"Mandait" (bahasa batak) berarti: memungut, mengumpulkan. "Morit" (bahasa Lamaholot-Flores Timur) yang berarti: Hidup, Kehidupan. "Mandait Morit" merupakan sebuah narasi kehidupan yang dipungut-dikumpulkan di jalan waktu, yang tercecer di ruang-ruang kehidupan untuk dibagi, dikisahkan, baik dalam bentuk teks, audio maupun audio-visual, sebagaimana moto Mandait Morit: Berbagi KISAH, Berbagi KASIH. Gedankensplitter | Yang Tercecer | Mandait Morit
Labels
- ANTOLOGI PUISI 2010 (3)
- CATATAN LEPAS (40)
- Chord (1)
- Galeri LenSA (10)
- GEDICHTE (16)
- Goodnes of God (1)
- Güte von Gott (1)
- LAGU/LIEDER (6)
- Link Sastra (4)
- Lirik (1)
- OPINI (61)
- PRESSE (7)
- PUSTAKA LAMAHOLOT (9)
- RENUNGAN (19)
- Ruang Puisi (191)
- SERAMBI PARA PAKAR (11)
- WISSENSCHAFT (8)
PENULIS - AUTOR
- Gedankensplitter | Yang Tercecer | Mandait Morit
- Gera, Thüringen, Germany
- Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman
SUARA - KODA
KODAPana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.
16 November 2020
Die Schönheit - Tentang Keindahan
der sie betrachtet.
---
Keindahan itu hidup dalam jiwa mereka yang memandangnya
(David Hume)
ALT-WERDEN - Tentang Usia
KINDER UND LIEBE - Anak-anak dan Cinta
Wenn Kinder ohne Liebe aufwachsen,
darf man sich nicht wundern,
wenn sie selber lieblos werden.
---
Kasih itu dapat dipelajari. Dan tak seorang yang belajar lebih baik
daripada anak-anak.
Jika anak-anak bertumbuh tanpa kasih,
maka tak boleh heran,
jika mereka juga menjadi pribadi tanpa kasih.
(Astrid Lindgren)
Gera Hauptbahnhof - Stasiun Kereta - Gera
und irgendwann machen wir hier Halt
Auch unser Leben durchläuft
verschiedene Stationen
Dort lernen wir Orte und Menschen kennen
----
Perjalanan kita bermula dari sini
dan pada saat terrtentu akan terhenti pula di sini
Hidup melewati berbagai pemberhentian
di sana kita berkenalan dengan tempat dan manusia
Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan Pembacaan Cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“
Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan
Pembacaan Cerpen „Hujan
Pertama dari Kampung Kafir“
Oleh:Vianey Lein*
Membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ karya Silvester Petara Hurit (Jawa Pos, 25.10.2020) adalah seperti membaca profil singkat sejarah misi katolik di Nusa Bunga – Flores, seperti yang dicatat oleh Karel Steenbrink dalam karyanya „Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942“ (Steenbrink: 2006). Sejarah misi katolik ditorehkan ke dalam „kenang“ pengalaman Fransiskus (bdk. Pemimpin tertinggi agama katolik: Paus Fransiskus). Untuk mendapat pemahaman yang menyeluruh tentang cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ dan apa yang hendak disuarakan penulis, orang perlu meninjau kembali secara ringkas aspek-aspek sejarah misi di Pulau Flores. Bagi yang pernah belajar atau mendengar tentang sejarah misi di Flores kesan dominan yang mungkin muncul saat membaca prosa naratif yang disuguhkan Silvester adalah, bahwa cerita ini bukan fiktif belaka. Terlepas dari kebenaran asumsi adanya „perkawinan“ fakta historis - daya imajiner penulis, cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ sesungguhnya menyuarakan beberapa kritik – tidak hanya tentang yang lampau, tetapi juga untuk masa kini dan masa akanan. Kekhasan dari cerpen ini adalah merekonstruksi narasi sejarah perjumpaan (konflik) antara misi katolik dan budaya lokal (agama natur). Ia semacam sebuah teks ratapan atas jejak-jejak tertinggal, sebuah gugat-protes atas silam yang kelam. Dalam pengertian ini, karya sastra yang dilahirkan Silvester dengan menguraikan serpihan-serpihan masa lalu itu mendapat forma dan substansi baru. Ini juga merupakan usaha penulis untuk menegaskan, bahwa budaya adalah DNA suatu komunitas masyarakat atau bangsa – dan penulis sendiri adalah juga tokoh yang giat „mewartakan“ dan melestarikan khazanah budaya seperti yang terkandung dalam mitos dan ritus.
Aku dan Yang Lain
Silvester
tidak secara gamblang menyebutkan locus dari setiap peristiwa yang dinarasikan.
Ia hanya menggunakan frase „belakang gunung“ untuk membahasakan latar
ceritanya. Penyebutan (orang) „belakang gunung“ pada masa lampau (dan juga
masih terdengar hingga kini di wilayah Larantuka-Flores Timur) bermaksud
membedakannya dari (orang) muka/depan gunung (orang pantai). Orang „belakang
gunung“ biasanya diidentikkan dengan kelompok tertinggal, jauh dari pusat
perkembangan kota, orang kolot dan „belum beradab“ Dalam lalu lintas misi
katolik pada masa lampau pengontrasan semacam ini terlihat juga dalam pemilahan
tegas antara „kekatolikan“ dan „kekafiran“ (Steenbrink: 2006: 179): „orang
belakang gunung“ identik dengan orang kafir, „orang yang berdiam dalam
kegelapan“, mistis; sementara „orang pantai“ identik dengan orang yang dibaptis
karena penyebaran ajaran iman pada masa lampau bermula dari wilayah pantai yang
dirintis oleh para misionaris Eropa dan pedagang rempah. Prejudice seperti ini
menempatkan „orang belakang gunung“ (orang kafir) sebagai ancaman yang
membahayakan dan merintangi misi penyebaran agama: „Yang selalu jadi persoalan
adalah orang-orang belakang gunung …“
oleh karena itu mesti ditentang dan dimusnahkan: „mereka melarang semua
ekspresi budaya serta memberangus simbol-simbolnya, ...“ Hal ini sejalan
seturut konsep misi di Flores (dan tentu daerah misi lainnya) pada masa itu
(1556-1965): mentobatkan dan membaptis sebanyak mungkin orang kafir, di bawah
payung Axioma „extra ecclesiam nulla salus“ – tidak ada keselamatan di luar
Gereja. Pengulangan diksi „(Orang) kafir „dan „(orang) belakang gunung“ yang
mendominasi cerpen bertindak sebagai lampu sorot yang menerangi pembaca untuk
memahami jalur ide yang dipetakan penulis.
Institusi
agama tidak memiliki otoritas untuk menghakimi dan menentukan keselamatan atau
nasib seseorang. (Ber)agama sebagai salah satu cara-pandang hidup – dalam
pemahaman yang amat sederhana - berusaha mengajar dan menuntun setiap orang
untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, termasuk hidup
berdampingan secara damai dalam kasih dengan kelompok yang berkeyakinan lain.
„Yang lain“ bukanlah sebagai ancaman yang membahayakan kehidupan beragama.
Perjumpaan dengan „yang lain“ merupakan ruang konfrontasi dan refleksi:
„Bagaimana saya mengerti dan menilai agama atau budaya lain? Bagaimana saya
mengerti dan menilai diri dan agama sendiri di hadapan agama dan budaya lain?“
Hermeneutika perjumpaan dengan „yang lain“ dalam terang pertanyaan ganda
Schmidt-Leukel ini dalam bukunya „Gott ohne Grenzen“ - Tuhan tanpa Sekat
(2005:34) adalah sebuah proses dialektis yang tidak hanya mengacu pada
„pemahaman bahasa“, melainkan juga „pemahaman tindakan“, „nilai-nilai dan
peristiwa“ serta „ekspresi“ cita rasa iman. Proses pemahaman ini menuntut
keterbukaan untuk saling mengakui keberlainan dan kesediaan membangun dialog.
Misi dan Kolonialisme -
Agama dan Negara
Dalam catatan sejarah, kristeninasi adalah bagian
yang tak terpisahkan dari imperialisme barat yang mengusung trial Gold (kekayaan), Gospel (penyebaran
agama/injil), Glory (kemuliaan/nama besar
negara). Misi dan Kolonialisme ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan.
Jadi, periodisasi penyebaran agama kristen di wilayah Flores bermula bersamaan
dengan mendaratnya kapal dagang Portugis yang dirintis oleh para pedagang dan
rahib Dominikan pada tahun 1600an (Piskaty: 1964: 44-49). Irisan kepentingan
antara Misi (Agama) dan Kolonialisme (Negara) dilukiskan Silsvester lewat
institusi-institusi pemerintah seperti militer/Hansip, birokrasi/camat fanatik
dan sekolah/guru konservatif yang bergerak mengontrol proyek misi. Resistansi
terhadap penguasa kolonial lalu melahirkan suatu narasi heroik. Dalam fragmen
konflik antara penjajah dan penduduk lokal, penulis seakan membalikkan apa yang
lazim dan dominan dalam narasi besar kolonialisme. Lukisan „kanibalisme“ adalah
sinisme penulis atas anggapan, bahwa orang belakang gunung adalah pembunuh –
bukan sebaliknya kaum penjajah yang mencaplok hak hidup dengan senjata dan
modal. Perselingkuhan antara agama dan negara tidak hanya menjadi pintu masuk
untuk mencaplok hasil bumi tetapi juga mengeksploitasi budaya dan menghancurkan
tatanan kehidupan penduduk lokal yang hidup menyatu dengan alam. Agama
ditunggangi dan membiarkan diri ditunggangi oleh nafsu kekuasaan bagi
kepentingan segelintir orang; mimbar ajaran lalu disulap jadi podium provokasi
dan penistaan, misi dan karya pelayanan dipelintir jadi proyek kapital, panggilan
profetis pun layu dan mati dalam kubang harta dan jabatan, realitas penderitaan
dan ketidakadilan dilegitimasi sebagai kutukan dari Tuhan: „Kekalahan
orang-orang belakang gunung tersebut diyakini sebagai cara Allah membinasakan
orang-orang kafir dan penyembah berhala“.
Pendidikan Agama: antara
Teologi dan Filsafat
„Jasa“
dan nama besar ayah Fransiskus terpatri dalam keberhasilan mengatolikkan orang
kampung dengan memanfaatkan sekolah dasar Katolik dengan guru-guru konservatif
sebagai tenaga pendidik. Internalisasi nilai-nilai religius tidaklah penting:
intinya murid-murid itu sudah dibaptis dan bersedia meninggalkan
tradisi-budayanya. Inilah model pendidikan agama pada masa itu yang diangkat
penulis dalam cerpennya.
Pendidikan
agama bukanlah perkara „memenangkan“ (jiwa) seseorang untuk bergabung dalam
komunitas agama tertentu (proses inisiasi) atau sebagai persiapan mengambil
bagian dalam ritual keagamaan (seperti sakramen). Salah satu hal penting yang
semestinya tidak boleh alpa dari ruang pendidikan agama adalah kesanggupan dan
keberanian berpikir kritis tentang iman dan bersedia mempetanggungjawabkannya.
Itu berarti, iman (fides) dan akal budi (ratio) - teologi dan filsafat, adalah
dua kebijaksanaan yang bersahabat. Pendidikan agama semestinya memampukan para
murid untuk masuk dalam ruang refleksi kritis tentang agama sendiri, juga
tentang agama-agama serta pandangan dunia atau ideologi lainnya. Proses
indoktrinasi tanpa refleksi dalam ruang-ruang belajar agama akan melumpuhkan
kemampuan bertanya dan daya nalar berpikir kritis serta melahirkan
lulusan-lulusan konservatif. Proses ajar-belajar agama lalu menjadi penanaman
nilai-nilai radikalisme yang menutup diri bagi „yang lain“. Kekhwatiran serta
protes penulis tentang kelam masa lalu dan buram masa depan berkaitan dengan
pendidikan agama seperti itu ditulisnya dalam larik: „Lahir struktur dan kelas
sosial baru yang dikendalikan oleh elite agama“.
Selepas
membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“, saya mengamini bahwa Penulis
sungguh bergumul dengan persoalan-persolan lokal, baik itu di masa lampau
maupun di masa kini sehingga ia dengan jelas dan gamblang mencurahkan itu dalam
karyanya. Tentu pembacaan ini muncul dari salah seorang pembaca di antara
sekian pembaca lainnya.
Pada
akhirnya, sesudah kita dicurahkan oleh „hujan pertama dari kampung orang-orang
kafir“, kita ditantang untuk memandang horison tentang „yang lain“, berani dan
sanggup mengalami, bahwa „hujan“ juga turun di kampung orang-orang kafir
lainnya - tidak untuk pertama kali, tetapi berkali-kali karena perjumpaan
dengan „yang lain“ adalah bagian yang tak terpisahkan diri dan cara meng-ada
kita.
*Penulis Tenaga pastoral pada Keuskupan Erfurt-Jerman, alumnus Philosophisch- theologische Hochschule St. Augustin, Jerman.
Cerpen "Hujan Pertama dari Kampung Kafir" karya Silvester klik di sini
Gambar: © Jawa Pos.com