NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS
Suatu Renungan
atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit
Bagian 2: Inkarnasi Logos dan Reinkarnasi sosio-politis
Kelahiran
Yesus – meski dalam kelemahan dan keterbatas di kandang hewan – membawa kegembiraan
dan harapan karena Ia adalah Mesias yang dinanti-nantikan „untuk menyampaikan
kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan
orang-orang yan tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang“
(Luk 4,18-19).
Lukisan Natal dalam balutan budaya Sumba. Foto ©FB Jack Umbu Warata |
Warta
dan pemaknaan Natal seperti ini sama sekali tak terpikirkan oleh anak kecil
seperti Tala. Bahkan untuk kebanyakan orang di kampung Tala
„kegembiraan Natal dan berita pembebasan“ masih terdengar sunyi. Yang
terpenting adalah „baju baru“ dan „pesta“ pora natal di lingkungan. Makna
perayaan Natal telah bergeser dari kemilau kesederhanaan di Betlehem kepada
glamor konsumerisme pasar. Dalam dialog tentang perjuangan Kakek Ama Tobi
untuk dapat membeli baju natal buat sang cucu, penulis menunjukkan kepada
pembaca tentang apa yang ia temukan, bahwa situasi kosmos - chaos itu tidak hanya terbatas pada proporsional ruang geometris
dan askpek estetis atau keindahan, melainkan juga tentang keteraturan dalam sosialiatas hidup masyarakat, keteraturan dalam
politik, sebagaimana Plato dalam Politeia:
„negara yang adil membutuhkan
jiwa-jiwa yang adil. Kota yang tertata rapi/adil dan jiwa yang tertata rapi/adil
akan tercapai jika masing-masing
bagian dari mereka memenuhi tugas dan tanggung jawab“ (Politeia 433b). Di sana
ia berani menggeledah „ketidak-beresan“ (ketidakteraturan) dalam institusi
gereja dan institusi pemerintah. Aspek kesederhanaan dan spirit kemiskinan bayi
Yesus lalu ditempatkan pada kontras kemewahan gereja: mobil Fortuner buat Romo
Deken, sumbangan untuk pesta Natal dari kepala kantor agama senilai 3 juta dan
pungutan wajib dalam lingkungan Gereja.
Masyarakat
lokal mungkin masih ingin religius memaknai natal dalam kesederhanaan, tetapi
mereka diganjal oleh realitas kehidupan dalam gelora pergeseran nilai-nilai dan
terkikisnya kearifan lokal, seperti Gereja yang tidak lagi berpihak pada kaum
miskin dan tertindas – melainkan berkompromi dengan penguasa dan pemegang
modal, dan Natal yang lebih mengutamakan penampilan lahiriah daripada perkara
batin. Kakek Ama Tobi menjadi semakin tidak berdaya di hadapan Bapa
Uskup, Romo Deken dan ketua komunitas
basis sebagai simbol penjaga moral gereja dan anggota DPR dan
kepada Kantor Agama sebagai aktor politik untuk menyuarakan aspirasi
rakyat. Dramaturgi politik yang dimainkan sudah tentu mencederai misi
pembebasan dan penyelematan gereja. Inkarnasi diri Allah menjadi manusia adalah
opsi keberpihakanNya kepada manusia yang lemah dan tak berdaya, yang
terpinggirkan dari masyarakat. Palungan, kandang dan para gembala adalah simbol
kedekatan dan keberpihakan Allah dengan orang-orang kecil dan miskin serta yang
menderita. Dalam kesederhanaan Natal di Betlehem para penguasa dan pemimpin
Gereja serta pemimpin masyarakat justru menyibukkan diri dengan hadiah-hadiah
dan ritual pesta pora. Konsumerisme dan Kapitalisme sudah menjadi bagian yang
sulit dipisahkan dari perayaan Natal. Metafor lain yang menunjukkan bahwa
kapitalisme juga telah merambat sampai ke pelosok-pelosok kampung adalah
„Coca-Cola“ (bdk. Cocacolonialism): „Ia mengambil sebotol Coca-Cola dan
memberikannya kepada Ama Tobi“.
Bujuk untuk menenangkan Sang cucu menjadi klimaks
cerita: „Yesus menerima
semua yang mau berteman dengan dia, termasuk yang tak punya baju baru“. Begitu
pula dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan (harus) bersifat telanjang, tak
perlu dibajui sehingga tampak. Ia tak perlu didandani agar tampil dalam
keaslian dan ketulusan.
Kenosis, Yesus yang mengosongkan dirinya, mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia – Allah yang rela menjadi senasib
dengan manusia – adalah hadiah terindah untuk semua umat. Natal: Allah menjadi
manusia, Ia datang membawa terang ke dalam dunia yang penuh dengan
ketidakadilan dan krisis ekologis. Natal: perayaan Tuhan hadir di kandang hina
mengajarkan kita untuk tidak kehilangan iman akan dunia yang lebih baik,
harapan untuk dapat mengubah dunia menjadi lebih berarti
dan cinta pada mereka yang miskin dan membutuhkan. Meng-inkarnasikan
diri dalam hidup kebersamaan, terlebih menjadi bagian dari kaum lemah dan
terpinggirkan dan terlibat dalam perjuangan mereka adalah hadiah natal
terindah.
Penulis telah berhasil menjembatani kisah Natal di
Betlehem 2000-an tahun silam dengan mitos dan kesejarahan sebuah kampung
terpencil pada masa lampau dan juga saat ini. Upaya mendialogkan Natal Tuhan
dengan tutur cerita lokal Nogo
Letek-Pelatin Lela merupakan
pendekatan kontekstual dalam berteologi yang sangat dibutuhkan, ia tidak melulu
berfokus pada teks-teks Alkitabiah atau doktrin-doktrin, melainkan terbuka
dengan nilai-nilai kultural dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari agar
dapat menolong berbagai pelayanan di gereja-gereja secara efektif (Bevans:
2009, 320). Kisah kelahiran Yesus dari Nazaret, kisah Penulis dan kisah Dunia
bersua dalam simpul hic
et nunc, kini dan di sini.
Silvester berhasil melahirkan kembali mitos dan kesejarahan penduduk lokal.
Dengan pisau bedah sastra ia berani mem-bidan-i kaum kecil yang telah lama
bunting dengan aneka krisis dan persoalan-persoalan. Mereka dan juga alam
tempat mereka hidup bagai wanita hamil yang ditinggal pergi setelah disetubuhi.
Tentang hal ini, penulis menghadirkan figur Pelatin
Lela yang disandingkan dengan ketokohan Santo Yosef:
lebih menjadi pendengar yang setia ketimbang banyak bicara, tidak memarken diri
atau menempatkan diri sebagai pusat perhatian, ya, dalam diam mereka melakukan
cinta dan menebarkan damai. Usaha mencari dan menemukan jalinan kesamaan „benang
merah“ antara warisan sabda leluhur (koda kirin) dalam budaya lokal dan
ajaran-ajaran Kristen (logos: warta Ilahi) ini adalah proses „melahirkan“ kandungan
„teologis-inkarnatoris“ yang terkandung dalam khazanah budaya (bdk. Ulin
Agan:2006, 297-332]
Sebagai penutup, saya mengutik kata-kata penyair
Angelus Silesius: „meskipun Christus ribuan kali lahir di Betlehem, tapi tidak
dalam palung hatimu, maka kamu akan hilang selamanya“.
Selesai!
Baca bagian 1 di sini
Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur