PENDIDIKAN: ANTARA MENCARI MAKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
Vianey Lein
Alumnus STFT St. Augustin Jerman
Belum lama ini kita merayakan Hari
Pendidikan Nasional yang mengusung tema „Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-Cita“.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam sambutannya pada
Hardiknas 2 Mei 2016 lalu menegaskan, bahwa „pendidikan harus benar-benar
berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan membuatnya bisa
melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan memberikan
kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya.“
Sudah pasti bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk menyiapkan suatu masa depan yang
cerah. Masa depan disini tidak bisa dimengerti hanya sebatas perubahan
ekonomi dengan pencapaian suatu profesi atau jabatan tertentu, misalnya PNS
atau polisi, yang memungkinkan seseorang menghasilan rupiah sebanyak mungkin. Atau,
dalam bahasa sederhana, „sekolah supaya kelak bisa cari makan“. Ketika uang
atau jabatan dilihat sebagai tujuan tunggal dari proses pendidikan, maka kita
terjebak dalam bahaya pembunuhan karakter: siswa bisa menyontek saat ujian agar
bisa lulus ujian dan cepat naik kelas, plagiasi skripsi atau tesis menjadi
jalan pintas dan mudah untuk mahasiswa meraih gelar sarjana, dan uang sogok
atau pemalsuan ijazah menjadi metode mutahkhir para pencari kerja lulusan
akademik untuk meraih jabatan atau profesi.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Prestasi pendidikan tidak bisa
diidentikkan dengan kesuksesan meraih jabatan atau profesi tertentu. Realitas
menunjukkan bahwa banyak orang yang dibilang „sukses“ dan „cerdas“ secara
intelektual itu nyatanya gagal dalam praksis hidup mereka yang lahir dalam
tindakan koruptif, manupulatif, dan eksploitatif. Pada titik ini kita harus
berani katakan bahwa mereka gagal dalam proses pendidikan. Pendidikan pada hakekatnya
membantu mendorong pertumbuhan anak didik menjadi pribadi yang otonom dan utuh
secara emosional (afektif), pengetahuan (kognitif), ketrampilan
(kreatif/skill), kehendak dan perilaku (konatif/psikomotorik); atau dalam bahasanya
Anies Baswedan: kualitas karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi. Pendidikan
tidak hanya berarti kegiatan belajar mengajar yang terbatas pada ruang kelas
agar bisa meraih prestasi numerik, atau pendiktean wacana tanpa kajian analitis
dan kritis. Realitas kehidupan semestinya menjadi lahan kajian proses belajar,
baik itu tentang sejarah bangsa di masa lamapau, maupun situasi aktual yang
terjadi di masyarakat. Dengan itu, pelajaran sejarah yang diajarkan di
sekolah-sekolah tidak hanya sekadar aksi nostalgis mengenang-mengingat nama
para tokoh, nama tempat dan tanggal-tanggal bersejarah, namun lebih jauh
kenangan kolektiv itu menjadi proses refleksi kritis. Tempat-tempat sejarah dan
semua catatan historis (Erinnerungsort) harus menjadi tempat belajar (Lernort). Begitu pun halnya dengan realitas
penindasan, eksploitasi, korupsi dan dominasi terhadap masyarakat kecil bisa
menjadi dasar bagi sebuah proses transfer nilai, seperti: respek terhadap
sesama, kejujuran, empati dan toleransi untuk membantu pembentukan karaketer
seseorang. Melihat kenyataan dekadensi moral yang mencemari humanisme,
pendidikan karakter moral menjadi sebuah kemendesakan dan perlu diterapkan
secara serius.
Pahlawan Pendidikan
Sebagai orang yang pernah duduk di
bangku pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di
universitas atas sekolah tinggi, kita patut berterima kasih kepada para
pendidik, guru – pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah mengambil bagian penting
dalam proses pendidikan yang telah dan sedang kita tempuh. Apresiasi yang
tinggi juga layaknya kita berikan kepada LSM-LSM atau relawan-relawan yang
berusaha memajukan sektor pendidikan di daerah. Mungkin berlebihan dan terlalu
dini, atau mungkin mereka tak menyetujuinya, izinkan saya „membaptis“
orang-orang itu sebagai pahlawan pendidikan. Salah satu contoh program yang
hampir selalu diperjuangkan adalah budaya literasi, tidak hanya untuk para peserta
didik, tetapi juga untuk para guru. Para pelajar dan mahasiswa dilatih untuk
menulis atau menghasilkan suatu karya ilmiah, baik dalam bentuk opini, cerpen
atau puisi. Untuk peningkatan profesionalisme guru, para tenaga didik juga
mendapat pelatihan serupa. Semua kita berharap agar keterlibatan para „pahlawan
pendidikan„ itu dilandasi prinsip independensi, bahwa gerakan keterlibatan
„kemanusiaan“ ini tidak berafiliasi pada kepentingan kelompok atau menjadi
corong institusi tertentu. Salah satu konsekuensi manajerial
dari prinsip independensi adalah tidak menjadikan lembaga dana (funding agency)
sebagai basis gerakan. Gerakan kemanusiaan ini harus termotivasi oleh
keterlibatan tanpa pamrih. Bahaya ini sudah diberi lampu merah oleh Antonio
Gramsci, Paulo Freire, John Dewey, Rabindranath Tagore dan Noam Chomsky, bahwa
institusi pendiidikan cenderung hanya mencetak „comisars“ atau intekeltual yang
mengabdi pada kepentingan status quo
kekuasaan. Pendidikan lalu menjadi proses institusional yang didominasi oleh kekuasaan
dan menjadi agen perpanjangan ideologi kekuasaan (bdk. Karyanto: 2005:49-59).
Untuk mengatrol proses kenaikan pangkat dan gaji dalam balutan program
“meningkatkan profesinalisme”, para guru pun tak segan-segan merogoh saku untuk
meloloskan penerbitan suatu karya. Di sini saya tidak bermaksud meragukan
kemampuan menulis para guru, tetapi hendak mengajak semua kita untuk merefleksi
motivasi keterlibatan kita di sektor pendidikan.
Mengakhiri
tulisan ini, saya mengutip adagium latin yang mungkin tidak asing lagi di
telinga kita: “non scholae sed vitae discimus” – kita belajar bukan untuk
sekolah, tetapi untuk hidup. Hidup yang dimaksudkan disini adalah hidup yang bermartabat
dan berkarakter moral, bukan hanya sekadar “cari makan”. ***