(Refleksi Prosesi Jumat Agung di Larantuka)
(Vianney Leyn)
Larantuka hingga saat ini masih memelihara sebuah ritus keagamaan yang begitu dikagumi dan dicintai (admiranda et Amanda) baik oleh anak-anak nagi (orang Larantuka) maupun yang bukan orang asli. Keberakarannya pada ritus ini sudah tertanam sejak kedatangan bangsa portugis pada tahun 1552 yang mengusung misi: Gold (mencari rempah), Gospel (menyebarkan agama), Glory (memperjuangkan “nama besar dalam hegemoni kekuasaan). Seiring waktu yang terus bergulir dan dalam pergulatan dengan aneka tantangan, prosesi akbar ini telah membentuk cita rasa iman (sensus fidelium) umat yang berakar kuat pada devosi kepada Bunda Maria. Umat Larantuka memberikan atensi yang luar biasa kepada devosi Bunda Maria dan ini sudah menjadi devosi populer. Devosi kepada Bunda Maria begitu melekat kuat dalam religiositas umat yang mengerucut pada prosesi akbar Jumat Agung, di mana umat bersama Bunda Maria, Mater Dolorosa (Bunda Yang Berduka cita) mengikuti Sang Putera sepanjang tapak-tapak duka via dolorosa.
Sebuah Awal yang Sederhana
Menurut catatan sejarah, prosesi itu merupakan ibadah keagamaan warisan bangsa Portugis sejak abad IV ketika misi Solor sudah mendirikan banyak stasi, dan Larantuka adalah salah satu stasi waktu itu. Prosesi yang dicetuskan oleh para pastor Dominikan ini awalnya diadakan dalam bentuk yang amat sederhana, namun umat memberikan tanggapan positif dan mengikuti jalannya prosesi dengan entusiasme keimanannya. Umat yakin dan percaya bahwa Bunda Maria-lah yang telah memberikan perlindungan terhadap kota Larantuka dari serangan lawan, bangsa Belanda. Keyakinan inilah yang menggugah nurani kesadaran raja Don Lorenzo Diaz Viera Diego Dinho untuk tidak hanyut terbawa arus “nama besar” di atas penderitaan orang lain, ataupun tenggelam dalam kediktatoran dan arogansi kekuasaan yang represif melainkan bersimpuh pada kerendahan hati dan kepasrahan: menyerahkan tongkat kerajaan dan kota Larantuka ke dalam tangan Bunda Maria Reinha Rosari pada tanggal 08 September 1888 sebagai tempat bernaung kala suka dan duka (Karel Steenbrik, Orang-orang Katolik di Indonesia: 163). Lantas Larantuka dikenal sebagai kota Reinha. Inilah simpul sejarah yang membingkai prosesi akbar ini. Prosesi ini melibatkan peran aktif kaum awam yang telah dibentuk oleh P. Sanders pada tahun 1860 dengan nama Konfreria, sebuah organisasi kerasulan awam yang bertugas membantu imam dalam liturgi terutama dalam mengatur segala persiapan prosesi selama pekan suci. Paguyuban ini merupakan lembaga religius terpenting di Kerajaan Larantuka pada waktu itu bahkan hingga kini.
Ecce Homo: Dunia Kita Sedang Tersalib
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, prosesi berarti pawai hikmat atau perarakan dalam upacara keagamaan. Arti ini sangat relevan dengan makna prosesi di Larantuka, yakni perarakan menghantar jenazah Yesus Penebus (bagi orang Larantuka disebut Tuan Ana ) sementara Bunda maria (Tuan ma) menjadi fokus perhatian sebagai bunda yang sedang berduka cita (mater dolorosa). Arakan duka ini tidak hanya melibatkan orang Larantuka tetapi juga para peziarah dari berbagai penjuru. Suasana kota menjadi sunyi mencekam. Kaki melangkah penuh keagungan di antara jutaan cahaya lilin yang dipasang di jalan-jalan, do lorong-lorong kota bahkan di tangga depan rumah. Di setiap armida arakan nan agung ini berhenti mendengar ratapan Veronika yang membuka lukisan Ecce Homo (Lihatlah manusia). Terdengar suara mengalun sendu, menyelinap di antara rongga-rongga malam, dan akhirnya hilang bersama malam yang mengalir: O vos omnes, qui transitis per viam. Atendite et videte, si es dolor sicut dolor meus (Hai kalian semua yang berjalan lalu, adakah duka cita yang menyamai deka citaku?)
Lukisan Ecce Homo merupakan latar yang pas buat kita untuk berefleksi dalam alunan nada-nada Gregorian. Seruan Ecce Homo yang tertulis di bawah lukisan wajah Yesus yang berlumuran darah dengan mahkota duri yang melingkar di kepala, berikut ratapan O vos omnes adalah sura Sang guru yang terseret di sepanjang jalan salib-Nya dari Getzemani yang mencekam hingga Golgata, bukit tengkorak yang menyeramkan. Lukisan dan ratapan itu tidak hanya membangkitkan memori masa lalu: tragedi penyaliban yang terjadi 2000 tahun silam tetapi juga membahasakan situasi dunia kita dalam rentetan tragedi yang panjang. Penokohan yang sama masih dilakonkan di atas pentas kehidupan saat ini dengan latar Getzemani, rumah Pilatus hingga Gologota yang didekorasi secara baru.
Sering kita menjadi seperti Yudas yang telah tertutup nuraninya dengan 30 keping perak, tega menyerahkan Sang Guru yang dimeterai dengan ciuman untuk disalibkan. “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” Demi harta dan kekayaan,kebahagiaan sendiri dan kelompok, kita pun tak segan-segan mengorbankan sesama, bahagia di atas penderitaan orang lain. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme turut mewarnai setiap kebijakan. Atau, seperti Petrus, Sang Batu Karang yang terkenal berani itu menjadi gugup dan takut di hadapan seorang perempuan penjaga pintu yang berujung pada penyangkalan akan kebenaran sebelum jago berkokok. “Bukankah engkau juga murid orang itu? Jawab Petrus: bukan!” Kebenaran rupanya begitu sulit untuk disuarakan lantaran nurani telah terpasung dalam ketakutan, malu dan dendam kesumat. Kebenaran yang diungkapkan hanyalah merupakan hasil rekayasa dan distorsi. Keadalian pun tidak mendapat tempat dalam gedung megah yang berlabel peng-adil-lan sehingga ia terus diteriaki. “Dimanakah keadilan? Entahkah sudah mati terkubur di bawah timbunan rupiah, atau sedang diperjual-belikan di pasar hukum?”
Kita pun menjadi bosan bahkan jijik dengan berbagai kasus pemerkosaan: terhadap anak-anak, orang dewasa bahkan lansia yang senantiasa menghiasi halaman-halaman surat kabar. Inilah potret kebejatan moral kita. Seperti Yesus yang ditanggalkan pakaian-Nya, begitu pula mereka para korban, dilucuti martabat dan dicabik-cabik harga diri mereka demi pemuasan nafsu sesaat. Atau anak-anak busung lapar, tergolek lemah di bawah tindihan salib krisis ekonomi yang berkepanjangan dan dicambuk harga pasar yang melambung tinggi; masyarakat kecil yang tertatih-tatih, terseret di arus modernisme, globalisme, dan industrialisme sementara yang lain membuang undi di meja judi seperti para algojo yang membuang undi atas jubah Sang Guru. Hak asasi manusia pun digilas. Di lorong-lorong kehidupan, kita sering mendengar teriakan untuk menyalibkan sesama, yang membual dari bekapan egoisme yang membutakan rasa kemanusiaan. Pengadilan sesat pun dilakonkan: menggiring anak kampung pencuri ayam ke kursi pesakitan, disekap dalam terali besi lantaran tak punya rupiah untuk meloloskan diri seperti para pejabat negara, biar lewat lubang jarum sekalipun. Berbagai aksi teroris, peperangan dan pembunuhan terus dilancarkan karena masih terbius ideologi “mata ganti mata, gigi ganti gigi”; padahal Sang Guru pernah mengajarkan: “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Ribuan nyawa berserakan dan darah terus membercak bumi yang pada awal penciptaan begitu indah. Sungguh, dunia kita sedang tersalib. Tidaklah meleset jauh bila Kelompok Studi Pengkajian Masalah Sosial Budaya dan Solusi Altrnatif Kabupaten Flores Timur mengusung tema: “Minuman Keras, Judi, dan Seks Bebas dalam Kultur Religius Masyarakat Larantuka” dalam seminar menyongsong Semana Santa, hari suci itu (Flores Pos, rabu 27 Oktober 2008). Umat Flores timur dan juga kita semua mesti menimba makna dari prosesi akbar ini bagi hidup kita, bagi dunia kita. Prosesi suci Jumat Agung bukanlah sebuah pertunjukkan atau direduksi menjadi sebuah aset wisata sehingga kita tenggelam dalam banalitas massa, melainkan mesti dilihat dalam kaca mata iman: bersama Bunda Maria yang berduka cita kita merenungkan sengsara hebat Puteranya akibat dosa-dosa kita, juga sengsara dunia kita. Kita dituntut kejelian mata dan kepekaan hati untuk melihat peliknya persoalan hidup yang pada akhirnya menyalibkan dunia kita. Ecce Homo: dunia kita sedang tersalib.
*Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Surat kabar Pos Kupang, Maret 2008.
No comments:
Post a Comment