BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Gereja sebagai salah satu institusi dalam masyarakat tidak dapat sama sekali bebas dari politik. Bahkan dapat dikatakan bahwa Gereja in se pun terdapat “politik”, dalam arti seni memimpin, menentukan dan menjalankan kebijakan (church politics). Akan tetapi Gereja bukanlah sebuah lembaga politik dan tidak terikat pada sistem politik manapun juga (otonom). Gereja dan politik masing-masing bersifat otonom dan tidak saling tergantung namun keduanya dipanggil untuk misi yang satu dan sama yakni pelayanan dan pengabdian kepada manusia yang satu dan sama demi kesejahteraan umum. Konsili juga menegaskan bahwa para rasul dan para pengganti mereka beserta rekan-rekan sekerja mereka diutus untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada masyarakat. itu berarti ada kerja sama antara Gereja, dalam hal ini para imam (pengganti rasul-rasul) dan masyarakat yang terbentuk dalam suatu system politik tertentu.
Masyarakat Porsea, Sumatera Utara pernah mengadakan demo dan orasi menentang pembukaan kembali pabrik pulp Indo rayon. Para korban dari aktivitas pabrik hadir dalam aksi demo itu. Mgr. Pius Datubara, Uskup Agung Medan yang juga hadir, dalam orasinya mengatakan: “saya sudah bertekad sampai mati membela kesejahteraan rakyat yang diancam oleh kehadiran pabrik pulp ini”. Tampilnya uskup untuk membela dan memperjuangkan nasib kaum lemah dan tertindas ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak. Ada umat yang berceloteh: “Memang kehadiran Gereja sah dan patut, tetapi tidak perlu pucuk pimpinan turun ke lapangan. Bagaimana kalau terdapat tangan-tangan jahil? Mereka toh menyandang jabatan rohani, dan tidak perlu langsung turun ke bawah.” Sementara itu ada sebagian umat yang mendukung tindakan uskup: “Bagus demikian, itu artinya secara nyata pimpinan Gereja memihak masyarakat.
Ada dua hal yang dapat kita lihat dari pengalaman di atas (dan juga masih ada realitas serupa lainnya), yakni keterlibatan imam dan tanggapan masyarakat atau umat. Seorang imam tidak hanya mewartakan sabda Allah lewat kata-kata di atas mimbar tetapi juga lewat tindakan atau aksi nyata. Artinya, lokus misi seorang imam tidak hanya sebatas altar dan mimbar melainkan dunia dengan segala kompleksitas persoalan; dan politik yang adalah menyangkut penentuan kebijakan demi kesejahteraan bersama juga merupakan medan pewartaan dan kesaksian kaum imam. Ketika politik dimanipulasi untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu, di sana dituntut peran profetis kaum imam untuk mewartakan kebenaran dan keadilan. Ketika politik telah dicemari, kaum imam mesti tampil untuk menguduskannya dengan mengarahkan setiap kebijakan politik agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Namun ketika seorang imam tampil di tengah keterpurukan politik, muncul juga perlawanan dari orang atau kelompok tertentu untuk menunjukan aksi protes atau ketidaksetujuan mereka. Kelompok ini menciptakan distingsi ekstrim yang tak terjembatani antara negara dan gereja sehingga tidak dimungkinkan adanya kerjasama antara negara dan agama. Ketegangan ide berkaitan dengan keterlibatan kaum imam ini juga turut mempengaruhi animo dan keberanian seorang imam untuk terlibat secara langsung di tengah morat-maritnya perpolitikan di negara kita. Kesalahan dalam mengartikan politik dan pereduksian makna politik hanya sebatas perebutan kursi jabatan turut menyeret kaum imam ke dalam sebuah penolakan atau tidak adanya pengakuan publik jika seorang imam terlibat dalam politik. Tulisan ini hendak melihat kembali peran dan keterlibatan kaum imam dalam ranah politik sebagaimana yang telah dirumuskan dalam dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes no. 73 – 90.
1.2. Rumusan Masalah
Realitas dunia dewasa ini menampilkan persoalan hidup yang kompleks dan belum tuntas untuk diselesaikan. Misalnya: bencana alam yang bertubi-tubi melanda bumi kita, juga bencana kemanusiaan seperti kemiskinan, busung lapar, situasi politik yang tidak stabil, peperangan antarsuku dan agama, terorisme, kasus korupsi, issu tambang dan berbagai kebijakan pemerintah yang semakin memperparah hidup rakyat. Kita tidak menyangkal bahwa deretan persoalan ini juga dipengaruhi oleh praktik politik di republik ini karena politik itu sendiri merupakan sebuah seni untuk menemukan, merumuskan dan mengatur yang mungkin demi tercapainya bonum commune.
Berhadapan dengan kenyataan ini, bagaimana sikap Gereja untuk mewujudkan rasa solidaritasnya? Apa sikap imam yang telah dipanggil dan diutus ke tengah dunia seperti ini? Kaum imam tidak semestinya hanya tinggal diam dalam tembok-tembok biara atau pastoran yang megah sambil tenggelam dalam kekhusukan doa dan tapa tetapi harus mengambil sikap dan bersuara untuk orang-orang yang tak bersuara (voice of the voiceless), juga dalam kancah politik. Pada titik inilah keterlibatan kaum imam dalam pentas politik menjadi wacana yang hangat untuk didiskusikan publik yang tentunya menuai reaksi pro dan kontra. Kelompok kontra mengemukakan eksepsi dengan tesis dasar bahwa politik itu kotor dan najis karena merupakan gelanggang perebutan kekuasaan yang dilihat sebagai momen untuk mengakumulasi harta dan kekayaan. Dengan demikian tidak dibenarkan jika kaum imam terjun dalam dunia politik. Lantas berbagai kritik mulai dialamatkan kepada Gereja. Urusan imam adalah hal-hal yang bersifat sakral dan bukan profan. Sementara itu dari pihak pro, mereka berargumentasi bahwa pada hakikatnya politik itu mulia, karena bertujuan melayani semua orang demi kesejahteraan bersama, dan eksistensial karena berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai zoon politicon. Gereja katolik melalui Bapa-Bapa Konsili Vatikan II juga tidak melarang keterlibatan Gereja (termasuk imam) dalam kancah politik. Di sini muncul pertanyaan: bentuk keterlibatan politik macam manakah yang dibenarkan Gereja? Ada kecenderungan bahwa orang membuat dikotomi yang cukup ekstrim antara keterlibatan kaum imam dalam politik teoretis dan politik praktis berikut menolak keterlibatan kaum imam dalam ranah politik. Pokok permasalahan inilah yang hendak diuraikan penulis dalam tulisan ini dengan judul: Imam dan Politik dalam Terang Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ilmiah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tuntutan akademik Sekolah Tingi Filsafat Katolik Ledalero sebagai langkah awal menulis skripsi (pra skripsi). Sebelum menulis skripsi setiap mahasiswa dituntut untuk menulis sebuah karya ilmiah atau pra skripsi.
2. Sebagai sebuah usaha penyadaran bagi kaum imam agar lebih berani terlibat dalam dunia politik yang berurusan dengan hidup banyak orang/umat sehingga semua disiplin ilmu filsafat dan teologi yang telah diperoleh tidak hanya menjadi gugusan teori yang menggumpal di pikiran melainkan menjadi filsafat dan teologi yang terlibat lewat kristalisasi praksis.
3. Tulisan ini juga hendak membuka horison berpikir kita semua terkhusus kaum awam bahwa politik juga menjadi lokus pastoral kaum imam.
1.4 Metode Penulisan
Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Penulis mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan tema yang dibahas berikut menjelaskannya dalam terang Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes No. 73 – 90. Dalam deskripsi itu penulis juga melihat realitas yang terjadi di masyarakat berkaitan praktik politik dan membuat refleksi atasnya.
1.5 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari empat bab. Bab I Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II Imam dan Politik Selayang Pandang. Bab III Keterlibatan Kaum Imam dalam Pentas Politik. Dalam bab ini penulis membaca dan menafsir teks Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes yang berbicara tentang keterlibatan kaum imam dalam politik. Lebih lanjut dalam bab ini penulis melihat konteks perpolitikan di Republik ini dan mencoba menggagas praktik kaum imam di tengah keterpurukan situasi politik seperti itu. Bab IV Penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan tema.
BAB II
IMAM DAN POLITIK SELAYANG PANDANG
Sebelum melangkah lebih jauh melihat keterlibatan kaum imam dalam bidang politik, baiklah terlebih dahulu kita perlu memahami tentang siapa itu imam dan apa itu politik.
2. 1 Siapa itu Imam?
2.1.1 Pemahaman Umum
Kata “imam” dalam bahasa Arab berarti: tanda, pola yang kemudian dihubungkan dengan pemimpin ibadat dan atau pemimpin umat. Tanda di sini berarti mewakili sesuatu yang lain (yang transenden) yang diimani sebagai Penyelenggara hidup. Sosok imam yang memimpin umat dilihat sebagai tanda yang menghubungkan iman mereka dengan apa yang diimani. Hal ini juga nampak dalam agama Katolik yang melihat imam sebagai pribadi yang “menyandang kewibawaan Kristus dan berkat meterai istimewa dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala” (Presbyterorum Ordinis No. 2, yang selanjutnya disingkat PO). Dalam ekaristi, Kristus hadir, juga dalam pribadi pelayan “karena yang sedang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan diri di kayu salib” (Sacrosanctum Concilium No. 7, yang selanjutnya disingkat SC).
Bagi orang Yahudi dalam Perjanjian Lama, kata imam digunakan untuk orang yang mempersembahkan kurban dalam Bait Allah, mengajar agama (taurat Musa), dan mengurus Bait Allah. Sedangkan dalam Perjanjian Baru digunakan hanya untuk imam-imam Yahudi; dan untuk Kristus disebut Imam Agung.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja membedakan imamat kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkhis tetapi keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus (Lumen Gentium No 10, yang selanjutnya disingkat LG). Semua orang beriman berkat pembaptisan dilahirkan kembali dan oleh pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani untuk mempersembahkan korban rohani dan mewartakan Dia yang telah memanggil. Tetapi karena semua anggota mempunyai tugas yang tidak sama dalam satu tubuh di dalam Kristus (bdk. Rom 12:24), maka Tuhan mengangkat di tengah mereka beberapa anggota menjadi pelayan, yang dalam persekutuan umat beriman mempunyai kuasa tahbisan suci untuk mempersembahkan korban dan mengampuni dosa-dosa (PO 2) sehingga semua umat bersatu dalam Tubuh Mistik Kristus. Di sini para bapa konsili membedakan imamat umum untuk semua kaum beriman dan imamat khusus bagi kaum tertahbis.
2.1.2 Tugas dan Peran Imam
Konsili Vatikan II dalam Dekritnya tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam merumuskan 3 tugas imam, yakni: pelayan Sabda Allah (PO 4), pelayan sakramen-sakramen (PO 5), dan pemimpin umat Allah (PO 6).
2.1.2.1 Pelayan Sabda Allah.
Para imam pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang di seluruh dunia sebagaimana yang telah diamanatkan Yesus: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16: 25). Pewartaan Sabda Allah dapat dilaksanakan dengan aneka cara sesuai dengan konteks umat atau pendengar. Mewartakan tidak hanya sebatas bahasa verbal tetapi lebih dari itu juga lewat kesaksian hidup.
2.1.2.2 Pelayan Sakramen-sakramen
Sakramen adalah tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman serta menghasilkan pengudusan manusia. Imam merupakan rekan dan pembantu Allah untuk melayani karya pengudusan-Nya lewat sakramen-sakramen yang semuanya berpuncak pada perayaan ekaristi sebab di dalamnya terkandung seluruh kekayaan rohani gereja.
2.1.2.3 Pemimpin Umat Allah
Para imam ditahbiskan untuk mengemban tugas Kristus sebagai kepala dan gembala, yakni untuk menghimpun semua orang, terutama mereka yang miskin dan lemah, dalam persaudaraan sejati dan menghantar mereka menuju komunio Allah Tritunggal. Sebagai gembala, imam juga bertugas membina dan meneguhkan iman umat dalam Tuhan.
Thomas a Kempis mengemukakan beberapa sebutan yang agak dominan untuk seorang imam yakni: manusia kultus (mempersembahkan ekaristi), manusia pengantara (pengantara Yesus Kristus dan manusia juga pengantara Gereja dan dunia), nabi penyangga (menyangga komunitas beriman), manusia tertahbis, dan lambang Kristus yang hadir dan berkarya dalam Gereja-Nya).
2.2 Pemahaman tentang Politik
2.2.1 Pengertian Politik
Plato (427-347 SM) dalam karyanya Politeia merumuskan ajarannya tentang negara (polis). Latar belakang kehidupan politik Yunani waktu itu yang kian merosot karena kekuasaan menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat dan karena terbius pengalaman traumatis terbunuhnya Sokrates, guru yang sangat dikagumi, mendorong Plato menulis buku ini. Dalam Politeia Plato mencita-citakan suatu pola kehidupan kenegaraan yang baik menurut asas keadilan. Sesudah itu Aristoteles, seorang murid Plato yang akhirnya meninggalkan gurunya karena ide yang berseberangan, mengedepankan postulatnya: “dari kodratnya manusia adalah makhluk ber-polis” (zoon politicon). Menurutnya, negara terjadi berkat adanya sifat kodrati setiap individu untuk hidup bersama, saling mengerti dan berdiskusi untuk mencapai kesejahteraan umum. Lebih lanjut ia menegaskan , “negara menjadi baik bila diarahkan pada kepentingan umum, dan sebaliknya negara menjadi buruk bila hanya diarahkan pada kepentingan penguasa”.
Sementara itu Hannah Arendt (1906-1975), sebagaimana dikutip oleh Maurizio Passerin, memahami politik sebagai aktivitas ekspresif, sebagai pertunjukan perbuatan mulia atau pengucapan kata-kata yang mengesankan, yang dinilai dari keindahan atau kebesarannya. Oleh karena itu ia menganalogikan politik dengan seni pertunjukan atau teater:
Artis-artis pertunjukan-penari, actor pemain, musisi, dan sejenisnya – membutuhkan audiens untuk mempertunjukan keahlian mereka, sebagaimana manusia membutuhkan kehadiran orang lain di mana mereka bisa tampil: keduanya membutuhkan ruang yang diatur secara public untuk “karya” mereka, keduanya tergantung pada yang lain untuk pertunjukannya.
Di sini Arendt melihat polis (negara) sebagai ruang pertunjukan seperti halnya teater di mana seseorang memperlihatkan diri secara seni dan mengesankan penonton (rakyat) seperti yang telah dirancang dalam sebuah skenario. Itu berarti bahwa politik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kepentingan umum. Seperti halnya para aktor dan musisi berusaha untuk memainkan peran secara seni dan memuaskan penonton, begitu juga para aktor politik mesti menghantar semua orang kepada kesejahteraan umum berdasarkan program-program yang telah dirancang dengan perannya masing-masing. Politik lalu dimengerti sebagai seni mengurus (the art of managing) atau merawat negara dan pemerintahan dalam kaitannya dengan tanggung jawab untuk melayani rakyat demi tercapainya bonum commune yang adil dan merata. Politik merupakan “seni untuk menemukan, merumuskan dan mengatur yang mungkin. Politik bermula ketika orang berani melihat kemungkinan, menangkap alternatif.
Dari uraian di atas kita melihat bahwa politik pada hakikatnya mempunyai tujuan yang amat mulia yakni tercapainya bonum commune melalui kebijakan-kebijakan atau rumusan untuk mengatur yang mungkin bertolak dari realitas yang ada dalam masyarakat. Politik dalam pengertian inilah yang hendak disoroti penulis dalam pembahasan selanjutnya. Istilah politik dipahami bukan dalam artian sempit yakni perebutan kuasa semata tetapi dalam artiannya yang luas yakni bertalian dengan kebijakan-kebijakan atau strategi untuk menghantar manusia menuju kesejahteraan bersama; atau menurut Frans M. Suseno, sebuah keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi jelas bahwa sebuah keputusan yang diambil demi kepentingan orang per orang atau kelompok tertentu merupakan bentuk penyimpangan Politik.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Dasar dalam Etika Politik
Ketika kita berbicara tentang etika politik, itu berarti kita merujuk pada martabat luhur manusia. Etika politik tidak hanya mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia terhadap negara dan hukum yang berlaku melainkan mempertanyakan juga tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia. Dengan merujuk pada martabat manusia maka ada beberapa prinsip dasar yang seharusnya tetap diperhatikan dalam suatu aktivitas politik sehingga politik itu masih bisa dikatakan memiliki etika, yakni prinsip subsidiaritas, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum (bonum commune). Ketiga prinsip ini dibangun di atas landasan memandang manusia sebagai makhluk yang bermartabat.
Penghargaan terhadap rakyat sebagai manusia merupakan prinsip yang paling dasar dari etika politik. Penghargaan terhadap martabat manusia dan upaya penegakan hak-hak asasi manusia merupakan bingkai moral-filosofis yang mendasari baik sistem sosial-politik maupun setiap program strategis pembangunan. Rakyat tidak boleh dijadikan korban pembangunan. Rakyat tidak boleh dipandang sebagai objek pembangunan semata melainkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki harkat dan martabat. Ideal-ideal moral menyangkut hak asasi manusia, keadilan sosial, kejujuran dan kebenaran harus menjiwai setiap sikap dan keputusan politik. Prinsip menghalalkan segala cara ala Machiavelli tidak dapat dibenarkan. Politik tanpa moral tidak akan sanggup menunjukkan penghargaan terhadap martabat dan hak-hak asasi manusia. Politik yang tidak berperikemanusiaan, yang tidak menghargai rakyat sebagai persona yang bermartabat luhur akan mengkondisikan atau mendorong terjadinya tindakan kekerasan, diskriminasi, ketidakadilan sosial, dan ekploitasi rakyat sebagai objek semata.
2.2.2.1 Prinsip Subsidiaritas
Subsidiaritas berasal dari kata bahasa Latin subsidium, yang berarti “bantuan”. Sebagai prinsip moral, subsidiaritas berarti apa yang diputuskan, dilaksanakan, atau ditangani oleh instansi yang lebih rendah, tidak perlu dan tidak pantas diputuskan atau ditangani lagi oleh instansi yang lebih tinggi. Jika instansi yang lebih rendah tidak dapat menyelesaikannya, maka instansi yang lebih tinggi dapat memberikan subsidinya menurut apa yang secara riil dibutuhkan. Jadi, dari pengertian di atas prisnsip subsidiaritas di satu pihak mengakui otonomi instansi yang lebih rendah, dan di lain pihak menekankan pentingnya hubungan komplementer dari lembaga yang lebih tinggi dengan lembaga yang lebih rendah. Oleh karena itu prinsip subsidiaritas menolak politik yang berjiwa otoriter dan totaliter, juga menentang sentralisme dan monopoli kekuasaan yang melahirkan etatisme atau campur tangan negara secara berlebihan dalam wilayah privat masyarakat atau tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Negara hanya memainkan peran untuk menunjang dan membantu masyarakat dan bukannya mencampuri atau mengurus segalanya karena masyarakat juga memiliki martabat, akal budi yang memungkinkannya untuk bertindak bebas dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
2.2.2.2 Keadilan Sosial
Keadilan merupakan jiwa moral dari prinsip subsidiaritas. Prinsip keadilan diperlukan untuk mencegah semua bentuk manajemen politik dan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang penguasa atau elit politik. Setiap kebijakan politik harus memperhatikan kepentingan bersama. Etika politik menuntut setiap institusi sosial untuk menciptakan keadilan struktural atau prosedural, yakni prosedur atau mekanisme yang secara legal ditetapkan sebagai instrumen bagi distribusi hak-hak dan kewajiban dasar bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, penyelewengan terhadap prosedur yang telah ditetapkan dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakadilan sosial.
2.2.2.3 The Common Good/Bonum Commune
The common good atau kesejahteraan umum merupakan cita-cita yang hendak dicapai dari setiap aktivitas politik. Mensejahterahkan kelompok tertentu bukanlah merupakan tujuan dari politik. Oleh karena itu, prinsip the common good menentang politik identitas sempit, yakni partai atau program politik yang hanya memperjuangkan kepentingan atau kesejahteraan bagi identitas tertentu. Berbagai bentuk simbolisasi dalam politik seperti agama atau budaya juga ditolak oleh prinsip the common good karena telah menciptakan batas-batas primordial dalam sebuah cita-cita politik. Sebuah tuntutan yang mesti diperhatikan oleh sebuah lembaga pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat agar tujuan politik tetap berjalan pada arah yang dicita-citakan bersama adalah kedekatan dengan rakyat dan memahami kondisi real mereka. Setiap kebijakan politik semestinya bertolak dari realitas konkrit masyarakat sehingga pada akhirnya bisa menjawab setiap persoalan yang terjadi.
BAB III
KETERLIBATAN KAUM IMAM DALAM PENTAS POLITIK
3.1 Membaca Teks: Keterlibatan Kaum Imam dalam Pentas Politik menurut Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes No. 73-90
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (selanjutnya disingkat GS) no. 73-90 menyangkut hubungan Gereja dengan negara tidak secara eksplisit menguraikan keterlibatan atau peran kaum imam dalam ranah politik. Konsili hanya memberikan garis-garis pedoman menyangkut hubungan Gereja dengan negara, juga dalam kehidupan politik.
Konsili menegaskan bahwa Gereja sama sekali tidak dicampuradukan dengan negara entah dalam tugas maupun wewenang, dan tidak terikat pada system politik manapun juga. Gereja dan politik adalah dua entitas otonom. Selanjutnya, Konsili menasihatkan agar Gereja “menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia”. Selanjutnya sidang tahunan MAWI 1982 yang membahas tema: “Hubungan Gereja dan Negara” kembali menggarisbawahi hal ini dalam salah satu keputusannya sebagai berikut: “sebagai warga negara dan warga Gereja kita tidak boleh masa bodoh terhadap perwujudan dan penerapan wewenang dan kekuasaan.” Senada dengan itu, sidang agung KWI dan Gereja Katolik Indonesia pada tanggal 28 Oktober – 02 November 1995 kembali menyerukan hal yang sama dalam salah satu keputusannya: “para imam dan biarawan-biarawati hendaknya mengikuti pelbagai dinamika dalam dunia politik sehingga menjadi bagian seluruh gerakan kemasyarakatan.”
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi Gereja untuk melibatkan diri dalam politik; demikian juga dengan para imam yang adalah anggota Gereja sekaligus anggota masyarakat yang memiliki hak untuk berpolitik diutus untuk melaksanakan misi keselamatan universal, kepada semua orang pada segala tempat dan zaman. Sementara itu Hukum Kanon Gereja Katolik No. 287-§ 2 secara tegas melarang hierarkhi Gereja untuk melibatkan diri secara aktif dalam politik: “janganlah turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik…, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.” Pernyataan ini mesti ditafsir secara tidak gegabah. Pimpinan tertinggi Gereja melarang herarkhi Gereja untuk berpihak pada salah satu partai manapun dan berjuang untuk mendapatkan kuasa atau jabatan tertentu. Keterlibatan dalam politik dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan sejauh bertujuan melindungi hak-hak Gereja dan memajukan kesejahteraan umum. Para klerus sebaiknya jangan mendekat atau menjauhi partai-partai politik supaya tampak bersikap ‘netral’ sebab dalam hal-hal tertentu para teolog (dan pimpinan umat) wajib menyuarakan kebenaran dan keadilan atas dasar cinta kasih dalam tugas pewartaan demi tegaknya Kerajaan Allah. Berdiam diri terhadap setiap persoalan (misalnya ketidakadilan, korupsi, dan pelecehan HAM) berarti mengkhianati Injil yang wajib diwartakan.
3.2 Melihat Konteks: Situasi Umum Perpolitikan Negara Kita dan NTT Khususnya
Peta politik di negara kita tidak hanya melukiskan berbagai keberhasilan dalam pembangunan dan iklim demokrasi yang memungkinkan setiap warga untuk memberikan suaranya secara langsung dalam Pemilu (meskipun tidak berjalan murni karena masih terdapat ‘cacat’) tetapi juga menyajikan aneka persoalan kompleks (berkaitan dengan pengambilan kebijakan-kebijakan) yang amat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dan usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sini hanya desebutkan beberapa hal krusial yang sedang kita alami akhir-akhir ini.
3.2.1 Korupsi
Di Indonesia korupsi adalah masalah lama dan luas yang hingga saat ini belum menemukan penyelesaian secara maksimal dan tuntas. Kekuasaan dilihat sebagai lahan yang subur untuk mengakumulasi harta dan kesempatan memimpin lima tahun kedepan merupakan momen yang tepat untuk mengeruk kekayaan sebanyak mungkin di atas lahan rakyat (mental oportunis); maka tidaklah mengherankan, para koruptor di negara kita berhasil ‘mengangkat’ nama Indonesia dengan meraih perestasi korupsi di antara 12 negara Asia sekaligus menjatuhkan prestise bangsa yang menganut ideologi Pancasila. Korupsi sudah menjadi budaya bagi siapa saja yang memimpin baik di tingkat pusat maupun daerah bahkan tingkat desa. Penanganan terhadap para koruptor hanya berujung pada penumpukan berkas-berkas kasus di atas meja hijau karena para tersangka masih mempunyai rupiah untuk meloloskan diri. Kasus korupsi memang sering terjadi tetapi sangat jarang para koruptor menjalani hukuman sebagaimana mestinya. Harian Pos Kupang melansir bahwa sebanyak 26 Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dicopot dari jabatannya karena tidak sanggup memenuhi target pemberantasan korupsi dan akan dimasukan ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) untuk diberikan pendidikan pemberantasan korupsi. Kasus terakhir yang menodai nurani publik yang hingga saat ini masih diusut pelakunya adalah penalangan dana oleh Bank Century.
3.2.2 Kemiskinan
Kemiskinan sesungguhnya masih memiliki kaitan yang erat dengan korupsi karena ada indikasi bahwa salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah korupsi. Ini merupakan sebuah ironi: miskin tetapi menjadi sang juara dalam kasus korupsi. Realitas kemiskinan yang ada di NTT adalah problem signifikan dan urgen untuk segera ditangani karena turut menyeret aspek kehidupan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Namun sering terjadi bahwa predikat “miskin” menjadi alasan kuat bagai para penguasa Republik ini untuk meminta pinjaman dan bantuan luar negeri yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Nama Indonesia menjadi bahan komersial di luar negeri untuk kepentingan segelintir orang.
3.2.3 Praktik Hukum
Banyak kejanggalan yang kita temukan dalam dunia peradilan Indonesia. Kita masih ingat nasib malang ketiga terpidana mati : Fabianus Tibo, Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva yang dituduh terlibat dalam serangkaian kekerasan Poso akhir Mei 2000. Mereka adalah korban peradilan sesat dan penuh rekayasa karena di balik semuanya itu bersembunyi sejumlah oknum yang mendalangi tragedi itu. Berbagai kasus korupsi dan aksi terror tidak segera ditangani sampai tuntas, para koruptor dibiarkan (dibebaskan) begitu saja tanpa ada sanksi sesuai hukum yang berlaku. Inilah sketsa paradoksal lembaga peradilan kita yang tidak menampakkan keadilan dan mengusahakan distorsi atas nilai-nilai kebenaran; atau menyitir Paulus Budi Kleden, “yang menang bukan selalu kekuatan hukum, melainkan hukum dari yang kuat”. Hukum kita kehilangan wibawa karena sering diperjual-belikan.
3.3.4 Tambang di Flores dan Lembata
Industri pertambangan di Flores dan Lembata dalam beberapa bulan terakhir menjadi wacana penting dan serius untuk didiskusikan publik, bahkan menciptakan polemik yang berjalan alot dalam beberapa koran lokal NTT antara pihak pro dan kontra. Argumentasi dasar yang diajukan oleh kelompok yang mendukung kegiatan pertambangan adalah untuk mensejahterahkan rakyat dan meningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dikemas dalam aneka janji ilusif. Dalam pertimbangan rasional, argumen ini dinilai pincang karena tidak merujuk pada realitas di daerah pertambangan yang sudah giat beroperasi. Alam dieksploitasi secara tidak bertangung jawab demi industri pertambangan. Rakyat kehilangan lahan untuk hidup dan hanya menikmati limbah hasil industri. Hasil tambang hanya diperuntukkan bagi kaum kaum kapitalis dan pemerintah yang telah bernegosiasi. Atas dasar itulah, industri pertambagan ditolak secara tegas, juga oleh Gereja Katolik yang dipioner oleh Komisi JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation) karena Gereja mencintai dan mau membela hidup masyarakat manusia serta keutuhan lingkungan hidup.
3.3 Menggagas Praktik: Peran Imam dalam Politik
Gereja berada dalam dunia sekaligus merupakan bagian dari sejarah dunia. Oleh karena itu Gereja mesti menunjukkan kepeduliannya terhadap dunia dan berbagai permasalahannya. Ensiklik Rerum Novarum (1891) tentang keberpihakan Gereja terhadap kaum buruh yang menderita akibat sistem kapitaslime merupakan manifestasi keterlibatan Gereja dalam kehidupan politis. Imam sebagai hierarkhi Gereja pun terlibat dalam politik. Politik di sini perlu dipahami dalam arti luas, yakni berkaitan dengan kebijakan-kebijakan dalam mengatur negara (polis) untuk mencapai bonum commune. Dari ketiga tugas imam yang telah dipaparkan dalam bab II, kita dapat menghubungkannya dengan realitas perpolitikan di negara kita supaya lebih jelas melihat peran konkret imam di dalamnya. Dengan kata lain, meminjam triloginya Kokoh Prihatanto, seorang imam tidak lagi hanya berkhotbah di atas mimbar dan berdiam diri menimba kekuatan rohani di altar tetapi ia harus turun dari singgasana mimbar dan altar untuk bersaksi tentang Kabar Gembira Yesus Kristus di tengah pasar. Pasar dalam pengertian di sini adalah realitas dunia dengan pluralitas manusia (dari beragam suku, budaya, agama) dan kompleksitas permasalahannya.
3.3.1 Mewartakan Kebenaran dan Keadilan
Di tengah keterpurukan situasi ekonomi maupun politik, tidak cukup bila seorang imam mewartakan Sabda Tuhan hanya dari atas mimbar namun harus juga menyerukan suara kritis profetisnya di tengah ketidakadilan, korupsi, dan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan hak rakyat. Kegiatan sharing Kitab Suci dan katekese bersama umat yang menjadi korban politik yang mementingkan kelompok elite merupakan pewartaan yang langsung menyapa umat sekaligus mengajak mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Salah satu contoh konkrit yang bisa dikemukakan di sini adalah perjuangan komisi Justice, Peace, and Integration of Creation (JPIC) Keuskupan dan Tarekat Religius sedaratan Flores bersama masyarakat pulau Flores dan Lembata untuk menolak rencana tambang di Flores dan Lembata dengan menyampaikan pernyataan sikap secara tegas. Beberapa imam terlibat aktif dalam perjuangan itu hingga mendapat kritik bahkan ancaman dari pemerintah karena dinilai sebagai provokator.
3.3.2 Menguduskan Politik
Tugas imam untuk melayani sakramen-sakramen berarti melayani karya pengudusan sehingga umat dapat dipersatukan dengan Allah yang adalah kudus. Lalu, apa hubungannya degan politik? Eddy Kristiyanto, dengan ketajaman analisisnya, menyintesiskan fakta dunia (politik) dengan agama (sakramen). Menurutnya, “kerasulan di bidang politik merupakan sakramen politik agama-agama”. Hal ini menyiratkan makna bahwa eksistensi politik sesungguhnya merupakan tanda dan saran yang menghantar semua orang kepada pembebasan dan penyelamatan dari segala bentuk pembelengguan dan penindasan. Pada hakikatnya politik in se memiliki tujuan yang amat mulia yakni menghantar semua orang kepada bonum commune. Tetapi oleh karena penerapannya yang salah telah menciptakan suatu persepsi publik bahwa politik itu kotor. Berkaitan dengan realitas politik yang kotor itu, tugas para imam adalah “menguduskannya” supaya politik di negara kita berjalan sesuai esensinya. Para imam mesti memberikan kritik dan saran kepada para elite politik bila praktinya tidak berjalan sebgaimana mestinya. Suara kritis Rm. Frans Amanue, Pr yang mengungkapkan kasus dugaan korupsi (yang sesudah itu terbukti kebenarannya) yang dilakukan oleh mantan Bupati Flores Timur, Felix Fernandez, SH, CN merupakan tindakan “pengudusan” terhadap politik yang sudah dicemari korupsi.
3.3.3 Memimpin dan Mempersatukan
Imam adalah sosok seorang gembala yang menuntun dan menghimpun kawanan dombanya. Ini mengandaikan bahwa seorang imam sungguh mengenal semua kawanannya sehingga bila ada yang tersesat ia bisa mengetahuinya dan memudahkannya untuk mencari dan menemukan kembali.
Realitas pluriformitas (suku, agama, budaya) cenderung mengurung orang dalam batas-batas eksklusivisme serantak membangun persepsi negatif tentang suku, agama, rasa atau kelompok lain (isu SARA). Tentu ini merupakan benih pemicu munculnya konflik bahkan peperangan. Di tengan faktum keterpecahan masyarakat, seorang imam mesti tampil sebagai gembala yang mempersatukan kembali domba-dombanya yang tercerai-berai dan memimpin mereka untuk membangun hidup yang adil dan sejahtera.
3.4 Politik Teoretis atau Politik Praktis: Dikotomi Berpikir yang perlu Didamaikan
Uraian tentang keterlibatan kaum imam Katolik dalam pentas politik sesungguhnya secara implisit telah menyinggung persoalan politik teoretis dan politik praktis. Politik teoretis merupakan kegiatan “mengevaluasi, menjelaskan, dan meramalkan gejala-gejala politik” sedangkan politik praktis dideskripsikan sebagai tingkah laku individu atau kelompok sebagai warga, baik yang terencana maupun yang tidak terencana untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di sini, kita melihat bahwa ada perbedaan antara politik teoretis dan politik praktis dan bisa membuat kesimpulan (tentatif), yakni: politik teoretis berkaitan dengan ide-ide atau konsep sedangkan politik praktis menekankan tindakan atau tingkah laku. Bertolak dari pemahaman tentang konsep politik teoretis dan politik praktis yang demikian, orang lalu menghubungkannya dengan keterlibatan kaum imam dalam kancah politik yang berujung pada interpretasi yang keliru, bahwasanya tidak dibenarkan jika kaum imam terlibat dalam politik praktis.
Membuat distingsi antara politik teoretis dan politik praktis itu tidak salah tetapi memisahkan keduanya apalagi membuat dikotomi (mempertentangkan) adalah keliru. Dikotomi yang sering dibuat antara politik teoretis dan politik praktis adalah “semu dan tak berdasar, apalagi kalau orang menggunakan dikotomi itu untuk menolak keterlibatan para klerus secara praktis dalam bidang politik”. Sebuah praktik politik yang baik mesti dilandaskan pada sebuah teori yang memadai, demikian juga pada sisi lain, sebuah teori yang telah digagas harus diwujudkan dalam praktik konkrit karena praktik tanpa teori adalah dangkal dan sebaliknya teori tanpa praktik adalah hampa. Dengan teori yang dikemukakan, orang diajak-pijak untuk mempertimbangkan tindakan atau untuk melakukan tindakan politis tertentu untuk mewujudkan bonum commune, yang adalah bagian dari keselamatan yang dicita-citakan Gereja dan agama-agama lain. Agar pemahaman tentang konsep politik teoretis dan politik praktis semakin dijernihkan, berikut akan dipaparkan contoh tentang keterlibatan kaum imam dalam kancah politik yang lahir dari teologi pembebasan.
Teologi pembebasan yang lahir sekitar tahun 1960 berhubungan dengan situasi sosial, ekonomi dan politik di Amerika Latin. Sebagian penduduk di kawasan ini hidup dalam kemiskinan akibat ketidakadilan social yang berakar dalam struktur masyarakat. Berhadapan dengan realitas keterpurukan ini, Gereja merasa prihatin dan merasa terpanggil untuk mengubah keadaan. Gereja dihadapkan pada dua pertanyaan yang menggugah kesadaran sekaligus menggugat eksistensi, visi dan misi Gereja: bagaimana Yang Maha Baik dapat diwartakan kepada rakyat tertindas tanpa merujuk pada harapan nyata? Bagaimana orang beriman dapat hidup sejahtera sesuai dengan kodrat mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan di tengah-tengah sesama yang menderita? Kesadaran ini lalu dirumuskan secara jelas dan tegas pada Kongres para Uskup se-Amerika Latin di Medellin-Colombia pada tahun 1968. Pada tahun 1971 terbitlah buku Teologia de la Liberacion karya seorang Jesuit, Gustavo Gutierrez yang mengungkapkan situasi masyarakat Amerika Latin serentak merumuskan usaha pembebasan. Keterlibatan para pejabat dalam politik praktis ini menimbulkan pertentangan dengan para penguasa. Tidak jarang para penentang rezim-rezim yang korup mempertaruhkan nyawa. Beberapa rohaniwan dan tokoh rakyat ditahan bahkan dibunuh. Uskup Agung Romero di El Salvador ditembak mati atas perintah penguasa militer ketika sedang merayakan ekaristi. Beberapa imam Jesuit dari staf Universitas Centro Americano juga dibunuh pada tahun 1989.
Umumnya dalam berteologi terdapat dua pendekatan, yakni: pertama, pendekatan deduktif yang bertolak dari teks (Alkitab dan ajaran-ajaran resmi Gereja) kemudian dideduksikan ke dalam penerapan praktis. Ortodoksi ajaran lebih diutamakan. Kedua, pendekatan induktif yang bertolak dari konteks (membaca pengalaman hidup dalam terang biblis) kemudian menemukan kebenarannya di dalam praksis. Hubungan ortodoksi dan ortopraksis dalam berteologi ini mengungkapkan saling ketergantungan antara teori dan praktik dan sama sekali tak terpisahkan. Dengan demikian, mempertentangkan teori dan praktik pada dasarnya adalah sebuah langkah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Setiap praktik mesti bertolak dari sebuah teori yang telah digagas bersama sehingga tidak kehilangan arah dalam mencapai tujuan tertentu. Demikian juga sebuah teori agar tidak sekadar menjadi sebuah rumusan verbalisme yang baku maka ia menuntut praktik-praktik konkrit supaya menjadi lebih hidup dan semakin menemukan kebenaran arti.
BAB IV
PENUTUP
Dewasa ini kita dihadapkan dengan aneka persoalan politik dalam usaha untuk mengatur dan menata kehidupan menuju kesejahteraan umum. Politik sebagai salah satu bidang kehidupan yang merangkul kehidupan banyak orang telah disalah-praktikkan. Orientasi politik yang berkiblat kepada kesejahteraan umum telah dibelokkan kepada kepentingan segelintir orang. Kekuasaan bukannya dilihat sebagai sarana untuk melayani dan mengabdi demi sebuah bonum commune tetapi dimanfaatkan sebagai instrumen untuk menindas dan memeras rakyat. Hakikat politik yang memiliki tujuan yang amat mulia dalam dirinya sendiri menjadi kotor, ternoda praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Melihat realitas pepolitikan kita yang sudah disalah-praktikkan ini, muncul berbagai usaha untuk memurnikan kembali politik kita yang sudah dicemari dan sejurus membuat suatu usaha penyadaran agar dapat berjalan pada arah yang semestinya. Usaha ini tidak hanya muncul dari kaum awam tetapi juga dari kaum tertahbis dan berkaul karena setiap warga negara memiliki hak untuk berpolitik. Pada titik ini muncul sebuah persoalan yang mempertanyakan keterlibatan kaum imam dalam pentas politik. Apakah seorang imam diperbolehkan untuk melibatkan diri dalam dunia perpolitikan?
Keterlibatan seorang imam dalam pentas politik merupakan bagian dari misi perutusannya ke dunia untuk mewartakan Sabda Allah, menguduskan umat Allah lewat pelayanan sakramen-sakramen, dan memimpin umat seperti yang telah ditunjukkan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama dan Yesus dalam Perjanjian Baru. Sebagai pewarta Sabda Allah, seorang imam mewartakan kebenaran dan keadilan serta menyerukan pertobatan di tengah situasi politik yang telah kehilangan arah. Sebagai pelayan sakramen untuk menguduskan umat, tugas seorang imam adalah juga menguduskan politik yang telah dicemari oleh berbagai praktik ketidakadilan, ketidakbenaran, penindasan dan pemerasan. Sebagai pemimpin atau gembala, seorang imam bertanggung jawab atas umat yang dipimpinnya. Ia harus menuntun umatnya untuk bersatu dalam usaha membangun kesejahteraan umum. Oleh karena itu, keterlibatan kaum imam bukanlah berorientasi kekuasaan (untuk mendapat jabatan politik) melainkan sebagai pelayan. Keterlibatan dan perjuangan seorang imam dalam ranah politik haruslah juga ditempatkan dalam taraf Ilahi, yakni mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia.
Diskursus tentang keterlibaan kaum imam dalam politik telah menghantar kita kepada suatu pemahaman yang holistik tentang politik teoretis dan politik praktis. Teori tanpa praktik adalah semu dan mengambang saja, dan sebaliknya praktik tanpa teori akan kehilangan arah. Pewartaan sorang imam mesti menekankan kesatuan antara ortodoksi dan orthopraksis, kesatuan antara teori dan praktik.
DAFTAR PUSTAKA
I. ENSIKLOPEDI, DOKUMEN RESMI GEREJA DAN KAMUS
Hadiwikarta, J. (Ed.). Kitab Hukum Kanon (Codex Iuris Canonici). Jakarta: Sekretariat KWI bekerjasama dengan Obor, 1991.
Hardawiryana, R. (Penterj.). Dokumen Konsili vatikan II. Jakarta: Obor, 2002.
-------. Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Cet. Ke- 4. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jilid III. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
-------. Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jilid V. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
-------. Ensiklopedi Gereja. Jilid VII. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
-------. Ensiklopedi Gereja. Jilid VIII. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
Konferensi Waligereja Indonesia. Hasil Sidang Agung KWI dan Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Departemen Dokumen dan Penerangan bekerjasama dengan Departemen Agama RI, 2003.
Majelis Agung Waligereja Indonesia. Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila Hubungan Gereja dan Negara Pedoman MAWI bagi Umat Katolik. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan MAWI, 1985.
Siregar, Edi S (Penterj.). Kamus Analisa politik. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
II. BUKU-BUKU
Chang, William. Berteologi Pembebasan. Jakarta: Obor, 2005.
d’Entre’ves, Maurizio passerin. Filsafat Politik Hannah Arendt, Terj. M. Shafwan. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.
Embu, Eman J. dan Amatus Woi (Eds.). Tolak Bungkam Suara Teolog Pembebasan. (Maumere: Ledalero, 2003.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2004.
Jebadu, Alex, dkk (Eds.). Pertambangan di Flores dan Lembata Berkah atau Kutuk. Maumere: Ledalero, 2009.
Kempis, Thomas a. Mengikuti Jejak Kristus. Jakarta: Obor, 1986.
Kleden, Paulus Budi. Teologi Terlibat Politik dan Budaya dalam Terang Teologi. Maumere: Ledalero, 2003.
Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik. Yogyakarta: Lamalera, 2008.
L. Tjahjadi, Simon Petrus. Petualangan Intelektual konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Prihatanto, Kokoh. MAP Mimbar, Altar, dan Pasar. Yogyakarta: Lamalera, 2007.
Stone, I. F. Peradilan Sokrates, Terj. Rahmah Asa harun. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1991.
Wawa, Jannes Eudes (Ed.). Kesaksian dari Penjara. Jakarta: PADMA Indonesia, 2006.
III. ARTIKEL-ARTIKEL
Berita Polkam. Dalam Pos Kupang. Sabtu, 31 Mei 2008, p. 7. kol. 1,5.
Kleden, Paulus Budi. “Ketika KPUD Mempertaruhkan Kredibilitasnya”. Dalam: Pos Kupang. Sabtu, 31 Mei 2008, p. 14. Kol. 3.
IV. INTERNET
http://www.ntt-academia.org/opini/Kemiskinan-NTT-ILJ-01.pdf, diakses, Minggu, 18 April 2010, pkl.22.15
*** Tulisan ini merupakan PRASKRIPSI penulis yang diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero sebagai prasyarat untuk menulis Skripsi