PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

27 December 2020

NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 2)

 NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS

Suatu Renungan atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit

Bagian 2: Inkarnasi Logos dan Reinkarnasi sosio-politis

Kelahiran Yesus – meski dalam kelemahan dan keterbatas di kandang hewan – membawa kegembiraan dan harapan karena Ia adalah Mesias yang dinanti-nantikan „untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yan tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang“ (Luk 4,18-19).

Lukisan Natal dalam balutan budaya Sumba. Foto ©FB Jack Umbu Warata

Warta dan pemaknaan Natal seperti ini sama sekali tak terpikirkan oleh anak kecil seperti Tala. Bahkan untuk kebanyakan orang di kampung Tala „kegembiraan Natal dan berita pembebasan“ masih terdengar sunyi. Yang terpenting adalah „baju baru“ dan „pesta“ pora natal di lingkungan. Makna perayaan Natal telah bergeser dari kemilau kesederhanaan di Betlehem kepada glamor konsumerisme pasar. Dalam dialog tentang perjuangan Kakek Ama Tobi untuk dapat membeli baju natal buat sang cucu, penulis menunjukkan kepada pembaca tentang apa yang ia temukan, bahwa situasi kosmos - chaos itu tidak hanya terbatas pada proporsional ruang geometris dan askpek estetis atau keindahan, melainkan juga tentang keteraturan dalam sosialiatas hidup masyarakat, keteraturan dalam politik, sebagaimana Plato dalam Politeia: „negara yang adil membutuhkan jiwa-jiwa yang adil. Kota yang tertata rapi/adil dan jiwa yang tertata rapi/adil akan tercapai jika masing-masing bagian dari mereka memenuhi tugas dan tanggung jawab“ (Politeia 433b). Di sana ia berani menggeledah „ketidak-beresan“ (ketidakteraturan) dalam institusi gereja dan institusi pemerintah. Aspek kesederhanaan dan spirit kemiskinan bayi Yesus lalu ditempatkan pada kontras kemewahan gereja: mobil Fortuner buat Romo Deken, sumbangan untuk pesta Natal dari kepala kantor agama senilai 3 juta dan pungutan wajib dalam lingkungan Gereja.

Masyarakat lokal mungkin masih ingin religius memaknai natal dalam kesederhanaan, tetapi mereka diganjal oleh realitas kehidupan dalam gelora pergeseran nilai-nilai dan terkikisnya kearifan lokal, seperti Gereja yang tidak lagi berpihak pada kaum miskin dan tertindas – melainkan berkompromi dengan penguasa dan pemegang modal, dan Natal yang lebih mengutamakan penampilan lahiriah daripada perkara batin. Kakek Ama Tobi menjadi semakin tidak berdaya di hadapan Bapa Uskup, Romo Deken dan ketua komunitas basis sebagai simbol penjaga moral gereja dan anggota DPR dan kepada Kantor Agama sebagai aktor politik untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Dramaturgi politik yang dimainkan sudah tentu mencederai misi pembebasan dan penyelematan gereja. Inkarnasi diri Allah menjadi manusia adalah opsi keberpihakanNya kepada manusia yang lemah dan tak berdaya, yang terpinggirkan dari masyarakat. Palungan, kandang dan para gembala adalah simbol kedekatan dan keberpihakan Allah dengan orang-orang kecil dan miskin serta yang menderita. Dalam kesederhanaan Natal di Betlehem para penguasa dan pemimpin Gereja serta pemimpin masyarakat justru menyibukkan diri dengan hadiah-hadiah dan ritual pesta pora. Konsumerisme dan Kapitalisme sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari perayaan Natal. Metafor lain yang menunjukkan bahwa kapitalisme juga telah merambat sampai ke pelosok-pelosok kampung adalah „Coca-Cola“ (bdk. Cocacolonialism): „Ia mengambil sebotol Coca-Cola dan memberikannya kepada Ama Tobi“.

Bujuk untuk menenangkan Sang cucu menjadi klimaks cerita: „Yesus menerima semua yang mau berteman dengan dia, termasuk yang tak punya baju baru“. Begitu pula dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan (harus) bersifat telanjang, tak perlu dibajui sehingga tampak. Ia tak perlu didandani agar tampil dalam keaslian dan ketulusan.

Kenosis, Yesus yang mengosongkan dirinya, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia – Allah yang rela menjadi senasib dengan manusia – adalah hadiah terindah untuk semua umat. Natal: Allah menjadi manusia, Ia datang membawa terang ke dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan krisis ekologis. Natal: perayaan Tuhan hadir di kandang hina mengajarkan kita untuk tidak kehilangan iman akan dunia yang lebih baik, harapan untuk dapat mengubah dunia menjadi lebih berarti dan cinta pada mereka yang miskin dan membutuhkan. Meng-inkarnasikan diri dalam hidup kebersamaan, terlebih menjadi bagian dari kaum lemah dan terpinggirkan dan terlibat dalam perjuangan mereka adalah hadiah natal terindah.

Penulis telah berhasil menjembatani kisah Natal di Betlehem 2000-an tahun silam dengan mitos dan kesejarahan sebuah kampung terpencil pada masa lampau dan juga saat ini. Upaya mendialogkan Natal Tuhan dengan tutur cerita lokal Nogo Letek-Pelatin Lela merupakan pendekatan kontekstual dalam berteologi yang sangat dibutuhkan, ia tidak melulu berfokus pada teks-teks Alkitabiah atau doktrin-doktrin, melainkan terbuka dengan nilai-nilai kultural dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari agar dapat menolong berbagai pelayanan di gereja-gereja secara efektif (Bevans: 2009, 320). Kisah kelahiran Yesus dari Nazaret, kisah Penulis dan kisah Dunia bersua dalam simpul hic et nunc, kini dan di sini. Silvester berhasil melahirkan kembali mitos dan kesejarahan penduduk lokal. Dengan pisau bedah sastra ia berani mem-bidan-i kaum kecil yang telah lama bunting dengan aneka krisis dan persoalan-persoalan. Mereka dan juga alam tempat mereka hidup bagai wanita hamil yang ditinggal pergi setelah disetubuhi. Tentang hal ini, penulis menghadirkan figur Pelatin Lela yang disandingkan dengan ketokohan Santo Yosef: lebih menjadi pendengar yang setia ketimbang banyak bicara, tidak memarken diri atau menempatkan diri sebagai pusat perhatian, ya, dalam diam mereka melakukan cinta dan menebarkan damai. Usaha mencari dan menemukan jalinan kesamaan „benang merah“ antara warisan sabda leluhur (koda kirin) dalam budaya lokal dan ajaran-ajaran Kristen (logos: warta Ilahi) ini adalah proses „melahirkan“ kandungan „teologis-inkarnatoris“ yang terkandung dalam khazanah budaya (bdk. Ulin Agan:2006, 297-332]

Sebagai penutup, saya mengutik kata-kata penyair Angelus Silesius: „meskipun Christus ribuan kali lahir di Betlehem, tapi tidak dalam palung hatimu, maka kamu akan hilang selamanya“.

Selesai!

Baca bagian 1 di sini

Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur

NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS (Bagian 1)

 NATAL: INKARNASI LOGOS DAN REINKARNASI MYTHOS

Suatu Renungan atas Cerpen „Baju Natal Buat Sang Cucu“ karya Silvester Hurit

 Bagian 1: Inkarnasi Logos dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos

Dalam memaknai perayaan Natal tahun 2020 Silvester Hurit menulis sebuah cerpen di mana kisah kelahiran Tuhan Yesus – Isa al Masih, 2000-an tahun silam ditorehkan dalam kehidupan dan pengalaman seorang kakek Ama Tobi dan cucunya Tala („Baju Natal Buat Sang Cucu“, Jawa Pos, 25.12.2020). Dengan plot cerita campuran maju -mundur dan latar waktu masa lampau (sejarah dan mitos) dan masa kini yang disajikan, penulis berusaha memproyeksikan kisah Natal dan perayaannya pada dinding sejarah serta legenda atau cerita mitos dari kampung-kampung di wilayah Lewo Lema. Di sini penulis berhasil merancang sebuah konstruksi „teologi kontekstual“ dengan metode literer, meski ia dalam karyanya tidak menggunakan terminologi teologis-dogmatis seperti inkarnasi logos, teologi inkulturasi, atau pun eko-teologi. Dengan gayanya yang bebas mengalir ia mengekspresikan dinamika berteologi-kontekstual. Dalam tulisan ini, saya mencoba menunjukkan unsur-unsur teologis itu.


„Baju Natal buat Sang Cucu“ merupakan sebuah cerpen tentang alam pemikiran: alam pemikiran masa dulu dan kini, global (Eropa) dan lokal, mitologis dan teologis-ilmiah, tentang yang sakral dan profan. Proses kreativ penulis yang memadukan narasi teologis natal dan narasi tradisional Nogo Letek – Pelatin Lela menunjukkan bahwa penulis tidak hanya mengembara dalam dunia imajinasinya, tetapi juga tenggelam dalam eksplorasi intelektual, seperti mempelajari mitologi dan kesejarahan. Ia lalu tidak hanya menuliskan teks tetapi juga membaca konteks lalu menulisnya kembali sebagai sebuah teks baru, atau lebih tepat melahirkan logos baru.

Inkarnasi Logos dan Rekonsiliasi Manusia – Kosmos

Perayaan Natal merupakan kenangan akan misteri inkarnasi logos (Sabda) – penjelmaan diri Allah menjadi Manusia – Sabda yang menjadi daging – dalam diri Yesus Kristus yang lahir di kandang hina (bdk. Prolog Yohanes 1,1-18: „Pada mulanya“ adalah firman/logos). Logos mengacu pada diri Allah, lewat logos (dengan ber-sabda) segala ciptaan dijadikan, logos membawa terang untuk hidup. „Firman (logos) itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.“ Inkarnasi Logos tak terlepas dari seluruh penciptaan kosmos - dunia dan segala isinya (kosmos: keteraturan). Dalam taurat Musa, yakni dalam kitab Genesis juga tertulis: „Allah melihat bahwa semuanya itu baik“.

Silvester pada awal ceritanya melukiskan suasana kosmis/natur menjelang Natal, bahwa alam di bagian timur Flores itu indah dan subur: bunga Natal yang bermekar, sayuran tumbuh subur, padi yang bertunas, daun jagung yang bergoyang, hingga ular tanah yang begitu banyak. Keindahan dan kesuburan alam itulah yang menjadi tunas lahirnya nama Flores: cabo de flores – tanjung bunga, oleh orang portugis. Tapi, mengapa dalam memeriahkan perayaan Natal orang-orang di kampung selalu berkiblat pada pemandangan kosmis di Eropa seperti pohon cemara dan salju, bukan pada pohon Desember yang disebut Silvester, atau pada rinai hujan atau kemarau?

Lebih lanjut dalam babak mitis tentang Pelatin Lela relasi harmonis antara manusia-alam mendapat sorotan penting. Atas tuntutan saudara-saudara Nogo Letek: binatang-binatang hutan datang bergotong royong membantu Pelatin Lela mendirikan korke hanya dalam sehari; kura-kura membantunya mengisi cairan gula tuak ke wadahnya tanpa sedikit pun tercampur air lait; semut-semut bergotong royong memisahkan biji jewawut dengan pasir. Intimitas antara manusia dan ekosistem ini mengingatkan kita pada kisah Santo Fransiskus - pelindung para aktivis lingkungan hidup - yang menyapa ciptaan-ciptaan lain, bahkan hewan terkecil sekalipun sebagai saudara dan saudari. Paus Fransiskus dalam Laudato si (Ensiklik tentang perawatan rumah kita bersama) mengingatkan: „Keyakinan seperti [ini] tidak dapat diremehkan sebagai romantisme yang naif, … Jika kita memandang alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian akan timbul secara spontan“ (Laudato si 11). Begitu pula ketika hujan dan angin mengiringi rombongan Pelatin Lela dan istirnya Nogo Letek kembali ke kampung halaman, ketika binatang-binatang bersukacita keluar hutan memberi restu serta bunga-bunga mengeluarkan wewanginannya – bukanlah personifikasi literer yang diselipkan begitu saja. Potongan kisah mitis ini hendak menyingkapkan kearifan masyarakat lokal, yakni koeksistensi manusia dan alam yang harmonis. Keyakinan seperti ini telah ada dan dihidupi jauh sebelum perjumpaan dengan agama-agama yang dibawa para misionaris, sebelum penelitian atau studi ilmiah dalam setiap dekade teknologi modern dan era globalisasi: „Bagi orang sederhana dan tak sekolah seperti Ama Tobi, beringin-beringin itulah yang menyimpan air hujan sehingga kemarau masih dapat menyisakan sedikit keteduhan. Rembesan air membantu tanaman dari siksa kekeringan. … … binatang-binatang kecil yang berumah di dalam tanah pun tertolong. … .. … Pohon-pohon adalah anggota tubuh ibu tanah yang mendandani serta melengkapi semesta dengan kesuburan dan kesegaran.“ Namun, Penulis tak lama bermegah dan bermeditasi dalam indahnya alam Flores. Suasana kosmos itu berubah jadi chaos: bencana alam tanah „longsor“, pohon „beringin ditebang“, „gagal panen“ akibat „kekeringan, hama padi, ulat yang mengeroposkan jagung, dan „serangan tikus“. Sebagaimana Yohanes Pembatis, tokoh Advent dan Natal yang menyerukan pertobatan di padang gurun, penulis dalam cerpennya menyerukan pertobatan ekologis. Jerami kering pada kandang, lembu dan keledai adalah simbol misi Allah dan pengalaman manusia dan semua ciptaan, bahwa Allah ingin agar alam yang telah menjadi chaos diselamatkan.

Oleh: Vianey Lein - Warga Lewokung - Flores Timur

Bersambung ... bagian 2 di sini

Cerpen "Baju Natal buat sang Cucu" klik di sini

Foto/gambar:  ©Jawapos.com

24 December 2020

Epidemi Fanatisme: Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama

 MENYEMBUHKAN EPIDEMI FANATISME

Tentang Keberlainan dan Kelainan Dalam (Ber)Agama

Oleh: Vianey Soda Lein

Tenaga Pastoral pada Keuskupan Erfurt – Jerman

Alumnus Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman

 

Paham radikalisme dan intoleransi adalah sebuah persoalan yang kompleks dan diskursus tentangnya tidak hanya berhenti pada tataran agama maupun politik. Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang diskusi dengan mencoba membedah epidemi „kelainan“ beragama seperti terorisme dengan pisau klinisnya, dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal maupun sebagai entitas sosial sebagai bagian dari sebuah proses „menjadi“. Tesis umum yang menjadi postulat dari telaah psikologis adalah: aksi teror seperti bom bunuh diri merupakan gangguan jiwa. Seperti yang kita ketahui, deretan aksi teror dan alur diskusi tentangnya tidak bisa dilepas-pisahkan dari idelogi sebuah agama. Lantas, apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan konseling prefentiv sebuah fanatisme yang adalah akar dari terorisme?

Merujuk pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier, „Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan membunuh para pengikut Kristus.

Sudah pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain. Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah dari dogmatisme sempit dan dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah „kelainan“ dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan, adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita, bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“.

Berhadapan dengan epidemi fanatisme yang menular dan ditularkan melalui manipulasi sistematis dari atas mimbar agama dan podium politik, kita dituntut berpikir kritis untuk mengevaluasi setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala. Situasi di mana orang menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan kemiskinan), doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada anak-anak ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase „mendikte“. Ini merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis pendidikan dan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak dini menanamkan nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan. Kultur dialog semestinya ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat dewasa, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah lintas agama atau pertukaran pelajar dan mahasiswa lintas sekolah yang berbasis agama. Dengan demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan keyakinan eksklusivisme; dan dalam diri mereka tertanam kesadaran untuk menerima dan menghargai keberbedaan atau „keberlainan“. Ini merupakan langkah prefentiv untuk mencegah menyebarnya fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai langkah kuratif, setiap lembaga agama ditantang untuk mengevaluasi kembali visi dan misi atau nilai-nilai kebenaran agama. Agama -  dengan kemajemukan wajahnya - ada untuk kasih dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan permusuhan. Ini merupakan visi mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks prestasi sebuah misi agama tidak diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki suatu agama atau aliran kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan hukum cinta kasih. Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah sekadar sebuah keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan keselamatan yang dialami kini dan sini, hic et nunc. Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk segera mengalami kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam menghidupi agama: lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri sebagai iklan pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan mustahil, pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun tertutup.

Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. „Keberlainan“ bukanlah virus atau kuman yang ditakuti dan mesti dibasmi; justru segala keberbedaan dan kemajemukan adalah pil atau vaksin yang menyembuhkan kebutaan fanatisme dan vitamin yang menguatkan „stamina“ persatuan dan persaudaraan. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara untuk menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita adalah simptom „kelainan“ dalam beragama dan cepat atau lambat akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Berhadapan dengan epidemi „radikalisme“ agama yang kian menyebar, setiap kita dituntut dan ditantang untuk berani bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog. Mari beriman secara sehat(i): dengan hati dan ratio. ***

Bild: © koufogiorgos.de