PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

21 December 2009

MUTIARA YANG TERPENDAM

MUTIARA YANG TERPENDAM DI DASAR SAMUDERA SASTRA
(Mengenang Chairil Anwar di Hari Kesusatraan Nasional)
(Vianney Leyn)

“Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Nukilan singkat dari seorang penulis dan sastrawan, Goenawan Mohamad,ini menyiratkan hubungan yang wajar dan logis antara seni dan perjuangan. Kesenian yang dimaksudkan oleh Goenawan di sini adalah seni sastra, yang menurutnya merupakan suatu “revolusi”: secara langsung atau tak langusng ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan oleh sejarah (Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, 1993). Sejarah telah mencatat bahwa dunia sastra melakonkan peran yang tidak kalah pentingnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan sejak masa pergerakan nasional tahun 1920-an sebagai momentum awal dari semangat nasionalisme, yang oleh sejarahwan disebut sebagai “pembaptisan politik dari kelas bawah” yang dipelopori oleh Muhammad Yamin dan Rustam Effendi. Perjuangan mereka ini patut mendapat apresiasi sekaligus menjadi suatu kebanggaan buat kita. Itulah sastra kita: Dian yang Tak Kunjung Padam sebagaimana yang telah disuarakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Hari kesusastaraan Nasional tidak terlepas dari kisah hidup seorang penyair kawakan kepunyaan negeri ini yakni Chairil Anwar, pelopor angkatan ’45 dalam dunia perpuisian Indonesia. Chairil Anwar, buah hati pasangan Tulus dan Ibu Saleha,lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Chairil adalah seorang anak yang pandai dan memiliki minat baca yang tinggi terutama buku-buku sastra. Banyak puisi indah lahir dari permenungannya. Chairil memiliki kerinduan yang begitu kental untuk hidup seribu tahun lagi sebagaimana yang dipekiknya dalam puisi Aku, tapi sayang, itu hanyalah sebuah idealisme yang menggumpal di benak lantaran sayap-sayap kematian terlalu dini membawa dia pergi. Chairil begitu sibuk dan tekun dalam melahirkan karya-karya sastra dan lalai dalam memperhatikan kesehatannya. Penyakit radang paru-paru dan infeksi darah kotor yang sudah lama dideritanya serta kondisi badannya yang semakin lemah menimbulkan gangguan usus hingga pecah. Chairil muda akhirnya menutup kisah hidup pada tanggal 28 April 1949. Kematiannya bagai mimpi yang jatuh terlalu dini. Chairil dimakamkan di pekuburan Karet Jakarta, tempat penguburan yang sudah ditentukannya sekaligus mengilhami puisinya YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS: di Karet sampai juga deru dingin/Aku berbenah dalam kamar…… Untuk mengenang Chairil, hari kematiannya diperingati sebagai hari Kesusastraan Nasional di fakultas-fakultas sastra. Hari kesusatraan kita peringati sebagai salah satu pengakuan terhadap sejarah, bahwa dari rahim pertiwi ini pernah lahir seorang penyair yang begitu serius dalam mencipta puisi (meskipun menurut para peneliti sastra, ada beberapa karyanya yang dipertanyakan orisinalitasnya: menyadur dan memplagiat karya orang lain). Sosok Chairil Anwar yang menggelarkan dirinya sebagai binatang jalang dari kumpulannya terbuang, kini tidak ada lagi tapi suaranya masih berdenging di telinga kita yang terwakil dalam goresan-goresan penanya. Jiwa dan semangat juangnya ada dalam kata yang berdaya merentang usia kepenyairannya melampaui generasi dan zaman: luka dan bisa kubawa lari/berlari/hingga hilang pedih perih/dan aku akan lebih tak peduli/aku mau hidup seribu tahun lagi.
Seorang pencinta sastra pernah berujar demikian: “sajak (sastra) itu mutiara, mutiara yang dikandung dalam hati lokan. Demikian juga sajak (sastra) dikandung di dalam hati, kita menulis dengan segenap hati”. Mutiara adalah permata dari hati lokan. Permata bermula dari kerikil yang dihempas gelombang laut dan masuk kedalam hati lokan. Sebuah kerikil yang bersarang dalam daging tentu melukai dan menyakiti; dan jika dibiarkan terus bisa menimbun nanah. Ketika kerikil memberi perih, lokan itu mengeluarkan lendirnya untuk membalut kerikil itu. Lendir yang membalut kerikil itu kemudian menjadi padat mengkilap yang kita kenal dengan mutiara. Sastra sesungguhnya lahir dari jiwa pengarang atau penyair yang disentil oleh sebuah pengalaman atau situasi hidup personal maupun komunal. Atau menyitir Goenawan Mohamad, kesusastraan adalah kesaksian atas kondisi manusia dalam keadaan dan waktu tertentu. Seni dan kesusastraan bertolak pijak pada situasi-situasi konkrit dalam alur dan aneka latar yang terkadang sulit dipahami dan dipecahkan secara tuntas. Dalam dunia sastra, situasi semacam itu tidak pernah menjadi usang. Menurut Chairil Anwar, berbagai peristiwa dalam alam dan dalam kehidupan manusia yang kerap tidak dihiraukan justru menjadi begitu penting dalam menentukan hasil kesenian. Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, kosmos dan berbagai fenomennya, ke-Tuhanan adalah pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan seniman. Sastra hadir meneriakkan kebenaran yang dibungkam oleh uang dan intimidasi. Sastra hadir memperjuangkan keadilan yang sengaja dikaburkan dan dikuburkan oleh kelaliman dan kediktatoran penguasa. Sastra hadir menyibak tirai kemunafikan yang menutup rapi adegan-adegan penindasan dan pemerasan, menjilat yang di atas dan menginjak yang di bawah serta berbagai praktik KKN. Sastra hadir untuk mengapungkan nilai-nilai moral dan kekayaan budaya lokal yang lama tenggelam dalam gaya hidup yang menguat dalam semangat hedonisme, materialisme, fanatisme, modernisme dan globalisme, lantas kita menjadi gagap dalam lilitan amnesia kronis.
Sastra juga kaya akan nilai-nilai religiositas karena pada hakikatnya, menurut mendiang Romo Mangunwijaya, segala sastra adalah religius (religius: religio, dari kata bahasa Latin: relego: memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani). Misalnya, Chairil Anwar yang bermunajat dalam puisi DOA (kepada pemeluk teguh) insyaf bahwa dalam ketermanguan sekalipun, ia tetap menyerukan nama Tuhan sebab ia yakin, pada Tuhanlah bermuara segala kesempurnaan: Tuhanku/dalam termangu/aku masih menyebut nama-Mu/biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh… Tuhanku/dipintu-Mu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling. Sebuah ungkapan totalitas penyerahan diri. “Semua sastra yang baik selalu religius”, tandas romo Mangun dalam bukunya Sastra dan Religiositas yang menobatkan beliau menjadi pemenang hadiah sastra 1982 dari Dewan Kesenian Jakarta untuk esei atau kritik sastra.
Khazanah sastra nyatanya menyimpan sejuta makna dan nilai bagi kehidupan. Sastra adalah mutiara berharga dan para pengarang atau penyair adalah lokan. Dalam diam dan pergulatan batin mereka telah membalut kerikil-kerikil tajam yang melukai dan menembus daging dan tulang dengan kedahsyatan ide dan kekuatan imaji yang mengental di corong pena. Ribuan karya sastra baik prosa maupun puisi telah dihasilkan oleh penulis-penulis berkelas dan berkarakter seperti Chairil Anwar dan W.S Rendra dengan kumpulan puisi mereka, atau Pramodya Ananta Toer dengan kumpulan prosanya yang bermutu. “Semua kita secara alami sudah dibekali menghargai seni dan rima bahasa sehari-hari, panca indera dan nalar halus. Yang dibutuhkan bukan lebih banyak teori lagi, tetapi cara menyerap esensi karya seni dengan cara yang sangat alami”, demikian kata Robert Pinsky. Kemampuan apresiatif sudah ada dalam diri kita, tinggal keberanian kita untuk menggali nilai-nilai hidup yang tersimpan rapi dalam karya-karya sastra yang mungkin sudah dijejali debu jalanan atau dimakan rayap lantaran tidak terjamah oleh generasi-generasi berikutnya.***

Unit Mkhael, April 2008

07 December 2009

ECCE HOMO

ECE HOMO: DUNIA KITA SEDANG TRSALIB*
(Refleksi Prosesi Jumat Agung di Larantuka)
(Vianney Leyn)

Larantuka hingga saat ini masih memelihara sebuah ritus keagamaan yang begitu dikagumi dan dicintai (admiranda et Amanda) baik oleh anak-anak nagi (orang Larantuka) maupun yang bukan orang asli. Keberakarannya pada ritus ini sudah tertanam sejak kedatangan bangsa portugis pada tahun 1552 yang mengusung misi: Gold (mencari rempah), Gospel (menyebarkan agama), Glory (memperjuangkan “nama besar dalam hegemoni kekuasaan). Seiring waktu yang terus bergulir dan dalam pergulatan dengan aneka tantangan, prosesi akbar ini telah membentuk cita rasa iman (sensus fidelium) umat yang berakar kuat pada devosi kepada Bunda Maria. Umat Larantuka memberikan atensi yang luar biasa kepada devosi Bunda Maria dan ini sudah menjadi devosi populer. Devosi kepada Bunda Maria begitu melekat kuat dalam religiositas umat yang mengerucut pada prosesi akbar Jumat Agung, di mana umat bersama Bunda Maria, Mater Dolorosa (Bunda Yang Berduka cita) mengikuti Sang Putera sepanjang tapak-tapak duka via dolorosa.

Sebuah Awal yang Sederhana
Menurut catatan sejarah, prosesi itu merupakan ibadah keagamaan warisan bangsa Portugis sejak abad IV ketika misi Solor sudah mendirikan banyak stasi, dan Larantuka adalah salah satu stasi waktu itu. Prosesi yang dicetuskan oleh para pastor Dominikan ini awalnya diadakan dalam bentuk yang amat sederhana, namun umat memberikan tanggapan positif dan mengikuti jalannya prosesi dengan entusiasme keimanannya. Umat yakin dan percaya bahwa Bunda Maria-lah yang telah memberikan perlindungan terhadap kota Larantuka dari serangan lawan, bangsa Belanda. Keyakinan inilah yang menggugah nurani kesadaran raja Don Lorenzo Diaz Viera Diego Dinho untuk tidak hanyut terbawa arus “nama besar” di atas penderitaan orang lain, ataupun tenggelam dalam kediktatoran dan arogansi kekuasaan yang represif melainkan bersimpuh pada kerendahan hati dan kepasrahan: menyerahkan tongkat kerajaan dan kota Larantuka ke dalam tangan Bunda Maria Reinha Rosari pada tanggal 08 September 1888 sebagai tempat bernaung kala suka dan duka (Karel Steenbrik, Orang-orang Katolik di Indonesia: 163). Lantas Larantuka dikenal sebagai kota Reinha. Inilah simpul sejarah yang membingkai prosesi akbar ini. Prosesi ini melibatkan peran aktif kaum awam yang telah dibentuk oleh P. Sanders pada tahun 1860 dengan nama Konfreria, sebuah organisasi kerasulan awam yang bertugas membantu imam dalam liturgi terutama dalam mengatur segala persiapan prosesi selama pekan suci. Paguyuban ini merupakan lembaga religius terpenting di Kerajaan Larantuka pada waktu itu bahkan hingga kini.

Ecce Homo: Dunia Kita Sedang Tersalib
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, prosesi berarti pawai hikmat atau perarakan dalam upacara keagamaan. Arti ini sangat relevan dengan makna prosesi di Larantuka, yakni perarakan menghantar jenazah Yesus Penebus (bagi orang Larantuka disebut Tuan Ana ) sementara Bunda maria (Tuan ma) menjadi fokus perhatian sebagai bunda yang sedang berduka cita (mater dolorosa). Arakan duka ini tidak hanya melibatkan orang Larantuka tetapi juga para peziarah dari berbagai penjuru. Suasana kota menjadi sunyi mencekam. Kaki melangkah penuh keagungan di antara jutaan cahaya lilin yang dipasang di jalan-jalan, do lorong-lorong kota bahkan di tangga depan rumah. Di setiap armida arakan nan agung ini berhenti mendengar ratapan Veronika yang membuka lukisan Ecce Homo (Lihatlah manusia). Terdengar suara mengalun sendu, menyelinap di antara rongga-rongga malam, dan akhirnya hilang bersama malam yang mengalir: O vos omnes, qui transitis per viam. Atendite et videte, si es dolor sicut dolor meus (Hai kalian semua yang berjalan lalu, adakah duka cita yang menyamai deka citaku?)
Lukisan Ecce Homo merupakan latar yang pas buat kita untuk berefleksi dalam alunan nada-nada Gregorian. Seruan Ecce Homo yang tertulis di bawah lukisan wajah Yesus yang berlumuran darah dengan mahkota duri yang melingkar di kepala, berikut ratapan O vos omnes adalah sura Sang guru yang terseret di sepanjang jalan salib-Nya dari Getzemani yang mencekam hingga Golgata, bukit tengkorak yang menyeramkan. Lukisan dan ratapan itu tidak hanya membangkitkan memori masa lalu: tragedi penyaliban yang terjadi 2000 tahun silam tetapi juga membahasakan situasi dunia kita dalam rentetan tragedi yang panjang. Penokohan yang sama masih dilakonkan di atas pentas kehidupan saat ini dengan latar Getzemani, rumah Pilatus hingga Gologota yang didekorasi secara baru.
Sering kita menjadi seperti Yudas yang telah tertutup nuraninya dengan 30 keping perak, tega menyerahkan Sang Guru yang dimeterai dengan ciuman untuk disalibkan. “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” Demi harta dan kekayaan,kebahagiaan sendiri dan kelompok, kita pun tak segan-segan mengorbankan sesama, bahagia di atas penderitaan orang lain. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme turut mewarnai setiap kebijakan. Atau, seperti Petrus, Sang Batu Karang yang terkenal berani itu menjadi gugup dan takut di hadapan seorang perempuan penjaga pintu yang berujung pada penyangkalan akan kebenaran sebelum jago berkokok. “Bukankah engkau juga murid orang itu? Jawab Petrus: bukan!” Kebenaran rupanya begitu sulit untuk disuarakan lantaran nurani telah terpasung dalam ketakutan, malu dan dendam kesumat. Kebenaran yang diungkapkan hanyalah merupakan hasil rekayasa dan distorsi. Keadalian pun tidak mendapat tempat dalam gedung megah yang berlabel peng-adil-lan sehingga ia terus diteriaki. “Dimanakah keadilan? Entahkah sudah mati terkubur di bawah timbunan rupiah, atau sedang diperjual-belikan di pasar hukum?”
Kita pun menjadi bosan bahkan jijik dengan berbagai kasus pemerkosaan: terhadap anak-anak, orang dewasa bahkan lansia yang senantiasa menghiasi halaman-halaman surat kabar. Inilah potret kebejatan moral kita. Seperti Yesus yang ditanggalkan pakaian-Nya, begitu pula mereka para korban, dilucuti martabat dan dicabik-cabik harga diri mereka demi pemuasan nafsu sesaat. Atau anak-anak busung lapar, tergolek lemah di bawah tindihan salib krisis ekonomi yang berkepanjangan dan dicambuk harga pasar yang melambung tinggi; masyarakat kecil yang tertatih-tatih, terseret di arus modernisme, globalisme, dan industrialisme sementara yang lain membuang undi di meja judi seperti para algojo yang membuang undi atas jubah Sang Guru. Hak asasi manusia pun digilas. Di lorong-lorong kehidupan, kita sering mendengar teriakan untuk menyalibkan sesama, yang membual dari bekapan egoisme yang membutakan rasa kemanusiaan. Pengadilan sesat pun dilakonkan: menggiring anak kampung pencuri ayam ke kursi pesakitan, disekap dalam terali besi lantaran tak punya rupiah untuk meloloskan diri seperti para pejabat negara, biar lewat lubang jarum sekalipun. Berbagai aksi teroris, peperangan dan pembunuhan terus dilancarkan karena masih terbius ideologi “mata ganti mata, gigi ganti gigi”; padahal Sang Guru pernah mengajarkan: “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Ribuan nyawa berserakan dan darah terus membercak bumi yang pada awal penciptaan begitu indah. Sungguh, dunia kita sedang tersalib. Tidaklah meleset jauh bila Kelompok Studi Pengkajian Masalah Sosial Budaya dan Solusi Altrnatif Kabupaten Flores Timur mengusung tema: “Minuman Keras, Judi, dan Seks Bebas dalam Kultur Religius Masyarakat Larantuka” dalam seminar menyongsong Semana Santa, hari suci itu (Flores Pos, rabu 27 Oktober 2008). Umat Flores timur dan juga kita semua mesti menimba makna dari prosesi akbar ini bagi hidup kita, bagi dunia kita. Prosesi suci Jumat Agung bukanlah sebuah pertunjukkan atau direduksi menjadi sebuah aset wisata sehingga kita tenggelam dalam banalitas massa, melainkan mesti dilihat dalam kaca mata iman: bersama Bunda Maria yang berduka cita kita merenungkan sengsara hebat Puteranya akibat dosa-dosa kita, juga sengsara dunia kita. Kita dituntut kejelian mata dan kepekaan hati untuk melihat peliknya persoalan hidup yang pada akhirnya menyalibkan dunia kita. Ecce Homo: dunia kita sedang tersalib.

*Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Surat kabar Pos Kupang, Maret 2008.

05 December 2009

NUBA NARA - LAMAHOLOT

NUBA NARA: SIMBOL WUJUD TERTINGGI
DALAM KEPERCAYAAN ASLI MASYARAKAT LAMAHOLOT
(Vianey Leyn)

I. Pendahuluan

Kekristenan yang berkembang di Flores sesungguhnya ditenun dari suatu proses sejarah yang panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas budaya umat atau masyarakat. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para misionaris ketika mereka mulai menjejakkan kaki di setiap jengkal tanah misi. Ketika para misionaris mulai mengadakan kontak dengan penduduk asli, di sana bisa muncul perbenturan antara misi para misionaris untuk menyebarkan agama (gospel, di samping misi gold dan glory) dengan kubudayaan asli masyarakat seperti kepercayaan asli serta berbagai ritus yang dipraktikkan; tetapi juga ada pendamaian antara keduanya. Perjumpaan antara para misionaris dengan masyarakat asli membentuk suatu proses dialog antara agama (evangelisasi) dan budaya yang melahirkan berbagai kemungkinan: asimilasi, bila yang terjadi adalah saling mengambil yang terbaik; konfrontasi, yakni bila terjadi antagonisme atau perlawanan yang saling membentur; dan adaptasi, yakni konfrontasi damai (Sutrisno, Ide-ide Pencerahan, 2004. P. 378). Ini merupakan sebuah proses evangelisasi yang telah menenun sebuah sejarah besar yakni sejarah gereja di Flores atau misi di kepulauan Solor yang meliputi Flores daratan, Solor, Adonara, dan Lembata.

Masyarakat Lamaholot sebagai suatu kelompok yang mengalami kontak langsung dengan para misionaris juga memiliki pengalaman sejarah yang hampir serupa. Namun penulis tidak berkutat terlalu lama untuk merekonstruksi pengalaman sejarah itu. Penulis juga tidak menguraikan praktik suatu ritus dalam masyarakat Lamaholot sebagai bentuk penghormatan kepada Wujud Tertinggi. Penulis hanya memfokuskan uraian pada salah satu bagian kecil dari berbagai ritus yang dipraktikkan seperti membuka lading baru, musim tanam dan panen atau adat kematian, yakni Nuba Nara, simbol Wujud Tertinggi dalam kepercayaan asli atau kepercayaan tradisional masyarakat Lamaholot. Meskipun Nuba Nara sebagai bagian kecil dari proses sejarah yang panjang dan rumit itu, namun bagi penulis, Nuba Nara merupakan nukleus dari seluruh struktur sejarah perkembangan agama Kristen di Flores. Pengalaman di hadapan Nuba Nara dan berbagai ritus yang dipraktikan merupakan starting point atau tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah, yang oleh masyarakat Lamaholot disapa sebagai Lera Wulan Tana Ekan. Karena itu, tulisan ini lebih bernada hermeneutis atau sebagai sebuah tafsiran atas simbol Nuba Nara, karena kepada Nuba Nara-lah berkiblat seluruh ritus adat.


II. Nuba Nara: Simbol Wujud Tertinggi Dalam Kepercayaan Asli Masyarakat Lamaholot


2.1 Memahami Arti Nuba Nara

Pembicaraan tentang Nuba Nara tidak terlepas dari rumah adat masyarakat Lamaholot yang disebut korke atau koke bale. Setiap kampung memiliki korke atau rumah adatnya masing- masing. Konstruksi rumah adat ini berupa bangunan tinggi dengan atap lancip yang terbuat dari alang-alang. Korke berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka namun terutama sebagai tempat kebaktian pelaksanaan berbagai ritus adat dan pusat sosialisasi atau pertemuan adat. Di dekat tiang induk ditanam sebongkah batu panjang yang dianggap sebagai tempat istirahat Lera Wulan Tana Ekan. (Lera Wulan, berarti “matahari-bulan”. Digabungkan menjadi satu kata berarti “langit”. Tana Ekan berarti “bumi”, permukaan bumi, tempat”). Di sekeliling batu itu disusun melingkar lempengan lempengan batu licin. Di tempat inilah dipersembahkan kurban berupa ternak dan juga hasil kebun (Herin, Lewo Mayen Tana Doen, 2008. P. 5). Dalam masyarakat adat Lamaholot terdapat juga empat suku besar yang memiliki peranan yang sangan penting dalam berbagai urusan adat, yakini koten, kelen, hurint, dan maran. Koten, berarti kepala, yaitu syarat mutlak agat tetap hidup. Dalam kehidupan sosial, koten memiliki kedudukan sebagai kepala/ketua atas suku-suku lain di dalam sebuah kampung. Di dalam ritus kurban, koten bertugas untuk memegang kepala hewan atau menarik tali yang terikat pada leher hewan ketika hewan itu hendak dikurbankan. Kelen adalah suku yang bertugas memegang kaki atau menarik tali yang terikat pada kaki hewan ketika hendak dikurbankan. Kedua kelompok suku Koten dan Kelen umumnya dipandang sebagai tuan tanah. Hurint adalah kelompok suku yan menyimpan parang keramat dan bertugas memotong hewan. Sedangkan maran adalah keompok suku yang bertugas mewakili seluruh masyarakat untuk menyampaiakan ujud persembahan kurban kepada Lera Wulan Tana Ekan.

Secara Etimologis, Nuba Nara berasal dari kata tubak dan tarak. Tubak artinya menikam atau jatuh tertikam dari atas, dan tarak artinya tertikam, mengarah ke tempat datangnya tikaman atau dari mana datangnya kejatuhan. Di sini dapat dimengerti bahwa jurusan datangnya tikaman atau kejatuhan adalah langit, sorga; sedangkan tempat tikaman atau tujuan tikaman adalah bumi, dunia. Nuba adalah surga yang menjatuhkan diri, turun ke dalam dunia; Nara adalah juga surga yang tinggal tertanam dalam dunia dan menjadi satu dengan dunia: Nuba Lera Wulan – Nara Tana Ekan. Nuba Nara juga mengungkapkan ketakterpisahan antara surga dan bumi. Hal ini terbaca dalam koda atau ungakapan adat (sabda): lera wulan gikat teti lodo hau, tana ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana (Surga turun dari atas, bumi naik dari bawah, menjadi satu hati, satu kata, satu ikat, satu berkas, tak terurai, tak terpisah-pisahkan).

2.2 Nuba Nara: Simbol Wujud Tertinggi dalam Kepercayaan Asli Masyarakat Lamaholot

Simbol adalah seperangkat tanda yang disepakati oleh konsensus pemakainya untuk menandai atau mempresentasikan entitas tertentu. Simbol mewakili sesuatu yang lain; Yang lain itu dibahasakan lewat simbol.
Nuba Nara dalam kepercayaan asli masyarakat Lamaholot merupakan simbol dari Wujud Tertinggi yang akrab disapa dengan Lera Wulan Tana Ekan. Nuba Nara diyakini sebagai tempat istirahat Lera Wulan Tana Ekan maka tidaklah mengeherankan jika berbagai ritus adat dilaksanakan di dekat Nuba Nara. Kita lalu bisa memahami bahwa Nuba Nara bukan hanya sebuah tiang batu beserta lempengan-lempengan batu di sekitarnya tetapi ia melampaui benda-benda mati itu. Nuba Nara adalah Lera Wulan Tana Ekan (Allah), Nuba Nara adalah Koda (Sabda, Yesus Kristus), Nuba Nara adalah Roh yang diam dan hidup dalam dunia Lamaholot.

Pada bagian sebelumnya dikatakan bahwa Nuba Nara adalah koda atau Sabda yang terungkap dalam koda atau kata-kata: lera wulan gikat teti lodo hau, tana ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana. (Keda Stef Kopong, Lewotana-Nubanara-Tanaeka-Witihama, p. 2). Bagi masyarakat Lamaholot, koda atau sabda ini merupakan sabda yang paling pokok, pengasal segala sabda. Koda di sini sesungguhnya mau mengungkapkan prbadi Yesus Kristus, yang adalah Sabda Yang Menjadi Manusia. Kekuatan koda/sabda inilah yang memampukan orang Lamaholot untuk menyapa Lera Wulan Tana Ekan, memanjatkan doa, menyembah dan berbakti kepadanya. “Pada mulanya adalah Sabda; Sabda itu bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah”, demikian prolog Injil Yohanes (Yoh. 1:1-2).

Dalam setiap ritus yang diadakan oleh masyarakat Lamaholot, misalnya membuka ladang baru atau upacara minta hujan, tersirat suatu pengakuan bahwa ada suatu kekuatan yang ada di luar diri, kekuatan yang melampaui eksistensi masyarakat lamaholot sebagai manusia, kekuatan adikodrati. Di hadapan realitas ketidakberdayaan, masyarakat Lamaholot yakin akan adanya suatu kekuatan yang mengatasi seluruh hidup mereka, WUJUD TERTINGGI, yang merupakan asal dan tujuan hidup. Maka konsekuensi logisnya, masyarakat Lamaholot mesti tetap menjaga hubungan baik dengan Wujud Tertinggi untuk menjamin kelangsungan hidup. Usaha untuk menjaga hubungan yang baik itu diwujudkan lewat pelaksanaan berbagai ritus; dan PENGALAMAN MEMBUKTIKAN BAHWA SETELAH PELAKSANAAN RITUS ITU, BERBAGAI PERSOALAN MANUSIA MULAI TERJAWAB. Sebuah pengalaman kecil: ketika masih di bangku SLTP, saya pernah menghadiri sebuah ritus minta hujan. Ada sejumlah hewan piaraan seperti babi dan kambing dikurbankan dalam ritus itu. Menjelang sore, kabut hitam mulai menggumpal di langit. Hujan pun turun dengan derasnya. Ini merupakan sebuah pengalaman, yang oleh Abraham Maslow disebut sebagai pengalaman puncak/ekstase/pengalaman transenden, pengalaman akan sesuatu kekuatan yang melampaui eksistensi manusia sebagai ciptaan yang terbatas terkhusus ketika berhadapan dengan realitas “penderitaan” ataupun kesulitan hidup lainnya seperti susahnya curah hujan atau kemarau panjang, gagal panen dan lain sebgainya. Masyrakat Lamaholot yakin bahwa Lera Wulan Tana Ekan-lah yang berkuasa atas seluruh hidup mereka. Maka kepadanyalah mereka mengarahkan seluruh hidup. Dan keyakinan akan Allah sebagai Penguasa Tunggal atas seluruh hidup merupakan transformasi dari pengalaman akan Lera Wulan Tana Ekan. Pengalaman di hadapan Nuba Nara merupakan religiositas asli karena itu tidak boleh dimusnahkan melainkan mesti ditransformasikan kepada suatu pengalaman akan Yang Ilahi.

PENUTUP

Pengalaman kedatangan para misionaris di Larantuka untuk menyebarkan agama Kristen juga menjumpai berbagai ritus kepercayaan asli masyarakat Lamaholot. Fransen, seorang misionaris penerus karya perintisan Sanders sejak Desember 1861 dan menjadi wakil Gereja katolik sampai dengan penghujung 1863, adalah tokoh pejuang paling gigih melawan segala macam “penyembahan berhala”. Ia menggunakan metode inkuisisi dan memdapat masukan dari para informan. Fransen dikenal sebagai seorang pemberani, kejam, namun juga terbuka dan jujur. Berhadapan dengan berbagai ritus yang diprakikkan oleh masyarakat Lamaholot, ia tidak melontarkan kecam ataupun menghina (Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, 2006. pp. 182-183). Perlahan-lahan semua praktik religius asli masyarakat Lamaholot itu dipelajari dan pada akhirnya dirangkul dalam kekristenan. Hal ini menjadi begitu urgen dalam membangun dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan lain.

Karl Rahner sendiri telah meletakan sebuah dasar yang menjadi tolak pijak dalam membangun dialog dengan agama-agama non Kriseten, termasuk berbagai kepercayaan asli yang berkembang di masyarakat. Tolak pijak itu adalah paradigma inklusif, yaitu suatu pola pendekatan yang menggariskan bahwa Allah yang menyelamatkan hadir dalam agama-agama non Kristen; tetapi keselamatan yang sempurna dan penuh hanya diperoleh dalam Kristus sebagai revelasi Allah yang definitf dan otoritatif, yang selanjutnya direfleksikan dan dihayati dalam agama Kristen. Rahner menyebut orang-orang non Kristen: anonymous Christian (orang Kristen tak dikenal); artinya mereka juga telah menemukan rahmat Allah yang menyelamatkan walaupun tidak sedefinitf seperti yang ada dalam agama Kristen.

Ritus yang dipraktikkan di hadapan Nuba Nara bukanlah bentuk penyembahan berhala yang mesti dimusnahkan melainkan merupakan bentuk religiositas asli masyarakat Lamaholot yang mesti dirangkul dalam agama Kristen. Para misionaris telah menunjukkan itu!

PANGAN LOKAL

KONSUMSI PANGAN LOKAL: MENGAPA RISIH?
Vianney Leyn)

Pada kesempaan liburan beberapa waktu lalu, saya bertamu ke rumah tetangga yang adalah juga keluarga saya. Pada saat makan siang kami dijamu dengan menu beras yang dicampur dengan jagung, sayur rumpu rampe, dan ikan kering bakar. Sambil menghidangkan semuanya itu, dengan malu tuan rumah menguc¬apkan kata-kata ini: “No, jangan marah, kita makan hanya ini saja. Nasi kita kuning sekali”, (maksudnya karena sudah tercampur dengan jagung). Pengalaman yang sama dengan ungkapan yang sama pula kembali dilontarkan ketika sya berrtamu dan makan di ruma keluarga yang lain.
Ketika membaca beberapa berita dan opini tentang pangan lokal yang dilansir dalam beberapa koran lokal (Pos Kupang dan Flores Po)s maupun nasional (Kompas), saya teringat akan pengalaman kecil di atas. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita merasa rendah diri atau malu bila mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, jagung titi atau pangan lokal lainnya; terlebih lagi jika pangan lokal itu dihidangkan untuk tamu. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat kita yang sering mengkonsumsi beras yang pada umumnya diimpor dari luar negeri. Republik ini telah terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Lebih dari Rp. 50 Triliun (setara 5,0 % APBN) dihabiskan untuk mengimpor pangan (Posman Sibuea, Bangkitkan Pangan Lokal dalam Kompas, 08 September 2009). Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan: apakah bangsa kita Indonesia, terkhusus NTT, tidak bisa memproduksi beras sendiri atau pun pangan lokal lainnya? (Sementara itu sebanyak 89% penduduk NTT bermata pencaharian sebagai petani dengan 79% di antaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama, Isidorus Lilijawa, Makan Pangan Lokal dalam Pos Kupang , Senin 29 Juni 2009). Dan menurut laporan Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT, ketersediaan pangan lokal di NTT khusunya umbi-umbian hingga Juli 2009 mencapai 46,757 ton, sedangkan kebutuhan perbulan 3, 271 ton atau 14,3 ton. Data ini sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat NTT tidak miskin pangan lokal apalagi mendapat stigma “daerah rawan pangan”. Menurut saya, ini merupakan sebuah kasalahan berpikir (logical fallacy) atau berani saya katakan sebagai sebuah kebodohan untuk orang-orang yang menyematkan stigma ini pada daerah NTT (bila orang NTT tidak begitu mudah menerima bewgitu saja stigma yang terkesan dipaksakan ini). Mengapa saya berani katakan bodoh? Apakah dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabakan secara etis bila melihat sekelompok masyarakat mengkonsumsi ubi, jagung atau pun makanan lokal lainnya lantas itu dikatakan sebagai sebuah realitas rawan pangan? Kita mesti menukik lebih ke dalam untuk melihat apa sesungguhnya yang menjadi parameter suatu daerah dikatakan rawan pangan. Di sini kita melihat bahwa pangan telah direduksi menjadi beras, berikut program seperti swasembada pangan juga mengalami pereduksian menjadi swasembada beras.
Dari fenomen di atas, ada satu catatan penting yang mesti kita perhatikan sebelum melangkah lebih jauh untuk meyakinkan masyarakat agar mengkonsumsi pangan lokal. Pertama – tama kita mesti mengubah paradigma berpikir masyarakat kita bahwa pangan tidak hanya menyangkut beras tetapi juga mencakup semua pangan lokal seperti jagung, ubi, sagu, dan lain-lain. Oleh karena itu kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal yang dihasilkan dari tanah kita sendiri dan dari keringat kita sendiri. Bahkan, bila perlu pangan lokal kita juga diperkenalkan kepada publik tanpa terlalu banyak mengharapkan pengakuan akan keungulannya. Tapi serentak dengan itu, kita mesti bangga dengan pangan lokal kita sendiri. Lebih lanjut, Wakil Gubernur, Esthon Foenay pada kesempatan workshop hasil kajian pangan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan PBB (WHO, FAO, WFP dan Care Internasional bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, mengatakan, pemanfaatan pangan lokal perlu terus ditingkatkan sebagai salah satu solusi dalam memperkuat upaya ketahanan pangan. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah NTT telah mengeluarkan kebijakan memantapkan ketahanan pangan melalui diversivikasi produksi dan konsumsi yang terfokus pada pemanfaatan potensi pangan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian.
Mari kita ciptakan budaya mencintai pangan lokal dengan mengkonsumsinya. Kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal; justu sebaliknya kita semestinya malu bila tidak mengkosumsi pangan lokal sendiri karena sampai dengan isi perut kita pun ditentukan oleh orang lain. Saya yakin, semua kita tentu tidak mau dikatakan seperti itu. Adanya UU anti pornografi telah membuat kita merasa diusil karena budaya dan ruang privasi kita seakan dibongkar. Sebuah problem baru lagi akan muncul bila isi perut kita juga ditentukan oleh orang lain dengan beras, sarimi, atau berbagai jenis makanan instant lainnya yang diimpor dari luar negeri.
                                                                         Konsumsi pangan lokal sendiri: mengapa risih?***

DIALOG JIWA

DIALOG JIWA
(Vianney Leyn)
Ketika kubuka tirai jendela, kulihat sang mentari pagi membawa sosok seseorang yang tidak kukenal. Sosok itu lewat sebentar di lorong depan kamarku. Kuberanikan diri untuk menyapanya:
Selamat pagi matahari
Engkau menyinari hari
Selamat pagi embun
Engkau yang mencair di daun kemarau
Selamat pagi… …….
Engkau yang membuka kelopak mataku
Lalu kutitipkan sebait pesan baginya sebelum ia berlalu pergi. Sama sekali tidak terpikir olehku bahwa kami akhirnya hanyut dalam sebuah dialog yang panjang.

(DIALOG JIWA 1)
AKU : Katakan kepada setiap orang yang kamu jumpai hari ini, bahwa aku sedang mencari jantung hatiku. Aku merindukannya. Dan sebelum mentari menggelinding pergi pada lekak-lekuk langit kotaku, katakan sesuatu kepadaku tentang semuanya biar aku tidak hanya mendengar suaramu tapi juga menatap wajahmu sebelum tirai malam menudungnya dan kabut mengaburkannya.
DIA : Aku hanya ingin katakan bahwa engkau adalah yang berharga bagiku. Aku akan selalu mengawasi langit, dan bila kabut mengaburkannya, aku akan terbang ke atasnya ‘tuk tanyakan kapan waktunya akan tiba. Dan jika langit tak menjawabku, aku akan berlutut di bawah langit menghadap ke tanahku, sebab langit tak menjawabku. Namun jiwaku akan melayang ‘tuk menanyakan kemanakah cinta sejatiku?
AKU : Pertanyaan kemanakah cinta itulah yang menjadi pencaharianku selama ini. Kucoba tuk mengetuk di setiap hati yang lewat namun jemariku kaku oleh rasa malu dan lidahku menjadi beku oleh pesimisme yang mencuat: pasti cintaku ditolak!
DIA : Jika jemarimu kaku oleh rasa malu, ‘kan kuhangatkan jemarimu oleh kuatnya genggamanku. Jika lidahmu menjadi beku oleh pesimisme yang mencuat, dengarlah tuturku yang menacairkan kebekuannya. Sesungguhnya yang akan datang dari yang engkau bayangkan, dia akan membuahkan Eden yang megah bagimu.
AKU : Katakan sekali lagi kepadaku, apakah sosok itu masih jauh, atau…..dekat, atau…semakin dekat biar kudirikan kemah dan menyiapkan perjamuan di altar cinta hingga akhirnya dimetarai oleh sebuah pengakuan dari hati yang tulus dan lidah yang jujur.
DIA : Jika di relungmu mengatakan sosok itu semakin dekat, biarlah itu semua terjadi, tapi bukan kehendakmu, melainkan kehendak-Nya. Siapkanlah kemah dan perjamuan di altar cinta karena sewaktu-waktu dia akan datang mendengar pengakuanmu.
AKU: Ya, yang kurasakan adalah seperti itu. Dan seperti mentari hendak melukis hari pada kanvas malam, aku melihat samar-samar bayangnya terlukis di sana.
Bersamaan dengan permulaan hari baru, ia meyakinkan aku tentang apa yang selalu diperjuangkan manusia mulai dari terbit sampai terbenamnya matahari.

(DIALOG JIWA 2)
DIA : Surga ada di sana, dibalik pintu itu, di kamar sebelah. Tapi aku kehilangan kuncinya; barangkali hanya terselip entah di mana.
AKU : Seandainya kutemukan kunci itu, akau akan membukanya dan mempersilakan engkau masuk, tapi sendirian tanpa aku karena aku belum layak untuk itu; dan bila tidak dosa….relakah kamu menarikku ke dalamnya?
DIA : Jika engkau mengatakan bahwa engkau tidak layak masuk, maka akupun demikian. Namun, seandainya aku harus masuk sendirian, maka aku akan bersimpuh, bermazmur dengan biola dan menari agar DIA mendengar bunyi gelang kaki dan suaraku, karena aku sudah menyayangimu, aku memohon pada-Nya ketika aku mendapati diriku sendiri teramat kecil.
AKU : Ijinkan aku menjamah jubah cintamu bila engkau sudah siap di gerbangnya biar aku disucikan agar kita bergandengan masuk ke dalamnya karena kamu adalah sepotong dari diriku.
DIA : Namun, sebelum engkau menjamah jubah cintaku, yakinkan jiwaku akan keteguhan janjimu, agar saat melangkah masuk, Dia pun tersenyum melihat kita.
Ketika mengakhiri kata-kata itu, aku menatapnya dengan senyum terukir di bibir yang bergetar kering, seakan hendak mengatakan sesuatu yang masih terpendam di kedalaman jiwa. Dia pun menatapku dengan senyum, lalu meneruskan cerita tentang mimpinya semalam.

(DIALOG JIWA 3)
DIA : Ada seorang malaikat hendak terbang ke kayangan. Sayap kanannya memelukku dan sayap kiri dipakai untuk terbang bersamaku. Sandarkan diri di bahunya. Suatu kesan bukan tanpa pesan, oleh angin kemarau yang juga berdesah di telinga, mengertikah dia?
AKU : Sesungguhnya aku dan kamu adalah malaikat bersayap satu; dan kita bisa terbang hanya jika saling berpelukan dalam kekuatan cinta yang merekatkan. Bersediakah kamu menjadi sayapku yang lain karena yang kupunya hanyalah sayap-sayap patah?
DIA : Jika engkau memintanya, maka aku pun bersedia menajdi sayapmu. ‘kan kurangkul engkau agar tidak jatuh ke tanah yang kian gersang.
AKU : Apakah ini tidak hanya merupakan imajinasi liar sehingga kita tidak terdepak dalam harapan yang nyasar dan konyol atau terjebak dalam cinta sesaat?
DIA : Yakinlah, ini bukan imajinasi liar karena sebelum kuungkap semuanya, aku pinta padanya dengan berukiran air mata. Sesudah itu, ia pun bercahaya, merebak dalam dunia fana dengan engkau di sampingnya. Aku pun terheran, mengapa banyak yang datang padaku namun hanya seraut wajahmu yang mau kupandang. Hanya seraut wajamu.
AKU : Begitu juga aku, dalam samar-samar bayangmu, kumelihat bahwa mawar cintaku telah bersemi. Namun aku akan menjadi lebih yakin, bila aku mendengar engkau berbicara di telinga dan hatiku. I Love You….
DIA : Maka dengarlah tuturku yang berbicara di telinga dan hatimu, serta rasakanlah desah nafas dalam samar-samar bayangku. I Love You….
AKU : Terima kasih untuk cintamu. Terim kasih Cintaku
DIA : Terima kasih Cintaku. Terima kasih Untuk Cintamu.****

KAUM MUDA

KAUM MUDA DI TENGAH KEGELISAHAN BENCANA*
(Vianney Leyn)

Tentu masih terekam baik dalam ingatan kita peristiwa kosmik yang mengguncang Padang Pariaman, Sumetera Barat, 30 September 2009. Gempa yang berkekuatan 7,6 SR itu tidak hanya meruntuhkan gedung-gedung megah ataupun gubuk tempat tinggal masyarakat kecil tetapi juga merobohkan cita-cita dan masa depan para korban. Guncangan bumi sesaat itu menelan banyak korban. Skenario kehidupan yang telah dirancang oleh manusia akhirnya menjadi sebuah kisah dengan alur yang lain sama sekali, pada latar puing-puing duka reruntuhan. Kegembiraan dan tawa pun berubah menjadi kesedihan dan air mata; suka cita berubah menjadi duka cita ketika orang menyaksikan realitas kehancuran itu: bukan hanya tempat tinggal dan harta benda tetapi juga sanak keluarga dan sahabat kenalan yang hilang- terkubur dalam pejam abadi mereka. Cerita hidup seolah-olah diputuskan secara tiba-tiba tanpa meminta sebuah persetujuan atau kompromi ketika kafan kematian datang menudung. Kisah hidup manusia tidaklah rapih sebagaimana yang kita idealkan: kita lahir sebagai seorang anak yang begitu lemah, yang membutuhkan uluran dan jamahan kasih ayah-bunda dan keluarga; bertumbuh menjadi seorang pemuda/pemudi yang dapat diandalkan, menjadi seorang dewasa yang mandiri, dan akhirnya menjadi tua, sakit-sakit dan lemah tak berdaya seperti pada waktu kita lahir hingga ajal menjemput. Tidaklah demikian adanya! Bisa saja terjadi manusia mengakhiri hidup ketika baru saja dilahirkan; atau ketika masih memiliki semangat sebagai anak muda karena menderita suatu penyakit atau pun karena kecelakaan.
Gempa yang mengguncang Padang Pariaman rupanya juga turut menggetarkan hati seluruh warga Indonesia, juga warga dari luar negeri. Tangisan duka para korban juga terdengar sampai di kejauhan; lantas uluran tangan kasih mulai menjamah-membantu dari kekurangan. Itulah “solidaritas yang mendesak” (Paul Budi Kleden, Pos Kupang, 10 Oktober 2009) yang tercipta dari momentum bencana alam, Rabu 30 September 2009 karena orang merasa “yang lain” adalah bagian dari ada-nya; atau menyitir filsuf Gabriel Marcel, esse est co-esse, ada berarti ada bersama dengan yang lain.
Refleksi atas bencana gempa pun muncul di sana. Ada orang mempertanyakan eksistensi Allah dan kepedulian-Nya di hadapan penderitaan atau kebobrokan yang menimpa umat-Nya. Namun lahir juga sebuah kesadaran bahwa bukan hanya manusia yang mengalami bencana, karena yang pertama kali mengalami bencana adalah alam itu sendiri. Bencana yang diderita alam disebabkan oleh tangan-tangan manusia, dan manusia tidak pernah peduli. Sehingga, pada akhirnya manusia pula yang menerima akibatnya. Dengan kata lain, bencana alam lebih banyak disebabkan oleh terjadinya bencana kemanusiaan: keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Rencana tambang di Kabupaten Lembata dan Manggarai yang hingga kini masih menyisakan persoalan pro dan kontra juga merupakan salah bentuk bencana kemanusiaan. Tanah yang merupakan tempat hidup masyarakat kecil dimanfaatkan sebagai lahan untuk menyedot profit bagi kepentingan segelintir orang, dan (mungkin) sebagai lahan korupsi yang subur tanpa memperjuangkan nasib rakyat. Contoh lain dari bencana kemanusiaan adalah aksi terorisme yang membombardir hotel J W Marriot dan hotel Ritz Carlton Kuningan – Jakarta pada tanggal 17 Juli 2009 lalu. Manusia tidak lagi menghargai kehidupan yang merupakan datum atau keterberian dari Allah. Kehidupan tidak hanya merupakan anugerah dari Allah (gabe) tetapi serentak pula merupakan sebuah tugas (Aufgabe) yang menuntut tanggung jawab untuk menjaga anugerah itu dan bukannya menghancurkannya.
W. S. Rendra, sastrawan kaliber yang telah berpulang itu, pada tahun 1977 pernah menulis sebuah sajak anak muda. Pada bait terakhir sajaknya itu, Rendra, si “burung merak” menulis demikian: Kita adalah angkatan gagap/Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar/Daya hidup telah diganti oleh nafsu/Pencerahan telah diganti oleh pembatasan/Kita adalah angkatan yang berbahaya. Larik-larik ini sesungghnya melukiskan kecemasan dan kegelisahan Rendra atas diri kaum muda. Dia melihat bahwa kaum muda lebih banyak dituntut untuk patuh ketimbang bertukar pikiran. Anak-anak disiapkan untuk menjadi instrumen industry dan alat birokrasi. Rendra menjadi begitu cemas dengan kaum muda yang hidup dalam realitas seperti itu pada zamannya: Kita adalah angkatan yang berbahaya!
Realitas bencana alam dan bencana kemanusiaan di atas tentu juga mempengaruhi kaum muda zaman kini karena mereka juga merupakan bagian dari dunia kehidupan (lebenswelt). Di hadapan realitas bencana alam yang terus mengancam seperti gempa bumi, banjir dan tanah longsor, kaum muda merasa terusik dan gelisah: akankah bencana alam itu kembali menggucang dan melanda bumi? Kegelisahan kaum muda akan semakin menggumpal ketika mereka tahu bahwa bukan hanya bencana alam tetapi lebih lagi bencana kemanusiaan yang merupakan realitas yang paling menakutkan seperti aksi terorisme, ekploitasi terhadap alam secara tidak bertanggung jawab, pengambilan hak milik seperti tanah untuk dijadikan lahan pengerukan keuntungan sebanyak mungkin bagi kepentingan segelintir orang dan juga sebagai lahan korupsi. Kaum muda merasa gelisah bahwa mereka akan kehilangan hak milik atas tanah sebagai tempat mereka berpijak dan meniti hidup, gelisah karena ancaman dan aksi terorisme yang terjadi secara tiba-tiba ketika mereka sedang meraih cita-cita yang masih samar-samar bayang; gelisah karena bumi yang semakin tua dan sakit lantaran terus dilukai. Dan sesunggunya bumi kita juga sedang gelisah. Kegelisahan anak muda dan kegelisahan bumi adalah juga kegelisahan kita semua.***

*Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Harian Pos Kupang, Selasa, 27 Oktober 2009