PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

31 March 2020

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM MOMEN DOA, ADORASI EKARISTI DAN BERKAT “URBI ET ORBI” DI DEPAN BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 27 Maret 2020
(Bacaan Injil diambil dari Markus 4:35-41)
“Ketika senja datang” (Mrk 4:35). Perikop Injil yang baru saja kita dengar dimulai seperti ini. Selama berminggu-minggu sekarang hari sudah senja. Kegelapan tebal telah menyelimuti lapangan-lapangan kita, jalan-jalan kita, dan kota-kota kita; kegelapan itu telah mengambil alih hidup kita, memenuhi segala sesuatu dengan keheningan yang menulikan telinga dan kehampaan yang menyusahkan, yang menghentikan segala sesuatu yang melintas; kita merasakannya di udara, kita memperhatikannya dalam tingkah laku orang-orang, tatapan yang mereka berikan. Kita mendapati diri takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Bacaan Injil, kita terperangah oleh badai yang tak terduga dan bergejolak. Kita telah menyadari bahwa kita berada di perahu yang sama, kita semua rapuh dan bingung, tetapi pada saat yang sama, kita semua dipanggil untuk bersatu, kita masing-masing perlu menghibur sesama, adalah penting dan dibutuhkan. Di perahu ini … kita semua berada. Sama seperti para murid, yang dengan cemas seiya sekata, mengatakan “Kita binasa” (ayat 38), jadi kita juga telah menyadari bahwa kita tidak dapat terus memikirkan diri kita sendiri, tetapi bersama-sama kita semata dapat melakukan hal ini.
Mudahnya mengenali diri kita sendiri dalam cerita ini. Yang lebih sulit untuk dipahami adalah sikap Yesus. Sementara para murid-Nya secara alami begitu ketakutan dan putus asa, Ia berdiri di buritan, di bagian perahu yang akan tenggelam terlebih dulu. Dan apa yang dilakukan-Nya? Meskipun terjadi badai, Ia tidur nyenyak, percaya pada Bapa; inilah satu-satunya waktu dalam Injil kita melihat Yesus sedang tidur. Ketika Ia bangun, setelah menenangkan badai dan air, Ia menegur para murid : “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (ayat 40).
Marilah kita berusaha memahaminya. Berupa apakah kurangnya iman para murid, jika dibandingkan dengan keyakinan Yesus? Mereka tidak berhenti percaya kepada-Nya; bahkan, mereka memanggil-Nya. Tetapi kita melihat bagaimana mereka memanggil-Nya : “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (ayat 38). Apakah Engkau tidak peduli : mereka berpikir bahwa Yesus tidak berkepentingan pada mereka, tidak peduli pada mereka. Salah satu hal yang paling menyakitkan kita dan keluarga-keluarga kita ketika kita mendengar dikatakan : “Apakah kamu tidak peduli padaku?”. Ungkapan yang melukai dan melancarkan badai di dalam hati kita. Ungkapan itu akan mengguncang Yesus juga. Karena Ia, melebihi siapa pun, peduli pada kita. Memang, begitu mereka memanggil-Nya, Ia menyelamatkan murid-murid-Nya dari keputusasaan mereka.
Badai menyingkap kerentanan kita dan membuka kedok kepastian palsu dan berlebihan yang di sekitarnya kita telah menyusun jadwal harian kita, rancangan kita, kebiasaan kita, dan berbagai prioritas. Ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita telah memperkenankan hal-hal yang sungguh memelihara, menopang dan memperkuat hidup kita dan masyarakat kita menjadi pudar dan suram. Prahara itu menelanjangi semua gagasan yang sudah kita kemas dan melupakan apa yang memelihara jiwa bangsa kita; semua upaya yang membius kita dengan cara berpikir dan bertindak yang diperkirakan akan “menyelamatkan” kita, tetapi sebaliknya terbukti tidak mampu menempatkan kita berkenaan dengan akar kita dan tetap menghidupkan ingatan akan orang-orang yang telah mendahului kita. Kita menghilangkan antibodi yang kita butuhkan untuk menghadapi kesulitan.
Dalam badai ini, bagian muka penyederhanaan gagasan yang dikenal luas ini yang dengannya kita menyamarkan ego kita, yang senantiasa mengkhawatirkan citra kita, telah lenyap, sekali lagi mengungkapkan (berbahagianya) kepemilikan bersama, yang daripadanya kita tidak dapat tercerabut : kepemilikan kita sebagai saudara dan saudari.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Tuhan, sabda-Mu petang ini melanda kami dan memandang kami, kami semua. Di dunia ini, yang Engkau kasihi melebihi yang kami lakukan, kami telah berjalan maju dengan sangat cepat, merasa kuat dan mampu melakukan apa pun. Keserakahan demi keuntungan, kami membiarkan diri terjebak dalam berbagai hal, dan terpikat oleh ketergesa-gesaan. Kami tidak berhenti pada teguran-Mu terhadap kami, kami tidak terguncang oleh peperangan atau ketidakadilan di seluruh dunia, kami juga tidak mendengarkan jeritan kaum miskin atau planet kita yang kurang sehat. Kami terus melanjutkan tanpa menghiraukannya, berpikir bahwa kami akan tetap sehat di dunia yang sakit. Sekarang kami berada di dalam lautan badai, kami mohon kepada-Mu : “Bangunlah, Tuhan!”.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Tuhan, Engkau sedang memanggil kami, memanggil kami untuk beriman. Orang-orang tidak begitu yakin bahwa Engkau ada, tetapi datang kepada-Mu dan percaya kepada-Mu. Masa Prapaskah ini panggilan-Mu begitu bergema : “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu” (Yl 2:12). Engkau sedang memanggil kami untuk menggunakan masa pencobaan ini sebagai masa untuk memilih. Masa Prapaskah bukan masa penghakiman-Mu, tetapi masa penghakiman kami : masa untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, masa untuk memisahkan apa yang perlu dari apa yang tidak perlu. Masa Prapaskah adalah masa untuk memulihkan hidup kami ke jalan yang berkaitan dengan-Mu, Tuhan, dan sesama. Kami dapat melihat begitu banyak rekan yang menjadi teladan untuk perjalanan, yang, meskipun takut, telah bereaksi dengan memberikan hidup mereka. Inilah kekuatan Roh Kudus yang tercurah dan terbentuk dalam penyangkalan diri yang teguh dan berlimpah. Kehidupan dalam Roh Kuduslah yang dapat menebus, menghargai, dan menunjukkan bagaimana kehidupan kita terjalin bersama dan didukung oleh orang-orang kebanyakan – seringkali orang-orang yang terlupakan – yang tidak muncul dalam berita utama surat kabar dan majalah atau di panggung besar pertunjukan terbaru, tetapi yang tanpa ragu-ragu pada hari-hari ini menorehkan peristiwa-peristiwa penting di zaman kita : para dokter, para perawat, para pegawai pasar swalayan, para petugas kebersihan, para pengasuh, para penyedia transportasi, para aparat hukum dan ketertiban, para sukarelawan, para imam, para pelaku hidup bakti dan banyak lagi lainnya yang telah memahami bahwa tidak seorang pun mencapai keselamatan dengan diri mereka sendiri. Dalam menghadapi begitu banyak penderitaan, di mana perkembangan otentik bangsa kita dinilai, kita mengalami doa imami Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21). Berapa banyak orang yang setiap hari sedang menjalankan kesabaran dan menawarkan pengharapan, memiliki kepedulian untuk tidak menabur kepanikan tetapi berbagi tanggung jawab. Berapa banyak ayah, ibu, kakek-nenek, dan guru yang sedang menunjukkan kepada anak-anak kami, dalam gerakan-gerakan kecil sehari-hari, bagaimana menghadapi dan mengendalikan krisis dengan menyesuaikan rutinitas mereka, menengadah dan membina doa. Berapa banyak yang sedang memanjatkan dan mempersembahkan doa pengantaraan demi kebaikan semua orang. Doa dan pelayanan yang teduh : inilah senjata kemenangan kami.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Iman dimulai ketika kita menyadari bahwa kita membutuhkan keselamatan. Kita tidak memadai; dengan diri kita sendiri, kita terperosok : kita membutuhkan Tuhan seperti para nakhoda yang membutuhkan bintang pada zaman dahulu kala. Marilah kita mengundang Yesus ke dalam perahu kehidupan kita. Marilah kita menyerahkan ketakutan kita kepada-Nya sehingga Ia bisa menaklukkan ketakutan tersebut. Seperti para murid, kita akan mengalami bahwa berada bersama-Nya di atas perahu tidak akan ada kekaraman. Karena inilah kekuatan Allah : berbalik kepada segala yang baik yang terjadi pada diri kita, bahkan segala yang buruk. Ia membawa ketenangan ke dalam badai kita, karena bersama Allah hidup tidak pernah mati.
Tuhan meminta kita dan, di tengah-tengah prahara kita, mengundang kita untuk membangkitkan kembali dan melaksanakan kesetiakawanan dan harapan yang mampu memberikan kekuatan, dukungan, dan makna pada masa-masa ini ketika segalanya tampak menggelepar. Tuhan bangun untuk membangunkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kita. Kita memiliki sebuah jangkar : melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan. Kita memiliki sebuah kemudi : dengan salib-Nya, kita telah ditebus. Kita memiliki harapan : melalui salib-Nya, kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tidak ada satupun dan seorang pun dapat memisahkan kita dari kasih-Nya yang sedang menebus. Di tengah-tengah keterasingan ketika kita sedang menderita karena kurangnya kelembutan dan kesempatan untuk bertemu, serta kita mengalami kehilangan begitu banyak hal, marilah kita sekali lagi mendengarkan pemberitaan yang menyelamatkan kita : Ia telah bangkit dan hidup di samping kita. Tuhan meminta kita dari salib-Nya untuk menemukan kembali kehidupan yang menanti kita, memandang mereka yang memandang kita, memperkuat, mengenali dan menumbuhkan rahmat yang hidup di dalam diri kita. Janganlah kita memadamkan nyala api yang pudar (bdk. Yes 42:3) yang tidak pernah goyah, dan marilah kita memperkenankan harapan untuk dinyalakan kembali.
Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk memeluk segala kesulitan saat ini, meninggalkan sejenak keinginan kita akan kekuasaan dan harta guna memberikan ruang bagi daya cipta yang hanya dapat diilhami oleh Roh Kudus. Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk menciptakan ruang di mana setiap orang dapat mengenali bahwa mereka dipanggil, serta memungkinkan bentuk-bentuk baru keramahan, persaudaraan, dan kesetiakawanan. Melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan guna memeluk harapan dan memperkenankannya memperkuat dan menopang segala tindak tanduk dan segala cara yang mungkin untuk membantu kita melindungi diri dan sesama. Memeluk Tuhan guna memeluk harapan : itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari ketakutan dan memberi kita harapan.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Saudara-saudari yang terkasih, dari tempat yang menceritakan iman Petrus yang sekokoh batu karang ini, petang ini saya ingin mempercayakan kamu semua kepada Tuhan, melalui perantaraan Maria, Kesehatan Umat dan Bintang Lautan yang Berbadai. Dari deretan pilar yang memeluk kota Roma dan seluruh dunia ini, semoga berkat Allah turun atasmu sebagai pelukan penghiburan. Tuhan, semoga Engkau memberkati dunia, berikanlah kesehatan bagi tubuh kami dan hiburlah hati kami. Engkau meminta kami untuk tidak takut. Namun iman kami lemah dan kami takut. Tetapi Engkau, Tuhan, tidak akan meninggalkan kami di bawah kekuasaan badai. Bersabdalah lagi kepada kami : “Janganlah kamu takut” (Mat 28:5). Dan kami, bersama-sama dengan Petrus, “menyerahkan segala kekhawatiran kami kepada-Mu, sebab Engkau yang memelihara kami” (bdk. 1 Ptr 5:7).
(dialihbahasakan dari  Vatican.va oleh Peter Suriadi – Bogor, 28 Maret 2020)

DUNIA SETELAH VIRUS KORONA


DUNIA SETELAH VIRUS KORONA
(Yuval Noah Harari)* 
Umat manusia saat ini sedang menghadapi sebuah krisis global. Barangkali krisis terbesar yang terjadi pada generasi kita. Keputusan yang dibuat oleh masyarakat dan pemerintah beberapa minggu berikutnya akan membentuk dunia beberapa tahun berikutnya. Mereka tidak hanya akan membentuk sistem kesehatan, tetapi juga ekonomi, politik, dan kebudayaan kita. Kita harus bergerak cepat dan penuh keyakinan. Kita juga harus memperhitungkan dampak jangka panjang dari tindakan yang diambil. Manakala kita mencoba memilih sebuah alternatif, kita seharusnya tidak hanya mempertanyakan bagaimana mengatasi ancaman yang terjadi saat ini, tetapi juga dunia apa yang ingin kita tinggali selepas badai berlalu. Ya, badai pasti akan berlalu, umat manusia akan bertahan, banyak dari kita akan tetap hidup — akan tetapi kita akan tinggal di sebuah dunia yang berbeda.


Banyak tindakan darurat jangka pendek akan dijadikan pengaturan hidup. Itu adalah watak alamiah dari kedaruratan. Mereka mempercepat sebuah proses sejarah. Keputusan yang pada waktu normal memerlukan pertimbangan bertahun-tahun dapat dirampungkan hanya dalam rentang hitungan jam. Teknologi yang belum layak uji dan bahkan berbahaya terpaksa dipergunakan, karena memilih untuk diam menyimpan risiko lebih besar. Seluruh negara dijadikan marmut percobaan dalam eksperimen sosial skala luas. Apa yang terjadi ketika orang-orang bekerja dari rumah dan berkomunikasi hanya dari jarak jauh? Apa yang terjadi ketika sekolah dan universitas beroperasi lewat daring? Pada waktu normal, jajaran pemerintah, pengusaha, dan pendidik tidak akan pernah setuju untuk menjalankan eksperimen tersebut. Tapi jelas ini bukanlah waktu normal. 
Dalam masa krisis seperti sekarang, kita dihadapkan dengan dua pilihan penting secara khusus. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan sipil. Kedua, antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. 
Pengawasan yang Sesungguhnya

Demi menghentikan epidemi, seluruh penduduk harus patuh pada panduan tertentu. Terdapat dua cara utama demi mencapai hal tersebut. Metode pertama adalah pemerintah harus memantau setiap orang, dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan yang ditetapkan. Saat ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, teknologi memungkinkan pemantauan terhadap semua orang setiap saat. Lima puluh tahun silam, KGB tidak mampu mengikuti warga Soviet yang berjarak 240 m selama 24 jam, KGB juga tidak bisa berharap dapat memproses seluruh informasi yang terkumpul secara efektif. KGB mengandalkan agensi dan analis manusia, dan oleh karena itu tidak mungkin menempatkan agen manusia untuk mengawasi setiap gerak-gerik warganegara. Akan tetapi, pemerintah hari ini dapat mengandalkan sensor di mana-mana dan algoritma yang kuat ketimbang hantu berdarah daging.
Dalam pergulatan mereka melawan epidemi virus korona pemerintah telah mengerahkan banyak perangkat pengawasan termutakhir. China merupakan kasus yang layak diperhatikan. Dengan mengawasi secara seksama gawai setiap orang, mempergunakan ratusan juta kamera pengenal wajah, dan mewajibkan setiap orang untuk mengecek dan melaporkan temperatur tubuh dan kondisi medis mereka, otoritas China tak hanya dapat cepat mengidentifikasi mereka yang dicurigai terjangkit virus korona, tetapi juga melacak pergerakan mereka dan mengidentifikasi dengan siapa saja mereka bersentuhan. Berbagai aplikasi seluler memberikan peringatan terhadap warga terkait kedekatan jarak mereka dengan pasien terinfeksi.
Teknologi jenis ini tidak hanya terbatas di Asia Timur. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini melimpahkan wewenang kepada Badan Pertahanan Israel untuk mengerahkan teknologi pengawasan yang pada biasanya dipergunakan demi menumpas teroris untuk melacak pasien virus korona. Saat tim kecil bersangkutan menolak untuk melimpahkan wewenang bertindak, Netanyahu menabraknya dengan “dekrit keadaan darurat”.
Anda mungkin berpendapat bahwa tidak ada yang baru dari semua ini. Dalam beberapa tahun belakangan pemerintah dan korporasi sudah menggunakan teknologi tercanggih yang pernah ada untuk melacak, memantau, dan memanipulasi orang banyak. Apabila kita tidak berhati-hati, epidemi akan menjadi sebuah babak baru dalam sejarah pengawasan umat manusia. Bukan hanya karena ia dapat melumrahkan penggunaan perangkat pengawasan massal dalam suatu negara yang selama ini menolak hal tersebut, melainkan juga karena ia menandai sebuah transisi dramatis dari pengawasan “di luar kulit” menuju pengawasan “di dalam kulit”
Hingga kini, saat jarimu menyentuh layar gawai dan menekan sebuah pranala, pemerintah ingin mengetahui secara seksama apa yang kamu tekan. Tetapi dengan virus korona, fokus perhatian berubah. Sekarang pemerintah ingin mengetahui temperatur jarimu sekaligus tekanan darah di balik kulit.  
Puding Keadaan Darurat

Salah satu persoalan yang kita hadapi saat ingin tahu di mana posisi kita berdasarkan pengawasan adalah tidak ada satu pun dari kita yang mengetahui bagaimana kita diawasi, dan apa yang akan terjadi pada tahun-tahun selanjutnya. Teknologi pengawasan berkembang dengan sangat cepat, dan apa yang tampak sebagai fiksi ilmiah pada 10 tahun lalu kini telah menjadi berita usang. Mari kita coba lakukan sebuah eksperimen pikiran: pertimbangkan sebuah hipotesis di mana pemerintah menuntut seluruh warganya untuk menggunakan gelang biometris yang memantau temperatur tubuh dan detak jantung selama 24 jam. Data yang dikumpulkan kemudian ditimbun dan dianalisis oleh algoritma pemerintah. Algoritma akan mengetahui bahwa kamu sakit bahkan sebelum kamu sendiri mengetahuinya, dan algoritma itu dapat mengetahui kamu habis dari mana saja, dan siapa saja yang kamu temui. Rantai infeksi dapat dengan segera dipangkas, dan bahkan dihentikan seutuhnya. Sistem seperti itu dapat menghentikan penyebaran epidemi dalam sehari. Terdengar indah, bukan?
Sisi buruknya ialah, tentu saja, ini akan memberi legitimasi untuk sistem pengawasan baru yang mengerikan. Jika kamu tahu, misalnya, bahwa saya lebih sering memencet pranala Fox News dibanding pranala CNN, maka itu akan memberitahumu tentang pandangan politik dan bahkan mungkin kepribadian saya. Tetapi jika kamu dapat memantau apa yang terjadi dengan temperatur tubuh, tekanan darah, dan detak jantung saya saat menyaksikan sebuah video klip, kamu dapat mempelajari apa yang membuat saya tertawa, menangis, dan bahkan marah, teramat marah. 
Penting untuk diingat bahwa kemarahan, kesenangan, kebosanan, dan cinta adalah fenomena biologis seperti halnya demam dan batuk. Teknologi yang mengenali batuk dapat juga digunakan untuk mengenali tawa. Apabila perusahaan dan pemerintah mulai memungut data biometris kita secara massal, mereka bisa lebih mengetahui diri kita daripada diri kita sendiri, dan mereka tidak hanya akan dapat menebak tetapi juga memanipulasi perasaan kita dan menjual apa saja yang kita inginkan — entah itu berupa produk maupun tokoh politik. Pemantauan biometris dapat membuat taktik retas data Cambridge Analytica terlihat seperti sesuatu dari Zaman Batu. Bayangkan Korea Utara di tahun 2030, di mana warganegara harus memakai gelang biometris selama 24 jam sehari. Jika kamu menyimak pidato dari Pemimpin Besar dan gelang tersebut memberikan isyarat kemarahan, kamu akan mampus seketika.
Tentu saja, kamu bisa menganggap pengawasan biometris sebagai tindakan sementara di masa keadaan darurat. Ia akan menghilang sesaat setelah keadaan darurat usai. Akan tetapi, tindakan sementara memiliki kebiasan buruk melampaui kondisi darurat, mengingat selalu akan ada kondisi darurat baru kelak. Negara asal saya Israel, misalnya, mendeklarasikan kondisi darurat saat Perang Kemerdekaan 1948, yang menjustifikasi serangkaian tindakan sementara mulai dari sensor pers dan penyitaan tanah hingga aturan khusus terkait pembuatan puding (saya tidak bergurau). Perang Kemerdekaan sudah lama dimenangkan, tapi Israel tidak pernah mendeklarasikan kondisi darurat berakhir, dan telah gagal menghapuskan banyak tindakan “sementara” pada 1948 (untungnya dekrit darurat puding telah dihapuskan pada tahun 2011). 
Bahkan apabila infeksi virus korona jatuh hingga titik nol, beberapa pemerintah yang haus data dapat berdalih mereka harus tetap menyimpan sistem pengawasan biometris itu sebab khawatir ada gelombang virus korona kedua, atau karena telah ada Ebola baru yang berkembang di bagian tengah Afrika, atau karena . . .  kamu mungkin sudah paham. Perang besar telah bergejolak beberapa tahun ini yang mengancam privasi kita. Krisis virus korona dapat menjadi titik kritis dari pertempuran. Saat seseorang dituntut untuk memilih antara privasi dan kesehatan, mereka umumnya akan memilih kesehatan.
Polisi Sabun

Meminta orang-orang untuk memilih antara privasi atau kesehatan sebenarnya merupakan akar dari permasalahan yang ada. Karena ini adalah opsi pilihan yang keliru. Kita bisa dan memang seharusnya menikmati privasi dan sekaligus kesehatan. Kita dapat memilih untuk melindungi kesehatan kita dan menghentikan epidemi virus korona dengan tidak melembagakan rezim pengawasan totaliter, namun dengan memberdayakan warga. Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa usaha paling berhasil untuk menahan epidemi virus korona diorkestrasi oleh Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Sementara negara tersebut telah mempergunakan beberapa aplikasi pelacak, mereka jauh lebih menekankan pada pengujian secara luas, pelaporan yang jujur, dan tekad bulat untuk bekerjasama dengan publik yang terinformasi. 
Pematauan sentralistis dan hukuman yang keras bukanlah satu-satunya cara untuk membuat orang menjalankan isi pedoman yang bermanfaat. Saat orang-orang diberitahu tentang fakta ilmiah, dan ketika mereka mempercayai otoritas publik untuk memberitahu mereka tentang fakta tersebut, maka warga dapat bertindak secara tepat bahkan tanpa pantauan seorang Bung Besar. Masyarakat yang memiliki motivasi-diri dan tidak picik biasanya jauh lebih berdaya dan efektif dibanding masyarakat yang lugu yang didisiplinkan. 
Soal mencuci tangan dengan sabun, misalnya. Ini merupakan salah satu kemajuan terbesar manusia dalam hal kebersihan. Perilaku sederhana ini menyelamatkan jutaan umat manusia setiap tahun. Sementara kita menerimanya begitu saja, pada abad 19 para ilmuwan menemukan pentingnya mencuci tangan menggunakan sabun. Pada masa sebelumnya, bahkan dokter dan suster melanjutkan operasi bedah dari satu pasien ke pasien lainnya tanpa mencuci tangan. Hari ini milyaran orang terbiasa mencuci tangan mereka, bukan karena mereka takut akan polisi sabun, tetapi karena mereka mengetahui faktanya. Saya mencuci tangan karena mengetahui tentang virus dan bakteri. Saya memahami bahwa organisme kecil ini dapat menyebabkan penyakit, dan saya tahu sabun dapat membersihkannya. 
Akan tetapi, untuk mencapai taraf kesukarelaan dan kerjasama seperti itu, kamu perlu rasa percaya. Orang-orang harus mempercayai ilmu pengetahuan, mempercayai otoritas publik, dan mempercayai media. Dalam beberapa tahun terakhir, politisi takbertanggungjawab telah dengan sengaja meremehkan ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media. Sekarang politisi yang takbertanggungjawab itu mungkin tergoda untuk memilih otoritarianisme, dengan dalih kamu tidak bisa mempercayai publik untuk bertindak dengan benar. 
Lumrahnya, kepercayaan yang sudah terkikis bertahun-tahun tidak dapat dikembalikan hanya dengan semalam. Tapi ini bukanlah kondisi normal. Dalam masa krisis, pikiran pun dapat berubah dengan cepat. Kamu bisa saja terlibat perdebatan pahit dengan saudara kandungmu, tetapi saat kondisi darurat muncul, kamu tiba-tiba menemukan mata air tersembunyi yang menyimpan rasa percaya dan persahabatan, dan kamu bergegas menolong satu sama lain. Ketimbang membangun rezim totaliter, belum terlambat untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media. Kita juga harus menggunakan teknologi terbaru, namun teknologi ini haruslah memberdayakan khalayak luas. Saya mendukung pengukuran temperatur tubuh dan tekanan darah saya, tetapi data tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk membangun pemerintahan mahadahsyat. Melainkan, data tersebut harus memungkinkan saya untuk mengambil pilihan pribadi yang bijak, dan juga untuk menjaga kebijakan pemerintah agar akuntabel. 
Jika saya bisa melacak kondisi medis dalam waktu 24 jam, saya dapat mempelajari apakah saya telah menjadi bahaya kesehatan bagi orang lain, dan juga memperhatikan kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan. Dan apabila saya bisa mengakses dan menganalisis statistik terpercaya tentang penyebaran virus korona, saya dapat menilai apakah pemerintah memang memberitahukan kebenaran dan apakah mereka mengambil kebijakan yang tepat untuk menangani epidemi. Di mana saja orang-orang memperbincangkan pengawasan, ingatlah baik-baik bahwa teknologi yang sama digunakan oleh pemerintah untuk memantau individu — tapi juga individu terhadap pemerintah. 
Epidemi virus korona adalah ujian besar kewarganegaraan. Beberapa hari ke depan, setiap dari kita harus memilih untuk memercayai ilmu pengetahuan dan pakar kesehatan dibanding konspirasi tidak berdasar dan politisi rakus. Apabila kita gagal membuat pilihan yang tepat, kita mungkin akan mengorbankan kebebasan kita yang paling berharga, dan berpikir bahwa itulah satu-satunya yang dapat menyelamatkan kesehatan kita.
Kita Butuh Rencana Global

Pilihan penting kedua yang harus kita hadapi adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Epidemi itu sendiri dan sekaligus krisis ekonomi yang menyertainya adalah masalah global. keduanya bisa diselesaikan hanya dengan kerjasama global. 
Pertama dan terutama, demi mengatasi virus kita harus berbagi informasi secara global. Itu adalah kelebihan besar umat manusia dibanding virus. Virus korona di China dan di AS tidak bisa bertukar siasat bagaimana untuk menginfeksi manusia. Tapi China dapat memberikan AS pelajaran berharga tentang virus korona dan bagaimana cara mengatasinya. Apa yang ditemukan oleh dokter Italia di Milan di pagi hari dapat menyelamatkan nyawa di Tehran sore harinya. Ketika pemerintah Inggris menghadapi keraguan tentang beberapa kebijakan, ia bisa meminta saran dari Korea yang telah menghadapi dilema serupa sebulan lalu. Tetapi agar semua ini bisa terjadi, kita memerlukan semangat kerjasama global dan rasa saling percaya. 
Negara harus berkenan untuk bertukar informasi dan berendah hati meminta saran, dan harus bisa mempercayai data dan wawasan yang diperoleh. Kita juga perlu usaha global untuk memproduksi dan mendistribusikan perlengkapan kesehatan, terutama perkakas pengujian dan mesin pernapasan. Ketimbang setiap negara bersikeras untuk menerapkannya di skala lokal dan menimbun peralatan yang dapat dimiliki, usaha global yang terkoordinasi mampu mempercepat produksi dan memastikan peralatan kesehatan terdistribusi secara adil. Seperti halnya negara menasionalisasi industri utama saat perang, perang kemanusiaan melawan virus korona mungkin mengharuskan kita untuk “memanusiakan” jalur produksi yang krusial. Negara kaya yang kasus virus koronanya lebih sedikit harus bersedia mengirim peralatan berguna kepada negara tertinggal yang memiliki lebih banyak kasus, mempercayai bahwa apabila hal yang sama menimpa mereka, negara lain akan datang memberikan bantuan. 
Kita mungkin juga memikirkan tentang usaha global serupa terkait tenaga medis. Negara yang kurang terinfeksi bisa mengirimkan tenaga medis kepada negara yang paling membutuhkan di dunia, baik untuk menolong mereka di saat-saat paling membutuhkan, atau untuk mendapat pengalaman berharga. Apabila fokus epidemi beralih, bantuan bisa datang dari arah sebaliknya. 
Kerjasama global juga diperlukan di garda ekonomi. Mengingat watak global dari ekonomi dan rantai pasokan, apabila setiap pemerintahan berlaku semaunya tanpa mempertimbangkan imbasnya terhadap yang lain, hasilnya adalah kekacauan dan krisis yang semakin dalam. Kita memerlukan recana gerak skala global, dan kita membutuhkan itu secepatnya. 
Kebutuhan lainnya adalah meraih kesepakatan global tentang lalu lintas perjalanan. Menunda keberangkatan internasional untuk sebulan akan berdampak pada kesulitan yang besar, dan menghambat perang melawan virus korona. Negara perlu bekerjasama demi memperbolehkan beberapa perjalanan penting untuk berlanjut melintasi batas: ilmuwan, dokter, jurnalis, politisi, dan orang penting. Ini bisa dicapai dengan mencapai kesepakatan global tentang penyaringan awal orang yang hendak bepergian dari negara asal mereka. Apabila kamu mengetahui hanya mereka yang lolos penyaringan dizinkan untuk pergi, kamu akan lebih bersedia menerima mereka yang datang di negaramu. 
Sayangnya, negara hari ini enggan melaksanakan ini. Ketidakmampuan kolektif telah mencengkeram komunitas internasional. Seperti tidak ada yang cukup dewasa di sini. Kita mungkin berharap pertemuan darurat pemimpin dunia sejak seminggu lalu menghasilkan rencana aksi bersama. Pemimpin G7 baru berhasil menyelenggarakan konferensi video hanya pada pekan ini, dan tidak menghasilkan rencana demikian. 
Pada krisis global sebelumnya — seperti krisis finansial 2008 dan epidemi Ebola tahun 2014 — AS berlagak berperan sebagai pemimpin dunia. Akan tetapi AS hari ini telah turun tahta dari pimpinan dunia. Sudah jelas mereka lebih mementingkan kebesaran Amerika dibanding masa depan manusia. 
Para jajaran mereka bahkan telah mencampakkan sekutu terdekatnya. Saat mereka melarang seluruh kedatangan dari UE, mereka merasa tidak perlu repot untuk memberikan keterangan lebih lanjut kepada UE — terlebih berkonsultasi dengan UE terkait tindakan itu. Mereka telah berskandal dengan Jerman dengan dugaan penawaran sebesar $1bn kepada perusahaan farmasi Jerman untuk membeli hak monopoli vaksin Covid-19 . Bahkan apabila jajaran hari ini mengubah taktik dan menghadirkan rencana aksi, hanya sedikit yang akan mengikuti pemimpin yang tidak bertanggungjawab, yang tidak pernah mengakui kesalahan, dan yang selalu berusaha meraup reputasi sambil mempersalahkan pihak lainnya. 
Apabila lubang yang ditinggal AS tidak diisi oleh negara lain, bukan hanya akan jauh lebih sulit menghadapi epidemi, tetapi juga warisan itu akan terus meracuni hubungan internasional tahun-tahun berikutnya . Akan tetapi setiap krisis juga adalah peluang. Kita harus berharap bahwa epidemi ini akan membuat umat manusia sadar bahaya akut dari perpecahan. 
Umat manusia harus membuat pilihan. Apakah kita akan berjalan menurun menuju perpecahan, atau apakah kita akan memilih jalur solidaritas global? Apabila kita memilih perpecahan, ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tapi juga mungkin akan melahirkan bencana yang lebih buruk di masa mendatang. Apabila kita memilih solidaritas global, itu akan menjadi kemenangan tak hanya terhadap virus korona, tapi juga terhadap seluruh epidemi dan krisis yang mungkin menimpa umat manusia di abad 21.

*Yuval Noah Harari adalah penulis ‘Sapiens’, ‘Homo Deus’ dan ‘21 Lessons for the 21st Century’
**Artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Yuval Noah Harari di Financial Times berujudul “Yuval Noah Harari: the world after coronavirus”, edisi 20 Maret 2020Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ahmad Tahriq.

Gambar: Antinomi.org - Kompas.com

15 March 2020

PANDEMI - COVID 19

PANDEMI - COVID 19

Sejak 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO memproklamirkan penyebaran virus Corona COVID 19 sebagai pandemi (pan=semua/segala; demos: rakyat/masyarkat). Bukannya tanpa dasar! Sejak dua minggu terakhir, jumlah orang yang terinfeksi virus Corona COVID 19 di luar Cina naik tigabelas kali lipat. Jumlah negara yang terindikasi terkena virus ini pun naik tiga kali lipat. Sampai 13 Maret 2020 kasus yang sudah diregistrasi berjumlah 132.567. 4.947 darinya dikabarkan telah meninggal.
„Tak ada sesuatu pun yang paling ditakuti manusia daripada perjumpaannya yang mendadak dengan sesuatu yang tak dikenal sebelumnya“. Kata-kata yang digoreskan oleh peraih hadiah Nobel Elias Canetti mengawali karya monumentalnya „Masse und Macht“(Massa dan Kekuasaan) ini bergema kembali di tengah semaraknya pandemi COVID 19. Ada tiga hal yang menjadikan virus ini sebagai sebuah momok yang manakutkan: Ketaktransparanan, Kecepatan dan Penularan.
Sesuatu yang tak kelihatan, tetapi toh mengandung daya yang dapat menghancurkan – inilah yang menjadikan COVID 19 sebagai virus yang paling menakutkan saat ini. Italia mengambil langkah yang sangat radikal: Meliburkan sekolah, melarang event yang berpotensi mengumpulkan massa. Bahkan Sepak Bola yang dianggap sebagai „yang kudus“ di Italia pun tidak luput dari getah virus yang berbahaya ini. Asosiasi Sepak Bola Italia bahkan mengatakan, jika salah seorang pemain Serie A terindikasi kena virus ini, mereka bisa saja membatalkan pertandingan, walau tanpa penonton sekali pun.
Disamping ketaktransparanan, kecepatan COVID 19 lah yang paling ditakuti saat ini. Kecepatan penularan virus ini seakan-akan mengingatkan dunia akan „kecepatan epidemis pengungsi“ zaman ini. Berkat kemajuan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan, dunia hidup manusia ini sudah menjadi sebuah „kampung global“.
Pandemi penyebaran COVID 19 seakan-akan hendak memberi peringatan kepada manusia, bahwa batas geografis yang memisahkan bangsa, negara dan masyarakat sudah kehilangan aktualisasinya. Manusia mungkin masih bisa membangun sebuah tembok yang menghalangi virus epidemi yang kelihatan, seperti kasus pengungsi. Tetapi ia tidak dapat menghalangi daya terjang sebuah virus yang tidak kelihatan, seperti COVID 19. Manusia yang sudah memetakan dunia ini sebagai sebuah „kampung global“ harus dengan lapang dada menerima konsekwensinya, bahwa tidak ada lagi kekuatan yang mampu menjadikan sebuah negara sebagai „pulau tak terjamah“.
Apa yang dapat kita pelajari? Mungkin masih banyak orang di dunia yang akan terjangkit virus berbahaya ini. Tetapi kehidupan manusia itu bukanlah sebuah „film horor“, dimana akhir dari ceritra itu sudah jelas: Yang dapat bertahan hidup adalah satu-satunya protagonis setelah mengalahkan semua antagonisnya. Andrea Roedig menulis sebuah tese provokatif: „Yang paling menentukan bukanlah mengisolasi diri secara total dan membangun sebuah dunia „atau/atau, luar/dalam, sakit/sehat“. Bukan! Supaya dapat bertahan hidup, kita harus saling berbagi, ja saling terkontaminasi. Tidak terjangkit bukanlah tujuan terakhir. Tujuan terakhir adalah bertahan hidup, bukan secara sendiri-sendiri, melainkan secara bersama-sama. Virus yang paling berbahaya dan membahayakan kehidupan adalah virus saling mencurigai dan rasa takut“

P. Polykarp Ulin Agan, SVD

Bild: Kompas.com

ERNESTO CARDENAL DAN JALAN LIKU TEOLOGI PEMBEBASAN


ERNESTO CARDENAL DAN
JALAN LIKU TEOLOGI PEMBEBASAN
Vianey Lein – Migran di Jerman

Ernesto Cardenal adalah (salah satu) sosok yang begitu menonjol dalam kehidupan dan sejarah pembebasan di negara-negara Amerika Latin, secara khusus di Republik Nikaragua. Di Jerman, sosok imam sekaligus penyair dan tokoh teologi pembebasan yang selalu akrab dengan topi baret di kepala dikenal sebagai simbol figur partai politik kiri (die Linke). Oleh karena itu, Ernesto pernah diundang sebagai pembicara pada musyawarah partai die Linke di Rostock-Jerman. Pada tanggal 01 Maret 2020 mantan menteri  kebudayaan pemerintahan Sandinista dan peraih nobel perdamaian pada Frankfurter Buchmesse (Frankfurt Book Fair) 1980 meninggal dunia dalam usia 95 tahun oleh karena gangguan pada empedu.


Ernesto Cardenal: Imam Penyair dan Teolog Pembebasan

Dalam „Epistola kepada Monsinyur Casaldàliga“ Cardenal menulis: „Baru saja seorang jurnalis bertanya: ‚mengapa saya menulis puisi‘?. Atas alasan yang sama seperti Amos, Nathutn, Haggai, Jeremia … Sekarang bukanlah waktunya untuk kritik sastra, juga bukan puisi-puisi surealis melawan diktatur militer. Lalu untuk apa barisan metafor ketika perbudakan bukan lagi sebuah metafor?, Ketika kematian-kematian di sungai Mort dan pasukan yang gugur bukanlah metafor? Kini, rakyat menangis di pau-de-arara. Juga kokok ayam di Brasil kini dipelintir. Ia menyanyikan ‚Reolução‘. Monsinyur, kami ditekan. Para penerus proletar yang berpakaian lusuh dan kaum Visioner, penerus Penghasut profesional diadili sebagai musuh sistem. Supaya Anda tahu, itu adalah sebuah siksaan untuk kaum subversif; sebuah salib untuk para politisi – dan bukan asesoris dari batu delima pada dada seorang uskup“ (Friedenspreis 1980).

Mengubah wajah dunia menjadi lebih baik – atau oleh Cardenal disebut sebagai proyek „membangun Kerajaan Allah di bumi“ - adalah kerinduan panjang seorang Cardenal; dan baginya puisi adalah juga salah satu pilihan kemungkinan untuk menghantar para pembaca dan juga semua orang untuk lebih dekat pada harapan itu. Teks-teks puisi yang lahir dari kontemplasinya adalah bait-bait „mazmur modern“ karena ia terinsipirasi dari kitab Mazmur dan „menulis kembali“ ayat-ayat itu dalam konteks kehidupan orang Nikaragua saat itu. Larik-larik itu - sebagamana Johann Baptizt Metz dalam Laudatio-nya untuk Cardenal pada anugerah nobel perdamaian 1980 – tidak hanya melucuti cadar kemunafikan dan kebobrokan politik atau pun sebagai teguran atas logika barbaris kekerasan penguasa, melainkan lebih dari itu memiliki daya „menyelamatkan“. Pembacaan kembali injil bersama para petani di Solenitiname juga memperluas horison hermeneutiknya untuk melahirkan karya „Das Evangelium der Bauern von Solentiname“ (Injil para Petani dari Solentiname), yang mana menjadi inspirasi perjuangan para petani. Bagi para petani kecil di Solentiname Injil merupakan warta sekaligus imperasi pembebasan dan mereka siap menerima konsekuensi dari misi pembebasan dari tirani Anastasio Somoza. Bahkan secara gamblang ia mengatakan, bahwa sesungguhnya cara hidup kekristenan sebagaimana yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 4:34-35: „Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya   itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki  rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya“ adalah prototipe komunisme.
   
Derap langkah perjuangan Cardenal bersama kaum tertindas tidak hanya menggema di tembok tirani penguasa atau mungkin terpental di ujung laras kekerasan. Jalan panjang perjuangan serta angin segar pembebasan revolusi Sandinista Nikarugua pada 19 Juli 1979 juga menjadi isu “menarik“ bagi Vatikan – apalagi dipelopori oleh seorang imam yang kemudian juga menduduki kursi menteri. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II) ke Nikaragua empat tahun kemudian (1983seperti meninggalkan duri di jalan pembebasan bagi seorang Cardenal. Bertentangan dengan Cardenal, Vatikan menilai refleksi dan perjuangannya sebagai cacat dan berbahaya karena bertolak dari intepretasi yang keliru atas Kitab Suci. Oleh karena itu pada tahun 1985 ia diberi sanksi hukum suspensi dan dilarang memberikan pelayanan sakramental sebagaimana tugas seorang imam. Baru kurang lebih 34 tahun kemudian (Februari 2019) larangan itu dicabut oleh Paus Fransiskus. Terhadap angin segar pembebasan yang dihembuskan Gereja, Cardenal berkomentar dengan gayanya yang sinis dan provokatif: „Cara hidup imamatku berbeda. Jadi hal itu tidak begitu penting dan mendesak“. Tuntutan ketaatan pada hierarkhi Gereja dan Dogma Kristen sudah hampir pasti telah menciptakan konflik dalam diri sang Revolusionier seperti Cardenal. Namun ia tidak kehilangan iman dan harapannya untuk terus berjuang menghadirkan kerajaan Allah – kerajaan damai dan pembebasan di atas bumi. Teologi pembebasan bukanlah ruang untuk sekadar mendiskusikan ajaran-ajaran Gereja atau mempersoalkan jabatan atau fungsi dalam hierarkhi gereja, melainkan konsekuensi yang mesti diambil untuk sebuah jalan pembebasan.

Agama dan Misi Pembebasan – Perdamaian

Imam Pembebas Ernesto Cardenal secara sadar dan berani menempuh jalan pembebasan, meski ia pada akhirnya kehilangan „kuasa“ untuk meberikan pelayanan sakramental dalam Gereja. Jalan pembebasan yang diperjuangkannya bukanlah juga diperuntukkan untuk dirinya atau kepentingan Gereja maupun orang-orang sealiran pandangan politik, melainkan untuk kedaulatan dan kedamaian seluruh warga Nikaragua.


Di sini Cardenal tidak hanya mengeritik rezim dikatatur yang menindas kaum kecil dan yang mengabaikan hak-hak mereka sebagaimana menjadi karakter perjuangan teologi pembebasan di Amerika Latin pada umumnya. Lebih lanjut ia mencoba mengguncang ideologi yang mengurung agama dalam ruang-ruang privat yang kaku dan bilik tradisi dogma yang gelap dan pengap. Ketika agama lebih sibuk „merawat“ rumus-rumus doktrinal-ideologis maka ia akan kehilangan kekuatan dalam memberi sumbangsi dalam kehidpan publik yang lebih baik. Ketika para pemimpin agama dan tokoh-tokoh religius lebih sibuk dan berambisi mengekalkan segala ritus di ruang-ruang ibadah, maka „yang lain“ adalah haram dan yang mengancam sakralitas ruang dan waktu. Bahwa teologi pembebasan adalah sebuah kritik atas struktur hierarkhi dan birokrasi atau institusi, itu menjadi sebuah lampu merah bagi agama, bahwa ia bukanlah sebuah institusi yang „menampung“ orang-orang yang mengklaim diri memiliki kuasa untuk menentukan salah dan benar, halal dan haram, dosa dan kudus, kafir dan bukan kafir. Perjuangan teologi pembebasan untuk menentang struktur yang tidak adil justru bertolak dari rasa cinta dan solidaritas sebagai sesama manusia terhadap kaum marjinal dan tertindas. Kategori marjinal dan tertindas tidak hanya merupakan kaum miskin atau orang-orang kecil, tetapi juga orang dari agama lain, dari budaya lain, dari aliran politik lain, yang sering mendapat perlakuan tidak adil bahkan mengalami kekerasan.

Di hadapan realitas penindasan, para tokoh agama dan semua kita mesti tampil mewartakan pembebasan dan perdamaian – bukan untuk mengejar popularitas dan kekayaan lewat semakin banyak pengikut dan pendengar khotbah – melainkan karena terpanggil oleh rasa kasih dan solidaritas sebagai sesama manusia, seperti Yesus „Sang Pemberontak Politik“ yang rela menanggalkan ke-Allah-anNya dan mau menjadi solidier dengan manusia, bahkan hingga menderita dan wafat di salib. Kembali kepada sinisme Cardenal tentang salib di atas, kiranya ruang-ruang ibadah dan mimbar-mimbar khotbah tidak menjadi rumah dan corong provokator untuk membenci yang lain. Jika ada yang demikian, mungkin ia tidak terpanggil atas kasih dan solidaritas, melainkan karena uang dan popularitas. Mari menjadi „provokator“ yang menebar kasih dan perdamaian agar tercipta surga di bumi – bukan surga yang diperebutkan lewat kekerasan, korban dan kematian.

Bilder: Kirche+Leben Netz; America Magazine   

Artikel ini peranh terbit di Media Online SURYA KUPANG