MENYEMBUHKAN FANATISME
Vianey Soda Lein
Mahasiswa Pascasarjana pada
Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman
Terorisme
dengan modus bom bunuh diri adalah sebuah persoalan kompleks dan diskursus
tentangnya tidak lagi berhenti pada tataran politik (militer) maupun agama.
Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang
diskusi dengan mencoba membedah epidemi terorisme dengan pisau klinisnya,
dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal maupun sebagai
entitas sosial dalam sebuah proses „menjadi“. Lantas tesis umum yang menjadi
postulat dari telaah psikologis adalah: bom bunuh diri merupakan fenomena
gangguan jiwa yang dikembang-biakan dalam tubuh fanatisme. Namun tampaknya
tinjauan psikologis tentang persoalan fanatisme kurang terdengar echo-nya dalam percaturan gagasan dan
penentuan tindakan.
Amos
Oz (1939), seorang penulis Israel dan yang juga dikenal sebagai ahli fanatisme
komparativ (comprative fanaticism)
pernah mengungkapkan, bahwa krisis-krisis dewasa ini seperti di Timur Dekat,
Israel dan Palestina bukanlah merupakan persoalan nilai-nilai keislaman atau
mentalitas dalam islam. Krisis itu adalah perseteruan klasik antara fanatisme
dan pragmatisme. Fanatisme jauh lebih tua dari Islam atau Kekristenan, lebih
tua dari sebuah negara atau sistem pemerintahan dan politik, sebuah ideologi,
sebuah iman (Oz: 2002). Berbagai aksi teror yang terjadi di tanah air tidak
hanya mengguncang perasaan duka dan sedih yang mendalam atas para korban dan keluarga
tetapi juga membuat kita marah, mengutuk keras aksi biadab teroris; dan bukan
mustahil kita lalu saling mencurigai. Mereka yang merasa dipojokkan merasa
difitnah. Namun semua kita mesti jujur dan berani mengakui, bahwa setiap
peristiwa terorisme memvonis semua pihak: keluarga, sekolah atau pendidikan,
agama dan pemerintah. Berbagai kecurigaan atau vonis ini mesti ditelusuri lebih
dalam.
Sudah
pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan
kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain.
Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah busuk dari dogmatisme sempit
dan dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah kelainan
dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti
cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama
Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini
berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan, adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita, bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“. Dalam dunia medis, fanatisme itu sepadan dengan „Jerusalem - syndrom“ yang merujuk pada para pengunjung kota Yerusalem: „orang-orang datang ke Yerusalem, menghirup udara segar dan bersih pegunungan, melompat ke mesjid, sinagoga, dan gereja lalu membakarnya untuk membunuh para pengikutnya sebagai cara menghalau kejahatan dari dunia“. Jadi, jika ada agama yang mengajarkan kebencian dan menanamkan nilai-nilai fanatisme berarti ada „“kelainan“ dalam agama – dan kelompok fanatik berusaha menerjemahkan setiap keberlainan sebagai konflik dan mereduksinya dalam sebuah „perang antar-agama“ atau „perang melawan kaum kafir“. Itu berarti, jauh sebelum kecurigaan-kecurigaan bahkan stigmatisasi atas kelompok agama tertentu dari sebuah peristiwa terorisme, pelaku teror sendiri – yang tentunya berafiliasi dalam kelompok tertentu – telah lebih dulu membangun kecurigaan dalam ideologi atas kelompok lain yang berbeda darinya dan mentransformasikannya sebagai sebuah misi mulia dan kudus. Pada titik ini kita boleh bertanya: apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan konseling prefentiv sebuah fanatisme tanpa harus menjadi fanatik?
Merujuk
pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang
fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat
menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang
intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal
- sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin
memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier,
„Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya
bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan
membunuh para pengikut Kristus. Bertrand Russell (1872 -1970), filsuf
berkebangsaan Inggris, pun memandang agama sebagai penyakit, sumber segala
penderitaan atau kebobrokan bagi ras manusia. Bagi Russell pertanyaan tentang
kebenaran sebuah agama berbeda dari pertanyaan tentang kebermanfaatannya. Dan
ia begitu yakin, bahwa agama bisa menciptakan kehancuran-kehancuran (Reinbek, Warum ich kein Christ bin [Mengapa saya
bukan seorang Kristen], 1981, 13-14).
Berhadapan
dengan penyakit fanatisme yang ditularkan melalui manipulasi sistematis atas
kehendak baik dan bebas, kita dituntut berpikir kritis untuk mengevaluasi
setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala. Situasi di mana orang
menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan kemiskinan),
doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada anak-anak
ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase „mendikte“. Ini
merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis pendidikan dan
sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak dini menanamkan
nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan Kultur dialog semestinya
ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat dewasa, tetapi
juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah lintas
agama.
Dengan
demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan keyakinan eksklusivisme dan
dalam diri mereka telah ditanam kesadaran untuk menerima dan menghargai
keberbedaan. Ini merupakan langkah prefentiv untuk mencegah merambatnya
fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai langkah kuratif, setiap lembaga agama
ditantang untuk mengevaluasi kembali visi dan misi atau nilai-nilai kebenaran
agama. Agama - dengan kemajemukan
wajahnya - ada untuk kasih dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan
permusuhan. Ini merupakan visi mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks
prestasi sebuah misi agama tidak diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki
suatu agama atau aliran kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan
dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan
hukum cinta kasih. Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah
sekadar sebuah keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan
keselamatan yang dialami kini dan sini, hic
et nunc. Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk
segera mengalami kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam
menghidupi agama: lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri
sebagai iklan pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan
mustahil, pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun
tertutup.
Perjumpaan
langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala
„keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan
fanatisme. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat
tenaga dan dengan segala cara menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam
lingkaran kita, akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Itu
berarti, setiap kita mesti memiliki keberanian untuk bangkit berdiri dari kursi
sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan,
bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana
yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna
atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog.***
Bild 1: http://www.definition-bewusstsein.de/index.php