ERNESTO CARDENAL DAN
JALAN LIKU TEOLOGI PEMBEBASAN
Vianey Lein – Migran di Jerman
Ernesto Cardenal
adalah (salah satu) sosok yang begitu menonjol dalam kehidupan dan sejarah
pembebasan di negara-negara Amerika Latin, secara khusus di Republik Nikaragua.
Di Jerman, sosok imam sekaligus penyair dan tokoh teologi pembebasan yang
selalu akrab dengan topi baret di kepala dikenal sebagai simbol figur partai politik
kiri (die Linke). Oleh karena itu,
Ernesto pernah diundang sebagai pembicara pada musyawarah partai die Linke di Rostock-Jerman. Pada
tanggal 01 Maret 2020 mantan menteri
kebudayaan pemerintahan Sandinista dan peraih nobel perdamaian pada
Frankfurter Buchmesse (Frankfurt Book Fair) 1980 meninggal dunia dalam
usia 95 tahun oleh karena gangguan pada empedu.
Ernesto Cardenal: Imam Penyair dan Teolog
Pembebasan
Dalam „Epistola kepada Monsinyur
Casaldàliga“ Cardenal menulis: „Baru saja seorang jurnalis bertanya: ‚mengapa
saya menulis puisi‘?. Atas alasan yang sama seperti Amos, Nathutn, Haggai,
Jeremia … Sekarang bukanlah waktunya untuk kritik sastra, juga bukan
puisi-puisi surealis melawan diktatur militer. Lalu untuk apa barisan
metafor ketika perbudakan bukan lagi sebuah metafor?, Ketika kematian-kematian
di sungai Mort dan pasukan yang gugur
bukanlah metafor? Kini, rakyat menangis di pau-de-arara.
Juga kokok ayam di Brasil kini dipelintir. Ia menyanyikan ‚Reolução‘.
Monsinyur, kami ditekan. Para penerus proletar yang berpakaian lusuh dan kaum
Visioner, penerus Penghasut profesional diadili sebagai musuh sistem. Supaya
Anda tahu, itu adalah sebuah siksaan untuk kaum subversif; sebuah salib untuk
para politisi – dan bukan asesoris dari batu delima pada dada seorang uskup“
(Friedenspreis 1980).
Mengubah wajah
dunia menjadi lebih baik – atau oleh Cardenal disebut sebagai proyek „membangun
Kerajaan Allah di bumi“ - adalah kerinduan panjang seorang Cardenal; dan
baginya puisi adalah juga salah satu pilihan kemungkinan untuk menghantar para
pembaca dan juga semua orang untuk lebih dekat pada harapan itu. Teks-teks
puisi yang lahir dari kontemplasinya adalah bait-bait „mazmur modern“ karena ia
terinsipirasi dari kitab Mazmur dan „menulis kembali“ ayat-ayat itu dalam
konteks kehidupan orang Nikaragua saat itu. Larik-larik itu - sebagamana Johann
Baptizt Metz dalam Laudatio-nya untuk
Cardenal pada anugerah nobel perdamaian 1980 – tidak hanya melucuti cadar
kemunafikan dan kebobrokan politik atau pun sebagai teguran atas logika
barbaris kekerasan penguasa, melainkan lebih dari itu memiliki daya
„menyelamatkan“. Pembacaan kembali injil bersama para petani di Solenitiname
juga memperluas horison hermeneutiknya untuk melahirkan karya „Das Evangelium
der Bauern von Solentiname“ (Injil para Petani dari Solentiname), yang mana
menjadi inspirasi perjuangan para petani. Bagi para petani kecil di Solentiname
Injil merupakan warta sekaligus imperasi pembebasan dan mereka siap menerima
konsekuensi dari misi pembebasan dari tirani Anastasio Somoza. Bahkan secara
gamblang ia mengatakan, bahwa sesungguhnya cara hidup kekristenan sebagaimana
yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 4:34-35: „Sebab tidak ada seorangpun yang
berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau
rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu
mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu
dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya“ adalah prototipe
komunisme.
Derap langkah
perjuangan Cardenal bersama kaum tertindas tidak hanya menggema di tembok
tirani penguasa atau mungkin terpental di ujung laras kekerasan. Jalan panjang
perjuangan serta angin segar pembebasan revolusi Sandinista Nikarugua pada 19
Juli 1979 juga menjadi isu “menarik“ bagi Vatikan – apalagi dipelopori oleh
seorang imam yang kemudian juga menduduki kursi menteri. Kunjungan Paus Yohanes
Paulus II) ke Nikaragua empat tahun kemudian (1983seperti meninggalkan duri di
jalan pembebasan bagi seorang Cardenal. Bertentangan dengan Cardenal, Vatikan
menilai refleksi dan perjuangannya sebagai cacat dan berbahaya karena bertolak
dari intepretasi yang keliru atas Kitab Suci. Oleh karena itu pada tahun 1985
ia diberi sanksi hukum suspensi dan dilarang memberikan pelayanan sakramental sebagaimana
tugas seorang imam. Baru kurang lebih 34 tahun kemudian (Februari 2019)
larangan itu dicabut oleh Paus Fransiskus. Terhadap angin segar pembebasan yang
dihembuskan Gereja, Cardenal berkomentar dengan gayanya yang sinis dan
provokatif: „Cara hidup imamatku berbeda. Jadi hal itu tidak begitu penting dan
mendesak“. Tuntutan ketaatan pada hierarkhi Gereja dan Dogma Kristen sudah
hampir pasti telah menciptakan konflik dalam diri sang Revolusionier seperti
Cardenal. Namun ia tidak kehilangan iman dan harapannya untuk terus berjuang
menghadirkan kerajaan Allah – kerajaan damai dan pembebasan di atas bumi. Teologi
pembebasan bukanlah ruang untuk sekadar mendiskusikan ajaran-ajaran Gereja atau
mempersoalkan jabatan atau fungsi dalam hierarkhi gereja, melainkan konsekuensi
yang mesti diambil untuk sebuah jalan pembebasan.
Agama dan
Misi Pembebasan – Perdamaian
Imam Pembebas
Ernesto Cardenal secara sadar dan berani menempuh jalan pembebasan, meski ia
pada akhirnya kehilangan „kuasa“ untuk meberikan pelayanan sakramental dalam
Gereja. Jalan pembebasan yang diperjuangkannya bukanlah juga diperuntukkan
untuk dirinya atau kepentingan Gereja maupun orang-orang sealiran pandangan
politik, melainkan untuk kedaulatan dan kedamaian seluruh warga Nikaragua.
Di sini Cardenal
tidak hanya mengeritik rezim dikatatur yang menindas kaum kecil dan yang
mengabaikan hak-hak mereka sebagaimana menjadi karakter perjuangan teologi
pembebasan di Amerika Latin pada umumnya. Lebih lanjut ia mencoba mengguncang
ideologi yang mengurung agama dalam ruang-ruang privat yang kaku dan bilik tradisi
dogma yang gelap dan pengap. Ketika agama lebih sibuk „merawat“ rumus-rumus
doktrinal-ideologis maka ia akan kehilangan kekuatan dalam memberi sumbangsi
dalam kehidpan publik yang lebih baik. Ketika para pemimpin agama dan
tokoh-tokoh religius lebih sibuk dan berambisi mengekalkan segala ritus di
ruang-ruang ibadah, maka „yang lain“ adalah haram dan yang mengancam sakralitas
ruang dan waktu. Bahwa teologi pembebasan adalah sebuah kritik atas struktur
hierarkhi dan birokrasi atau institusi, itu menjadi sebuah lampu merah bagi
agama, bahwa ia bukanlah sebuah institusi yang „menampung“ orang-orang yang
mengklaim diri memiliki kuasa untuk menentukan salah dan benar, halal dan
haram, dosa dan kudus, kafir dan bukan kafir. Perjuangan teologi pembebasan
untuk menentang struktur yang tidak adil justru bertolak dari rasa cinta dan
solidaritas sebagai sesama manusia terhadap kaum marjinal dan tertindas.
Kategori marjinal dan tertindas tidak hanya merupakan kaum miskin atau
orang-orang kecil, tetapi juga orang dari agama lain, dari budaya lain, dari
aliran politik lain, yang sering mendapat perlakuan tidak adil bahkan mengalami
kekerasan.
Di hadapan
realitas penindasan, para tokoh agama dan semua kita mesti tampil mewartakan
pembebasan dan perdamaian – bukan untuk mengejar popularitas dan kekayaan lewat
semakin banyak pengikut dan pendengar khotbah – melainkan karena terpanggil
oleh rasa kasih dan solidaritas sebagai sesama manusia, seperti Yesus „Sang
Pemberontak Politik“ yang rela menanggalkan ke-Allah-anNya dan mau menjadi
solidier dengan manusia, bahkan hingga menderita dan wafat di salib. Kembali
kepada sinisme Cardenal tentang salib di atas, kiranya ruang-ruang ibadah dan
mimbar-mimbar khotbah tidak menjadi rumah dan corong provokator untuk membenci
yang lain. Jika ada yang demikian, mungkin ia tidak terpanggil atas kasih dan
solidaritas, melainkan karena uang dan popularitas. Mari menjadi „provokator“
yang menebar kasih dan perdamaian agar tercipta surga di bumi – bukan surga
yang diperebutkan lewat kekerasan, korban dan kematian.
Bilder: Kirche+Leben Netz; America Magazine
Artikel ini peranh terbit di Media Online SURYA KUPANG
No comments:
Post a Comment