PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

14 January 2019

SAMBUT BARU – KOMUNI PERTAMA DALAM KACAMATA ATA MOKANTARAK (Sebuah Refleksi Kritis)


SAMBUT BARU – KOMUNI PERTAMA DALAM KACAMATA ATA MOKANTARAK
(Sebuah Refleksi Kritis)

Perayaan Sambut Baru atau Komuni Pertama di stasi kita, Stasi Lewokung, tinggal menghitung hari. Keluarga-keluarga sudah pada sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk salah satu perayaan penting ini. Di sini saya coba mengulas topik „Sambut Baru“ berdasarkan pengamatan saya di kampung: apa dan bagaimana pemahaman masyarakat tentang perayaan ini. Saya mencoba menguraikannya ke dalam beberapa aspek:

Pertama, Aspek Religius.

Sudah tentu – dan semua kita tahu itu – bahwa „Sambut Baru“ merupakan salah satu sakramen dalam ajaran dan tradisi Gereja Katolik sebagai tanda dan sarana keselamat. Karena itu, Sambut Baru pertama-pertama dan terutama adalah sebuah perayaan iman: kita merayakan INKARNASI diri Allah; Allah yang menjadi Manusia dalam diri Yesus Kristus yang masuk ke dalam situasi kehidupan kita (harapan dan kecemasan, kebahagiaan dan penderitaan) dan membawa kita kepada keselamatan lewat saksi hidupnya, penderitaan salib dan kengkitan-Nya. Misteri iman akan keselamatan inilah yang kita rayakan dalam EKARISTI/MISA sebagai kenangan akan TUHAN yang wafat dan bangkit. Dengan demikian, SAMBUT BARU adalah sebuah momen PEMBERIAN DIRI TUHAN untuk anak-anak dan keluarga. Tuhan datang untuk menemui mereka dan membawa hadiah yang istimewa, yakni TUBUHNYA sendiri. Dalam konteks pemahaman iman seperti ini, kita berharap agar para anak calon sambut baru tidak hanya sekali datang menyambut RAHMAT (Latin=gratia, gratis) keselamatan itu  (Komuni PERTAMA), tetapi juga ada Komuni Kedua Ketiga, Keempat, dan seterusnya sepanjang hidup.

Kedua, Aspek Sosiologis

Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa, Sambut Baru juga merupakan perayaan kebersamaan, perayaan kekeluargaan. Pengertian seperti ini juga menegaskan makna dari KOMUNI itu sendiri, yakni PERSEKUTUAN – tidak hanya sebgai umat ALLAH tetapi juga sebagai satu keluarga besar. Semua kita pasti berharap, agar perayaan KOMUNI PERTAMA itu dapat menjadi momen yang mempersatukan seluruh anggota keluarga untuk mensyukuri HADIAH yang diperoleh anak kita dalam Sakramen Ekaristi/Komuni Pertama.

Ketiga, Aspek Kultural/Adat

Aspek ini juga beririsan dengan aspek sosiologis, seperti yang telah diuraikan di atas. Sistem perkawinan adat Lamaholot LIKAT TELO telah memetakan kita sebagai masyarakat adat ke dalam jaringan suku-suku yang kompleks, yang mana, di dalamnya tersirat tugas dan tanggung jawab, baik sebagai NANA JADI-UA, OPU/BELAKE-INA/BINE, dll. Perayaan Sambut Baru, yang pada tempat pertama adalah perayaan iman, ditransformasikan ke dalam kultis adat oleh karena PERAN yang disematkan dalam relasi antar-suku. Jadi semacam sebuah AUTOMATISME beban moril yang diletakkan ke atas pundak setiap suku.

Keempat, Aspek EKonomi

Perayaan Sambut Baru yang bermula (dan bermuara) pada MIMBAR dan ALTAR pun mengalir ke ruang-ruang PASAR (ekonomi). Ini merupakan hukum ekonomi pasar yang tak bisa kita sangkal bahwa, suksesnya sebuah perayaan menuntut nominal rupiah yang tentunya tidak sedikit. Mulai dari iuran sambut baru, perlengkapan perayaan di gereja seperti lilin dan alkitab, busana sambut baru sampai pada kebutuhan pesta (beras, ternak sembelihan [sapi, babi, kambing, ayam, ikan], bumbu-bumbu, kue, minuman, rokok, dll) - semuanya itu butuh uang. Atas dasar biaya pengeluaran pesta itu, kita lalu terjebak dalam pemikiran utilitarisme yang menekan aspek manfaat, bahwa saya harus mendapatkan kembali apa yang telah saya keluarkan. Semua biaya pengeluaran untuk Sambut Baru menjadi semacam saham atau investasi yang saya tanam untuk kemudian mendapatkan laba yang lebih besar nanti saat perayaan puncak. Lebih parah lagi, ada orang tua yang menunda pesta agar lebih banyak undangan yang hadir – meski itu tidak memberi garansi keuntungan atau paling tidak pengembalian modal.  

Kesimpulan
Aspek-aspek yang saya paparkan disini muncul dari pengamatan dan pengalaman pribadi. Mungkin bisa dikoreksi atau ditambahkan lagi aspek lainnya. Dan saya secara sengaja mengurutkan point-point dengan sebuah kesadaran akan skala prioritas: mana yang lebih dinomorsatukan DALAM MEMAKNAI perayaan Sambut Baru. Boleh jadi, ada yang membalikkan urutan yang ada: ekonomi, kultur/adat, kebersamaan, religius sesuai dengan apa yang ia rasakan. Namun, kita berharap agar yang seperti ini tidak ada. Mari kita kembalikan inti perayaan Sambut Baru - Komuni Pertama pada makna yang sessungguhnya. Dan hal ini mengandaikan jika setiap kita tidak mengutamakan prestise atau harga diri dan kedudukan, melainkan jauh lebih peka dan solider terhadap situasi orang tua anak-anak sambut baru yang tidak lain adalah keluarga kita sendiri.

Kritik dan Diskusi

Satu lagi catatan tambahan yang mungkin kita diskusikan bersama yakni, fenomena pemberian „diskon“ (gratifikasi) kepada para guru sehari setelah perayaan sambut baru berupa ayam (kayu api, kue, dll). Saya sendiri tidak tahu pasti, kapan praktek seperti ini dijalankan dan atas pendasaran apa terus dipelihara (hingga kini?). Mungkin kita jarang mendengar keluhan dari orang tua anak sambut baru karena merasa mereka malu dan segan. Dan oleh karena beban moral yang dan semacam tanggung jawab yang dituntut, apa pun situasinya, mereka akan tetap berjuang, bahkan harus mengorbankan apa yang tidak semestinya. Di sini saya mengangkat topi dan menaruh hormat dan bangga pada orang tua anak sambut baru, bahwa dalam kesusahan dan kesulitan serta kesibukan perayaan , mereka masih berjuang untuk para guru.

 Saya pribadi pernah mendengar beberapa keluhan secara tersembunyi, tetapi toh mereka penuhi juga tuntutan itu karena perasaan malu dan sikap menghargai. Mungkin kita tidak sampai berpikir, bahwa bisa jadi ayam yang diberikan kepada para guru semestinya dibutuhkan untuk perayaan di rumah atau keluarga. Namun karena demi tuntutan itu, mereka mengorbankannya untuk para guru. Atau bahkan ada keluarga yang mesti merogoh saku untuk membeli lagi ayam buat para guru karena ayam dibutuhkan untuk perayaan di rumah pun tidak cukup.

Mungkin ada yang berdalih, bahwa itu merupakan tanda terima kasih untuk para guru. Kita justru berpikir secara kritis dan dengan jiwa besar, bahwa tanda TERIMA KASIH mesti lahir dari spontanitas/sukerela – bukan atas tuntutan atau desakan dari pihak luar. Itu adalah tanda TERIMA KASIH yang tulus. Bahkan, jika merujuk pada makna Sambut Baru, kita justru seharusnya memberi hadiah kepada anak sambut baru, sebagaimana yang diajarkan YESUS dengan memberikan TUBUHNYA sendiri bagi mereka. Kehadiran kita di rumah atau tenda pesta anak-anak sambut baru justru sungguh merupakan hadiah kita yang jauh lebih berarti dan berharga untuk berbagi kebahagian bersama mereka, apa pun itu „bentuk“ pestanya, yang mana sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang atau situasi ekonomi dan kebutuhan setiap keluarga.

Akhirnya, selamat dan proficiat untuk adik-adik calon Sambut Baru! Selamat menyongsong Yesus, Sahabat kalian, yang akan setia bersama kalian dalam ziarah iman dan ziarah hidup selanjutnya. Dan untuk orang tua dan keluarga mereka kita doakan, agar seluruh persiapan berjalan dengan baik, mulai dari persiapan hati dan batin sampai pada urusan „likat“.
Salam Lewo Tana _ Vian Lein

1 comment:

  1. Terima kasih atas pengetahuan yang dibagikan..Tuhan Memberkati

    ReplyDelete