PRO DEO ET PATRIA
Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep
Laka Hurint
Antara actio dan contemplatio
Bagi banyak orang, identfikasi
pertama dan dominan yang muncul saat melihat atau mengenang Bapa Josep adalah
doa, ekaristi, Kitab Suci. Seluruh hidup Bapa Josep sama sekali tak pernah
lepas dari aktifitas rohani dan latihan spiritual. Itu benar. Ketika masih
kecil, kami selalu diajaknya untuk berdoa bersama (keluarga) sebelum menonton
siaran televisi. Doa pribadi, doa bersama, membaca kitab suci – apalagi misa
dan ibadah hari minggu – menjadi santapan rohani yang tak boleh dilalaikan.
Bahkan sebelum berangkat ke kantor beliau selalu menempatkan diri mengikuti
misa harian. Mungkin bagi segelintir orang cara hidup seperti itu „menggelikan“
dan bahkan memandang aneh apa yang ia buat. Saya sendiri pun pernah merasa lucu
menyaksikan kesetiaannya dalam berdoa: berdoa dan membaca Kitab Suci sebelum
bekerja, doa malam sebelum tidur. Namun, dalam perjalanan waktu, perasaan geli
itu berubah menjadi tamparan dan cambuk di hati dan pikiran: bukankah itu
menjadi kebajikan seorang pengikut Tuhan? Kerinduan akan Tuhan dan penyerahan
diri padaNya adalah sikap dasar orang beriman.
Tapi, hidup rohani yang ia lakukan
bukanlah hanya untuk dirinya semata. Beliau selalu mengajak kami keluarga dan
anak-anak untuk berdoa. Dan pada hari minggu, ketika tidak ada pastor yang
melayani di Stasi Lewokung, Bapa Besa siap menghubungi pastor-pastor yang ia
kenal agar bisa memimpim misa di Gereja. Tidak hanya sampai di situ. Beliau
masih sempat mendata umat yang lanjut usia dan sakit agar bisa menerima komuni
kudus dari pastor. Tidak heran jika ada yang menyebutnya „Diakon“ – karena memang
dia setia mendampingi imam dalam melayani umat. Bahkan sampai akhir hidupnya,
dia masih aktif sebagai anggota konferia (salah satu paguyuban awam yang
bertugas membantu pastor dalam tugas pelayanan liturgis di Keuskupan
Larantuka). Dan saat menutup mata untuk abadi, belia mengenakan pakaian
konferia yang pernah ia kenakan selama tugas pelayanan. Besa, terima kasih
untuk kesaksian hidup rohanimu yang luar biasa dan maaf jika mata hati kami
buta untuk semuanya itu!
Lantas, apakah Bapa Josep hanya
menghabisi hari-hari hidupnya hanya dengan doa dan latihan rohani? Saya sendiri
baru mengetahui jejak karya Beliau di tahun 2018 kemarin, saat liburan di
kampung halaman. Baru malam itu beliau mengisahkan petualangan hidupnya di
dunia kerja. Lama Beliau mengabdikan diri sebagai kepala keungan daerah, pernah
menjabat Kepala Desa Mokantarak, pengurus Dewan Gereja Stasi dan Paroki. Bahkan
setelah masa pensiun Beliau masih ingin mengabdikan hidupnya untuk Gereja
Keusukupan Larantuka dalam dunia pendidikan (Yayasan Persekolahan Umat Katolik
Flores Timur: YAPERSUKTIM). Namun bagi Besa, deretan jabatan atau titel yang
pernah melekat pada dirimu sama sekali tidak menjadikan diri kita „besar“. Saya
setuju dengan Beliau. Banyak pejabat pemerintahan hanya karena kedudukan/status
dan uang menjadi hancur; keluarga pun berantakan. Jabatan dan nilai rupiah yang
memelekan mata itu menjadikan nama dan harga diri mereka diinjak-injak. Bagi
Bapa Josep, jabatan dan kedudukan adalah atribut seorang pelayan.
Kerendahan Hati
Jabatan-jabatan yang ada sama sekali
tidak menjadikannya orang penting dan dihormati. Setelah jam kerja kantor dan
kembali ke rumah, Bapa Josep tetap menjadi orang kecil, menjadi seperti orang
pada umumnya. Semua orang tahu, ia pernah menjadi peternak babi selama hidupnya
– bahkan sampai saat saat sebelum sakit, beliau masih aktif memelihara babi.
Saat berangkat ke kantor, ia lebih memilih jalan kaki hingga di Oka-Lewoloba (6-7
km) baru dilanjutkan dengan menumpang bemo ((transportasi
umum). Pemandangan pagi seperti ini menjadikan saya dan teman-teman yang saat
itu masih SMP malu karena kami dimanjakan oleh transportasi umum.
Bapa Besa tahu menempatkan diri dalam
masyarakat atau kelompok di mana ia berada. Rutinitas kehidupan doa dan jabatan
publik tidak menjadikan dia sebagai sosok yang asing atau aneh di masyarakat. Pada
hari minggu setelah perayaan ekaristi Bapa Besa sering berekreasi bersama
dengan orang-orang di kampung seperti bermain catur atau kartu. Tidak suit
baginya untuk memberi senyum pada orang lain dan tertawa bersama yang lain.
Bapa Josep sama, yang duduk main kartu di atas tikar bersama orang-orang di
kampung, juga pernah duduk bersama para uskup, imam atau pejabat pemerintahan
lain yang bertugas dan menggembala di Keuskupan
Larantuka – Kabupaten Flores Timur.
Sikap kerendahan hati ini juga ia
tunjukkan dan ajarkan pada anak-anak. Mengalah untuk kebaikan anak-anak dan
keluarga adalah pilihan yang sering dia ambil. Semua itu karena ia mencintai
keenam anaknya. Mungkin kadang harus menyimpan sendiri semua gundah hati, lalu
ia tumpahkan dalam doa-doa yang senantiasa ia ucap. Meski persoalan datang
melanda, tatapan tegar dan senyum harapan bahagia tetap terlihat di wajahnya. „Akh,
Besa ini hadapi persoalan-persoalan dalam keluarga biasa saja e…“, begitu
pernah saya berujar. Saya sangat yakin, kekuatan doa dan kedekatan dengan Tuhan
menjadikan Bapa Besa seperti itu.
Adikku mengisahkan, kalau sebelum ia
menutup mata abadi, ia meminta anak sulungnya yang adalah pastor (Romo Bonnie
Hurint, Pr) untuk memberikan komunio. Romo Bonie yang saat itu berada di
sampingnya, mengiyakan permintaan sang ayah. Hosti dan anggur sebagai lambang
tubuh dan darah Tuhan disantapnya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. Itu
adalah momen perjamuan terakhir beliau, ekaristi yang ia rindukan setiap hari. Segala
sakitmu kau serahkan ke dalam tanganNya. „Akh, begitu damainya Besa engkau
meninggal. Saya juga ingin seperti itu ketika hari itu tiba“. Hidupmu telah
menjadi berkat bagi banyak orang, bagi Gereja dan Tanah Air – pro Deo et patria. Saya jadi teringat lirik lagu ini:
Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri
Hidup ini hanya sementara
Oh Tuhan, pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Suatu saat aku tak berdaya
Hidup ini sudah jadi berkat
Besa, malam ini engkau berada bersama
Tuhan pada perjamuan malam terakhirnya; sementara kami masih berjuang melewati
hari-hari duka kami dengan air mata. Tapi kami percaya, engkau yang selama
hidupmu tekun berdoa, tetap mendoakan kami darii Surga. Kami percaya, Dia yang
tergantung di kayu salib menanggung segala sakit dan penderitaan kita – Dia
yang terluka karena salah dan dosa kita akan menyembuhkan luka-luka kita dengan
bilur-bilur lukaNya. Karena luka-lukaNya kita disembuhkan.
Besa, selamat jalan!
Terima Kasih untuk kesaksian dan
teladan hidup. Terima Kasih telah mengingatkan kami untuk tetap mejaga
keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa, ketika semua kami
lebih sibuk dan menghabiskan waktu untuk mengumpulkan harta dan lupa memberi
waktu untuk Tuhan.
Pana teti Tua Alla lango, tonga hau tede kame ana moen!
Vianey Lein – Erfurt, Jerman, 01. April 2021
Bildnachweis: oleh Katja Fissel dari Pixabay