NTT:
Negeri Tak Terjanji (?)
Exodus Kronis para Perantau NTT*
Vianey Lein – Perantau
di Jerman
Gelombang
perantauan merupakan fenomena yang selalu berkembang secara dramatis seiring
arus globalisasi yang memungkinkan mobilitas tenaga pencari kerja. Pasar ekonomi
global yang berkembang pesat membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Itu berarti
pengiriman tenaga kerja migran adalah sebuah kebijakan pemerintah yang
dilakukan secara sadar atas sebuah persetujuan bilateral (Memorandum of Understanding) antara negara pengirim dan negara
tujuan yang semestinya menguntungkan kedua belah pihak. Para pekerja migran
memberikan kontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di tempat
mereka bekerja dan juga di tanah air lewat perolehan devisa. Namun kebijakan
negara yang cenderung mengedepankan bussines
oriented akhrinya mengabaikan aspek HAM, kesejahteraan dan kesalamatan pada
TKI.
Kita tentu masih
ingat kematian tragis yang menimpa Dolfina Abuk, TKW asal Kabupaten Timor
Tengah Utara – NTT pada April 2016 silam. Dolfina yang bekerja di Malaysia
dipulangkan ke kampung halamannya tanpa nyawa dengan jasad penuh jahitan. Tiga
bulan setelah kasus Dolfina, Juli 2016, NTT kembali dikejutkan dengan berita
meninggalnya Yufrinda Selan di Malaysia – juga dengan kondisi tubuh penuh
jahitan. Lebih lanjut, tenggelamnya kapal di perairan Tanjung Rhu, Johor, yang
menyusup ilegal ke negara tetangga, Malaysia, di mana dua orang calon Tenaga
Kerja Indonesia, Maria Reku dan Marlina Sere, juga menjadi korban pada Januari
2017, turut menambah pelik deretan persoalan perantauan di NTT. Sepanjang tahun
2016 hingga awal Januari 2017 sudah terhitung 49 Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
asal NTT yang meninggal di luar negeri baik karena alasan kesehatan maupun
menjadi korban pembunuhan. Sebagian besar dari jumlah tersebut masuk melalui
jalur ilegal (Kompas 13 Januari 2017). Saat ini sudah terhitung 1.952 TKI asal
NTT yang bekerja di luar negeri (Data BP3TKI Kupang: Balai Pelayanan Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia: 2015). Sehubungan dengan jumlah TKI
asal NTT yang bekerja di luar negeri yang tidak sedikit (mungkin masih ada yang
tergiur untuk merantau) dan berbagai realitas ketidakadilan dan kekerasan yang
mereka alami, perlu ditelusuri hubungan kausalitas dan mendesak sikap yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Exodus Israel dan Exodus 1947
Kisah legendaris
pembebasan Israel dari perbudakan Mesir dan berhijrah (exodus) ke negeri
terjanji Kanaan sebagaimana yang dilukiskan dalam Kitab Perjanjian Lama orang
Kristen (Kitab Keluaran: Yunani= ἔξοδος [éxodos]=
pergi ke luar) merupakan episode
penting dalam sejarah keselamatan umat perjanjian lama. Pemahaman mereka akan
Jahwe atau Allah pun ditempa dalam pengalaman exodus yang mereka alami, sebagai
Jahwe Exsodus, Jahwe yang membebaskan. Kisah Exsodus Israel bertautan erat
dengan peta politik, tata perekonomian dan kultus-agamais. Bertubi-tubi
penindasan yang mereka alami dari setiap pemerintahan yang berkuasa di Mesir,
kerja paksa dan perbudakan yang dibebankan, mengharuskan mereka „mengungsi“ ke
negeri terjanji Kanaan, negeri yang berlimpah susu dan madu“.
Pengalaman
exodus lain yang juga menjadi catatan penting sejarah Holocaust adalah Exodus
1947. Lebih dari 4000 orang Yahudi yang selamat dari kamp-kamp konsentrasi
pemerintahan Nazi Jerman berusaha menyeberangi Prancis untuk mencapai Palestina
pada 1947. Namun usaha untuk keluar dari liang neraka kebrutalan yang telah
membantai jutaan nyawa itu berujung pada mimpi buruk: kapal yang mereka
tumpangi diserang oleh kapal tentara Inggris. Mereka dilarang masuk Palestina
secara ilegal dan akhrinya dipulangkan ke negara asal.
NTT: Negeri Tak Terjanji (?)
Niat para
perantau untuk „mengungsi“ keluar dari wilayah NTT tentu dilatarbelakangi oleh
berbagai alasan dan motivasi: persaingan ekonomi yang kian ketat dan rigorus tanpa kompromi, kemiskinan yang
mencekik, tingkat pendidikan yang tidak memenuhi standar bursa kerja serta
lapangan kerja atau usaha yang belum cukup menyerap tenaga kerja. Di rumah
tangga sendiri oikos mereka tidak
mengecap kemakmuran karena kebijakan-kebijakan pemerintah hanya terpental
janji, membentur pada tembok batas kemiskinan yang memenjarakan mereka. Di
lingkungan ekologi kepunyaan sendiri mereka justru menjadi asing dan
dianak-tirikan ketika hak ulayat tanah dicaplok untuk lahan subur kapitalisme,
ketika rumah mereka digusur dan di atasnya dirakit mesin industri tambang yang buas
menelan kandungan bumi. Hanyalah musibah demi musibah yang menyengsarakan yang
mereka dapat dari aktivitas tambang. Hidup dan masa depan mereka terancam.
Menjadi buruh kasar dengan upah rendah di lokasi tambang mungkin menjadi
pilihan satu-satunya untuk memperpanjang hidup. Ya, seperti bangsa Israel yang
menjadi budak di Mesir selama beberapa tahun, mereka juga menjadi „budak“ di
negeri sendiri di bawah kolonialisme ekonomi. Para pemimpin yang diharapkan
untuk bisa membawa mereka keluar dari situasi penindasan justru berselingkuh
dengan pihak korporasi tambang dan hanya melahirkan berbagai praktek
manipulatif dan koruptif. Merantau ke Malaysia atau Hongkong lalu menjadi
solusi alternatif mengubah perekonomian rumah tangga karena mereka yakin, bahwa
di negeri-negeri itu „berlimpah susu dan madunya“. Ada yang merantau untuk
beberapa tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan menghabiskan masa hidup di negeri
perantauan. Mungkin bagi mereka Malaysia atau Hongkong atau negara lainnya
menjadi negeri terjanji buat keluarga dan keturunan – bukan NTT (!?)
Namun impian
untuk mengubah nasib hidup di tanah rantau terkadang berakhir pada kematian
tragis seperti yang dialami Dolfina dan teman-temannya. Sistem perekrutan calon
TKI ilegal yang tak lain adalah modus perdagangan manusia (human trafficking) justru semakin menyengsarakan para perantau
(TKI). Sudah jatuh ditimpa tangga. Di atas penderitaan warga seperti itu masih
saja ada oknum yang „memancing di air keruh“, tega menjual sesama saudara
sebangsa (biasanya perempuan dan anak-anak). Mereka adalah korban iming-iming
menggiurkan berupa gaji yang besar karena yang dialami justru berbagai praktek
kekerasan, baik fisik, seksual maupun psikis, keterlambatan mendapat gaji
bulanan bahkan tidak sama sekali dibayar hingga dipulangkan secara tidak
manusiawi ke daerah asal. Lalu, di
manakah „negeri terjanji“ buat mereka?
Solusi
Menyoal masalah
perantauan bukan lagi wacana yang sama sekali baru namun selalu menjadi
persoalan faktual yang mendesak untuk didiskusikan dan disikapi. Usaha ini
harus menjadi aksi bersama antara warga, pemerintah, agama, dan berbagai pihak
terkait. Mengalirnya banyak perantau NTT ke luar negeri tidaklah menjadi
kebanggaan pemerintah propinsi karena jalinan kerjasama bilateral dengan negara
tertentu. Hal itu justru merupakan simbol kegagalan pemerintah dalam
menciptakan lapangan kerja.
Di tengah pasar
global bebas, pemerintah tidak mungkin menghalangi rakyat ke luar negeri untuk
menafkahi hidup. Tetapi hal itu tidak juga berarti „pembiaran“ terhadap arus
migrasi tanpa membuka ruang baru untuk alternatif lain. Di sini pemerintah
ditantang untuk cerdas dan mampu menciptakan lapangan kerja dan berusaha
meningkatkan mutu pendidikan rakyat sesuai standar bursa kerja. Terhadap
realitas kemiskinan (struktural) yang tidak sedikit disebabkan oleh sistem yang
tidak adil dan korup, perlu diadakan pengawasan terhadap sistem birokrasi yang
memberikan kesempatan dan akses yang merata bagi setiap orang dalam usaha
pemenuhan kebutuhan hidup. Di samping itu lembaga koperasi yang adalah sokoguru
perekonomian mesti digiatkan dan diperkuat lagi peran dan fungsinya di
desa-desa.
Isu perdagangan
manusia dan berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap TKI NTT di luar negeri
tidak boleh menjadi masalah kronis yang berlarut-larut tanpa aksi solutif.
Pemerintah mesti berani menyikapi berbagai kasus kekerasan atau pelanggaran HAM
yang menimpa TKI demi penegakan HAM, kesejahteraan dan keselamatan warga. Ini
merupakan bentuk pembebasan TKI dari perbudakan di tanah rantau dan menghantar
mereka ke negeri terjanji. Kaum miskin dan lemah harusnya dilindungi dan
bukannya ditindas. Dalam usaha meningkatkan pengawasan yang ketat dan jujur
terhadap proses rekrutmen TKI, perlu diadakan pelatihan dan pendidikan serta
pembekalan bagi para calon TKI; lebih lanjut mereka mesti mendapat perlindungan
selama berada di luar negeri hingga kembali ke tanah air.
Berbagai upaya
pemerintah dalam kerjasama dengan semua pihak untuk menciptakan lapangan kerja,
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan perhatian kepada TKI menjadikan
mereka tidak merasa asing di tempat kelahiran atau merasa dianak-tirikan. Ini
merupakan tugas bersama untuk saling membantu agar semua dapat menemukan dan
merasakan, bahwa NTT adalah tanah harapan, tanah air yang menjanjikan hidup
bersama yang lebih baik, negeri yang berlimpah hasil alam, negeri tanpa
„perbudakan“.***
*Dimuat pada kolom Opini Surat Kabar Harian Pos Kupang, Jumat, 30 Juni 2017
No comments:
Post a Comment