PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

27 June 2010

PAEDOFILIA - TEOLOGI TUBUH

PAEDOFILIA: KEPINCANGAN DALAM MEMANDANG TUBUH
Sebuah Refleksi Kritis atas Kasus Paedofilia di Gereja Amerika Serikat dan Australia
dalam Terang Teologi Tubuh Paus Yohanes Paulus II
  (Vianney Leyn)
I. PENDAHULUAN


Pada bulan April 2009 Penerbit Forum Kita - Jakarta menerbitkan sebuah buku dengan judul: Pastor di Persimpangan Harta, Imamat, Wanita. Buku dengan ketebalan 209 halaman itu ditulis oleh Florianus Santoso Nggagur asal Manggarai – Flores, yang pernah meniti jalan panggilan di lembaga pendidikan calon imam Seminari Menengah Santo Pius XII Kisol – Manggarai. Florianus dengan berani membuka tabir kelabu para pastor yang menodai panggilannya dan mengingkari ketiga kaul sucinya: kemurnian yang ditahbiskan bagi Allah, ketaatan apostolik, dan kemiskinan injili. Penulis tidak banyak mengungkapkan data-data empiris tentang setiap kasus melainkan hendak mengangkat rumor yang beredar di masyarakat dan pengamatan subjektif penulis serta hasil diskusi dengan beberapa kaum selibater. Tulisan ini tidak dilatarbelakangi oleh kebencian penulis kepada kaum klerus atau Gereja tetapi justru berangkat dari rasa cinta penulis akan martabat imamat dan kesucian Gereja. Beredarnya buku tersebut di pasar tentu mengundang berbagai reaksi publik, baik para imam dan calon imam, biarawan, maupun kaum awam. Di bukit Ledalero juga diadakan bincang-bincang singkat untuk mendiskusikan isi buku tersebut.
Terlepas dari esensi kebenaran dari setiap rumor yang beredar di kalangan publik, saya berusaha untuk membaca karya itu sebagai sebuah sentilan untuk mengintrospeksi diri, entah sebagai calon imam maupun sebagai anggota Gereja. Buku ini hendaknya menjadi sebuah kritikan terhadap imam, calon imam, biarawan, dan Gereja untuk melihat dan menilai kembali semua rumor yang beredar. Saya yakin, kita juga pernah mendengar rumor yang serupa berkaitan dengan imam, calon imam, dan biarawan kita. Nilai kebenarannya ada pada kita masing-masing.
Paper sederhana ini merupakan refleksi penulis setelah membaca buku tersebut, dan penulis hanya membatasi diri pada kasus paedofilia yang terjadi di Gereja Amerika Serikat dan Australia sebagaimana yang diungkapkan oleh Florianus Santosa dalam bukunya. Penulis membuat refleksi dalam terang teologi tubuh-nya Paus Yohanes Paulus II, dan sudah jelas dan pasti bahwa akan membawa konsekuensi juga pada penghayatan kaul kemurnian yang diikrarkan.






II. PAEDOFILIA: BENTUK KEPINCANGAN DALAM MEMANDANG TUBUH


2.1 Kasus Paedofilia di Gereja Amerika Serikat dan Australia: Sebuah Pengungkapan Fakta.
Gereja dalam sejarahnya telah meninggalkan catatan buram berkaitan dengan kehidupan para imam dan biarawan/biarawati. Beberapa pastor di Amerika Serikat melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak asuhan mereka termasuk putera-puteri altar. Kasus ini menjadi bahan perbincangan selama bertahun-tahun dan akhirnya menjadi salah satu topik pembicaraan dalam kunjungan Paus Benediktus XVI ke Amerika Serikat pada tanggal 16-20 April 2008. Di hadapan masyarakat Amerika Sri Paus meminta maaf atas nama Gereja, baik kepada korban maupun kepada semua masyarakat.
Kasus yang sama juga terjadi di Australia. Terhitung sudah kurang lebih 107 tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pastor. Dalam kunjungan Paus Benediktus XVI ke Australia dalam rangka Hari Pemuda sedunia pada 16 – 21 Juli 2008, diungkapkan sebuah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pastor Kevin O’Donnel terhadap kakak beradik Emma dan Katie yang adalah siswa sekolah menengah pertama. Pelecehan seksual ini menjadi pengalaman traumatis bagi korban. Ema, sang kakak akhirnya meninggal bunuh diri di usia remajanya, sedangkan Katie menjadi kecanduan alkohol.
Mungkin masih banyak lagi kasus pelecehan seksual lainnya yang terjadi di sekitar kita namun belum terungkap. Dalam modus yang sama, mungkin juga kasus paedofilia juga terjadi di Indonesia atau pun di Flores.


2.2 Membaca Kasus Paedofilia dalam Terang Teologi Tubuh Paus Yohanes Paulus II
Ketika masih hidup, setiap hari Rabu Almahrum Paus Yohanes Paulus II sering muncul di depan banyak orang dalam kesempatan audiensi umum. Dalam kesempatan-kesempatan audiensi umum setiap hari Rabu itulah Paus Yohanes Paulus II memberikan ceramah-ceramah singkat. Ceramah atau katekesis yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II berjumlah 129 ditambah 6 rancangan bahan ceramah yang tidak jadi disampaikan. Seluruh rangkaian ceramah dalam audiensi hari Rabu itu sekarang dikenal sebagai “Teologi Tubuh”.


2.2.1 Melihat Tubuh, Melihat Allah
Mendiang Paus Yohanes Paulus II telah membuat sebuah revolusi besar yakni revolusi seks. Baginya, tubuh manusia merupakan sebuah lokus berteologi, tubuh manusia adalah sebuah teologi. Tubuh manusia menjadi sebuah penunjuk pada kenyataan Allah, menjadi sebua penjelasan atau perkataan tentang Allah. Tubuh menjadi logos (perkataan) tentang theos (Allah). Keyakinan Yohanes Paulus II merujuk kepada misteri inkarnasi, peristiwa Allah menjadi daging, mengambil wujud tubuh manusia. Inkarnasi memungkinkan kita untuk melihat tubuh manusia sebagai petunjuk untuk melihat Allah; melihat tubuh berarti melihat Allah.
Paedofilia (dan berbagai kasus moral seksual lainnya) merupakan wujud penghinaan terhadap tubuh. Perspektif tentang tubuh telah direduksi hanya sebagai objek kesenangan semata. Tubuh orang lain dipandang sebagai objek yang harus memberikan nilai kenikmatan dan kesenangan. Orang terjebak dalam dualisme jiwa-badan: manusia tidak lagi dilihat secara utuh dan penuh sebagai persona, sebagai badan yang me-roh dan roh yang membadan. Atau secara ringkas, memisahkan badan dari roh. Oleh karena tubuh dipandang sebagai objek yang memberikan kesenangan dan kenikmatan maka terjadi “eksploitasi” terhadap tubuh tanpa penghargaan dan penghormatan akan esensi manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Salah satu bentuk eksploitasi terhadap tubuh adalah paedofilia, di mana anak-anak tidak lagi dicintai dan dilindungi. Nafsu birahi yang membabi buta telah menutup mata para pelaku untuk melihat kehadiran Allah dalam tubuh ana-anak yang tak bercacat-cela. Sesungguhnya anak-anak adalah yang empunya Kerajaan Allah. Mereka adalah anak-anak Allah.


2.2.2 Tubuh Manusia dalam Tiga Pengalaman Dasar Saat Penciptaan: Kesendirian Asali, Kebersatuan Asali dan Ketelanjangan Asali
Dalam kisah penciptaan kita membaca: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” (Kej 1: 26); dan penulis kisah ini melanjutkan: “Maka Allah menciptkan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1 : 27). Dengan informasi singkat ini, penulisnya ingin menyampaikan sebuah kebenaran dasar dan pentung, bahwa Allah ingin menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupanya sendiri. Manusia laki-laki dan perempuan yang diciptakan menunjukkan keutuhan penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Dengan demikian, memberikan aksentuasi pada yang satu dan menutup mata terhadap yang lain akan membuat pemahaman kita tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah menjadi pincang, tidak utuh. Manusia berbeda dari makhluk lain karena ia mempunyai jiwa dan badan, ia memiliki sifat-sifat rohani; karena itu manusia disebut gambar Allah. Ungkapan “gambar” menunjukkan bahwa manusia dipandang sebagai sesuatu yang kelihatan dan teraba. Namun manusia terlihat dan teraba hanya melalui badannya, hanya melalui tubuhnya. Di sini penulis suci itu mengagumi keselarasan dan keindahan badan manusia dan melihat di dalamnya gambar yang terlihat dan teraba dari keselarasan dan keindahan Allah. Ada-nya manusia pada awal penciptaan ini semestinya membawa kita kepada sikap hormat terhadap laki-laki maupun perempuan karena badan sesama kita dan badan kita sendiri merupakan gambar Allah. Melakukan pelecehan seksual terhadap tubuh sendiri (seperti masturbasi, onani) maupun terhadap tubuh orang lain misalnya terhadap anak-anak (paedofilia) menunjukkan kepincangan dalam memandang manusia, bukan sebagai gambar Allah melainkan telah membentuk gambar baru yang bertentangan dengan gambar Allah (gambar si jahat atau setan).
Dari seluruh kisah penciptaan manusia, Yohanes Paulus II melihat ada 3 pengalaman dasar manusia pada saat penciptaan, yakni: kesendirian asali (original solitude), kebersatuan asali (original unity), dan ketelanjangan asali (original nakedness).
Manusia ada dengan tubuh yang mencerminkan sebuah pribadi/persona. Manusia menyadari bahwa tubuhnya merindukan sebuah tubuh lain, ia membutuhkan tubuh lain, bukan melulu dalam rupa sebentuk tubuh yang lain, melainkan dalam rupa tubuh yang bisa mencerminkan sebuah pribadi. Di sini manusia menyadari bahwa ia sama serentak berbeda. Ia merasa terasing; ia mengalami ‘kesendirian asali’ (orginal solitude). Di sini Yohanes Paulus II kembali menekankan bahwa kita membutuhkan tubuh yang lain bukan sebagai objek, artinya memandang orang lain sebagai yang memiliki tubuh semata melainkan sebagai pribadi/persona. Menyebut orang lain atau sesama sebagai pribadi/persona menuntut suatu imperatif moral bahwa setiap orang harus menaruh respek dan penghargaan terhadap sesama tanpa memandang usia maupun kedudukan. Ketika seorang anak kecil dilecehkan dalam kerangkeng paedofilia, itu berarti sang pelaku tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk yang ber-pribadi melainkan sebagai ciptaan yang ber-tubuh semata serentak hendak menghakimi dirinya sendiri sebagai makhluk yang tidak ber-pribadi karena tindakan yang dilakukan tidak mencerminkan dirinya sebagai persona.
Tubuh manusia berbeda dari segala makhluk lain karena hanya tubuh manusia yang memiliki napas hidup dari Tuhan. Sebagaimana Tuhan telah memberikan napas-Nya (hidup) sendiri ke dalam tubuh manusia, maka manusia dibuat mampu untuk meneruskan daya hidup ini kepada sesamanya. Lewat aktus saling memberi inilah dirayakan sebuah communion personarum, kesatuan antrapribadi. Kevin O’Donnel, sang pastor yang melakukan paedofilia terhadap kakak beradik Emma dan Katie terlah mengancurkan masa depan korban: sang kakak akhirnya meninggal bunuh diri di usia remajanya, sedangkan Katie menjadi kecanduan alkohol. Pastor Kevin tidak meneruskan daya, nafas hidup yang telah diterimanya dari Tuhan kepada Emma dan Katie. Sang pastor membutuhkan Emma dan Katie bukan karena mereka adalah pribadi yang juga telah menerima nafas, daya hidup yang sama dari Tuhan melainkan karena tubuh mereka semata.
Keadaan manusia pada awal penciptaan sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian adalah telanjang. “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kej 2 : 25). Di sini sebuah pertanyaan muncul: mengapa pada situasi semacam itu ketelanjangan sama sekali tidak menimbulkan rasa malu sedikitpun? Ada 2 hal penting yang hendak diungkapkan oleh Yohanes Paulus II dari ayat Kitab Suci ini, yakni: “telanjang” dan “tidak malu”. Kedua manusia pertama itu, laki-laki dan perempuan dalam ketelajangan mereka tetap menyadari diri sebagai subjek dan memperlakukan yang lain juga sebagai subjek. Satu-satunya reaksi yang muncul ketika seorang subjek berjumpa dengan subjek lain adalah rasa kagum dan penuh hormat hingga akhirnya bermuara pada pemberian diri. Artinya, ada kekuatan yang saling terpancar dari masing-masing tubuh telanjang itu sehingga sama sekali tidak ada ruang bagi keinginan sekecil apa pun untuk merampas pemberian itu. Ketelanjangan adalah ungkapan keilahian yang memungkinkan manusia memahami tubuh dalam arti yang paling suci dan murni. Bahkan Yohanes Paulus II menegaskan bahwa ketelanjangan adalah sebuah kekudusan. Kita lalu bertanya, ketika seorang pastor meniduri seorang anak perempuan dalam keadaan yang telanjang, apakah dia masih memandang ketelanjangan itu sebagai sebuah kekudusan sehingga ada kemungkinan kecil untuk membatalkan niat jahat itu? Hemat penulis, kesadaran sang pastor itu sudah terlambat sehingga besar kemungkinan aksi jahat itu tetap dilakukan karena diri telah diburu nafsu. Kasus paedofilia dan juga tindakan pelecehan seksual lainnya tidak mungkin terjadi bila masing-masing kita menyadari situasi ketelanjangan pada awal penciptaan. Diri kita dan diri sesama yang telanjang itu mencerminkan kemurnian, kekudusan. Melakukan tindakan pelecehan terhadap tubuh adalah bentuk penodaan terhadap tubuh yang pada awal ciptaan adalah kudus.


2.3.4 Imam: Tubuh tanpa Hubungan Seks
Para imam dipanggil untuk mewartakan Sabda Allah dalam caranya yang khas sambil menghayati ketiga nasihat Injil: ketaatan apostolik sebagai pengikut Kristus, kemurnian yang ditahbiskan bagi Allah (hidup tidak kawin), dan kemiskinan Injili. Namun kita tidak menyangkal bahwa para imam sering jatuh dalam ketidaktaatan, kurang menghayati kemiskinan dan menodai kemurnian mereka.
Hidup seorang diri bukan sekadar hidup tidak menikah melainkan soal keyakinan dan kesediaan yang penuh sukacita untuk pada saatnya nanti akan mendengar Yesus sebagai Sang Mempelai berkata: “Inilah Tubuh-Ku”, dan mereka pun akan menjawab dengan rela dan pasti: “inilah tubuhku.” Tubuh seorang imam adalah tubuh yang ditahbiskan bagi Allah; dan tubuh yang dipersembahkan bagi Allah adalah tubuh tanpa noda, tubuh tanpa hubungan seks. Oleh karena imam ditahbiskan untuk melayani sakramen-sakramen kepada umat, maka tubuhnya sendiri juga merupakan sakramen, tanda dan sarana menuju keselamatan. Tubuh yang ternoda oleh tindakan pelecehan seksual seperti paedofilia akan menghantar umat (termasuk anak-anak yang menjadi korban) kepada penyesatan dan bukannya keselamatan sebagaimana yang diajarkan dan diwartakan. Relasi dengan Yang Ilahi juga menjadi putus karena keetidaksetiaan pada janji untuk menjaga tubuh supaya tetap murni dan kudus bagi Allah.


III. PENUTUP


Refleksi kritis dalam terang teologi tubuh-nya Paus Yohanes Paulus II atas kasus paedofilia yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia paling kurang menghantar kita kepada suatu pemahaman baru tentang tubuh berkaitan dengan seksualitas; bahwa tubuh bukanlah sebuah objek kesenangan atau pemuas nafsu melainkan menjadi lokus teologi yang amat penting. Lewat teologi tubuh yang diajarkannya, Paus Yohanes Paulus II mengajak kita untuk membaca tubuh kita dan tubuh sesama kita serta merefleksikannya bahwa tubuh kita dan tubuh sesama kita, entah normal atau cacat merupakan gambar Allah sendiri. Tubuh yang kita miliki sekarang ini adalah tubuh tanpa noda, murni dan kudus sejak awal penciptaan.
Kasus paedofilia yang dilakukan oleh beberapa imam di Amerika Serikat dan Australia menunjukkan kepincangan pelaku dalam memahami tubuh. Paus Yohanes Paulus II yakin bahwa untuk mengubah seluruh manusia dan seluruh dunia yang penuh dengan berbagai persoalan moral seksual, kita harus mulai dengan serius mengerti tentang diri kita sendiri sebagai yang bertubuh. Bagaimana cara Anda memahami tubuh Anda sendiri dan tubuh orang lain?


KEPUSTAKAAN


Handoko, Ardi dan A. Widyamartaya (Penterj.). Pada Awal Mula. Yogyakarta : Kanisius. 1978.
Kleden, Paulus Budi dan Otto Gusti Madung (Eds.). Menukik Lebih Dalam. Ledalero : Maumere, 2009.
Leonard, Andre. Yesus dan Tubuhmu Tuntunan Moral Seksual bagi Kaum Muda. Jakarta: Obor, 2002.
Nggagur, Florianus Santosa. Pastor di Persimpangan Harta, Imamat, Wanita. Jakarta : Forum Kita. 2009.
Maas, Kees. Teologi Moral Seksualitas. Ende: Nusa Indah, 1998.
Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

1 comment: