memiliki dimensi
sosial-kultural yang memungkinkan artikulasi dari „tindakan komunikativ“. Tindakan
komunikativ yang dimaksud adalah sebuah komunikasi di mana pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya digerakkan oleh dan kepada orientasi „saling pengertian“.
Dalam pemahaman inilah Habermas mengartikan dunia kehidupan sebagai „tempat
transendental, di dalamnya terjadi perjumpaan antara pembicara dan pendengar
[…], segala perbedaan pendapat disampaikan dan diarahkan kepada kesepakatan
bersama“ (Habermas: 1992: 192).
Internet atau sosial media
sebagai ekstrim baru untuk ruang diskusi publik mesti mempertimbangkan
prinsip-prinsip „ruang terbuka“ agar demokrasi tidak tenggelam dalam
kemunafikan para elite politik yang dikemas dalam narasi hoax - narasi
kebohongan yang membahasakan secara dangkal realitas persolan yang kompleks dan
berusaha menyangkal substansi dasar persoalan. Di sini rasionalitas publik
diuji untuk membedakan antara fakta dan pendapat sehingga tidak secara gegabah
mendiskreditkan „korban“ melainkan membuka diri untuk berdeliberasi dan
beragumentasi.***
No comments:
Post a Comment