500 TAHUN REFORMASI
LUTHER DAN DEMOKRASI*
Vianey
Lein
Mahasiswa
Pasca Sarjana
Philosophisch-
Theologische Hochschule SVD St. Augustin – Jerman
Mengingat-mengenang
merupakan proses refleksi tentang diri dan dunia dalam pilinan waktu lampau
(sejarah atau kenangan), kekinian dan masa akanan. Karena itu aktus mengingat-mengenang
bukanlah sekadar arus balik-perjalanan pulang merunut sejarah masa lalu dalam
bingkai pengulangan ritual, atau nostalgia yang terbakar rindu atas tumpukan
dan deretan cerita yang telah lampau, melainkan sebuah „dialektika berpikir“ kritis
dalam pertautan sejarah masa lalu dengan realitas kekinian, hic et nunc, serentak tetap terbuka
terhadap harapan futuris.
Reformasi Luther
Peristiwa
historis Reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther (1483–1546) akan memasuki 500 Tahun
pada 31 Oktober 2017 mendatang. Dalam rangka perayaan lima Abad Jubileum momen
bersejerah itu, sejak 31 Oktober 2016 telah diselenggarakan berbagai kegiatan
dan aksi. Mengingat-mengenang peristiwa Reformasi 500 tahun silam dan merayakan
usia lima abad di tahun 2017 adalah sebuah undangan untuk berani
mengkonfrontasikan nilai-nilai historis dengan realitas kekinian, terlebih
untuk memikirkan kembali iman dan agama dalam dunia dewasa ini.
Gerakan
reformasi Luther merupakan salah satu tonggak penting sejarah dunia. Reformasi
Luther pertama-tama merupakan sejarah iman (keagamaan:kekristenan) yang
berbenturan langsung dengan warisan-warisan teologis (doktirn/dogma) dan dinamika
politik gereja pada masa itu. Krisis moral yang terjadi dalam tubuh Gereja
Katolik pada masa itu, terlebih dalam struktur hierarki Gereja mulai dari kalangan
klerus hingga para paus, merupakan persoalan pelik yang melatar-belakangi pergolakan
yang dilancarkan Luther yang adalah juga seorang imam-rahib dari Ordo Santo
Agustinus. „Perkawinan“ antara Gereja (agama) dan kekaiseran (politik) menjadikan
Gereja
berada dan berlindung langsung di bawah mantel kekaiseran. Hal ini juga turut melahirkan
dua pola otoritas: caesaropapisme (Latin: caesar,
„Kaiser“, und papa, „Paus“), di mana pemimpin politik
berperan sekaligus sebagai pemimpin
Gereja, juga menjadi hakim dalam memutuskan persoalan dogmatis-teologis,
dan hierokrasi yang
memungkinkan klerus atau institusi keagamaan menerapkan kekuasaanya juga
dalam ranah politik; kebijakan politik mesti mendapat legitimasi keagamaan. Gerak
perjuangan Luther dapat dimengerti dalam konteks kecenderungan kekuasaan ini. Masyarakat
– khususnya buruh tani dan kaum jelata – dikepung oleh kesewenangan politis dan
skandal teologis seperti kapitalisasi keselamatan eskatologis lewat penjualan
indulgensi atau surat pengampunan dosa yang secara keras dan tegas ditentang
Luther. Lewat gerakan reformasinya Luther ingin memisahkan urusan Gereja
(agama) dari negara (ruang politik) agar nilai-nilai „demokrasi“ tidak
terpasung dalam monopoli kekuasaan para klerus atau paus dan segala kebijakan
politik tidak dibangun atas legitimasi agama. Dengan reformasi – lewat 95 tesis
yang dipakukan di pintu Gereja pada 31 Oktober 1517 - proses panjang pemisahan
Gereja (agama) dari negara (politik) dimulai. Tesis-tesisnya juga merupakan
kritik keras terhadap terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan dan pasar
kapitalis yang dikuasai kaum borjuis. Itu berarti, peristiwa reformasi bukanlah
perjuangan agama semata melainkan bertalian erat dengan dinamika politik dan
budaya pada masa itu.
Lalu apa makna perayaan 500 Tahun
Reformasi untuk konteks Indonesia yang jauh dari episentrum reformasi di
Wittenberg-Jerman? Adakah makna atau nilai politis dari perisitwa Reformasi
bagi perkembangan tatanan demokrasi di Tanah Air?
Lima Abad Reformasi: Memikirkan
kembali Hubungan Agama-Negara
Dalam
sebuah ruang publik agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda. Dalam
perjuangannya, Luther ingin menegaskan adanya demarkasi antara Gereja (agama)
dan negara (politik). Menurutnya, Gereja dan Negara merupakan „dua kerajaan“
atau pemerintahan (zwei Regimente) yang memiliki cakupan tugas dan tanggung
jawab yang berbeda: yang satu menuntun kepada kesalehan, dan yang lain
mengusahakan kedamaian dan menghalau segala yang jahat (ajaran „dua
pemerintahan“ Luther ini kemudian dikritik oleh Karl Barth, seorang teolog
berkebangsaan Swiss, bdk. „Höck: 2017).
Menelisik
dinamika politik di Tanah Air kita menemukan bahwa agama kini menjadi isu
sentral dalam demokrasi bangsa. Agama menjadi tunggangan seksi para politisi
dalam merebut dan melanggengkan kekuasaan. Isu agama berkembang liar bak kuda
Troya yang memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial dan simpul toleransi. Peran
agama yang memberi interupsi moral dan kritik profetis terhadap berbagai
kepincangan sosio-politis pun kehilangan taringnya oleh karena racun suap dan
kontrol penguasa.
Pada
sisi lain intervensi agama juga keras diteriakan di ruang publik untuk
memengaruhi proses pengambilan kebijakan publik hingga lupa bahwa NKRI adalah
negara hukum dan bukannya negara agama. Ancaman tidak menyolatkan jenazah bagi
yang memilih calon pemimpin lawan politik pada Pilkada DKI 2017 adalah bukti
instumentalisasi agama demi kepentingan politik. Hal ini mirip dengan tuntutan
membeli surat indulgensi di bawah propaganda Johan Tetzel, seorang Dominikan,
agar dosa pembeli diampuni dan keluarganya yang telah meninggal dapat bebas
dari penyiksaan di api penyucian: „Sobald das Geld im Kasten klingt, die Seele
in den Himmel springt“ – begitu koin masuk dalam peti sumbangan, jiwa mereka
akan tersentak dan masuk ke dalam Surga.
Hubungan
antara agama dan negara juga menjadi kajian seorang Filsuf Jerman, Jürgen
Habermas, dalam sebuah perdebatan publik dengan Joseph Ratzinger - Paus
Benediktus XVI (Dialektik der Säkularisierung: Über Vernunft und Religion).
Pemisahan negara dan agama menggariskan ketidakberpihakan yang ketat dari
institusi-instituis politis terhadap kelompok agama terntu. Pembiaran
legitimasi religius dalam proses legislasi adalah pencederaan atas asas
„netralitas“ (bdk. Habermas: 2005, 129). Lebih lanjut ia mengingatkan, bahwa
dominasi mayoritas yang berargumentasi secara religius dalam ruang publik dengan
tidak mengindahkan aspirasi politik kelompok minoritas, akan menjelma menjadi
penindasan (Ibid: 140).
Reformasi
yang dilancarkan Luther pada 500 tahun silam kiranya menjadi undangan yang
menantang setiap agama untuk berani mereformasi diri (hati) dan institusi di
atas dasar pilar-pilar toleransi, kebebasan dan tanggung jawab dalam kehidupan
bernegara. Kecenderungan politisasi agama yang tentunya mencederai esensi agama
dan pluralisme mesti dipatahkan demi sebuah demokrasi yang beradab.***
Foto: Martin Luther/Wikipedia
Tulisan ini terbit di Media Online Satu Harapan.com, 19 Juli 2017