PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

24 November 2016

PURNAMA CINTA

PURNAMA CINTA

Di bawah kibaran purnama  kita rayakan cinta  
Di atas taburan musim gugur membadai
Dari pohon-pohon rindu meranggas gigil cemburu kita
Dimabuk tumpah gerimis yang kita aduk bersama anggur merah dara
Dalam cawan dahaga perantau-pengungsi digadai

Quelle: https://www.allmystery.de/i/tcbd3ca_der-erste-kuss.jpg 
Jangan kau cium di lain tempat, cukup saja di bibir
Dari sana mengalir ke muara hati dalam
Jangan terlalu terpaksa, tapi juga jangan bebas liar
Jangan dengan lidah yang terus diam

Jangan sebentar saja, tapi juga jangan terlalu lama
Itu menggemaskan, itu membosankan
Berisik jangan kau bunyikan, hening kau gaduhkan jangan
Berteduh di aliran nafas, bernaung di dekap rasa

Jangan terlalu dekat, jangan terlalu jauh
Ini bikin gugup, bikin tersiksa
Jangan terlalu kering, jangan terlalu basah

Jangan terlalu kasar, jangan terlalu lembut
Kali ini tak lagi nyasar, tak lagi meleset
hingga gigil rindu kita jatuh ke dalam pagi
Yang menyimpan hangat dekap kita erat-lekat

Di luar sana,
purnama disayat kabut

Mülldorf, 17 November 2016

KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS

KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS*

Vianey Lein


Tak dipungkiri lagi bahwa dalam dunia dewasa ini pers menjadi pilar penting dalam sebuah masyarakat demokrasi. Hal ini turut mengafirmasi bahwa tanpa kebebasan pers, masyarakat demokrasi pun tidak ada. Pers atau media yang terpercaya dengan jurnalis yang bebas dan bertanggung jawab menjadi asupan nutrisi penting dalam merangsang tumbuh-kembangnya sebuah bangunan demokrasi. Para jurnalis sesungguhnya adalah agen-agen perubahan sosial dalam memberi informasi dan berani serta bertanggung jawab „menelanjangi“ segala „salah urus“ (politik) dalam masyarakat. Fungsi kontrol ini menjadikan pers sebagai „Wachhund“ (watchdog) – anjing penjaga demokrasi. Di samping Negara Hukum, Masyarakat madani (civil society) dan Infrastruktur politik (partai politik), pers menjadi kekuatan ke-empat dalam menopang tegaknya bangunan demokrasi sebuah negara. Itu artinya, perjuangan warga untuk menegakan demokrasi menuntut dukungan dari media. Di sini para jurnalis memiliki fungsi memberi informasi secara benar dan transparens berdasarkan kode etik jurnalis yang telah digariskan. Pemberitaan-pemberitaan pers itu menjadi bahan dan sumbangan untuk sebuah diskusi publik (dialektika), yang mana sangat dibutuhkan dalam sebuah masyarakat demokrasi, karena dalam setiap liputan atau reportase tersirat undangan sekaligus imperasi sosial bagi setiap pembaca untuk berpikir dan berdiskusi. Melihat fungsi ini, para jurnalis sesungguhnya memiliki „kuasa“ sekaligus „tanggung jawab“ besar dalam laju demokrasi.

Menengok bilik pers di Tanah Air suguhan media untuk publik tak luput dari reportasi bertajuk kontestasi politik (Pilgub dan Pemilukada). Pemberitaan tentang para calon, tim sukses dan relawan hampir selalu mengisi halaman-halaman setiap edisi cetak maupun online. Meskipun (mungkin?) belum ada penelitian (terpercaya) tentang redaksi berita dan (kecenderungan) pengorbitan calon pasangan tertentu, ratio publik bisa menganalisa “keseringan” pemberitaan tentang tokoh dari partai tertentu, yang mana bisa dinilai sebagai format baru dalam politik pencitraan. Terlepas dari kebenaran analasis nalar publik, kecurigaan ini bisa menjadi interupsi bagi pers untuk menguji kembali independensi terhadap sumber berita. Kecurigaan publik bisa menjadi lensa dan lampu sorot dalam meneropong kanal-kanal pemberitaan – yang pada dasarnya mesti berorientasi populis dan bukan sektarian atau menjadi poros politik tertentu dan kepentingan kaum elite. Perhatian dan minat pembaca pada pertarungan politik menjadikan kontestasi politik sebagai lahan observasi yang atraktiv bagi wartawan dan isu seksi untuk disuguhkan kepada publik. Sedangkan bagi para kontestan politik, pers menjadi corong penting dalam mobilisasi massa dan kampanye. Di hadapan gelanggang pertarungan seorang jurnalis mesti tampil sebagai ahli pengamat bebas, tanpa terikat pada apa dan siapa. Idealnya demikian! Tetapi para jurnalis kita per se bukanlah makhluk yang tak luput dari giringan kepada pencobaan atau malaikat yang kebal terhadap tawaran seperti suap dan korupsi yang bisa meninabobokan „sikap skepsis kritis“ mereka – apalagi mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomis.

Bahaya Suap dan Korupsi dalam Jurnalisme
Sikap tunduk media pada partai politik tertentu atau sikap mudah jatuh dalam rayuan para elite politik bukanlah tidak mungkin mempersempit ruang gerak bebas jurnalis dan menumpulkan taring sengat dalam misi profetis untuk mewartakan kebenaran. Tawaran untuk jurnalis secara personal dari partai politik atau elite tertentu seperti hadiah dalam bentuk barang atau uang dan undangan untuk hajatan atau seremoni tertentu bisa menjadi bayang-bayang yang menggelapkan profetisme jurnalis ketika pengamatan objektif dan rasio kritis digodok dalam corong „prinsip balas budi“. Dalam kasus ini, bila seorang jurnalis tidak kritis membedakan „profesi“ dari „relasi sosial“, maka ia akan mudah didikte dalam meredaksikan sebuah berita tentang atau yang bersinggungan dengan kelompok-kelompok tadi. Berbagai bentuk sogok, baik kepada jurnalis secara pribadi maupun kepada pihak redaksi, hadir bagai „gunting dalam kepala“ yang siap „memotong“ kemampuan menulis berita secara kritis-komprehensif lalu memodifikasinya dalam penggalan-penggalan yang mengaburkan data dan fakta. Ketika seorang jurnalis atau pers secara gegabah menerima „uang tutup mulut“ atau suap, mereka telah terlibat dalam sebuah praktek korupsi sistematis dalam dunia jurnalisme. Sebuah publikasi yang diterbitkan dalam bayang-bayang suap dan dipengaruhi oleh prinsip „balas budi“ adalah bentuk korupsi jurnalisme yang melumpuhkan misi bersama untuk memberantas korupsi itu sendiri. Dan sebagai konsekuensi lanjut media itu akan kehilangan kepercayaan dari publik karena telah memperjual-belikan „kuasa“ yang diberikan publik.

Itulah (tantangan) jurnalisme: menulis hal-hal positif akan dipuja-puji dan sebaliknya memberitakan yang negatif – meskipun itu benar – akan dihakimi. Tetapi itu tidak mengharuskan sorang jurnalis atau pers untuk mengkhianati publik dan  melenceng dari komitmen mengabdi kebenaran demi menjaga nama baik atas prinsip balas budi dan untuk tujuan komersial semata: agar cepat laku terjual. Berbagai reaksi dan tanggapan dari publik pembaca tentang keberpihakan pers pada nilai-nilai kebenaran semestinya menjadi undangan untuk mengevaluasi kembali independensi pers, yang mana menuntut budaya „terbuka terhadap kritik“ dan keberanian mengakui kesalahan serta memperbaikinya (autokritik). Pers diajak untuk mengoreksi berbagai paradoks dan parodi yang mewarnai pemberitaan seputar Pilgub dan Pemilukada. Maraknya kontestasi politik adalah peluang bagi pers untuk menjadi „pejuang demokrasi“ dalam mengasah kepekaan publik dan bukannya membiarkan diri digiring kepada industri politik yang dikontrol oleh elite politik dan konglomerat. Distingsi tegas antara „promosi iklan“ dan „redaksi berita“ mesti dipahami secara baik sehingga pers tidak terjebak dalam lumpur “mencampur-adukan” keduanya. Apalagi tidak semua publik pembaca berpikir dan bersikap kritis terhadap sebuah berita yang disuguhkan. Sikap profetis-kritis pers akan mampu meredam gelegar angkuh penguasa sekaligus menggongong para koruptor. Independensi pers menjadikannya berani menghindar dari suguhan atau suapan yang melumpukan demokrasi***  


*Diterbitkan di Kolom Opini Harian FLORES POS, 04 November 2016



CINTA TERLARANG

CINTA TERLARANG

Julia,
Selepas dialog tengah malam kemarin
Aku terus dipanggil kepada keheningan
Untuk mencintai kesendirianku,
kesendirian yang telah lama kuduakan
sejak aku mengenalmu:
Mungkin ini terlalu ego!

Kau tak perlu bersusah payah
Untuk mengajakku pergi, atau bahkan memaksaku pergi
Kau tak perlu diam-diam mencipta jarak
Karena aku tidak hanya mencintai tubuhmu, tapi juga kebijaksanaanmu
Jarak bagiku bukanlah dimensi yang rumit,
melainkan rindu yang terus tumpah mengalir di garis waktu,
apalagi ketika benih-benih cinta perlahan tumbuh di biara
dan kejujuran untuk saling mencintai hanya jatuh
pada ayat-ayat mazmur yang kita daraskan bersama madah pagi,
teteskan rindu pada cawan yang kita teguk di setiap ekaristi,
dan akhirnya membeku gigil pada pujian senja dan malam,
berharap leleh bersama senyummu yang terbit di setiap pagi

Julia, kamu benar,
bahwa kita tak boleh terus saling mencintai dalam diam dan doa
di tepian meditasi dan komtemplasi
cinta itu mesti disabdakan, didagingkan
Tapi bagiku, mencintaimu dalam diam dan doa
Adalah kisah terromatis yang pernah aku alami,
yang ingin selalu kukekalkan dalam larik-larik puisi.
Dan aku pun bersyukur, jika saja nanti yang abadi hanyalah nama
Dan goresan tentangmu di bait-bait puisi
Ada rasa bangga yang mencuat dari sarang kenangan,
bahwa meski kita tak pernah bersama, setidaknya masing-masing kita
pernah menjadi sesuatu yang mampu menunda galau dan sedih
yang selalu saja datang menerobos tembok biara, menjalar pada dinding-dinding kamar.

Jangan kita robohkan rumah kenangan yang telah lama kita bangun
Jangan kita rayu Tuhan untuk lumpuhkan ingatan akan wajah dan diri,
karena „ingatan memiliki mata. Sepadam apapun kau gelapkan kesepian,
kenangan selalu menyilaukan“.
Bersama kita lalui bentang musim, membilang skala waktu
Pada tanggal dan bulan yang kita gugurkan di kalender.
Jika kemarau tiba, mari kita keringkan luka,
ketika hawa dinging merunduk, mari kuburkan rindu di gunduk salju,
nikmati gigil jarak dan waktu di panggang api
Jika musim gugur tiba, mari kita belajar arti sebuah keterpisahan daun pada tangkai
dan kelak semi menjemput, kita rayakan cinta, kawinkan rindu-rindu purba
dengan pucuk-pucuk puisi yang terselip di sela-sela rusukmu
Dalam tudung gelap, biarlah harap menuntun hingga tiba di terbit pagi

Benar apa yang dirintikkan “Hujan di Bulan Juni”
„tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni“
selain kita yang terus disetubuhi rindu di balik dinding biara

Vianey Lein
Mülldorf, 23 November 2016