PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

27 July 2017

500 TAHUN REFORMASI LUTHER DAN DEMOKRASI

500 TAHUN REFORMASI LUTHER DAN DEMOKRASI*
Vianey Lein
Mahasiswa Pasca Sarjana
Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin – Jerman


Mengingat-mengenang merupakan proses refleksi tentang diri dan dunia dalam pilinan waktu lampau (sejarah atau kenangan), kekinian dan masa akanan. Karena itu aktus mengingat-mengenang bukanlah sekadar arus balik-perjalanan pulang merunut sejarah masa lalu dalam bingkai pengulangan ritual, atau nostalgia yang terbakar rindu atas tumpukan dan deretan cerita yang telah lampau, melainkan sebuah „dialektika berpikir“ kritis dalam pertautan sejarah masa lalu dengan realitas kekinian, hic et nunc, serentak tetap terbuka terhadap harapan futuris.
Reformasi Luther
Peristiwa historis Reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther (1483–1546) akan memasuki 500 Tahun pada 31 Oktober 2017 mendatang. Dalam rangka perayaan lima Abad Jubileum momen bersejerah itu, sejak 31 Oktober 2016 telah diselenggarakan berbagai kegiatan dan aksi. Mengingat-mengenang peristiwa Reformasi 500 tahun silam dan merayakan usia lima abad di tahun 2017 adalah sebuah undangan untuk berani mengkonfrontasikan nilai-nilai historis dengan realitas kekinian, terlebih untuk memikirkan kembali iman dan agama dalam dunia dewasa ini. 
Gerakan reformasi Luther merupakan salah satu tonggak penting sejarah dunia. Reformasi Luther pertama-tama merupakan sejarah iman (keagamaan:kekristenan) yang berbenturan langsung dengan warisan-warisan teologis (doktirn/dogma) dan dinamika politik gereja pada masa itu. Krisis moral yang terjadi dalam tubuh Gereja Katolik pada masa itu, terlebih dalam struktur hierarki Gereja mulai dari kalangan klerus hingga para paus, merupakan persoalan pelik yang melatar-belakangi pergolakan yang dilancarkan Luther yang adalah juga seorang imam-rahib dari Ordo Santo Agustinus. „Perkawinan“ antara Gereja (agama) dan kekaiseran (politik) menjadikan Gereja berada dan berlindung langsung di bawah mantel kekaiseran. Hal ini juga turut melahirkan dua pola otoritas: caesaropapisme (Latin: caesar, „Kaiser“, und papa, „Paus“), di mana pemimpin politik berperan sekaligus sebagai pemimpin Gereja, juga menjadi hakim dalam memutuskan persoalan dogmatis-teologis, dan  hierokrasi yang memungkinkan klerus atau institusi keagamaan menerapkan kekuasaanya juga dalam ranah politik; kebijakan politik mesti mendapat legitimasi keagamaan. Gerak perjuangan Luther dapat dimengerti dalam konteks kecenderungan kekuasaan ini. Masyarakat – khususnya buruh tani dan kaum jelata – dikepung oleh kesewenangan politis dan skandal teologis seperti kapitalisasi keselamatan eskatologis lewat penjualan indulgensi atau surat pengampunan dosa yang secara keras dan tegas ditentang Luther. Lewat gerakan reformasinya Luther ingin memisahkan urusan Gereja (agama) dari negara (ruang politik) agar nilai-nilai „demokrasi“ tidak terpasung dalam monopoli kekuasaan para klerus atau paus dan segala kebijakan politik tidak dibangun atas legitimasi agama. Dengan reformasi – lewat 95 tesis yang dipakukan di pintu Gereja pada 31 Oktober 1517 - proses panjang pemisahan Gereja (agama) dari negara (politik) dimulai. Tesis-tesisnya juga merupakan kritik keras terhadap terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan dan pasar kapitalis yang dikuasai kaum borjuis. Itu berarti, peristiwa reformasi bukanlah perjuangan agama semata melainkan bertalian erat dengan dinamika politik dan budaya pada masa itu. 
Lalu apa makna perayaan 500 Tahun Reformasi untuk konteks Indonesia yang jauh dari episentrum reformasi di Wittenberg-Jerman? Adakah makna atau nilai politis dari perisitwa Reformasi bagi perkembangan tatanan demokrasi di Tanah Air?
Lima Abad Reformasi: Memikirkan kembali Hubungan Agama-Negara
Dalam sebuah ruang publik agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda. Dalam perjuangannya, Luther ingin menegaskan adanya demarkasi antara Gereja (agama) dan negara (politik). Menurutnya, Gereja dan Negara merupakan „dua kerajaan“ atau pemerintahan (zwei Regimente) yang memiliki cakupan tugas dan tanggung jawab yang berbeda: yang satu menuntun kepada kesalehan, dan yang lain mengusahakan kedamaian dan menghalau segala yang jahat (ajaran „dua pemerintahan“ Luther ini kemudian dikritik oleh Karl Barth, seorang teolog berkebangsaan Swiss, bdk. „Höck: 2017). 
Menelisik dinamika politik di Tanah Air kita menemukan bahwa agama kini menjadi isu sentral dalam demokrasi bangsa. Agama menjadi tunggangan seksi para politisi dalam merebut dan melanggengkan kekuasaan. Isu agama berkembang liar bak kuda Troya yang memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial dan simpul toleransi. Peran agama yang memberi interupsi moral dan kritik profetis terhadap berbagai kepincangan sosio-politis pun kehilangan taringnya oleh karena racun suap dan kontrol penguasa. 
Pada sisi lain intervensi agama juga keras diteriakan di ruang publik untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan publik hingga lupa bahwa NKRI adalah negara hukum dan bukannya negara agama. Ancaman tidak menyolatkan jenazah bagi yang memilih calon pemimpin lawan politik pada Pilkada DKI 2017 adalah bukti instumentalisasi agama demi kepentingan politik. Hal ini mirip dengan tuntutan membeli surat indulgensi di bawah propaganda Johan Tetzel, seorang Dominikan, agar dosa pembeli diampuni dan keluarganya yang telah meninggal dapat bebas dari penyiksaan di api penyucian: „Sobald das Geld im Kasten klingt, die Seele in den Himmel springt“ – begitu koin masuk dalam peti sumbangan, jiwa mereka akan tersentak dan masuk ke dalam Surga. 
Hubungan antara agama dan negara juga menjadi kajian seorang Filsuf Jerman, Jürgen Habermas, dalam sebuah perdebatan publik dengan Joseph Ratzinger - Paus Benediktus XVI (Dialektik der Säkularisierung: Über Vernunft und Religion). Pemisahan negara dan agama menggariskan ketidakberpihakan yang ketat dari institusi-instituis politis terhadap kelompok agama terntu. Pembiaran legitimasi religius dalam proses legislasi adalah pencederaan atas asas „netralitas“ (bdk. Habermas: 2005, 129). Lebih lanjut ia mengingatkan, bahwa dominasi mayoritas yang berargumentasi secara religius dalam ruang publik dengan tidak mengindahkan aspirasi politik kelompok minoritas, akan menjelma menjadi penindasan (Ibid: 140).
Reformasi yang dilancarkan Luther pada 500 tahun silam kiranya menjadi undangan yang menantang setiap agama untuk berani mereformasi diri (hati) dan institusi di atas dasar pilar-pilar toleransi, kebebasan dan tanggung jawab dalam kehidupan bernegara. Kecenderungan politisasi agama yang tentunya mencederai esensi agama dan pluralisme mesti dipatahkan demi sebuah demokrasi yang beradab.***
Foto: Martin Luther/Wikipedia
Tulisan ini terbit di Media Online Satu Harapan.com, 19 Juli 2017

18 July 2017

INA WAE

INA WAE

Jongkokmu di tepian tiga tungku, masih setia menunggu 
Tegakmu di bibir lesung dan tumbuk alu, tegar menghujam sepi bertalu
Matamu yang telanjang memungut segala yang sampah di anyam nyiru
Dan kau tanak larik-larik doa dalam bejana tanah liat yang rapuh 

Ina Wae,
kucium bau asap tungku yang purba
kudengar koda-mu yang melengking di datar Nuba
mencakar-cakar nafasku yang fana 
mengeja mei-woran di jauh Sina-Jawa 
Kepada Lera Wulan yang empunya Sabda

Ina Wae,
Ke rahimmu aku ingin pulang, di bawah tudung kewatek 
dengan motif tenun  yang lebih puisi 
Menyimpan rahasia-rahasia mitis-asali
Seperti rindu kita yang berlapis-lapis - tak cukup dianggar belis

Ina Wae, 
ke kampung jiwa ini kembali
ya ke kampung yang sudah tiada halamannya untuk anak-cucu
hanya gelisah yang terpahat di bibir lupa yang membisu
sembari mencari sisa-sisa nasib di halaman-halaman sajak penuh debu

VL 170717

*Ina Wae            : Dalam bahasa Lamaholot-Flores berarti perempuan/wanita. Bisa juga nama nawa wanita Lamaholot seperti nama Almahrum nenek saya. 
*Koda                  : kata, sabda.
*Nuba                  : batu ceper –datar sebagai „altar kurban“-tempat menyembelih hewan kurban dalam ritual adat budaya Lamaholot (Nuba Nara).
*Mei-Woran     : mei=darah, woran=lemak; artinya: darah daging
*Sina-Jawa         : Sitz im Leben dari ungkapan ini berasal dari perjumpaan masyarakat asli Flores Timur dengan para pendatang dari Cina dan Jawa dalam sebuah hubungan dagang (diperkirakan, perjumpaan ini mencapai intensitasnya di zaman Majapahit, 1298-1478). Majapahit,yang saat ini di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan perdana menterinya Mahapatih Gajah Madah (bukan Gaj Amadha,…..heheheeheh) menjadi pusat perdagangan seluruh Asia Tenggara. Dari dan dalam konteks ini, lahirlah perjumpaan antara masyarakat asli Flores Timur dengan para pendatang (Sina-Jawa). 
Dalam kenyataan, ungkapan Sina-Jawa adalah sebuah term yang digunakan oleh masyarakat Flores Timur untuk menggambarkan eksistensi „yang asing“ pada umumnya. Karena dalam tatanan sejarah, kontak paling intensif yang terjadi antara masyarakat Flores Timur dengan kelompok-kelompok pendatang adalah kontak dengan para pedagan dari Cina dan Jawa, maka bagi mereka, semua „yang asing“ dikategorikan dalam term „Sina-Jawa“.  Sampai sekarang , term „Sina-Jawa“ ini sudah menjadi ungkapan baku untuk menggambarkan tempat-tempat asing, tempat-tempat perantauan, ataupun tempat-tempat menuntut ilmu (Agan: 2006, 308). 
*Lera Wulan      : Nama wujud tertinggi dalam agama asli budaya Lamaholot. Lera=Matahari, Wula=Matahari. 
*Kewatek           : kain sarung yang ditenun sendiri dengan tangan, langsung dari bahan-bahan alamiah (kapas dan juga pewarna); tanpa pabrik. 
*Belis                   : Mahar kawin dalam adat budaya Lamaholot (biasanya gading dengan variasi  ukuran berdasarkan status seorang gadis). 

Gambar: perempuan Lamaholot dalam proses menenun. @Copyright: Weeklyline.net.

13 July 2017

ERINNERUNGSORTE IM FREMDSPRACHEUNTERRICHT AM BEISPIEL AUSCHWITZ


ERINNERUNGSORTE IM FREMDSPRACHEUNTERRICHT
AM BEISPIEL AUSCHWITZ*

(Elvin Septiani Sagala)

Die menschliche Geschichte ist durch die Erinnerung gekennzeichnet,   die sie mit der Vergangenheit (einem Nicht-mehr) verbindet und ihrem Bewusstsein im Zeitpunkt der Gegenwart (Jetzt) prägt und ihren weiteren Lebensweg in einer Zukunft (einem Späteren oder Noch-nicht) bestimmt. Hier scheint es, dass die Vergangenheit, die Gegenwart und die Zukunft eng verbunden sind. Die Vergangenheit ist nie bloß historisches Faktum sondern fordert die Menschen auf, daran zu arbeiten: wahrnehmen, erkennen, deuten und reflektieren. Das ist ein Prozess der Erinnerung an eine Vergangenheit und dies ist der eine Ausgangspunkt dieser Untersuchung.

Am vergangenen 27. Januar 2015 ist international an die Befreiung des Konzentrations- und Vernichtungslager Auschwitz vor 70 Jahren erinnert worden. Zu diesem Jahrestag der Befreiung von Auschwitz fand die NDR-Moderatorin Anja Reschke in ihrem Kommentar deutliche Worte über den Umgang mit dem Holocaust, was im Internet heftig diskutiert wird: 

„Auschwitz, Holocaust. Ich kann's nicht mehr hören. Es muss doch mal Schluss sein. (…) Es gibt keinen Schlussstrich in der Geschichte – in keiner. Klar, lieber erinnern wir uns an Karl den Großen, Bismarck oder die Wiedervereinigung – aber Auschwitz ist nun mal passiert. Wieso sollten wir ausgerechnet das Kapitel der Judenverfolgung hinter uns lassen? Dieser Teil unserer Geschichte ist in seiner Abartigkeit so einzigartig, dass er gar nicht vergessen werden kann. Ich bin dritte Generation. Ich war nicht dabei und trotzdem habe ich mich geschämt als ich wieder diese Bilder gesehen habe, weil es zu meiner Identität als Deutsche gehört, ob ich will oder nicht. (…)." [1]

In dieser Arbeit wird die These der deutschen Kollektivschuld am Holocaust im DaF-Unterricht im Zusammenhang mit dem Erinnerungsort "Auschwitz" dargestellt. Mit Hilfe eines Beitrags von Norbert Frei (ein Historiker an der Universität Jena) mit dem Titel „Von deutscher Erfindungskraft oder die Kollektivschuldthese in der Nachkriegszeit“ aus dem Taschenbuch „1945 und wir“ im Jahr 2009 wird die Frage nach kollektiver Schuld (und kollektiver Verantwortung) der Deutschen an den Verbrechen Nazideutschlands thematisiert. Darüber hinaus wird im Rahmen der didaktischen Konzepte des DaF-Unterrichts von Roger Fornoff diese Kollektivschuldthese analysiert, damit dieses Thema im DaF-Unterricht kultursensibel behandelt werden kann, insbesondere für Nicht-Deutsche Studierende.

1.1         Kollektives Gedächtnis und Erinnerung

In der ersten Hälfte des 20. Jahrhunderts entwickelte der französische Soziologe Maurice Halbwachs eine Theorie des kollektiven Gedächtnisses (mémoire collective). In seinem 1925 veröffentlichen Werk Les cadres sociaux de la mémoire erklärt Halbwachs, dass jedes Individuum Anteil an zahlreichen kollektiven Gedächtnissen hat. Für ihn ist das Gedächtnis ein soziales Phänomen. In erster Linie interessierte er sich für Prozesse der Sozialisation und für die Entstehung von Kohäsion innerhalb einer Gruppe. Das kollektive Gedächtnis ist deshalb für ihn definiert als die Schnittmenge aus den individuellen Gedächtnissen der Angehörigen einer sozialen Gruppe. Jedes Gruppengedächtnis ist an soziale Bezugsrahmen gebunden und ist kollektiv geprägt (vgl. Jan Assmann 2007: 34 – 36). „Wir erinnern nicht nur, was wir von anderen erfahren, sondern auch, was uns andere erzählen und was uns von anderen als bedeutsam bestätigt und zurückgespiegelt wird“ (Jan Assmann 2007: 36). Das heißt, „das individuelle Gedächtnis baut sich in einer bestimmten Person kraft ihrer Teilnahme an kommunikativen Prozessen auf. […] Das Gedächtnis lebt und erhält sich in der Kommunikation. […] Man erinnert nur, was man kommuniziert und was man in dem Bezugsrahmen des Kollektivgedächtnisses lokalisieren kann“ (ebd.: 37). Die Unterscheidung zwischen einem „individuellen“ und einem „kollektiven“ Gedächtnis nach Halbwachs bedeutet nicht, dass das individuelle Gedächtnis sich vom kollektiven Gedächtnis trennt, sondern immer in Verbindung mit dem Kollektivgedächtnis bleibt. Diesen von Halbwachs herausgestellten sozialen Aspekt des individuellen Gedächtnisses haben dann Jan Assmann und Aleida Assmann zum Begriff des „kommunikativen Gedächtnisses“ weiterentwickelt, wobei Aspekte wie Liebe, Interesse, Gefühle der Verbundenheit, der Wunsch dazuzugehören, Hass, Feindschaft, Misstrauen, Schmerz und Schuld eine entscheidende Rolle spielen (Jan Assmann 2007: 15).
Neben dieser Unterscheidung zwischen einem „individuellen“ und einem „kollektiven“ Gedächtnis geht auch Halbwachs von einer scharfen Abgrenzung von mémoire und histoire, von Geschichte und Gedächtnis aus. Die „Geschichte“, so Halbwachs, schaut nur auf die Ähnlichkeiten und Kontinuitäten; so nimmt sie nur Differenzen und Diskontinuitäten wahr. Das Gedächtnis aber sieht die Gruppe „von innen“ und ist bestrebt, ihr ein Bild ihrer Vergangenheit zu zeigen und sich wiederzuerkennen. Dagegen blendet die „Geschichte“ wandlungslosen Zeiten als „leere“ Intervalle aus ihrem Tableau aus. Veränderung eines Ereignisses in ihrem Prozess gilt für Geschichte nur als historisches Faktum. Für Halbwachs beginnt die Geschichte dort, wo die Tradition aufhört und sich das soziale Gedächtnis auflöst. Wo die Vergangenheit nicht mehr erinnert wird, hebt Geschichte an (vgl. Jan Assmann 2007: 42 -45).
Aufbauend auf Halbwachs wandte der französische Historiker Pierre Nora das Konzept „kollektives Gedächtnis“ auf die französische Nation an. Wie bei Halbwachs spielt in Noras Ansatz die Unterscheidung von histoire und mémoire, von Geschichte und Gedächtnis/Erinnerung, eine bedeutende Rolle. Für Nora sind Geschichte und Gedächtnis keineswegs Synonyme, sondern (wie uns heute bewusst wird) stehen in einem scharfen Gegensatz zueinander. Für Nora sind Geschichte und Gedächtnis keineswegs nur Synonyme, sondern (wie uns heute bewusst wird) stehen sie in einem scharfen Gegensatz zueinander. Das Gedächtnis wird, so Nora, „von lebendigen Gruppen getragen und ist deshalb ständig in Entwicklung, für den der Dialektik des Erinnerns und Vergessens offen sind. Es weiß nicht um die Abfolge seiner Deformationen. Es ist für alle möglichen Verwendungen und Manipulationen anfällig, sowie zu langen Schlummerzeiten und plötzlichem Wiederaufleben fähig (Nora 1990: 12). Mémoire umfasst sowohl Gedächtnis als auch Erinnerung und beinhaltet semantisch bereits eine kollektive Dimension des Gedächtnisses (Vater 2009: 25). Die histoire dagegen ist eine problematische und unvollständige Rekonstruktion von Ereignissen und Entwicklungen in der Vergangenheit, von dem „was nicht mehr ist“. Das Gedächtnis ist ein immer aktuelles Phänomen. Es wird von Menschen gelebt und haftet am Konkreten, im Raum, an der Geste, am Bild und Gegenstand, oder laut Maurice Halbwachs: „Jedes Kollektivgedächtnis hat als Träger eine in Raum und Zeit begrenzte Gruppe“. Man kann die Gesamtheit der Ereignisse nur unter der Bedingung in einem einzigen Tableau versammeln, dass man sie vom Gedächtnis der Gruppen ablöst, die die Erinnerung daran bewahrt haben (…)“ (Halbwachs 1985: 75). Demgegenüber ist die Geschichte eine Repräsentation der Vergangenheit, die Entlegitimierung der Vergangenheit und fördert Analyse und kritische Argumentation. Daher formulierte Nora die Mission der Geschichte: „das Gedächtnis zu stören und zu verdrängen.“ Das Gedächtnis ist ein Absolutes, die Geschichte ist aber relativ.[2] Für Halbwachs sind Gedächtnis und Geschichte in jeder Hinsicht Gegensätze. Wo die Vergangenheit nicht mehr erinnert bzw. gelebt wird, fängt die Geschichte an. „Die Geschichte beginnt im Allgemeinen erst an dem Punkt, wo die Tradition aufhört und sich das soziale Gedächtnis auflöst. Die eigentliche Vergangenheit ist für die Historie das, was nicht mehr einbegriffen ist in den Bereich, in den sich noch das Denken aktueller Gruppen erstreckt. Es scheint, dass sie warten muss, bis die alten Gruppen verschwunden sind, bis ihre Gedanken und ihr Gedächtnis erloschen sind, damit sie sich damit beschäftigen kann, das Bild und die Abfolge der Fakten festzulegen, die sie allein zu bewahren in der Lage ist“ (Halbwachs 1985: 103).
Unter dem Begriff „Erinnerungsorte“ in Noras Projekt lieux de mémoire versteht man einen „materiellen wie auch immateriellen, langlebigen, Generationen überdauernden Kristallisationspunkt kollektiver Erinnerung und Identität, der durch einen Überschuss an symbolischer und emotionaler Dimension gekennzeichnet ist. Sie sind in gesellschaftliche, kulturelle und politische Üblichkeiten eingebunden und in dem Maße verändert, in dem sich die Weise seiner Wahrnehmung, Aneignung, Anwendung und Übertragung verändert“ François 2005: 9). Die Erinnerungsorte sind zunächst einmal materielle Überreste und die sichtbaren Bilder, die äußere Form, in der ein gedenkendes Bewusstsein in einer Geschichte überdauert, welche nach ihnen ruft, weil sie nicht um sie weiß (vgl. Nora 1990: 17-19). Der Ausdruck „Ort(e)“ im Begriff „Erinnerungsorte“ bedeutet für Nora nicht nur historisch-geographische Städte oder Orte, sondern auch symbolische Orte (eine Vielzahl von Medien unterschiedlicher Materialität). Dazu zählen Ereignisse, Symbole, Personen, simple Gedenkstätten wie Kriegerdenkmäler, Embleme, Gedenkfeiern, Museen, Texte und Tradition oder Institutionen (Nora 1990: 7). 


[1] Der ganze Kommentar findet sich in Tageschau.de: https://www.tagesschau.de/multimedia/video/video-58075.html. Letzter Abruf 01. Februar 2015.
[2] Um die erlebte Geschichte und die intellektuelle Operation zu bezeichnen, gibt es im Französischen nur ein Wort Histoire. In den deutschen Sprachgebrauch unterscheidet man Geschichte und Historie. Vgl. ebd. S. 12-13.


* Hausarbeit Kernbereich- MA. DaF. K04 (Aktuelle Ansätze zur Kulturvermittlung)
   Wintersemester/Sommersemester 2014/2015

   Friedrich-Schiller-Universität Jena
  Institut für Auslandsgermanistik, Deutsch als Fremdsprache, Deutsch als Zweitsprache

Selengkapnya kunjungi link di bawah ini:

ERINNERUNGSORTE IM FREMDSPRACHEUNTERRICHT AM BEISPIEL AUSCHWITZ

VOM ERINNERUNGSORT ZUM LERNORT: EIN (INTER)KULTURELLE UND GESCHICHTLICHE ANSATZ IM LANDESKUNDEUNTERICHT

VOM ERINNERUNGSORT ZUM LERNORT: EIN (INTER)KULTURELLE UND
GESCHICHTLICHE ANSATZ IM LANDESKUNDEUNTERICHT

Zum Konzept der Erinnerungsorte von Pierre Nora als Sprach und
Kulturvermittlung in der Landeskunde für Deutsch als Fremdsprache
am Beispiel der Gedenkstätte Auschwitz – Birkenau

(Elvin Septiani Sagala)

Die menschliche Geschichte ist durch die Erinnerung gekennzeichnet,   die sie mit der Vergangenheit (einem Nicht-mehr) verbindet und ihrem Bewusstsein im Zeitpunkt der Gegenwart (Jetzt) prägt und ihren weiteren Lebensweg in einer Zukunft (einem Späteren oder Noch-nicht) bestimmt.  Hier scheint es, dass die Vergangenheit, die Gegenwart und die Zukunft eng verbunden sind. Die Vergangenheit ist nie bloß historisches Faktum sondern fordert die Menschen auf, daran zu bearbeiten: wahrnehmen, erkennen, deuten und reflektieren. Das ist ein Prozess der Erinnerung an eine Vergangenheit und dies ist der eine Ausgangspunkt dieser Untersuchung. 
Am vergangenen 27. Januar 2015 ist international an die Befreiung des Konzentrations- und Vernichtungslager Auschwitz vor 70 Jahren erinnert worden. Zu diesem Jahrestag der Befreiung von Auschwitz fand die NDR-Moderatorin Anja Reschke in ihrem Kommentar deutliche Worte über den Umgang mit dem Holocaust, was im Internet heftig diskutiert wird :
Auschwitz, Holocaust. Ich kann's nicht mehr hören. Es muss doch mal Schluss sein. (…) Es gibt keinen Schlussstrich in der Geschichte – in keiner. Klar, lieber erinnern wir uns an Karl den Großen, Bismarck oder die Wiedervereinigung – aber Auschwitz ist nun mal passiert. Wieso sollten wir ausgerechnet das Kapitel der Judenverfolgung hinter uns lassen? Dieser Teil unserer Geschichte ist in seiner Abartigkeit so einzigartig, dass er gar nicht vergessen werden kann. Ich bin dritte Generation. Ich war nicht dabei und trotzdem habe ich mich geschämt als ich wieder diese Bilder gesehen habe, weil es zu meiner Identität als  Deutsche  gehört, ob ich will oder nicht. (…)."[1]
Im Zusammenhang mit dem Konzept der Erinnerungsorte von Pierre Nora wird dieses Thema systematisch und kritisch behandelt. Zuerst wird das Konzept der Erinnerungsorte von Pierre Nora dargestellt. In einem zweiten Schritt wird das Konzentrations- und Vernichtungslager in Auschwitz – Birkenau skizziert, welches mit der Holocaustgeschichte verbunden wird. Darüber hinaus wird die Problematik in Bezug auf das Landeskundeseminar für Deutsch als Fremdsprache kritisch behandelt und reflektiert, damit sie richtig und gründlich verstanden wird und daraus wirkungsvolle Ergebnisse für die Lernenden und die Welt gegenwärtig und zukünftig gewonnen werden können. Die Gedenkstätte Auschwitz und die Erinnerung an die Opfer des Holocausts, die in diesem Vernichtungslager ermordet wurden, werden deshalb zum Lernort, um ein Leben gegenwärtig und zukünftig in Freiheit, Selbstbestimmung, Respekt und Dialog schaffen zu können. Dafür muss man zunächst bereit sein, sich mutig und kritisch mit der Vergangenheit (Erinnerungsorte) zu konfrontieren und auseinanderzusetzen. 


[1] Der ganze Kommentar findet sich in Tageschau.de: https://www.tagesschau.de/multimedia/video/video-58075.html. Letzter Abruf 01. Februar 2015.

Selengkapnya kunjungi link di bawah ini:
VOM ERINNERUNGSORT ZUM LERNORT: EIN (INTER)KULTURELLE UND GESCHICHTLICHE ANSATZ IM LANDESKUNDEUNTERICHT

12 July 2017

KOPI KEMARAU

KOPI KEMARAU

Kau seduh kopi senja ini dengan hujan kemarau
Tanpa gaduh di bibir cangkir berkilau
Hanya denting sendok di pekat aroma
Meliuk  di bening hitam menjelma 

Pahit manis diteguk dalam-dalam
Biar habis sebelum  malam tenggelam
Di ujung hari yang merangkak turun ke dasar cangkir
Tiada tersandung di ucap bibir

Ach, kau larutkan saja senyummu pada hitam bubuk
Dan air yang menggelembung naik
Meski jari harus melepuh menyeduh
Tetap teguh dengan genggam yang penuh seluruh

12.07.2017
Foto: @ DUDEN - MEV Verlag, Augsburg

05 July 2017

NTT: Negeri Tak Terjanji (?) - Exodus Kronis Perantau NTT

NTT: Negeri Tak Terjanji (?)
Exodus Kronis para Perantau NTT*

Vianey Lein – Perantau di Jerman

Gelombang perantauan merupakan fenomena yang selalu berkembang secara dramatis seiring arus globalisasi yang memungkinkan mobilitas tenaga pencari kerja. Pasar ekonomi global yang berkembang pesat membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Itu berarti pengiriman tenaga kerja migran adalah sebuah kebijakan pemerintah yang dilakukan secara sadar atas sebuah persetujuan bilateral (Memorandum of Understanding) antara negara pengirim dan negara tujuan yang semestinya menguntungkan kedua belah pihak. Para pekerja migran memberikan kontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di tempat mereka bekerja dan juga di tanah air lewat perolehan devisa. Namun kebijakan negara yang cenderung mengedepankan bussines oriented akhrinya mengabaikan aspek HAM, kesejahteraan dan kesalamatan pada TKI.
Kita tentu masih ingat kematian tragis yang menimpa Dolfina Abuk, TKW asal Kabupaten Timor Tengah Utara – NTT pada April 2016 silam. Dolfina yang bekerja di Malaysia dipulangkan ke kampung halamannya tanpa nyawa dengan jasad penuh jahitan. Tiga bulan setelah kasus Dolfina, Juli 2016, NTT kembali dikejutkan dengan berita meninggalnya Yufrinda Selan di Malaysia – juga dengan kondisi tubuh penuh jahitan. Lebih lanjut, tenggelamnya kapal di perairan Tanjung Rhu, Johor, yang menyusup ilegal ke negara tetangga, Malaysia, di mana dua orang calon Tenaga Kerja Indonesia, Maria Reku dan Marlina Sere, juga menjadi korban pada Januari 2017, turut menambah pelik deretan persoalan perantauan di NTT. Sepanjang tahun 2016 hingga awal Januari 2017 sudah terhitung 49 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT yang meninggal di luar negeri baik karena alasan kesehatan maupun menjadi korban pembunuhan. Sebagian besar dari jumlah tersebut masuk melalui jalur ilegal (Kompas 13 Januari 2017). Saat ini sudah terhitung 1.952 TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri (Data BP3TKI Kupang: Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia: 2015). Sehubungan dengan jumlah TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri yang tidak sedikit (mungkin masih ada yang tergiur untuk merantau) dan berbagai realitas ketidakadilan dan kekerasan yang mereka alami, perlu ditelusuri hubungan kausalitas dan mendesak sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.

Exodus Israel dan Exodus 1947
Kisah legendaris pembebasan Israel dari perbudakan Mesir dan berhijrah (exodus) ke negeri terjanji Kanaan sebagaimana yang dilukiskan dalam Kitab Perjanjian Lama orang Kristen (Kitab Keluaran: Yunani= ἔξοδος [éxodos]= pergi ke luar) merupakan episode penting dalam sejarah keselamatan umat perjanjian lama. Pemahaman mereka akan Jahwe atau Allah pun ditempa dalam pengalaman exodus yang mereka alami, sebagai Jahwe Exsodus, Jahwe yang membebaskan. Kisah Exsodus Israel bertautan erat dengan peta politik, tata perekonomian dan kultus-agamais. Bertubi-tubi penindasan yang mereka alami dari setiap pemerintahan yang berkuasa di Mesir, kerja paksa dan perbudakan yang dibebankan, mengharuskan mereka „mengungsi“ ke negeri terjanji Kanaan, negeri yang berlimpah susu dan madu“.
Pengalaman exodus lain yang juga menjadi catatan penting sejarah Holocaust adalah Exodus 1947. Lebih dari 4000 orang Yahudi yang selamat dari kamp-kamp konsentrasi pemerintahan Nazi Jerman berusaha menyeberangi Prancis untuk mencapai Palestina pada 1947. Namun usaha untuk keluar dari liang neraka kebrutalan yang telah membantai jutaan nyawa itu berujung pada mimpi buruk: kapal yang mereka tumpangi diserang oleh kapal tentara Inggris. Mereka dilarang masuk Palestina secara ilegal dan akhrinya dipulangkan ke negara asal.

NTT: Negeri Tak Terjanji (?)
Niat para perantau untuk „mengungsi“ keluar dari wilayah NTT tentu dilatarbelakangi oleh berbagai alasan dan motivasi: persaingan ekonomi yang kian ketat dan rigorus tanpa kompromi, kemiskinan yang mencekik, tingkat pendidikan yang tidak memenuhi standar bursa kerja serta lapangan kerja atau usaha yang belum cukup menyerap tenaga kerja. Di rumah tangga sendiri oikos mereka tidak mengecap kemakmuran karena kebijakan-kebijakan pemerintah hanya terpental janji, membentur pada tembok batas kemiskinan yang memenjarakan mereka. Di lingkungan ekologi kepunyaan sendiri mereka justru menjadi asing dan dianak-tirikan ketika hak ulayat tanah dicaplok untuk lahan subur kapitalisme, ketika rumah mereka digusur dan di atasnya dirakit mesin industri tambang yang buas menelan kandungan bumi. Hanyalah musibah demi musibah yang menyengsarakan yang mereka dapat dari aktivitas tambang. Hidup dan masa depan mereka terancam. Menjadi buruh kasar dengan upah rendah di lokasi tambang mungkin menjadi pilihan satu-satunya untuk memperpanjang hidup. Ya, seperti bangsa Israel yang menjadi budak di Mesir selama beberapa tahun, mereka juga menjadi „budak“ di negeri sendiri di bawah kolonialisme ekonomi. Para pemimpin yang diharapkan untuk bisa membawa mereka keluar dari situasi penindasan justru berselingkuh dengan pihak korporasi tambang dan hanya melahirkan berbagai praktek manipulatif dan koruptif. Merantau ke Malaysia atau Hongkong lalu menjadi solusi alternatif mengubah perekonomian rumah tangga karena mereka yakin, bahwa di negeri-negeri itu „berlimpah susu dan madunya“. Ada yang merantau untuk beberapa tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan menghabiskan masa hidup di negeri perantauan. Mungkin bagi mereka Malaysia atau Hongkong atau negara lainnya menjadi negeri terjanji buat keluarga dan keturunan – bukan NTT (!?)
Namun impian untuk mengubah nasib hidup di tanah rantau terkadang berakhir pada kematian tragis seperti yang dialami Dolfina dan teman-temannya. Sistem perekrutan calon TKI ilegal yang tak lain adalah modus perdagangan manusia (human trafficking) justru semakin menyengsarakan para perantau (TKI). Sudah jatuh ditimpa tangga. Di atas penderitaan warga seperti itu masih saja ada oknum yang „memancing di air keruh“, tega menjual sesama saudara sebangsa (biasanya perempuan dan anak-anak). Mereka adalah korban iming-iming menggiurkan berupa gaji yang besar karena yang dialami justru berbagai praktek kekerasan, baik fisik, seksual maupun psikis, keterlambatan mendapat gaji bulanan bahkan tidak sama sekali dibayar hingga dipulangkan secara tidak manusiawi ke daerah asal.  Lalu, di manakah „negeri terjanji“ buat mereka?

Solusi
Menyoal masalah perantauan bukan lagi wacana yang sama sekali baru namun selalu menjadi persoalan faktual yang mendesak untuk didiskusikan dan disikapi. Usaha ini harus menjadi aksi bersama antara warga, pemerintah, agama, dan berbagai pihak terkait. Mengalirnya banyak perantau NTT ke luar negeri tidaklah menjadi kebanggaan pemerintah propinsi karena jalinan kerjasama bilateral dengan negara tertentu. Hal itu justru merupakan simbol kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja.
Di tengah pasar global bebas, pemerintah tidak mungkin menghalangi rakyat ke luar negeri untuk menafkahi hidup. Tetapi hal itu tidak juga berarti „pembiaran“ terhadap arus migrasi tanpa membuka ruang baru untuk alternatif lain. Di sini pemerintah ditantang untuk cerdas dan mampu menciptakan lapangan kerja dan berusaha meningkatkan mutu pendidikan rakyat sesuai standar bursa kerja. Terhadap realitas kemiskinan (struktural) yang tidak sedikit disebabkan oleh sistem yang tidak adil dan korup, perlu diadakan pengawasan terhadap sistem birokrasi yang memberikan kesempatan dan akses yang merata bagi setiap orang dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Di samping itu lembaga koperasi yang adalah sokoguru perekonomian mesti digiatkan dan diperkuat lagi peran dan fungsinya di desa-desa.
Isu perdagangan manusia dan berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap TKI NTT di luar negeri tidak boleh menjadi masalah kronis yang berlarut-larut tanpa aksi solutif. Pemerintah mesti berani menyikapi berbagai kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang menimpa TKI demi penegakan HAM, kesejahteraan dan keselamatan warga. Ini merupakan bentuk pembebasan TKI dari perbudakan di tanah rantau dan menghantar mereka ke negeri terjanji. Kaum miskin dan lemah harusnya dilindungi dan bukannya ditindas. Dalam usaha meningkatkan pengawasan yang ketat dan jujur terhadap proses rekrutmen TKI, perlu diadakan pelatihan dan pendidikan serta pembekalan bagi para calon TKI; lebih lanjut mereka mesti mendapat perlindungan selama berada di luar negeri hingga kembali ke tanah air.
Berbagai upaya pemerintah dalam kerjasama dengan semua pihak untuk menciptakan lapangan kerja, kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan perhatian kepada TKI menjadikan mereka tidak merasa asing di tempat kelahiran atau merasa dianak-tirikan. Ini merupakan tugas bersama untuk saling membantu agar semua dapat menemukan dan merasakan, bahwa NTT adalah tanah harapan, tanah air yang menjanjikan hidup bersama yang lebih baik, negeri yang berlimpah hasil alam, negeri tanpa „perbudakan“.***
*Dimuat pada kolom Opini Surat Kabar Harian Pos Kupang, Jumat, 30 Juni 2017