PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

14 January 2019

DEMOKRASI POST-TRUTH Tentang Hoax dalam Demokrasi


DEMOKRASI POST-TRUTH
Tentang Hoax dalam Demokrasi

Vianey Lein
Alumni Philosphisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin
Tinggal di Jerman

Pada November 2016 silam seri kamus Inggris Oxford dictionaries dari Universitas Oxford  membaptis „post-truth“ (post-faktisch) sebagai „World of the Year“. Kata „post-truth“ merujuk pada fenomena politik internasional (luar negeri) sepanjang tahun 2016 seperti Brexit (keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat yang dinilai penuh manipulasi. Penetapan „post-truth“ sebagai istilah penting dalam tahun 2016 juga mengacu pada modus konsumsi media online masyarakat yang cenderung menjadikan media sosial sebagai sumber tunggal kebenaran sebuah informasi atau berita. Istilah „post-truth“ digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan di mana fakta-fakta tidak menjadi relevan dalam politik dan pembentukan opini publik. Dalam setiap ruang politik dan diskusi publik data-data faktual bukan lagi menjadi rujukan kebenaran dalam kebijakan-kebijakan politik melainkan intrik-intrik manipulatif dan spekulatif media yang berusaha menggiring masyarakat ke lubang hitam „hoax“.

Beberapa minggu lalu salah satu stasiun TV swasta di tanah air menggelar debat antar Tim Sukses dari pasangan Cagub dan Cawagub yang maju dalam putaran ke dua Pilkada DKI. Bertajuk „Menanti Jawara Jakarta“ debat antar Timses itu mengusung tema Hoax atau berita bohong seputar kontestasi Pemilukada yang tersebar masif di media sosial. Masing-masing Timses dimintai pendapat terkait berita bohong yang tersebar dan bagaimana menyikapinya. Ansil Lema, salah satu peserta debat yang mewakili tim pemenangan Ahok-Djarot menilai, bahwa hoax adalah musuh bersama yang mesti dilawan karena mencederai peradaban demokrasi.

Media atau pers sebagai salah satu pilar demokrasi memiliki pengaruh penting dalam ranah kehidupan publik. Kesadaran publik sebagai masyarakat yang demokratis pun turut menjadikan mereka „bersandar“ pada media dalam penentuan sikap politik. Iklim reformasi yang membuka kran-kran kebebasan pers telah memungkinkan orang berpendapat secara bebas. Kanal-kanal media membuka ruang partisipasi publik dalam mendiskusikan hal-hal menyangkut kehidupan bersama. Namun antusiasme dan intensitas warga di arus informasi dalam usaha mengawal demokrasi bukanlah tanpa masalah. Di tengah menjamurnya media online dan cetak di Tanah Air yang cenderung disetir oleh logika pasar dan politik, ditemukan berbagai distorsi fakta dalam pemberitaan yang berusaha „merekayasa kesadaran“ publik. „Kabut“ berita yang simpang siur dan penuh rekayasa disebarkan untuk tujuan propaganda politik. Lalu lintas informasi mulai dari penyebaran dan cara mengkonsumsi berita tidak lagi bergerak berdasarkan fakta lapangan, tetapi di bawah operasi perasaan dan bias-bias kebencian yang perlahan siap menelanjangi harga diri dan martabat orang atau kelompok lain yang disebut rival politiknya. Mekanisme propaganda politik seperti ini mesti diberi alarm sejak dini untuk diketahui publik karena mengancam demokrasi bangsa dan menjadi potensi konflik. Ini merupakan tantangan bersama dalam usaha membangun demokrasi yang lebih matang dan beradab. Selain kerangka konstitusional yang mengatur ruang kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, salah satu  kunci penting dalam menyikapi berbagai berita bohong adalah rasionalitas publik yang adalah konsumen informasi. Sikap dan tindakan publik ini merupakan dimensi sentral dalam „ruang terbuka2 (ruang publik) masyarakat.

Ruang Terbuka untuk Diskusi

Menurut Habermas „ruang terbuka“ (seperti media) adalah sebuah jaringan (Netzwerk) yang begitu kompleks. Jaringan ini memiliki struktur „intermediasi“ dalam dirinya yang menghubungkan kehidupan politik di satu pihak dan sektor-sektor privat dunia kehidupan (Lebenswelt) serta sistem tindakan fungsional yang spesifik di lain pihak (Habermas: 1992: 452). Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa „ruang terbuka“ (publik) yang ideal mesti memenuhi tiga aspek, yakni: pertama, terbuka untuk semua kelompok, semua tema kolektiv dan diskursus; kedua, prinsip diskurisivitas, yakni sebuah proses pertimbangan rasional yang mencakup pertukaran argumen sehingga hasil konsesus tidak lahir dari ruang kompromistis; ketiga, fungsi legitimasi politik, bahwa diskursus publik selain mengedepankan pertimbangan keputusan elite politik, mesti juga  menjadi legitimasi keputusan politik dalam sebuah ruang diskursus terbuka.

„Ruang terbuka“ bukanlah sebuah institusi yang kaku secara sistematis melainkan perpaduan gagasan yang dogodok dalam debat dan diskusi. Artinya, ruang publik itu memiliki dimensi sosial-kultural yang memungkinkan artikulasi dari „tindakan komunikativ“. Tindakan komunikativ yang dimaksud adalah sebuah komunikasi di mana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya digerakkan oleh dan kepada orientasi „saling pengertian“. Dalam pemahaman inilah Habermas mengartikan dunia kehidupan sebagai „tempat transendental, di dalamnya terjadi perjumpaan antara pembicara dan pendengar […], segala perbedaan pendapat disampaikan dan diarahkan kepada kesepakatan bersama“ (Habermas: 1992: 192).  

Internet atau sosial media sebagai ekstrim baru untuk ruang diskusi publik mesti mempertimbangkan prinsip-prinsip „ruang terbuka“ agar demokrasi tidak tenggelam dalam kemunafikan para elite politik yang dikemas dalam narasi hoax - narasi kebohongan yang membahasakan secara dangkal realitas persolan yang kompleks dan berusaha menyangkal substansi dasar persoalan. Di sini rasionalitas publik diuji untuk membedakan antara fakta dan pendapat sehingga tidak secara gegabah mendiskreditkan „korban“ melainkan membuka diri untuk berdeliberasi dan beragumentasi.***

No comments:

Post a Comment