PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

10 July 2020

BUMI SEMAKIN PANAS (Die Erde wird wärmer)




HARI BERGANTI DAN SEMUANYA BERLALU BAGAIKAN SEKAM DITIUP ANGIN HILANG SATU-SATU HILANG DITELAN SANG WAKTU TAK ADA MATA YANG MENATAP BENCANA SEMAKIN DEKAT TAK ADA BIBIR YANG BERKATA BADAI KAN MENYAPU RATA YANG ADA HANYA PUING-PUING KEPINTARAN DI BAWAH MATAHARI DAN BURUNG NAZAR PUN TAKAN BERDATANGAN TUK SAMPAIKAN S‘LAMAT MALAM ______
Der Tag kommt und geht und alles geht vorbei Wie die Spreu vom Wind getrieben Stück für Stück verloren Verloren in der Zeit Kein Auge sieht Die Katastrophe ist schon nah Auch keine Lippen die sagen Der Sturm fegt alles davon Was bleibt sind die Trümmer der Klugheit Unter der Sonne Auch der Nazar-Vogel kommt nicht mehr vorbei Um "gute Nacht" zu wünschen

TOBA



Di danau ini aku belajar memeluk gelombang
Digulungnya lembar- lembar rindu yang belum tuntas kau baca

Di danau ini aku belajar mencium bibir pantai
Ditinggalkan basah pada jantung karang

Di danau ini aku belajar memandang jejak-jejak ombak yang silam
Diciptanya jarak-jarak tanpa alamat
Kepadanya tanganku melambai lesu

Di danau ini aku belajar mendengar angin
Dihanyutkan nama dan salammu antara buih-buih mencengkeram

Di danau ini aku belajar menyusuri wajahmu berpasir
Tergores kenangan demi kenangan

Di danau ini aku belajar menggaram duka
Diiris pisau jarak menembus rusuk-rusuk karang

Di danau ini aku belajar menebar jala
Yang pernah kita sulam di Simarjarunjung
Menabur kembang yang kita tanam di Sapo Juma Tongging

Di danau ini aku belajar mencintai badai yang menyimpan tangis
Mengerang di dasar rumahmu abadi
Mengegenang di jalan samudera menuju sana
Menggetarkan batu-batu rindu
Melengking ayat-ayat doa yang tercecer di buritan hidup.

INA MARIA SENAREN | Barmherzige Mutter Maria



Bila kita mendengarkan lantunan lagu-lagu Maria dalam bahasa Lamaholot, kita akan mendapatkan kesan nada-nada sendu dan lirik pinta keluh-kesah yang dominan. Dalam hal ini figur Maria ditempatkan tidak jauh dari realitas penderitaan manusia. Sebagaimana Maria yang tetap setia mendampingi Putranya Yesus hingga memanggkunya kembali di bawah salib, umat Lamaholot meyakini bahwa Maria adalah sosok ibu (Lamaholot: „Ina“) yang tetap peduli dan cinta pada anaknya. Dalam kerangka berpikir budaya Lamaholot, irisan yang erat antara Maria dan situasi penderitaan manusia yang dilukiskan dalam lagu-lagu merupakan kristalisasi dari pengalaman wanita/ibu (Lamaholot) pada umumnya yang siap berkorban dan menderita (dalam budaya Lamaholot dikenal Mitos „Tonu Wujo“, tentang seorang perempuan yang mengorbankan dirinya bagi kelangsungan hidup banyak orang.) Dalam figur Maria sebagai Bunda yang menderita bersama Putranya Yesus orang katolik Lamaholot menemukan ekspresi penderitaan mereka sendiri dan di dalamnya mereka menemukan keteduhan dalam arung pencaharian. Dengan demikian, lirik-lirik lagu Maria dalam bahasa Lamaholot mengingatkan kita bahwa „Maria memang dapat menjadi rekan seperjalanan yang sangat baik dalam beriman karena dia mengalami pergulatan dan penderitaan seperti yang mesti dialami semua manusia. Namun, seorang beriman yang sejati tidak berhenti pada Maria. Bersama Maria dia mengarahkan pandangannya pada Allah“ (Kleden, Paulus Budi: 2011).

-------------------------------*****--------------------------------


Marienlieder in der Lamaholot-Sprache (Flores, Ost-NusaTenggara, Indonesien) sind sehr häufig von Traurigkeit und Leiden gezeichnet. In den Liedern erfahren wir, dass Maria nicht weit von der Realität des menschlichen Leids ist. Als Mutter (Lamaholot-Sprache: „Ina) ist Maria immer da bei ihren Kindern. Diese (Glaubens)vorstellung ist auch durch Lamaholot-Kultur geprägt: man kennt den Mythos „Tonu Wujo“ über den Ursprung des Reises aus den Körperteilen eines getöteten Mädchens. Christliche Lamaholot-Völker glauben, dass sie mit Maria in der Lage sind, Krisenzeiten besser zu überstehen. „Ein wahrer Gläubiger hört jedoch nicht bei Maria auf.“ Marienlieder in der Lamaholot-Sprache mallen uns ein Bild als Weg, wie unser Glaube gelingen kann: mit Maria kommen wir zu Jesus.

Vianey Lein