SASTRA DAN TEOLOGI
Sastra sebagai suatu hasil kreativitas masyarakat (kebudayaan) tentu tidak dapat dilepas-pisahkan dari konteks hidup suatu masyarakat dimana seorang sastrawan hidup. Jalinan kisah hidup manusia dalam korelasinya dengan kosmos, sesama, diri sendiri dan Yang Ilahi, Pengasal segala sesuatu, entah pada masa lampau, dalam kekinian maupun dalam debar harapan masa depan merupakan satu kesatuan yang membingkai karya penciptaan seorang penyair, novelis, maupun cerpenis. Dengan demikian, apresiasi atas sebuah karya sastra, baik novel, puisi, maupun cerpen tidak boleh mengabaikan unsur ekstrinsik sastra ini di samping menganalisis unsur ekstrinsiknya yang dibahasakan dalam setting/latar (lokus, tempus, dan mood/suasana), plot/alur cerita, tema, penokohan dan berbagai metafor yang digunakan.
Sastra dan Teologi
Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata sastra sepadan dengan kata bahasa (kata-kata, gaya bahasa). Bentukan kata kesusastraan berarti karya tulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dan ragam sastra yang umum dikenal adalah prosa (novel, roman, cerpen) dan puisi. Koendjono melihat kesustraan dalam arti yang lebih mendalam sebagai usaha manusia untuk memahami, menganalisa dan memberi arti kepada kehidupan dengan aneka persoalannya. Kesusastraan adalah usaha manusia untuk menyingkapkan misteri dari eksistensi manusia. Baginya, seorang sastrawan bukanlah orang yang pandai memainkan kata, melainkan orang yang merenung, orang yang lebih sadar akan misteri dunia dan mampu mengatakannya dengan tepat (Horison, September 1971). Dengan demikian, objek kajian sastra adalah horison keserbamungkinan yang maha luas. Dunia ciptaan Tuhan, segala pengalaman perjumpaan manusia entah dengan alam dunia, sesama, maupun dengan Tuhan dapat menjadi inspirasi untuk melahirkan karya-karya sastra.
Sementara itu teologi (theos:Allah; dan logos: sabda, ilmu)merupakan suatu disiplin ilmu yang merefleksikan iman dan wahyu dalam konteks kehidupan manusia yang menyejarah; atau dengan kata lain, ilmu yang berbicara tentang Allah dan hubungannya dengan manusia ciptaan-Nya. Jika dalam dunia sastra, objek kajiannya adalah semua keserbamungkinan pengalaman termasuk pengalaman perjumpaan dengan Sang Pencipta, maka dalam teologi kiblat refleksi manusia diarahkan kepada sumber segala kemungkinan itu sebagai Ada Mahasempurna. Dalam teologi, manusia berusaha memahami revelasi atau pernyataan diri Ada Mahasempurna dalam wahyu-Nya, dalam logos-Nya, dalam sabda-Nya. Dalam arti yang lebih mendalam, ketika seseorang berteologi, ia merefleksikan imannya dalam seluruh situasi konkritnya, dalam seluruh sejarah hidup.
Dari definisi sastra dan (ber)teologi, kita melihat paling kurang ada 3 (tiga) hal yang bisa menjadi benang merah antara keduanya. Pertama, peran kata, bahasa, logos/sabda sebagai kekuatan yang menjiwai karya sastra dan sebuah permenungan teologis atau berteologi. Sabda, kata atau bahasa merupakan jiwa dari sastra dan dasar refleksi manusia tentang Yang Absolut. Apa yang menjadi sumber inspirasi seorang pengarang atau penulis direnungkan lalu diekspresikan dalam rangkaian kata berbobot sastra. Kata atau bahasa mengekspresikan apa yang terkandung dalam rahim permenungan seorang penulis. Kata/bahasa melukiskan impresio jiwa seseorang entah dalam dalam bentuk karya fiksi maupun non fiksi. Revelasi diri Allah terjadi dalam seluruh pengalaman hidup manusia. Lewat pengalaman-pengalaman itu Allah mewahyukan diri-Nya. Hal ini mengandaikan sebuah disposisi batin seseorang yang siap terbuka menerima wahyu Allah; dan dengan bebas menjawab panggilan-Nya: percaya atau tidak. Kedua, sastra dan teologi langsung menyentuh jiwa atau nurani kesadaran seseorang. Mendiang Y.B. Mangunwijawa pernah menulis: “pada awal mula, segala sastra adalah religius”. Religius/religio (Latin: re-lego: mengikat/menambatkan kembali, memeriksa kembali, menimbang,merenungkan keberatan batin,) lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati manusia, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (rasio dan rasa manusiawi)kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, agama berbeda dengan religiositas karena seorang beragama bisa jadi tidak religious karena mungin ia menganut agama termotivasi oleh jaminan material tertentu; dan ada orang yang tidak beragama tetapi cita rasa, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakikatnya religius (Mangunwijaya: 1988). Sastra dan permenungan teologis melibatkan seluruh diri manusia secara penuh, hati dan budi, perasaan dan pengetahuan. Ketiga, sastra dan teologi menuntut perubahan sikap dan tingkah laku, pembentukan hati nurani serta memperdalam penghayatan iman seseorang. Karya-karya sastra yang dihasilkan merupakan suatu bentuk kritik sosial dari seorang penulis, termasuk praktik hidup beragama. Dan berteologi itu sendiri juga menuntut suatu pembaruan diri dan peningkatan penghayatan iman seseorang.
Agar lebih jelas, kita lihat beberapa karya sastra yang lahir dari permenungan penulis tentang Tuhannnya yang dia imani. Chairil Anwar dalam puisi Doa-nya melukiskan kekuatan relasinya dengan Tuhan. Dalam ketidakpastian hidup dan penderitaan, sang penyair tidak kehilangan harapan melainkan tetap ingat pada Tuhannya. Dalam keberdosaan, ketakberdayaannya, dan kerapuhan manusiawiannya ia masih memiliki kerinduan untuk kembali kepada Tuhan. Tuhanku/Dalam termangu/ aku masih menyebut namaMu/Walau susah sungguh/Mengingat kau penuh seluruh/Tuhanku/Aku hilang bentuk/Remuk/Tuhanku/Di pintuMu aku mengetuk/Aku tidak bisa berpaling. (Deru Campur Deru: 1949). Atau sastrawan NTT, John Dami Mukese dalam puisi-puisinya yang bernafaskan ke-Tuhanan mengungkapkan pengalaman yang mendalam dengan realitas Ilahi itu. Kurasa kita begitu jauh, Tuhan/ Seperti aku dengan suaraku/begitu rapat, namun mustahil/Aku menampung-Mu dalam kupingku. Kurasa kita begitu jauh/Seperti aku dengan angan-anganku/Walau teramat lengket/Aku tak mungkin menjaring-Mu (Begitu Jauhkah Kita? dalam Puisi-puisi Jelata: 1991). F. Rahardi dalam novelnya Lembata melancarkan sebuah gugatan yang keras atas kebekuan dan ketulian Gereja (khususnya kaum imam) serentak mengajak para imam untuk bercermin pada tokoh Romo Pedro yang berpihak pada kaum miskin dan terpinggirkan di Lembata (Lembata Sebuah Novel: 2008).
Sastra sesungguhnya menyimpan khazanah yang luar biasa tentang relasi manusia dengan Yang ilahi. Atau menurut Paul Budi Kleden, sastra menjadi sebuah bejana yang menyimpan kekayaan pengalaman dan pemahaman iman, serentak menjadi medan pembelajaran yang mendalam bagi teologi (Jurnal Ledalero. Vol. 6, No.1, Juni 2007).
Sastra yang Terlibat
Penciptaan karya sastra lahir dari sebuah permenungan yang mendalam tentang dunia dan kompleksitas persoalannya. Dunia dan segala persoalannya merupakan medan mahaluas bagi seorang sastrawan dalam berkreasi, merangkai kisah atau persoalan itu dalam kekuatan kata yang berbobot sastra dan bukannya sekadar ekspresi estetis-bombastis. Itu berarti, penciptaan sebuah karya sastra bukan tidak mungkin merambah sedikit lebih jauh ke dunia sekitar, memungut setiap persoalan dan derita kaum yang terpinggirkan lalu dikemas dalam “sastra” untuk dibahasakan tapi bukan demi kepentingan komersialisasi melainkan agar mereka diperhatikan dan di-ber-daya-kan. Meskipun penciptaan karya sastra lahir dari kebebasan hati seorang pengarang, namun perlu juga dibangun suatu sikap empati dan compassion dengan sesama yang menderita, peka terhadap realitas persoalan atau penderitaan yang tengah dialami, seperti bencana alam, berbagai kasus kriminal dan persoalan kemanusiaan (HAM) atau pun pemerintahan yang korup. Dalam persoalan-persoalan semacam inilah, sastra mesti juga melibatkan diri agar karya sastra yang tercipta tidak hanya memuaskan dahaga estetis dan imajinasi pengarang tetapi juga membantu para korban (meskipun tidak secara langsung) serentak menggugah nurani kesadaran para wakil rakyat agar tetap memperjuangkan nasib rakyatnya.
Sastra NTT mesti terlibat dalam berbagai persoalan yang ada di propinsi ini, termasuk pengalaman berteologi juga menjadi medan kajian sastra. Teruslah berkreasi dan mengapresiasi sastra.***