PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

05 June 2018

MENYEMBUHKAN FANATISME


MENYEMBUHKAN FANATISME

Vianey Soda Lein
Mahasiswa Pascasarjana pada Philosophisch- Theologische Hochschule SVD St. Augustin, Jerman

Terorisme dengan modus bom bunuh diri adalah sebuah persoalan kompleks dan diskursus tentangnya tidak lagi berhenti pada tataran politik (militer) maupun agama. Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu juga telah merambah masuk ke dalam ruang diskusi dengan mencoba membedah epidemi terorisme dengan pisau klinisnya, dengan berusaha menempatkan pelaku entah sebagai personal maupun sebagai entitas sosial dalam sebuah proses „menjadi“. Lantas tesis umum yang menjadi postulat dari telaah psikologis adalah: bom bunuh diri merupakan fenomena gangguan jiwa yang dikembang-biakan dalam tubuh fanatisme. Namun tampaknya tinjauan psikologis tentang persoalan fanatisme kurang terdengar echo-nya dalam percaturan gagasan dan penentuan tindakan.

Amos Oz (1939), seorang penulis Israel dan yang juga dikenal sebagai ahli fanatisme komparativ (comprative fanaticism) pernah mengungkapkan, bahwa krisis-krisis dewasa ini seperti di Timur Dekat, Israel dan Palestina bukanlah merupakan persoalan nilai-nilai keislaman atau mentalitas dalam islam. Krisis itu adalah perseteruan klasik antara fanatisme dan pragmatisme. Fanatisme jauh lebih tua dari Islam atau Kekristenan, lebih tua dari sebuah negara atau sistem pemerintahan dan politik, sebuah ideologi, sebuah iman (Oz: 2002). Berbagai aksi teror yang terjadi di tanah air tidak hanya mengguncang perasaan duka dan sedih yang mendalam atas para korban dan keluarga tetapi juga membuat kita marah, mengutuk keras aksi biadab teroris; dan bukan mustahil kita lalu saling mencurigai. Mereka yang merasa dipojokkan merasa difitnah. Namun semua kita mesti jujur dan berani mengakui, bahwa setiap peristiwa terorisme memvonis semua pihak: keluarga, sekolah atau pendidikan, agama dan pemerintah. Berbagai kecurigaan atau vonis ini mesti ditelusuri lebih dalam.

Sudah pasti bahwa semua kita mengamini dan membela kebenaran ini, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap kelompok agama atau aliran kepercayaan lain. Karena itu, fanatisme agama yang merupakan buah busuk dari dogmatisme sempit dan dangkal adalah deformasi agama yang paling sesat dan fatal, sebuah kelainan dalam iman yang semestinya menjunjung tinggih nilai-nilai kebajikan seperti cinta kasih, kedamaian dan penguasaan diri. Tentang hal ini, pendiri agama Bahaitum (sebuah agama monoteis abhrahamik yang bermula di Iran dan kini berkembang di India, Afrika, Amerika Utara dan Selatan), Abdu’l-Baha (Bahāʾullāh: Kemuliaan Allah), pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya di Prancis: „Jika agama menggiring kepada antipati, kebencian dan perpecahan, adalah lebih baik jika agama itu tidak ada; dan sikap untuk berpaling darinya adalah sebuah langkah iman yang sungguh benar. Sebab sudah jelas bagi kita, bahwa tujuan dari pengobatan adalah penyembuhan. Namun, jika pengobatan itu semakin memperparah keadaan, jauh lebih baik segera kita tinggalkan“. Dalam dunia medis, fanatisme itu sepadan dengan „Jerusalem - syndrom“ yang merujuk pada para pengunjung kota Yerusalem: „orang-orang datang ke Yerusalem, menghirup udara segar dan bersih pegunungan, melompat ke mesjid, sinagoga, dan gereja lalu membakarnya untuk membunuh para pengikutnya sebagai cara menghalau kejahatan dari dunia“. Jadi, jika ada agama yang mengajarkan kebencian dan menanamkan nilai-nilai fanatisme berarti ada „“kelainan“ dalam agama – dan kelompok fanatik berusaha menerjemahkan setiap keberlainan sebagai konflik dan mereduksinya dalam sebuah „perang antar-agama“ atau „perang melawan kaum kafir“. Itu berarti, jauh sebelum kecurigaan-kecurigaan bahkan stigmatisasi atas kelompok agama tertentu dari sebuah peristiwa terorisme, pelaku teror sendiri – yang tentunya berafiliasi dalam kelompok tertentu – telah lebih dulu membangun kecurigaan dalam ideologi atas kelompok lain yang berbeda darinya dan mentransformasikannya sebagai sebuah misi mulia dan kudus. Pada titik ini kita boleh bertanya: apakah agama sungguh bisa menjadi terapi kuratif dan konseling prefentiv sebuah fanatisme tanpa harus menjadi fanatik?

Merujuk pada kisah Paulus Rasul dalam kekristenan yang bertobat dari seorang fundamentalis, Pichlmeier menguraikan pledoinya, bahwa agama tidak dapat menyembuhkan seorang yang fanatik. Dari kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. (Andrea Pichlmeier, „Gott und der Fanatiker“: 2018). Sebelum pertobatannya, Paulus – sebelumya bernama Saulus – setelah mendapat perintah dari imam kepala, mengejar dan membunuh para pengikut Kristus. Bertrand Russell (1872 -1970), filsuf berkebangsaan Inggris, pun memandang agama sebagai penyakit, sumber segala penderitaan atau kebobrokan bagi ras manusia. Bagi Russell pertanyaan tentang kebenaran sebuah agama berbeda dari pertanyaan tentang kebermanfaatannya. Dan ia begitu yakin, bahwa agama bisa menciptakan kehancuran-kehancuran (Reinbek, Warum ich kein Christ bin [Mengapa saya bukan seorang Kristen], 1981, 13-14).

Berhadapan dengan penyakit fanatisme yang ditularkan melalui manipulasi sistematis atas kehendak baik dan bebas, kita dituntut berpikir kritis untuk mengevaluasi setiap doktrin yang disebarkan ke dalam isi kepala. Situasi di mana orang menemukan jalan buntu (seperti dalam lilitan persoalan kemiskinan), doktrin-doktrin fanatisme secara gampang ditularkan; dan kepada anak-anak ideologi itu akan berkembang cepat karena mereka berada dalam fase „mendikte“. Ini merupakan tantangan dan tugas bagi keluarga sebagai basis pendidikan dan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal agar sejak dini menanamkan nilai-nilai toleransi dan menerima keberbedaan Kultur dialog semestinya ditumbuh-kembangkan tidak hanya di kalangan tokoh agama dan umat dewasa, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan dasar, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah lintas agama.

Dengan demikian mereka tidak terkurung dalam pemikiran dan keyakinan eksklusivisme dan dalam diri mereka telah ditanam kesadaran untuk menerima dan menghargai keberbedaan. Ini merupakan langkah prefentiv untuk mencegah merambatnya fanatisme secara liar dan bebas. Sebagai langkah kuratif, setiap lembaga agama ditantang untuk mengevaluasi kembali visi dan misi atau nilai-nilai kebenaran agama. Agama -  dengan kemajemukan wajahnya - ada untuk kasih dan persatuan, bukan untuk pertengkaran dan permusuhan. Ini merupakan visi mulia dari agama-agama. Selain itu, indeks prestasi sebuah misi agama tidak diukur seberapa banyak penganut yang dimiliki suatu agama atau aliran kepercayaan, melainkan misi kemanusiaan yang diusahakan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanitas seperti martabat manusia dan hukum cinta kasih. Misi keselamatan yang ditawarkan agama-agama bukanlah sekadar sebuah keselamatan eskatologis semata yang jauh di depan, melainkan keselamatan yang dialami kini dan sini, hic et nunc. Ideologi „mengakhiri kehidupan dalam sebuah aksi teror untuk segera mengalami kenikmatan yang ditawarkan“ adalah contoh kesesatan dalam menghidupi agama: lebih berkutat dengan hal-hal „surgawi“ dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Orientasi kuantitatif akan menjadikan agama sendiri sebagai iklan pasar dan melihat yang lain sebagai lawan saing, bahkan musuh. Bukan mustahil, pintu untuk sebuah perjumpaan atau dialog dengan yang lain pun tertutup.



Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka dapat menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita, akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Itu berarti, setiap kita mesti memiliki keberanian untuk bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog.***



Bild 1: http://www.definition-bewusstsein.de/index.php        


No comments:

Post a Comment