PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

05 July 2017

NTT: Negeri Tak Terjanji (?) - Exodus Kronis Perantau NTT

NTT: Negeri Tak Terjanji (?)
Exodus Kronis para Perantau NTT*

Vianey Lein – Perantau di Jerman

Gelombang perantauan merupakan fenomena yang selalu berkembang secara dramatis seiring arus globalisasi yang memungkinkan mobilitas tenaga pencari kerja. Pasar ekonomi global yang berkembang pesat membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Itu berarti pengiriman tenaga kerja migran adalah sebuah kebijakan pemerintah yang dilakukan secara sadar atas sebuah persetujuan bilateral (Memorandum of Understanding) antara negara pengirim dan negara tujuan yang semestinya menguntungkan kedua belah pihak. Para pekerja migran memberikan kontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di tempat mereka bekerja dan juga di tanah air lewat perolehan devisa. Namun kebijakan negara yang cenderung mengedepankan bussines oriented akhrinya mengabaikan aspek HAM, kesejahteraan dan kesalamatan pada TKI.
Kita tentu masih ingat kematian tragis yang menimpa Dolfina Abuk, TKW asal Kabupaten Timor Tengah Utara – NTT pada April 2016 silam. Dolfina yang bekerja di Malaysia dipulangkan ke kampung halamannya tanpa nyawa dengan jasad penuh jahitan. Tiga bulan setelah kasus Dolfina, Juli 2016, NTT kembali dikejutkan dengan berita meninggalnya Yufrinda Selan di Malaysia – juga dengan kondisi tubuh penuh jahitan. Lebih lanjut, tenggelamnya kapal di perairan Tanjung Rhu, Johor, yang menyusup ilegal ke negara tetangga, Malaysia, di mana dua orang calon Tenaga Kerja Indonesia, Maria Reku dan Marlina Sere, juga menjadi korban pada Januari 2017, turut menambah pelik deretan persoalan perantauan di NTT. Sepanjang tahun 2016 hingga awal Januari 2017 sudah terhitung 49 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT yang meninggal di luar negeri baik karena alasan kesehatan maupun menjadi korban pembunuhan. Sebagian besar dari jumlah tersebut masuk melalui jalur ilegal (Kompas 13 Januari 2017). Saat ini sudah terhitung 1.952 TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri (Data BP3TKI Kupang: Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia: 2015). Sehubungan dengan jumlah TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri yang tidak sedikit (mungkin masih ada yang tergiur untuk merantau) dan berbagai realitas ketidakadilan dan kekerasan yang mereka alami, perlu ditelusuri hubungan kausalitas dan mendesak sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.

Exodus Israel dan Exodus 1947
Kisah legendaris pembebasan Israel dari perbudakan Mesir dan berhijrah (exodus) ke negeri terjanji Kanaan sebagaimana yang dilukiskan dalam Kitab Perjanjian Lama orang Kristen (Kitab Keluaran: Yunani= ἔξοδος [éxodos]= pergi ke luar) merupakan episode penting dalam sejarah keselamatan umat perjanjian lama. Pemahaman mereka akan Jahwe atau Allah pun ditempa dalam pengalaman exodus yang mereka alami, sebagai Jahwe Exsodus, Jahwe yang membebaskan. Kisah Exsodus Israel bertautan erat dengan peta politik, tata perekonomian dan kultus-agamais. Bertubi-tubi penindasan yang mereka alami dari setiap pemerintahan yang berkuasa di Mesir, kerja paksa dan perbudakan yang dibebankan, mengharuskan mereka „mengungsi“ ke negeri terjanji Kanaan, negeri yang berlimpah susu dan madu“.
Pengalaman exodus lain yang juga menjadi catatan penting sejarah Holocaust adalah Exodus 1947. Lebih dari 4000 orang Yahudi yang selamat dari kamp-kamp konsentrasi pemerintahan Nazi Jerman berusaha menyeberangi Prancis untuk mencapai Palestina pada 1947. Namun usaha untuk keluar dari liang neraka kebrutalan yang telah membantai jutaan nyawa itu berujung pada mimpi buruk: kapal yang mereka tumpangi diserang oleh kapal tentara Inggris. Mereka dilarang masuk Palestina secara ilegal dan akhrinya dipulangkan ke negara asal.

NTT: Negeri Tak Terjanji (?)
Niat para perantau untuk „mengungsi“ keluar dari wilayah NTT tentu dilatarbelakangi oleh berbagai alasan dan motivasi: persaingan ekonomi yang kian ketat dan rigorus tanpa kompromi, kemiskinan yang mencekik, tingkat pendidikan yang tidak memenuhi standar bursa kerja serta lapangan kerja atau usaha yang belum cukup menyerap tenaga kerja. Di rumah tangga sendiri oikos mereka tidak mengecap kemakmuran karena kebijakan-kebijakan pemerintah hanya terpental janji, membentur pada tembok batas kemiskinan yang memenjarakan mereka. Di lingkungan ekologi kepunyaan sendiri mereka justru menjadi asing dan dianak-tirikan ketika hak ulayat tanah dicaplok untuk lahan subur kapitalisme, ketika rumah mereka digusur dan di atasnya dirakit mesin industri tambang yang buas menelan kandungan bumi. Hanyalah musibah demi musibah yang menyengsarakan yang mereka dapat dari aktivitas tambang. Hidup dan masa depan mereka terancam. Menjadi buruh kasar dengan upah rendah di lokasi tambang mungkin menjadi pilihan satu-satunya untuk memperpanjang hidup. Ya, seperti bangsa Israel yang menjadi budak di Mesir selama beberapa tahun, mereka juga menjadi „budak“ di negeri sendiri di bawah kolonialisme ekonomi. Para pemimpin yang diharapkan untuk bisa membawa mereka keluar dari situasi penindasan justru berselingkuh dengan pihak korporasi tambang dan hanya melahirkan berbagai praktek manipulatif dan koruptif. Merantau ke Malaysia atau Hongkong lalu menjadi solusi alternatif mengubah perekonomian rumah tangga karena mereka yakin, bahwa di negeri-negeri itu „berlimpah susu dan madunya“. Ada yang merantau untuk beberapa tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan menghabiskan masa hidup di negeri perantauan. Mungkin bagi mereka Malaysia atau Hongkong atau negara lainnya menjadi negeri terjanji buat keluarga dan keturunan – bukan NTT (!?)
Namun impian untuk mengubah nasib hidup di tanah rantau terkadang berakhir pada kematian tragis seperti yang dialami Dolfina dan teman-temannya. Sistem perekrutan calon TKI ilegal yang tak lain adalah modus perdagangan manusia (human trafficking) justru semakin menyengsarakan para perantau (TKI). Sudah jatuh ditimpa tangga. Di atas penderitaan warga seperti itu masih saja ada oknum yang „memancing di air keruh“, tega menjual sesama saudara sebangsa (biasanya perempuan dan anak-anak). Mereka adalah korban iming-iming menggiurkan berupa gaji yang besar karena yang dialami justru berbagai praktek kekerasan, baik fisik, seksual maupun psikis, keterlambatan mendapat gaji bulanan bahkan tidak sama sekali dibayar hingga dipulangkan secara tidak manusiawi ke daerah asal.  Lalu, di manakah „negeri terjanji“ buat mereka?

Solusi
Menyoal masalah perantauan bukan lagi wacana yang sama sekali baru namun selalu menjadi persoalan faktual yang mendesak untuk didiskusikan dan disikapi. Usaha ini harus menjadi aksi bersama antara warga, pemerintah, agama, dan berbagai pihak terkait. Mengalirnya banyak perantau NTT ke luar negeri tidaklah menjadi kebanggaan pemerintah propinsi karena jalinan kerjasama bilateral dengan negara tertentu. Hal itu justru merupakan simbol kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja.
Di tengah pasar global bebas, pemerintah tidak mungkin menghalangi rakyat ke luar negeri untuk menafkahi hidup. Tetapi hal itu tidak juga berarti „pembiaran“ terhadap arus migrasi tanpa membuka ruang baru untuk alternatif lain. Di sini pemerintah ditantang untuk cerdas dan mampu menciptakan lapangan kerja dan berusaha meningkatkan mutu pendidikan rakyat sesuai standar bursa kerja. Terhadap realitas kemiskinan (struktural) yang tidak sedikit disebabkan oleh sistem yang tidak adil dan korup, perlu diadakan pengawasan terhadap sistem birokrasi yang memberikan kesempatan dan akses yang merata bagi setiap orang dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Di samping itu lembaga koperasi yang adalah sokoguru perekonomian mesti digiatkan dan diperkuat lagi peran dan fungsinya di desa-desa.
Isu perdagangan manusia dan berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap TKI NTT di luar negeri tidak boleh menjadi masalah kronis yang berlarut-larut tanpa aksi solutif. Pemerintah mesti berani menyikapi berbagai kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang menimpa TKI demi penegakan HAM, kesejahteraan dan keselamatan warga. Ini merupakan bentuk pembebasan TKI dari perbudakan di tanah rantau dan menghantar mereka ke negeri terjanji. Kaum miskin dan lemah harusnya dilindungi dan bukannya ditindas. Dalam usaha meningkatkan pengawasan yang ketat dan jujur terhadap proses rekrutmen TKI, perlu diadakan pelatihan dan pendidikan serta pembekalan bagi para calon TKI; lebih lanjut mereka mesti mendapat perlindungan selama berada di luar negeri hingga kembali ke tanah air.
Berbagai upaya pemerintah dalam kerjasama dengan semua pihak untuk menciptakan lapangan kerja, kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan perhatian kepada TKI menjadikan mereka tidak merasa asing di tempat kelahiran atau merasa dianak-tirikan. Ini merupakan tugas bersama untuk saling membantu agar semua dapat menemukan dan merasakan, bahwa NTT adalah tanah harapan, tanah air yang menjanjikan hidup bersama yang lebih baik, negeri yang berlimpah hasil alam, negeri tanpa „perbudakan“.***
*Dimuat pada kolom Opini Surat Kabar Harian Pos Kupang, Jumat, 30 Juni 2017





No comments:

Post a Comment