PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

15 March 2020

ERNESTO CARDENAL DAN JALAN LIKU TEOLOGI PEMBEBASAN


ERNESTO CARDENAL DAN
JALAN LIKU TEOLOGI PEMBEBASAN
Vianey Lein – Migran di Jerman

Ernesto Cardenal adalah (salah satu) sosok yang begitu menonjol dalam kehidupan dan sejarah pembebasan di negara-negara Amerika Latin, secara khusus di Republik Nikaragua. Di Jerman, sosok imam sekaligus penyair dan tokoh teologi pembebasan yang selalu akrab dengan topi baret di kepala dikenal sebagai simbol figur partai politik kiri (die Linke). Oleh karena itu, Ernesto pernah diundang sebagai pembicara pada musyawarah partai die Linke di Rostock-Jerman. Pada tanggal 01 Maret 2020 mantan menteri  kebudayaan pemerintahan Sandinista dan peraih nobel perdamaian pada Frankfurter Buchmesse (Frankfurt Book Fair) 1980 meninggal dunia dalam usia 95 tahun oleh karena gangguan pada empedu.


Ernesto Cardenal: Imam Penyair dan Teolog Pembebasan

Dalam „Epistola kepada Monsinyur Casaldàliga“ Cardenal menulis: „Baru saja seorang jurnalis bertanya: ‚mengapa saya menulis puisi‘?. Atas alasan yang sama seperti Amos, Nathutn, Haggai, Jeremia … Sekarang bukanlah waktunya untuk kritik sastra, juga bukan puisi-puisi surealis melawan diktatur militer. Lalu untuk apa barisan metafor ketika perbudakan bukan lagi sebuah metafor?, Ketika kematian-kematian di sungai Mort dan pasukan yang gugur bukanlah metafor? Kini, rakyat menangis di pau-de-arara. Juga kokok ayam di Brasil kini dipelintir. Ia menyanyikan ‚Reolução‘. Monsinyur, kami ditekan. Para penerus proletar yang berpakaian lusuh dan kaum Visioner, penerus Penghasut profesional diadili sebagai musuh sistem. Supaya Anda tahu, itu adalah sebuah siksaan untuk kaum subversif; sebuah salib untuk para politisi – dan bukan asesoris dari batu delima pada dada seorang uskup“ (Friedenspreis 1980).

Mengubah wajah dunia menjadi lebih baik – atau oleh Cardenal disebut sebagai proyek „membangun Kerajaan Allah di bumi“ - adalah kerinduan panjang seorang Cardenal; dan baginya puisi adalah juga salah satu pilihan kemungkinan untuk menghantar para pembaca dan juga semua orang untuk lebih dekat pada harapan itu. Teks-teks puisi yang lahir dari kontemplasinya adalah bait-bait „mazmur modern“ karena ia terinsipirasi dari kitab Mazmur dan „menulis kembali“ ayat-ayat itu dalam konteks kehidupan orang Nikaragua saat itu. Larik-larik itu - sebagamana Johann Baptizt Metz dalam Laudatio-nya untuk Cardenal pada anugerah nobel perdamaian 1980 – tidak hanya melucuti cadar kemunafikan dan kebobrokan politik atau pun sebagai teguran atas logika barbaris kekerasan penguasa, melainkan lebih dari itu memiliki daya „menyelamatkan“. Pembacaan kembali injil bersama para petani di Solenitiname juga memperluas horison hermeneutiknya untuk melahirkan karya „Das Evangelium der Bauern von Solentiname“ (Injil para Petani dari Solentiname), yang mana menjadi inspirasi perjuangan para petani. Bagi para petani kecil di Solentiname Injil merupakan warta sekaligus imperasi pembebasan dan mereka siap menerima konsekuensi dari misi pembebasan dari tirani Anastasio Somoza. Bahkan secara gamblang ia mengatakan, bahwa sesungguhnya cara hidup kekristenan sebagaimana yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 4:34-35: „Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya   itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki  rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya“ adalah prototipe komunisme.
   
Derap langkah perjuangan Cardenal bersama kaum tertindas tidak hanya menggema di tembok tirani penguasa atau mungkin terpental di ujung laras kekerasan. Jalan panjang perjuangan serta angin segar pembebasan revolusi Sandinista Nikarugua pada 19 Juli 1979 juga menjadi isu “menarik“ bagi Vatikan – apalagi dipelopori oleh seorang imam yang kemudian juga menduduki kursi menteri. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II) ke Nikaragua empat tahun kemudian (1983seperti meninggalkan duri di jalan pembebasan bagi seorang Cardenal. Bertentangan dengan Cardenal, Vatikan menilai refleksi dan perjuangannya sebagai cacat dan berbahaya karena bertolak dari intepretasi yang keliru atas Kitab Suci. Oleh karena itu pada tahun 1985 ia diberi sanksi hukum suspensi dan dilarang memberikan pelayanan sakramental sebagaimana tugas seorang imam. Baru kurang lebih 34 tahun kemudian (Februari 2019) larangan itu dicabut oleh Paus Fransiskus. Terhadap angin segar pembebasan yang dihembuskan Gereja, Cardenal berkomentar dengan gayanya yang sinis dan provokatif: „Cara hidup imamatku berbeda. Jadi hal itu tidak begitu penting dan mendesak“. Tuntutan ketaatan pada hierarkhi Gereja dan Dogma Kristen sudah hampir pasti telah menciptakan konflik dalam diri sang Revolusionier seperti Cardenal. Namun ia tidak kehilangan iman dan harapannya untuk terus berjuang menghadirkan kerajaan Allah – kerajaan damai dan pembebasan di atas bumi. Teologi pembebasan bukanlah ruang untuk sekadar mendiskusikan ajaran-ajaran Gereja atau mempersoalkan jabatan atau fungsi dalam hierarkhi gereja, melainkan konsekuensi yang mesti diambil untuk sebuah jalan pembebasan.

Agama dan Misi Pembebasan – Perdamaian

Imam Pembebas Ernesto Cardenal secara sadar dan berani menempuh jalan pembebasan, meski ia pada akhirnya kehilangan „kuasa“ untuk meberikan pelayanan sakramental dalam Gereja. Jalan pembebasan yang diperjuangkannya bukanlah juga diperuntukkan untuk dirinya atau kepentingan Gereja maupun orang-orang sealiran pandangan politik, melainkan untuk kedaulatan dan kedamaian seluruh warga Nikaragua.


Di sini Cardenal tidak hanya mengeritik rezim dikatatur yang menindas kaum kecil dan yang mengabaikan hak-hak mereka sebagaimana menjadi karakter perjuangan teologi pembebasan di Amerika Latin pada umumnya. Lebih lanjut ia mencoba mengguncang ideologi yang mengurung agama dalam ruang-ruang privat yang kaku dan bilik tradisi dogma yang gelap dan pengap. Ketika agama lebih sibuk „merawat“ rumus-rumus doktrinal-ideologis maka ia akan kehilangan kekuatan dalam memberi sumbangsi dalam kehidpan publik yang lebih baik. Ketika para pemimpin agama dan tokoh-tokoh religius lebih sibuk dan berambisi mengekalkan segala ritus di ruang-ruang ibadah, maka „yang lain“ adalah haram dan yang mengancam sakralitas ruang dan waktu. Bahwa teologi pembebasan adalah sebuah kritik atas struktur hierarkhi dan birokrasi atau institusi, itu menjadi sebuah lampu merah bagi agama, bahwa ia bukanlah sebuah institusi yang „menampung“ orang-orang yang mengklaim diri memiliki kuasa untuk menentukan salah dan benar, halal dan haram, dosa dan kudus, kafir dan bukan kafir. Perjuangan teologi pembebasan untuk menentang struktur yang tidak adil justru bertolak dari rasa cinta dan solidaritas sebagai sesama manusia terhadap kaum marjinal dan tertindas. Kategori marjinal dan tertindas tidak hanya merupakan kaum miskin atau orang-orang kecil, tetapi juga orang dari agama lain, dari budaya lain, dari aliran politik lain, yang sering mendapat perlakuan tidak adil bahkan mengalami kekerasan.

Di hadapan realitas penindasan, para tokoh agama dan semua kita mesti tampil mewartakan pembebasan dan perdamaian – bukan untuk mengejar popularitas dan kekayaan lewat semakin banyak pengikut dan pendengar khotbah – melainkan karena terpanggil oleh rasa kasih dan solidaritas sebagai sesama manusia, seperti Yesus „Sang Pemberontak Politik“ yang rela menanggalkan ke-Allah-anNya dan mau menjadi solidier dengan manusia, bahkan hingga menderita dan wafat di salib. Kembali kepada sinisme Cardenal tentang salib di atas, kiranya ruang-ruang ibadah dan mimbar-mimbar khotbah tidak menjadi rumah dan corong provokator untuk membenci yang lain. Jika ada yang demikian, mungkin ia tidak terpanggil atas kasih dan solidaritas, melainkan karena uang dan popularitas. Mari menjadi „provokator“ yang menebar kasih dan perdamaian agar tercipta surga di bumi – bukan surga yang diperebutkan lewat kekerasan, korban dan kematian.

Bilder: Kirche+Leben Netz; America Magazine   

Artikel ini peranh terbit di Media Online SURYA KUPANG


No comments:

Post a Comment