PANDEMI - COVID 19
Sejak 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO memproklamirkan penyebaran virus Corona COVID 19 sebagai pandemi (pan=semua/segala; demos: rakyat/masyarkat). Bukannya tanpa dasar! Sejak dua minggu terakhir, jumlah orang yang terinfeksi virus Corona COVID 19 di luar Cina naik tigabelas kali lipat. Jumlah negara yang terindikasi terkena virus ini pun naik tiga kali lipat. Sampai 13 Maret 2020 kasus yang sudah diregistrasi berjumlah 132.567. 4.947 darinya dikabarkan telah meninggal.
„Tak ada sesuatu pun yang paling ditakuti manusia daripada perjumpaannya yang mendadak dengan sesuatu yang tak dikenal sebelumnya“. Kata-kata yang digoreskan oleh peraih hadiah Nobel Elias Canetti mengawali karya monumentalnya „Masse und Macht“(Massa dan Kekuasaan) ini bergema kembali di tengah semaraknya pandemi COVID 19. Ada tiga hal yang menjadikan virus ini sebagai sebuah momok yang manakutkan: Ketaktransparanan, Kecepatan dan Penularan.
Sesuatu yang tak kelihatan, tetapi toh mengandung daya yang dapat menghancurkan – inilah yang menjadikan COVID 19 sebagai virus yang paling menakutkan saat ini. Italia mengambil langkah yang sangat radikal: Meliburkan sekolah, melarang event yang berpotensi mengumpulkan massa. Bahkan Sepak Bola yang dianggap sebagai „yang kudus“ di Italia pun tidak luput dari getah virus yang berbahaya ini. Asosiasi Sepak Bola Italia bahkan mengatakan, jika salah seorang pemain Serie A terindikasi kena virus ini, mereka bisa saja membatalkan pertandingan, walau tanpa penonton sekali pun.
Disamping ketaktransparanan, kecepatan COVID 19 lah yang paling ditakuti saat ini. Kecepatan penularan virus ini seakan-akan mengingatkan dunia akan „kecepatan epidemis pengungsi“ zaman ini. Berkat kemajuan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan, dunia hidup manusia ini sudah menjadi sebuah „kampung global“.
Pandemi penyebaran COVID 19 seakan-akan hendak memberi peringatan kepada manusia, bahwa batas geografis yang memisahkan bangsa, negara dan masyarakat sudah kehilangan aktualisasinya. Manusia mungkin masih bisa membangun sebuah tembok yang menghalangi virus epidemi yang kelihatan, seperti kasus pengungsi. Tetapi ia tidak dapat menghalangi daya terjang sebuah virus yang tidak kelihatan, seperti COVID 19. Manusia yang sudah memetakan dunia ini sebagai sebuah „kampung global“ harus dengan lapang dada menerima konsekwensinya, bahwa tidak ada lagi kekuatan yang mampu menjadikan sebuah negara sebagai „pulau tak terjamah“.
Apa yang dapat kita pelajari? Mungkin masih banyak orang di dunia yang akan terjangkit virus berbahaya ini. Tetapi kehidupan manusia itu bukanlah sebuah „film horor“, dimana akhir dari ceritra itu sudah jelas: Yang dapat bertahan hidup adalah satu-satunya protagonis setelah mengalahkan semua antagonisnya. Andrea Roedig menulis sebuah tese provokatif: „Yang paling menentukan bukanlah mengisolasi diri secara total dan membangun sebuah dunia „atau/atau, luar/dalam, sakit/sehat“. Bukan! Supaya dapat bertahan hidup, kita harus saling berbagi, ja saling terkontaminasi. Tidak terjangkit bukanlah tujuan terakhir. Tujuan terakhir adalah bertahan hidup, bukan secara sendiri-sendiri, melainkan secara bersama-sama. Virus yang paling berbahaya dan membahayakan kehidupan adalah virus saling mencurigai dan rasa takut“
P. Polykarp Ulin Agan, SVD
Bild: Kompas.com
No comments:
Post a Comment