PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

01 April 2021

PRO DEO ET PATRIA (Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep Laka Hurint)

 PRO DEO ET PATRIA

Goresan untuk Almahrum Bpk. Josep Laka Hurint

„No, bagaimana engko lihat Besa (Bapa Besar)? Besa makin kurus toh?“, itu pertanyaan yang ia lontarkan ketika kami videocall beberapa minggu silam. „Besa memang kelihatan makin kurus, tapi wajah dan semangat masih seperti dulu, tidak ada yang berubah“, begitu jawab saya dan disambut gelak tawa kami berdua. Itu pembicaraan terakhir kami sebelum ia berjuang intensiv beberapa minggu terakhir di atas pembaringan melawan sakitnya. Malam tadi, pukul 22:00 waktu Jerman saya menerima telepon dari seorang adik. Dari balik balik telepon ia menyampaikan: „Tata (Kakak), Besa sudah jalan.“ Kami tak lagi bercerita lama; hanya sebentar, lalu pamit. Malam saya pun menjadi jalan panjang kenangan – mengingat momen-momen kenangan tentang dan bersama Bapa Besa Yosep Laka Hurint. Sebgaimana kata Pengkhotbah, hidup ini memang terbatas – untuk apapun di bawah langit ada waktunya – ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk mati - tetapi kenangan itu abadi. Dan kenangan-kenangan itu menjadi jendela bagii saya untuk memandang Bapa Besa dari jauh, kapan dan di mana pun – tak terbatas jarak dan ruang. Dan semua kita yakin, seorang tak akan mati jika masih ada orang mengenakan gambar kehidupan dalam hatinya.

Antara actio dan contemplatio

Bagi banyak orang, identfikasi pertama dan dominan yang muncul saat melihat atau mengenang Bapa Josep adalah doa, ekaristi, Kitab Suci. Seluruh hidup Bapa Josep sama sekali tak pernah lepas dari aktifitas rohani dan latihan spiritual. Itu benar. Ketika masih kecil, kami selalu diajaknya untuk berdoa bersama (keluarga) sebelum menonton siaran televisi. Doa pribadi, doa bersama, membaca kitab suci – apalagi misa dan ibadah hari minggu – menjadi santapan rohani yang tak boleh dilalaikan. Bahkan sebelum berangkat ke kantor beliau selalu menempatkan diri mengikuti misa harian. Mungkin bagi segelintir orang cara hidup seperti itu „menggelikan“ dan bahkan memandang aneh apa yang ia buat. Saya sendiri pun pernah merasa lucu menyaksikan kesetiaannya dalam berdoa: berdoa dan membaca Kitab Suci sebelum bekerja, doa malam sebelum tidur. Namun, dalam perjalanan waktu, perasaan geli itu berubah menjadi tamparan dan cambuk di hati dan pikiran: bukankah itu menjadi kebajikan seorang pengikut Tuhan? Kerinduan akan Tuhan dan penyerahan diri padaNya adalah sikap dasar orang beriman.

Tapi, hidup rohani yang ia lakukan bukanlah hanya untuk dirinya semata. Beliau selalu mengajak kami keluarga dan anak-anak untuk berdoa. Dan pada hari minggu, ketika tidak ada pastor yang melayani di Stasi Lewokung, Bapa Besa siap menghubungi pastor-pastor yang ia kenal agar bisa memimpim misa di Gereja. Tidak hanya sampai di situ. Beliau masih sempat mendata umat yang lanjut usia dan sakit agar bisa menerima komuni kudus dari pastor. Tidak heran jika ada yang menyebutnya „Diakon“ – karena memang dia setia mendampingi imam dalam melayani umat. Bahkan sampai akhir hidupnya, dia masih aktif sebagai anggota konferia (salah satu paguyuban awam yang bertugas membantu pastor dalam tugas pelayanan liturgis di Keuskupan Larantuka). Dan saat menutup mata untuk abadi, belia mengenakan pakaian konferia yang pernah ia kenakan selama tugas pelayanan. Besa, terima kasih untuk kesaksian hidup rohanimu yang luar biasa dan maaf jika mata hati kami buta untuk semuanya itu!

Lantas, apakah Bapa Josep hanya menghabisi hari-hari hidupnya hanya dengan doa dan latihan rohani? Saya sendiri baru mengetahui jejak karya Beliau di tahun 2018 kemarin, saat liburan di kampung halaman. Baru malam itu beliau mengisahkan petualangan hidupnya di dunia kerja. Lama Beliau mengabdikan diri sebagai kepala keungan daerah, pernah menjabat Kepala Desa Mokantarak, pengurus Dewan Gereja Stasi dan Paroki. Bahkan setelah masa pensiun Beliau masih ingin mengabdikan hidupnya untuk Gereja Keusukupan Larantuka dalam dunia pendidikan (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur: YAPERSUKTIM). Namun bagi Besa, deretan jabatan atau titel yang pernah melekat pada dirimu sama sekali tidak menjadikan diri kita „besar“. Saya setuju dengan Beliau. Banyak pejabat pemerintahan hanya karena kedudukan/status dan uang menjadi hancur; keluarga pun berantakan. Jabatan dan nilai rupiah yang memelekan mata itu menjadikan nama dan harga diri mereka diinjak-injak. Bagi Bapa Josep, jabatan dan kedudukan adalah atribut seorang pelayan.

Kerendahan Hati

Jabatan-jabatan yang ada sama sekali tidak menjadikannya orang penting dan dihormati. Setelah jam kerja kantor dan kembali ke rumah, Bapa Josep tetap menjadi orang kecil, menjadi seperti orang pada umumnya. Semua orang tahu, ia pernah menjadi peternak babi selama hidupnya – bahkan sampai saat saat sebelum sakit, beliau masih aktif memelihara babi. Saat berangkat ke kantor, ia lebih memilih jalan kaki hingga di Oka-Lewoloba (6-7 km) baru dilanjutkan dengan menumpang bemo ((transportasi umum). Pemandangan pagi seperti ini menjadikan saya dan teman-teman yang saat itu masih SMP malu karena kami dimanjakan oleh transportasi umum.

Bapa Besa tahu menempatkan diri dalam masyarakat atau kelompok di mana ia berada. Rutinitas kehidupan doa dan jabatan publik tidak menjadikan dia sebagai sosok yang asing atau aneh di masyarakat. Pada hari minggu setelah perayaan ekaristi Bapa Besa sering berekreasi bersama dengan orang-orang di kampung seperti bermain catur atau kartu. Tidak suit baginya untuk memberi senyum pada orang lain dan tertawa bersama yang lain. Bapa Josep sama, yang duduk main kartu di atas tikar bersama orang-orang di kampung, juga pernah duduk bersama para uskup, imam atau pejabat pemerintahan lain yang bertugas dan  menggembala di Keuskupan Larantuka – Kabupaten Flores Timur.

Sikap kerendahan hati ini juga ia tunjukkan dan ajarkan pada anak-anak. Mengalah untuk kebaikan anak-anak dan keluarga adalah pilihan yang sering dia ambil. Semua itu karena ia mencintai keenam anaknya. Mungkin kadang harus menyimpan sendiri semua gundah hati, lalu ia tumpahkan dalam doa-doa yang senantiasa ia ucap. Meski persoalan datang melanda, tatapan tegar dan senyum harapan bahagia tetap terlihat di wajahnya. „Akh, Besa ini hadapi persoalan-persoalan dalam keluarga biasa saja e…“, begitu pernah saya berujar. Saya sangat yakin, kekuatan doa dan kedekatan dengan Tuhan menjadikan Bapa Besa seperti itu.

Adikku mengisahkan, kalau sebelum ia menutup mata abadi, ia meminta anak sulungnya yang adalah pastor (Romo Bonnie Hurint, Pr) untuk memberikan komunio. Romo Bonie yang saat itu berada di sampingnya, mengiyakan permintaan sang ayah. Hosti dan anggur sebagai lambang tubuh dan darah Tuhan disantapnya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. Itu adalah momen perjamuan terakhir beliau, ekaristi yang ia rindukan setiap hari. Segala sakitmu kau serahkan ke dalam tanganNya. „Akh, begitu damainya Besa engkau meninggal. Saya juga ingin seperti itu ketika hari itu tiba“. Hidupmu telah menjadi berkat bagi banyak orang, bagi Gereja dan Tanah Air – pro Deo et patria.  Saya jadi teringat lirik lagu ini:

Hidup ini adalah kesempatan Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri
Hidup ini hanya sementara

Oh Tuhan, pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Suatu saat aku tak berdaya
Hidup ini sudah jadi berkat

Besa, malam ini engkau berada bersama Tuhan pada perjamuan malam terakhirnya; sementara kami masih berjuang melewati hari-hari duka kami dengan air mata. Tapi kami percaya, engkau yang selama hidupmu tekun berdoa, tetap mendoakan kami darii Surga. Kami percaya, Dia yang tergantung di kayu salib menanggung segala sakit dan penderitaan kita – Dia yang terluka karena salah dan dosa kita akan menyembuhkan luka-luka kita dengan bilur-bilur lukaNya. Karena luka-lukaNya kita disembuhkan.

Besa, selamat jalan!

Terima Kasih untuk kesaksian dan teladan hidup. Terima Kasih telah mengingatkan kami untuk tetap mejaga keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa, ketika semua kami lebih sibuk dan menghabiskan waktu untuk mengumpulkan harta dan lupa memberi waktu untuk Tuhan.

Pana teti Tua Alla lango, tonga hau tede kame ana moen!

Vianey Lein – Erfurt, Jerman, 01. April 2021

Bildnachweis: oleh Katja Fissel dari Pixabay