MUTIARA YANG TERPENDAM DI DASAR SAMUDERA SASTRA
(Mengenang Chairil Anwar di Hari Kesusatraan Nasional)
(Mengenang Chairil Anwar di Hari Kesusatraan Nasional)
(Vianney Leyn)
“Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Nukilan singkat dari seorang penulis dan sastrawan, Goenawan Mohamad,ini menyiratkan hubungan yang wajar dan logis antara seni dan perjuangan. Kesenian yang dimaksudkan oleh Goenawan di sini adalah seni sastra, yang menurutnya merupakan suatu “revolusi”: secara langsung atau tak langusng ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan oleh sejarah (Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, 1993). Sejarah telah mencatat bahwa dunia sastra melakonkan peran yang tidak kalah pentingnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan sejak masa pergerakan nasional tahun 1920-an sebagai momentum awal dari semangat nasionalisme, yang oleh sejarahwan disebut sebagai “pembaptisan politik dari kelas bawah” yang dipelopori oleh Muhammad Yamin dan Rustam Effendi. Perjuangan mereka ini patut mendapat apresiasi sekaligus menjadi suatu kebanggaan buat kita. Itulah sastra kita: Dian yang Tak Kunjung Padam sebagaimana yang telah disuarakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Hari kesusastaraan Nasional tidak terlepas dari kisah hidup seorang penyair kawakan kepunyaan negeri ini yakni Chairil Anwar, pelopor angkatan ’45 dalam dunia perpuisian Indonesia. Chairil Anwar, buah hati pasangan Tulus dan Ibu Saleha,lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Chairil adalah seorang anak yang pandai dan memiliki minat baca yang tinggi terutama buku-buku sastra. Banyak puisi indah lahir dari permenungannya. Chairil memiliki kerinduan yang begitu kental untuk hidup seribu tahun lagi sebagaimana yang dipekiknya dalam puisi Aku, tapi sayang, itu hanyalah sebuah idealisme yang menggumpal di benak lantaran sayap-sayap kematian terlalu dini membawa dia pergi. Chairil begitu sibuk dan tekun dalam melahirkan karya-karya sastra dan lalai dalam memperhatikan kesehatannya. Penyakit radang paru-paru dan infeksi darah kotor yang sudah lama dideritanya serta kondisi badannya yang semakin lemah menimbulkan gangguan usus hingga pecah. Chairil muda akhirnya menutup kisah hidup pada tanggal 28 April 1949. Kematiannya bagai mimpi yang jatuh terlalu dini. Chairil dimakamkan di pekuburan Karet Jakarta, tempat penguburan yang sudah ditentukannya sekaligus mengilhami puisinya YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS: di Karet sampai juga deru dingin/Aku berbenah dalam kamar…… Untuk mengenang Chairil, hari kematiannya diperingati sebagai hari Kesusastraan Nasional di fakultas-fakultas sastra. Hari kesusatraan kita peringati sebagai salah satu pengakuan terhadap sejarah, bahwa dari rahim pertiwi ini pernah lahir seorang penyair yang begitu serius dalam mencipta puisi (meskipun menurut para peneliti sastra, ada beberapa karyanya yang dipertanyakan orisinalitasnya: menyadur dan memplagiat karya orang lain). Sosok Chairil Anwar yang menggelarkan dirinya sebagai binatang jalang dari kumpulannya terbuang, kini tidak ada lagi tapi suaranya masih berdenging di telinga kita yang terwakil dalam goresan-goresan penanya. Jiwa dan semangat juangnya ada dalam kata yang berdaya merentang usia kepenyairannya melampaui generasi dan zaman: luka dan bisa kubawa lari/berlari/hingga hilang pedih perih/dan aku akan lebih tak peduli/aku mau hidup seribu tahun lagi.
Seorang pencinta sastra pernah berujar demikian: “sajak (sastra) itu mutiara, mutiara yang dikandung dalam hati lokan. Demikian juga sajak (sastra) dikandung di dalam hati, kita menulis dengan segenap hati”. Mutiara adalah permata dari hati lokan. Permata bermula dari kerikil yang dihempas gelombang laut dan masuk kedalam hati lokan. Sebuah kerikil yang bersarang dalam daging tentu melukai dan menyakiti; dan jika dibiarkan terus bisa menimbun nanah. Ketika kerikil memberi perih, lokan itu mengeluarkan lendirnya untuk membalut kerikil itu. Lendir yang membalut kerikil itu kemudian menjadi padat mengkilap yang kita kenal dengan mutiara. Sastra sesungguhnya lahir dari jiwa pengarang atau penyair yang disentil oleh sebuah pengalaman atau situasi hidup personal maupun komunal. Atau menyitir Goenawan Mohamad, kesusastraan adalah kesaksian atas kondisi manusia dalam keadaan dan waktu tertentu. Seni dan kesusastraan bertolak pijak pada situasi-situasi konkrit dalam alur dan aneka latar yang terkadang sulit dipahami dan dipecahkan secara tuntas. Dalam dunia sastra, situasi semacam itu tidak pernah menjadi usang. Menurut Chairil Anwar, berbagai peristiwa dalam alam dan dalam kehidupan manusia yang kerap tidak dihiraukan justru menjadi begitu penting dalam menentukan hasil kesenian. Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, kosmos dan berbagai fenomennya, ke-Tuhanan adalah pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan seniman. Sastra hadir meneriakkan kebenaran yang dibungkam oleh uang dan intimidasi. Sastra hadir memperjuangkan keadilan yang sengaja dikaburkan dan dikuburkan oleh kelaliman dan kediktatoran penguasa. Sastra hadir menyibak tirai kemunafikan yang menutup rapi adegan-adegan penindasan dan pemerasan, menjilat yang di atas dan menginjak yang di bawah serta berbagai praktik KKN. Sastra hadir untuk mengapungkan nilai-nilai moral dan kekayaan budaya lokal yang lama tenggelam dalam gaya hidup yang menguat dalam semangat hedonisme, materialisme, fanatisme, modernisme dan globalisme, lantas kita menjadi gagap dalam lilitan amnesia kronis.
Sastra juga kaya akan nilai-nilai religiositas karena pada hakikatnya, menurut mendiang Romo Mangunwijaya, segala sastra adalah religius (religius: religio, dari kata bahasa Latin: relego: memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani). Misalnya, Chairil Anwar yang bermunajat dalam puisi DOA (kepada pemeluk teguh) insyaf bahwa dalam ketermanguan sekalipun, ia tetap menyerukan nama Tuhan sebab ia yakin, pada Tuhanlah bermuara segala kesempurnaan: Tuhanku/dalam termangu/aku masih menyebut nama-Mu/biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh… Tuhanku/dipintu-Mu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling. Sebuah ungkapan totalitas penyerahan diri. “Semua sastra yang baik selalu religius”, tandas romo Mangun dalam bukunya Sastra dan Religiositas yang menobatkan beliau menjadi pemenang hadiah sastra 1982 dari Dewan Kesenian Jakarta untuk esei atau kritik sastra.
Khazanah sastra nyatanya menyimpan sejuta makna dan nilai bagi kehidupan. Sastra adalah mutiara berharga dan para pengarang atau penyair adalah lokan. Dalam diam dan pergulatan batin mereka telah membalut kerikil-kerikil tajam yang melukai dan menembus daging dan tulang dengan kedahsyatan ide dan kekuatan imaji yang mengental di corong pena. Ribuan karya sastra baik prosa maupun puisi telah dihasilkan oleh penulis-penulis berkelas dan berkarakter seperti Chairil Anwar dan W.S Rendra dengan kumpulan puisi mereka, atau Pramodya Ananta Toer dengan kumpulan prosanya yang bermutu. “Semua kita secara alami sudah dibekali menghargai seni dan rima bahasa sehari-hari, panca indera dan nalar halus. Yang dibutuhkan bukan lebih banyak teori lagi, tetapi cara menyerap esensi karya seni dengan cara yang sangat alami”, demikian kata Robert Pinsky. Kemampuan apresiatif sudah ada dalam diri kita, tinggal keberanian kita untuk menggali nilai-nilai hidup yang tersimpan rapi dalam karya-karya sastra yang mungkin sudah dijejali debu jalanan atau dimakan rayap lantaran tidak terjamah oleh generasi-generasi berikutnya.***
Unit Mkhael, April 2008