(Vianney Leyn)
Tentu masih terekam baik dalam ingatan kita peristiwa kosmik yang mengguncang Padang Pariaman, Sumetera Barat, 30 September 2009. Gempa yang berkekuatan 7,6 SR itu tidak hanya meruntuhkan gedung-gedung megah ataupun gubuk tempat tinggal masyarakat kecil tetapi juga merobohkan cita-cita dan masa depan para korban. Guncangan bumi sesaat itu menelan banyak korban. Skenario kehidupan yang telah dirancang oleh manusia akhirnya menjadi sebuah kisah dengan alur yang lain sama sekali, pada latar puing-puing duka reruntuhan. Kegembiraan dan tawa pun berubah menjadi kesedihan dan air mata; suka cita berubah menjadi duka cita ketika orang menyaksikan realitas kehancuran itu: bukan hanya tempat tinggal dan harta benda tetapi juga sanak keluarga dan sahabat kenalan yang hilang- terkubur dalam pejam abadi mereka. Cerita hidup seolah-olah diputuskan secara tiba-tiba tanpa meminta sebuah persetujuan atau kompromi ketika kafan kematian datang menudung. Kisah hidup manusia tidaklah rapih sebagaimana yang kita idealkan: kita lahir sebagai seorang anak yang begitu lemah, yang membutuhkan uluran dan jamahan kasih ayah-bunda dan keluarga; bertumbuh menjadi seorang pemuda/pemudi yang dapat diandalkan, menjadi seorang dewasa yang mandiri, dan akhirnya menjadi tua, sakit-sakit dan lemah tak berdaya seperti pada waktu kita lahir hingga ajal menjemput. Tidaklah demikian adanya! Bisa saja terjadi manusia mengakhiri hidup ketika baru saja dilahirkan; atau ketika masih memiliki semangat sebagai anak muda karena menderita suatu penyakit atau pun karena kecelakaan.
Gempa yang mengguncang Padang Pariaman rupanya juga turut menggetarkan hati seluruh warga Indonesia, juga warga dari luar negeri. Tangisan duka para korban juga terdengar sampai di kejauhan; lantas uluran tangan kasih mulai menjamah-membantu dari kekurangan. Itulah “solidaritas yang mendesak” (Paul Budi Kleden, Pos Kupang, 10 Oktober 2009) yang tercipta dari momentum bencana alam, Rabu 30 September 2009 karena orang merasa “yang lain” adalah bagian dari ada-nya; atau menyitir filsuf Gabriel Marcel, esse est co-esse, ada berarti ada bersama dengan yang lain.
Refleksi atas bencana gempa pun muncul di sana. Ada orang mempertanyakan eksistensi Allah dan kepedulian-Nya di hadapan penderitaan atau kebobrokan yang menimpa umat-Nya. Namun lahir juga sebuah kesadaran bahwa bukan hanya manusia yang mengalami bencana, karena yang pertama kali mengalami bencana adalah alam itu sendiri. Bencana yang diderita alam disebabkan oleh tangan-tangan manusia, dan manusia tidak pernah peduli. Sehingga, pada akhirnya manusia pula yang menerima akibatnya. Dengan kata lain, bencana alam lebih banyak disebabkan oleh terjadinya bencana kemanusiaan: keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Rencana tambang di Kabupaten Lembata dan Manggarai yang hingga kini masih menyisakan persoalan pro dan kontra juga merupakan salah bentuk bencana kemanusiaan. Tanah yang merupakan tempat hidup masyarakat kecil dimanfaatkan sebagai lahan untuk menyedot profit bagi kepentingan segelintir orang, dan (mungkin) sebagai lahan korupsi yang subur tanpa memperjuangkan nasib rakyat. Contoh lain dari bencana kemanusiaan adalah aksi terorisme yang membombardir hotel J W Marriot dan hotel Ritz Carlton Kuningan – Jakarta pada tanggal 17 Juli 2009 lalu. Manusia tidak lagi menghargai kehidupan yang merupakan datum atau keterberian dari Allah. Kehidupan tidak hanya merupakan anugerah dari Allah (gabe) tetapi serentak pula merupakan sebuah tugas (Aufgabe) yang menuntut tanggung jawab untuk menjaga anugerah itu dan bukannya menghancurkannya.
W. S. Rendra, sastrawan kaliber yang telah berpulang itu, pada tahun 1977 pernah menulis sebuah sajak anak muda. Pada bait terakhir sajaknya itu, Rendra, si “burung merak” menulis demikian: Kita adalah angkatan gagap/Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar/Daya hidup telah diganti oleh nafsu/Pencerahan telah diganti oleh pembatasan/Kita adalah angkatan yang berbahaya. Larik-larik ini sesungghnya melukiskan kecemasan dan kegelisahan Rendra atas diri kaum muda. Dia melihat bahwa kaum muda lebih banyak dituntut untuk patuh ketimbang bertukar pikiran. Anak-anak disiapkan untuk menjadi instrumen industry dan alat birokrasi. Rendra menjadi begitu cemas dengan kaum muda yang hidup dalam realitas seperti itu pada zamannya: Kita adalah angkatan yang berbahaya!
Realitas bencana alam dan bencana kemanusiaan di atas tentu juga mempengaruhi kaum muda zaman kini karena mereka juga merupakan bagian dari dunia kehidupan (lebenswelt). Di hadapan realitas bencana alam yang terus mengancam seperti gempa bumi, banjir dan tanah longsor, kaum muda merasa terusik dan gelisah: akankah bencana alam itu kembali menggucang dan melanda bumi? Kegelisahan kaum muda akan semakin menggumpal ketika mereka tahu bahwa bukan hanya bencana alam tetapi lebih lagi bencana kemanusiaan yang merupakan realitas yang paling menakutkan seperti aksi terorisme, ekploitasi terhadap alam secara tidak bertanggung jawab, pengambilan hak milik seperti tanah untuk dijadikan lahan pengerukan keuntungan sebanyak mungkin bagi kepentingan segelintir orang dan juga sebagai lahan korupsi. Kaum muda merasa gelisah bahwa mereka akan kehilangan hak milik atas tanah sebagai tempat mereka berpijak dan meniti hidup, gelisah karena ancaman dan aksi terorisme yang terjadi secara tiba-tiba ketika mereka sedang meraih cita-cita yang masih samar-samar bayang; gelisah karena bumi yang semakin tua dan sakit lantaran terus dilukai. Dan sesunggunya bumi kita juga sedang gelisah. Kegelisahan anak muda dan kegelisahan bumi adalah juga kegelisahan kita semua.***
*Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Harian Pos Kupang, Selasa, 27 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment