PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

05 December 2009

DIALOG JIWA

DIALOG JIWA
(Vianney Leyn)
Ketika kubuka tirai jendela, kulihat sang mentari pagi membawa sosok seseorang yang tidak kukenal. Sosok itu lewat sebentar di lorong depan kamarku. Kuberanikan diri untuk menyapanya:
Selamat pagi matahari
Engkau menyinari hari
Selamat pagi embun
Engkau yang mencair di daun kemarau
Selamat pagi… …….
Engkau yang membuka kelopak mataku
Lalu kutitipkan sebait pesan baginya sebelum ia berlalu pergi. Sama sekali tidak terpikir olehku bahwa kami akhirnya hanyut dalam sebuah dialog yang panjang.

(DIALOG JIWA 1)
AKU : Katakan kepada setiap orang yang kamu jumpai hari ini, bahwa aku sedang mencari jantung hatiku. Aku merindukannya. Dan sebelum mentari menggelinding pergi pada lekak-lekuk langit kotaku, katakan sesuatu kepadaku tentang semuanya biar aku tidak hanya mendengar suaramu tapi juga menatap wajahmu sebelum tirai malam menudungnya dan kabut mengaburkannya.
DIA : Aku hanya ingin katakan bahwa engkau adalah yang berharga bagiku. Aku akan selalu mengawasi langit, dan bila kabut mengaburkannya, aku akan terbang ke atasnya ‘tuk tanyakan kapan waktunya akan tiba. Dan jika langit tak menjawabku, aku akan berlutut di bawah langit menghadap ke tanahku, sebab langit tak menjawabku. Namun jiwaku akan melayang ‘tuk menanyakan kemanakah cinta sejatiku?
AKU : Pertanyaan kemanakah cinta itulah yang menjadi pencaharianku selama ini. Kucoba tuk mengetuk di setiap hati yang lewat namun jemariku kaku oleh rasa malu dan lidahku menjadi beku oleh pesimisme yang mencuat: pasti cintaku ditolak!
DIA : Jika jemarimu kaku oleh rasa malu, ‘kan kuhangatkan jemarimu oleh kuatnya genggamanku. Jika lidahmu menjadi beku oleh pesimisme yang mencuat, dengarlah tuturku yang menacairkan kebekuannya. Sesungguhnya yang akan datang dari yang engkau bayangkan, dia akan membuahkan Eden yang megah bagimu.
AKU : Katakan sekali lagi kepadaku, apakah sosok itu masih jauh, atau…..dekat, atau…semakin dekat biar kudirikan kemah dan menyiapkan perjamuan di altar cinta hingga akhirnya dimetarai oleh sebuah pengakuan dari hati yang tulus dan lidah yang jujur.
DIA : Jika di relungmu mengatakan sosok itu semakin dekat, biarlah itu semua terjadi, tapi bukan kehendakmu, melainkan kehendak-Nya. Siapkanlah kemah dan perjamuan di altar cinta karena sewaktu-waktu dia akan datang mendengar pengakuanmu.
AKU: Ya, yang kurasakan adalah seperti itu. Dan seperti mentari hendak melukis hari pada kanvas malam, aku melihat samar-samar bayangnya terlukis di sana.
Bersamaan dengan permulaan hari baru, ia meyakinkan aku tentang apa yang selalu diperjuangkan manusia mulai dari terbit sampai terbenamnya matahari.

(DIALOG JIWA 2)
DIA : Surga ada di sana, dibalik pintu itu, di kamar sebelah. Tapi aku kehilangan kuncinya; barangkali hanya terselip entah di mana.
AKU : Seandainya kutemukan kunci itu, akau akan membukanya dan mempersilakan engkau masuk, tapi sendirian tanpa aku karena aku belum layak untuk itu; dan bila tidak dosa….relakah kamu menarikku ke dalamnya?
DIA : Jika engkau mengatakan bahwa engkau tidak layak masuk, maka akupun demikian. Namun, seandainya aku harus masuk sendirian, maka aku akan bersimpuh, bermazmur dengan biola dan menari agar DIA mendengar bunyi gelang kaki dan suaraku, karena aku sudah menyayangimu, aku memohon pada-Nya ketika aku mendapati diriku sendiri teramat kecil.
AKU : Ijinkan aku menjamah jubah cintamu bila engkau sudah siap di gerbangnya biar aku disucikan agar kita bergandengan masuk ke dalamnya karena kamu adalah sepotong dari diriku.
DIA : Namun, sebelum engkau menjamah jubah cintaku, yakinkan jiwaku akan keteguhan janjimu, agar saat melangkah masuk, Dia pun tersenyum melihat kita.
Ketika mengakhiri kata-kata itu, aku menatapnya dengan senyum terukir di bibir yang bergetar kering, seakan hendak mengatakan sesuatu yang masih terpendam di kedalaman jiwa. Dia pun menatapku dengan senyum, lalu meneruskan cerita tentang mimpinya semalam.

(DIALOG JIWA 3)
DIA : Ada seorang malaikat hendak terbang ke kayangan. Sayap kanannya memelukku dan sayap kiri dipakai untuk terbang bersamaku. Sandarkan diri di bahunya. Suatu kesan bukan tanpa pesan, oleh angin kemarau yang juga berdesah di telinga, mengertikah dia?
AKU : Sesungguhnya aku dan kamu adalah malaikat bersayap satu; dan kita bisa terbang hanya jika saling berpelukan dalam kekuatan cinta yang merekatkan. Bersediakah kamu menjadi sayapku yang lain karena yang kupunya hanyalah sayap-sayap patah?
DIA : Jika engkau memintanya, maka aku pun bersedia menajdi sayapmu. ‘kan kurangkul engkau agar tidak jatuh ke tanah yang kian gersang.
AKU : Apakah ini tidak hanya merupakan imajinasi liar sehingga kita tidak terdepak dalam harapan yang nyasar dan konyol atau terjebak dalam cinta sesaat?
DIA : Yakinlah, ini bukan imajinasi liar karena sebelum kuungkap semuanya, aku pinta padanya dengan berukiran air mata. Sesudah itu, ia pun bercahaya, merebak dalam dunia fana dengan engkau di sampingnya. Aku pun terheran, mengapa banyak yang datang padaku namun hanya seraut wajahmu yang mau kupandang. Hanya seraut wajamu.
AKU : Begitu juga aku, dalam samar-samar bayangmu, kumelihat bahwa mawar cintaku telah bersemi. Namun aku akan menjadi lebih yakin, bila aku mendengar engkau berbicara di telinga dan hatiku. I Love You….
DIA : Maka dengarlah tuturku yang berbicara di telinga dan hatimu, serta rasakanlah desah nafas dalam samar-samar bayangku. I Love You….
AKU : Terima kasih untuk cintamu. Terim kasih Cintaku
DIA : Terima kasih Cintaku. Terima kasih Untuk Cintamu.****

No comments:

Post a Comment