PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

19 April 2010

DESA MEMBANGUN ATAU MEMBANGUN DESA?

DESA MEMBANGUN ATAU MEMBANGUN DESA?
(Yang Tercecer dari Ruang Sidang DPRD Flores Timur tentang Pemandangan Partai)

Vianney Leyn*
Putera Flotim
Sedang belajar pada STFK Ledalero
Tinggal di Wisma St. Arnoldus – Nita Pleat

Fraksi Partai Demokrat dalam pemandangan umum fraksi pada sidang I DPRD Flores Timur sebagaimana yang dibacakan oleh Paulus Krowe, mengatakan bahwa pihak mereka mendukung pemekaran wilayah yakni desa dan kelurahan baru untuk peningkatan mutu dan penyebaran pembangunan. Fraksi Partai Demokrat menyatakan dukungan mereka atas konsep desa membangun dan bukan lagi membangun desa . Artinya, inisiatif untuk membangun desa atau kelurahan harus dimulai dari desa atau kelurahan (PK, Selasa, 02 Maret 2010). Penulis merasa tertarik dengan kedua frase itu: desa membangun dan membangun desa. Sentilan awal itu akhirnya mendorong penulis untuk melahirkan tulisan sederhana ini sekaligus mungkin menjadi sumbang pikiran penulis bagi pembangunan desa, khususnya bagi desa-desa di Kabupaten Flores Timur .
Dukungan Fraksi Partai Demokrat atas konsep desa membangun dan bukannya konsep membangun desa (siapa yang melahirkan konsep itu?) bertolak dari pemahaman dan pemaknaan akan subjek penginisiatif yang tersirat dalam kedua frase itu. Frase “desa membangun” mengandung makna bahwa proyek untuk membangun desa merupakan inisiatif desa, dalam hal ini seluruh warga desa. Sementara itu, dalam konsep “membangun desa” tidak ada rujukan subjek yang jelas: siapa yang membangun desa atau atas inisiatif siapa (………[?] membangun desa.) Namun secara tersirat, penulis berasumsi bahwa pihak partai cendrung melihat subjek/penginisiatif itu merujuk kepada pihak lain (bukan masyarakat desa sendiri, mungkin pemerintah?)
Terlepas dari aksentuasi inisiatif yang diberikan dalam konsep di atas, hemat penulis kedua konsep itu harus memiliki muatan yang sama, yakni keterlibatan warga serta mengusung tujuan yang satu dan sama yakni membangun desa (memperjuangkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan untuk kepentingan kelompok). Di sini penulis tidak bermaksud mengajukan gagasan eksepsi atas konsep desa membangun sebagaimana yang didukung oleh partai; ataupun mengedepankan antitesis terhadapnya. Tentu kedua konsep itu sesungguhnya merupakan strategi atau cara pendekatan dalam sebuah proyek pembangunan desa dengan aksentuasi yang berbeda pula.
Pembangunan merupakan sebuah ikhtiar perubahan menuju suatu kehidupan yang lebih baik, yakni bonum commune yang menjadi cita-cita dan konsensus bersama dengan mendayagunakan potensi alam, manusia dan sosial budaya (Beratha. 1982, p.65). Sementara itu, T.R Batten dalam bukunya Communities and Their Development mendefinisikan pembangunan desa sebagai suatu proses di mana orang atau masyarakat desa mulai mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan sendiri.
Dari definisi di atas, terlihat bahwa yang menjadi dasar bagi sebuah proyek pembangunan desa adalah ruang diskursus yang melibatkan masyarakat desa dan pihak pemerintah. Dalam ruang diskursus itulah masing-masing pihak memberikan gagasannya atas setiap perencanaan pembangunan (bisa mendukung, bisa menolak) sambil tetap bertolak dari realitas konkrit kehidupan di desa. Diharapkan agar pertentangan berbagai ide yang muncul harus bermuara pada sebuah konsensus bersama yang mengalir dari ruang diskursus (dan bukannya keputusan yang di- lobi). Setiap perencanaan pembangunan harus ditempuh lewat ruang diskusi dan bukannya pengambilan keputusan sepihak yang terkesan koersif. Sebuah perencanaan pembangunan yang tidak mengindahkan pendapat rakyat kecil, apalagi sebuah proyek raksasa seperti pertambangan merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat manusia. Pada titik ini kita patut mencurigai: mungkin ada kepentingan kelompok di balik pengambilan keputusan semacam itu? Perencanaan pembangunan yang dirancang dalam sebuah ruang diskusi amat menentukan pelaksanaan selanjutnya.
Sebuah ruang diskursus publik adalah sebuah ruang kebebasan yang memungkinkan setiap orang untuk berpendapat secara bebas dan bertanggung jawab. Setiap peserta atau anggota dituntut untuk menghargai pendapat orang lain tanpa diskriminatif, sambil tetap bersikap kritis. Setiap peserta harus mengakui akan adanya keberbedaan ide dan bukan melihatnya sebagai faktor yang memecah-belah persatuan. Membatasi kebebasan orang untuk berpendapat dalam sebuah ruang diskursus publik tentu mencederai demokrasi bangsa.
Konsep desa membangun ataupun membangun desa tidak bisa bergeser dari landasan dasar ruang diskursus sehingga jalannya sebuah proses pembangunan desa tidak semakin jauh (bahkan putar haluan) dari kiblat bonum commune. Konsep desa membangun yang dinilai sebagai penginisiatif masyarakat tentu harus didiskusikan bersama, begitu pula dengan konsep membangun desa tidak harus menjadi sebuah proyek misterius yang dilaksanakan secara tiba-tiba tanpa ada sebuah konsensus perencanaan bersama. Sebuah proses pembangunan, entah inisiatifnya berasal dari siapa harus tetap melibatkan seluruh masyarakat mulai dari perencanaan awal hingga pada pelaksanaan karena memang kesejahteraan seluruh masyarakat adalah kiblat setiap pembangunan.
Gedung DPRD adalah sebuah ruang diskusi rakyat. Oleh karena itu diharapkan agar semua anggota DPRD tidak hanya berbicara atas nama rakyat tetapi juga berbicara demi kepentingan rakyat, bukan demi kepentingan pribadi, kolektif atau partai. Kehadiran dan keterlibatan aktif semua anggota DPRD dalam setiap sidang (diskursus) adalah bentuk perjuagan anda bagi aspirasi rakyat.
Di akhir tulisan ini saya mengutip sajak W.S Rendra, penyair yang telah berpulang:
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng - iya – an
…..
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
(Aku Tulis Pamlet ini dalam kumpulan sajak POTRET PEMBANGUNAN DALAM PUISI)

*Tulisan ini pernah dimuat dalam Koran Lokal Flores Pos, 13 April 2010.






FILSAFAT LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT LAMAHOLOT


FILSAFAT LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT LAMAHOLOT
(DESA BADU DAN MOKANTARAK)
(Vianney Leyn & Sipri DAton)

I. PROLOG
Sejak zaman para filsuf Miletos seperti Thales dan kawan-kawan, alam telah menjadi salah satu pokok perhatian mereka dalam refleksi filosofis mereka tentang unsur dasar dari segala sesuatu yang ada dan hidup di dunia ini. Dalam perkembangan lebih lanjut, Levinas justru mengantar kita untuk menyadari bahwa manusia dan alam dunia bersama segala isinya merupakan satu kesatuan yang membentuk elemen. Kesatuan ini tidak dapat dilepaspisahkan satu dengan yang lain.
Sehubungan dengan hal ini, kita dapat melihat bahwa hingga saat ini juga masyarakat pada umumnya memiliki pandangan tersendiri tentang hubungannya dengan alam yang menjadi tempat tinggalnya. Masyarakat di setiap daerah tentu memiliki pandangan yang berbeda-beda akan hal tersebut. Demikian juga masyarakat adat Badu dan Mokantarak juga memiliki filsafatnya sendiri berkaitan dengan alam.
Bagi masyarakat kedua daerah ini alam merupakan simbol kekuatan yang mewakili Wujud Tertinggi yaitu Lera Wulan Tana Ekan. Masyarakat kedua daerah ini yakin serta percaya sepenuhnya bahwa keselarasan hubungan antara Wujud Tertinggi dengan manusia sangat tergantung bagaimana manusia yaitu masyarakat menjaga alam sekitarnya. Menjaga keharmonisan hubungan berarti menjaga juga hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Begitu pula sebaliknya, merusak alam berarti merusak hubungan keduanya.

II. KONSEP TENTANG ALAM DALAM MASYARAKAT ADAT LAMAHOLOT (DESA BADU DAN MOKANTARAK)
Hidup manusia sama sekali tidak bisa dilepas-pisahkan dari alam dunia di mana ia berpijak dan tinggal. Ini merupakan sebuah kemestian yang tak terbantahkan. Kebenaran ini tentu menciptakan sebuah relasi timbal balik antara alam dunia dan manusia. Artinya, bila manusia sungguh merawat alam dengan penuh tanggung jawab maka alamnya juga akan memberikan perlindungan kepadanya; dan sebaliknya bila manusia senantiasa mengeksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab maka suatu ketika manusia akan ditimpa bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Relasi serupa juga ada dalam masyarakat adat Lamaholot khususnya Desa Badu dan Mokantarak . Masyarakat Badu dan Mokantarak juga memiliki persepsi tertentu tentang alam (filsafat tentang lingkungan hidup atau alam) yang pada akhirnya juga mempengaruhi sikap dan tindakan mereka terhadap alam atau lingkungan sekitar. Hal ini terlihat dalam beberapa ungkapan adat berikut:

a. Ema sin tobi lolon
Bapa dadi manuk inang
Tobi lolon pito getan
Manuk inang lema gait
Arti harafiah:
Ibu adalah asal dari daun asam, bapa sumber ayam betina, daun asam berjumlah tujuh, ayam berjumlah lima.
Penjelasan arti:
Pohon asam dikenal sebagai pohon yang senantiasa hijau dan selalu rimbun daunnya meskipun di musim kemarau. Ini merupakan simbol segala tanaman atau tumbuhan. Ayam merupakan korban ternak yang bernilai tinggi dalam setiap upacara adat Lamaholot. Ayam merupakan simbol dari segala binatang. Angka tujuh merupakan lambing kepenuhan dan kegenapan, begitu juga dengan angka lima. Hal ini mau menunjukkan bahwa Allah yang disapa Bapa sekaligus Ibu itu telah menjadikan dunia ini sempurna, dalam arti baik adanya. Dengan demikian, makna dari ungkapan adat di atas adalah:
Ibu yang merawat tanaman, Bapa yang memelihara hewan, Menggenapi segala jenis tetumbuhan, Mencukupi segala jenis hewan.

b. Ema peen madun tobi
Bapa peen moren bao
Ema wato lolon mera
Bapa bao puken gowe
Ungkapan adat ini juga masih merupakan satu kesatuan dengan ungkapan adat sebelumnya. Arti dari ungkapan adat ini adalah:
Ibulah sandaran sekokoh asam, Bapalah naungan sesejuk rindangan beringin, Ibulah tempat duduk yang rata, Bapalah penaung sejuk di bawah beringin.
Pohon asam tidak hanya memiliki dedaunan yang senantiasa rimbun tetapi juga memiliki akar dan batang yang kuat, keras, dan kokoh. Inilah lukisan Allah sebagai Ibu, tempat anak-anak-Nya bersandar. Sandaran-Nya sekokoh pohon asam. Sementara itu lukisan Allah sebagai Bapa ditemukan dan simbolisme pohon beringin, tempat bernaung dan berlindung bagi anak-anak.


c. Tobi tou petin reting
Bao tou page wangeng
Reting pito aeng teti
Wangen lema geng lali
Pito teti toran timu
Lema lali semada warat

Artinya:
Tumpuan (sepohon asam) yang terus membuka cabang - Naungan (sebatang beringin) yang selalu menambah ranting - Cabang mengarah ke segenap penjuru - Ranting merata ke segala arah - Segenap (cabang) menyembah ke timur - Semua (ranting) bersujud ke barat

Ini merupakan sebuah gambaran bahwa alam atau lingkungan adalah pelindung manusia dan juga segala binatang yang ada di bumi. Segala jenis tumbuhan telah menyebar ke segala penjuru dan ke segala arah, mulai dari terbitnya matahari di Timur hingga terbenamnya di sebelah Barat, untuk melindungi manusia, makhluk yang bermartabat luhur itu.

Masyarakat adat Desa Badu dan Mokantarak hidup dalam suatu lingkungan alam yang memungkinkan mereka hidup dan berpikir secara sosial, total, konkret, intuitif, iduktif, emosional (melibatkan perasaan dalam memandang alam), mitis-magis (memandang alam sebagai penjelmaan Wujud Tertinggi atau roh-roh halus), dan simbolis. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang menguasai manusia sehingga mereka lari dan berlindung pada alam karena manusia yakin bahwa di dalamnya hiduplah para nitu (roh penjaga alam) dan Lera Wulan Tana Ekan.
Masyarakat adat Badu dan Mokantarak memandang alam sebagai sesuatu yang sakral. Misalnya, puncak gunung yang tinggi ataupun pohon-pohon besar diyakini memiliki roh dan sebagai tempat tinggal roh-roh para leluhur. Kekuatan yang menakutkan sekaligus yang menggentarkan ini akhirnya menggerakkan manusia untuk membawa kurban persembahan seraya memohon perlindungan darinya. Dengan demikian, muncul larangan untuk menebang pohon-pohon besar atau membakar hutan di sekitar lokasi tersebut. Bila larangan ini dilanggar maka manusia akan ditimpa malapateka atau menderita sakit dan bahkan meninggal. Hal ini dapat dimengerti karena manusia sudah memiliki keterikatan yang begitu kuat dengan alam di mana ia tinggal dan hidup.


III. EPILOG

Beberapa waktu terakhir kita bergulat dan bergelut dengan sebuah wacana tentang rencana pertambangan di Flores dan Lembata. Wacana ini menuai sebuah polemik yang berjalan alot antara kelompok yang pro tambang dan yang menentang rencana tambang. Pihak pemerintah dalam kerjasama dengan investor asing tampaknya begitu getol untuk melaksanakan proyek besar pertambangan di Flores dan Lembata dengan mengusung misi mensejahterahkan rakyat dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Sementara itu kelompok kontra (masyarakat, LSM dan Gereja) menilai proyek ini berkiblat hanya semata pada uang dan diperuntukan bagi kepentingan parsial sekelompok orang. Misi awal untuk mensejahterahkan rakyat hanyalah iming-iming untuk mempengaruhi rakyat kacil. Rakyat diperbodoh dan pada akhirnya menyerahkan tanah, tempat di mana mereka hidup, untuk dijadikan lokasi pertambangan. Pihak pemerintah sudah dibutakan oleh investor asing dengan uang sehingga tidak sanggup melihat jauh ke depan, apa yang akan terjadi dengan lingkungan alam bila proyek besar itu dilaksanakan. Ini merupakan argumentasi mengapa rencana tambang harus ditolak dengan tegas.
Berhadapan dengan realitas ini, filsafat lingkungan hidup dalam budaya masyarakat adat Desa Badu dan Mokantarak menjadi nilai-nilai budaya yang mesti dijunjung tinggi. Ungkapan-ungkapan adat tersebut seyogianya menjadi roh yang senantiasa menggerakan setiap orang untuk selalu menaruh cinta pada alam. Alam dan kebudayaan tidak boleh dipahami secara antagonistis. Alam harus ditata lewat kebudayaan, sesuai dengan martabat manusia dan kesejahteraannya. Kebudayaan tanpa alam akan tanpa ada kehidupan, dan alam tanpa kebudayaan hanya akan membawa kepada kehidupan barbar (Ceunfin, Filsafat Budaya Pendekatan Psikoanalistis-Aksiologis, 2004. P. 121).
Alam atau lingkungan adalah locus di mana kita hidup dan mengembangkan diri, dan alam atau tata semesta juga merupakan bagian dari komunitas hidup. Oleh karena itu, adalah dosa bila kita mengobjektivasi alam dengan merusaknya atau mengeksploitasinya secara tidak bertanggung jawab. Manusia harus membangun relasi parsipatif dengan alam, artinya manusia masuk dan berpartisipasi dalam keseluruhan tata semesta untuk merawat dan menjaganya. Bila manusia dan alam saling berintegrasi, berkorelasi dan bersama-sama membentuk satu keseluruhan yang harmonis, maka terciptalah cosmos; dan sebaliknya bila manusia melukainya, maka akan terjadi chaos.***



DI PINTU-MU AKU MENGETUK

DI PINTU-MU AKU MENGETUK
(Apresiasi Puisi DOA Chairil Anwar)
Vianney LEyn
Anggota Komunitas Sastra Sandal Jepit Nita Plea


Puisi-puisi Chairil Anwar lahir dari situasi hidup konkrit, entah situasi hidup sosial maupun reliogiositasnya. Dalam puisi Doa-nya terkandung makna religiositas yang begitu kental. Tuhanku Dalam termangu, aku masih menyebut namaMu, begitu larik pertama dari bait puisinya. Bagi Chairil, nama TUHAN begitu melekat-menyatu dengan jiwanya, nama TUHAN telah terpatri di relung hati yang mungkin telah lapuk dalam mengarungi ziarah hidup. Maka dalam termangu-nya pun ia masih menggemakan nama Tuhan. Lebih lanjut ia guratkan kedekatannya dengan Tuhan: walau susuh/sungguh/mengingat Kau penuh seluruh. Dalam setiap situasi batas Chairil tidak menghakimi bahkan mengutuk Tuhan. Penyakit radang paru-paru dan infeksi darah kotor yang sudah lama dideritanya serta kondisi badannya yang semakin lemah menimbulkan gangguan usus hingga pecah sama sekali tidak membuatnya mendepak Tuhan dari eksistensinya. Penderitaan dan penyakit yang dialaminya menghantar dia kepada sbuah confesio, menghantarnya kepada sebuah pengakuan bahwa ia adalah ciptaan yang rapuh dan lemah, Tuhanku, aku hilang bentuk/Remuk. Lebih jauh dan lebih dalam, larik-larik ini menggambarkan keberdosaannya sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, penyair mengakui ketakberdayaannya bahwa ia adalah insan berdosa, remuk, hilang bentuk. Namun sang penyair tidak hanya berhenti pada sebuah confesio dan penyesalan. Sang penyair berani mengetuk di pintu-Nya, biar remuk-hilang bentuk, sang penyair tak bisa berpaling. Inilah momen pertobatan sang penyair yang diabadikannya dalam larik akhir puisi: Tuhanku/Di pintuMu aku mengetuk/Aku tidak bisa berpaling. Larik akhir puisi Aku tak bisa berpaling merupakan sebuah akhir yang sempurna, merupakan larik yang merangkum seluruh hidup penyair sebagai manusia yang memiliki keterikatan yang begitu kuat dengan Sang Pemberi hidup. Larik akhir, Aku tak bisa berpaling sesungguhnya merupakan (semacam) sebuah litani yang dibahasakan secara lain karena dalam larik pertama puisinya sang penyair telah menunjukkannya: Walau susah/sungguh/Mengingat kau penuh seluruh. Sang penyair mengafirmasi sebuah relasi cinta yang begitu kuat dan kental dengan Tuhannya. Remuk dan hilang bentuk-nya membuatnya tidak lari dari Tuhan, karena ia memiliki iman bahwa Tuhan adalan asal dan tujuan hidupnya.
Lalu bagaimana dengan masa retret agung kita selama masa pra paskah ini? Sadarlah bahwa sebelum kita mengetuk di pintu-Nya, Tuhan telah lebih dahulu mengetuk pintu hati kita. Apakah kita mendengarnya????? V-Leyn

DOA
Walau susah
sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

BAPA KAMI
Bapa kami yang ada di surga
Sungguhkah surga itu ada?
Di manakah surga itu, begitu tanyaku

Dimuliakanlah nama-MU
Namun selalu aku menghojat-Nya
Datanglah kerajaan-MU
Namun terlebih dahulu aku telah menciptakan kerajaan-kerajaan lain,
dan aku sendiri yangmemerintah
Jadilah kehendak-MU di atas bumi seperti di dalam surga
Namun aku sering memaksakan kehendakku, bahkan menginginkan yang di surga seperti di bumi
Berilah kami rejeki pada hari ini
Karena aku sendiri tak pernah puas dengan apa yang kuminta dan apa yang kumiliki
Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni sesama
Namun dendam kesumat masih membeku dan maaf ku belum mencair
Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Karena aku bisa masuk sendiri ke dalamnya.

V- Leyn----Auditorium III
10 Maret 2010. 09.19