PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

16 November 2020

KREUZ - Maria Laach


 Kreuz -  Benediktinerabtei Maria Laach

Prag - Republik Ceko

 

Prag - Republik Ceko

Die Schönheit - Tentang Keindahan


 Die Schönheit der Dinge lebt in der Seele dessen, 

der sie betrachtet.

---

Keindahan itu hidup dalam jiwa mereka yang memandangnya


(David Hume)

DER WEG UND DAS ZIEL - Jalan dan Tujuan Hidup


 Nur wer sein Ziel kennt, findet den Weg

---

Hanya mereka yang mengenal tujuan menemukan Jalan

(Laozi)

ALT-WERDEN - Tentang Usia


Alte Leute sind gefährlich; sie haben keine Angst vor der Zukunft.
---

Orang-orang yang lanjut usia itu berbahaya:
mereka tidak takut akan masa depan

(George Bernard Shaw)

KINDER UND LIEBE - Anak-anak dan Cinta

 

Liebe kann man lernen. Und niemand lernt besser als Kinder. 

Wenn Kinder ohne Liebe aufwachsen, 

darf man sich nicht wundern, 

wenn sie selber lieblos werden.

---

Kasih itu dapat dipelajari. Dan tak seorang yang belajar lebih baik

daripada anak-anak.

Jika anak-anak bertumbuh tanpa kasih,

maka tak boleh heran,

jika mereka juga menjadi pribadi tanpa kasih.

(Astrid Lindgren)


Gera Hauptbahnhof - Stasiun Kereta - Gera


 Von hier beginnen wir unsere Reise

und irgendwann machen wir hier Halt

Auch unser Leben durchläuft 

verschiedene Stationen

Dort lernen wir Orte und Menschen kennen

----

Perjalanan kita bermula dari sini

dan pada saat terrtentu akan terhenti pula di sini

Hidup melewati berbagai pemberhentian

di sana kita berkenalan dengan tempat dan manusia


KEMBANG SEPATU


 Hidup adalah proses menuju mekar

Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan Pembacaan Cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“

 Agamaku - Agamamu: sebuah Perjumpaan

Pembacaan Cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“

 

Oleh:Vianey Lein*

 

Membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ karya Silvester Petara Hurit (Jawa Pos, 25.10.2020) adalah seperti membaca profil singkat sejarah misi katolik di Nusa Bunga – Flores, seperti yang dicatat oleh Karel Steenbrink dalam karyanya „Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942“ (Steenbrink: 2006). Sejarah misi katolik ditorehkan ke dalam „kenang“ pengalaman Fransiskus (bdk. Pemimpin tertinggi agama katolik: Paus Fransiskus). Untuk mendapat pemahaman yang menyeluruh tentang cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ dan apa yang hendak disuarakan penulis, orang perlu meninjau kembali secara ringkas aspek-aspek sejarah misi di Pulau Flores. Bagi yang pernah belajar atau mendengar tentang sejarah misi di Flores kesan dominan yang mungkin muncul saat membaca prosa naratif yang disuguhkan Silvester adalah, bahwa cerita ini bukan fiktif belaka. Terlepas dari kebenaran asumsi adanya „perkawinan“ fakta historis - daya imajiner penulis, cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“ sesungguhnya menyuarakan beberapa kritik – tidak hanya tentang yang lampau, tetapi juga untuk masa kini dan masa akanan. Kekhasan dari cerpen ini adalah merekonstruksi narasi sejarah perjumpaan (konflik) antara misi katolik dan budaya lokal (agama natur). Ia semacam sebuah teks ratapan atas jejak-jejak tertinggal, sebuah gugat-protes atas silam yang kelam. Dalam pengertian ini, karya sastra yang dilahirkan Silvester dengan menguraikan serpihan-serpihan masa lalu itu mendapat forma dan substansi baru. Ini juga merupakan usaha penulis untuk menegaskan, bahwa budaya adalah DNA suatu komunitas masyarakat atau bangsa – dan penulis sendiri adalah juga tokoh yang giat „mewartakan“ dan melestarikan khazanah budaya seperti yang terkandung dalam mitos dan ritus.

Aku dan Yang Lain

Silvester tidak secara gamblang menyebutkan locus dari setiap peristiwa yang dinarasikan. Ia hanya menggunakan frase „belakang gunung“ untuk membahasakan latar ceritanya. Penyebutan (orang) „belakang gunung“ pada masa lampau (dan juga masih terdengar hingga kini di wilayah Larantuka-Flores Timur) bermaksud membedakannya dari (orang) muka/depan gunung (orang pantai). Orang „belakang gunung“ biasanya diidentikkan dengan kelompok tertinggal, jauh dari pusat perkembangan kota, orang kolot dan „belum beradab“ Dalam lalu lintas misi katolik pada masa lampau pengontrasan semacam ini terlihat juga dalam pemilahan tegas antara „kekatolikan“ dan „kekafiran“ (Steenbrink: 2006: 179): „orang belakang gunung“ identik dengan orang kafir, „orang yang berdiam dalam kegelapan“, mistis; sementara „orang pantai“ identik dengan orang yang dibaptis karena penyebaran ajaran iman pada masa lampau bermula dari wilayah pantai yang dirintis oleh para misionaris Eropa dan pedagang rempah. Prejudice seperti ini menempatkan „orang belakang gunung“ (orang kafir) sebagai ancaman yang membahayakan dan merintangi misi penyebaran agama: „Yang selalu jadi persoalan adalah orang-orang belakang gunung …“  oleh karena itu mesti ditentang dan dimusnahkan: „mereka melarang semua ekspresi budaya serta memberangus simbol-simbolnya, ...“ Hal ini sejalan seturut konsep misi di Flores (dan tentu daerah misi lainnya) pada masa itu (1556-1965): mentobatkan dan membaptis sebanyak mungkin orang kafir, di bawah payung Axioma „extra ecclesiam nulla salus“ – tidak ada keselamatan di luar Gereja. Pengulangan diksi „(Orang) kafir „dan „(orang) belakang gunung“ yang mendominasi cerpen bertindak sebagai lampu sorot yang menerangi pembaca untuk memahami jalur ide yang dipetakan penulis.

Institusi agama tidak memiliki otoritas untuk menghakimi dan menentukan keselamatan atau nasib seseorang. (Ber)agama sebagai salah satu cara-pandang hidup – dalam pemahaman yang amat sederhana - berusaha mengajar dan menuntun setiap orang untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, termasuk hidup berdampingan secara damai dalam kasih dengan kelompok yang berkeyakinan lain. „Yang lain“ bukanlah sebagai ancaman yang membahayakan kehidupan beragama. Perjumpaan dengan „yang lain“ merupakan ruang konfrontasi dan refleksi: „Bagaimana saya mengerti dan menilai agama atau budaya lain? Bagaimana saya mengerti dan menilai diri dan agama sendiri di hadapan agama dan budaya lain?“ Hermeneutika perjumpaan dengan „yang lain“ dalam terang pertanyaan ganda Schmidt-Leukel ini dalam bukunya „Gott ohne Grenzen“ - Tuhan tanpa Sekat (2005:34) adalah sebuah proses dialektis yang tidak hanya mengacu pada „pemahaman bahasa“, melainkan juga „pemahaman tindakan“, „nilai-nilai dan peristiwa“ serta „ekspresi“ cita rasa iman. Proses pemahaman ini menuntut keterbukaan untuk saling mengakui keberlainan dan kesediaan membangun dialog.

Misi dan Kolonialisme - Agama dan Negara

Dalam catatan sejarah, kristeninasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme barat yang mengusung trial Gold (kekayaan), Gospel (penyebaran agama/injil), Glory (kemuliaan/nama besar negara). Misi dan Kolonialisme ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan. Jadi, periodisasi penyebaran agama kristen di wilayah Flores bermula bersamaan dengan mendaratnya kapal dagang Portugis yang dirintis oleh para pedagang dan rahib Dominikan pada tahun 1600an (Piskaty: 1964: 44-49). Irisan kepentingan antara Misi (Agama) dan Kolonialisme (Negara) dilukiskan Silsvester lewat institusi-institusi pemerintah seperti militer/Hansip, birokrasi/camat fanatik dan sekolah/guru konservatif yang bergerak mengontrol proyek misi. Resistansi terhadap penguasa kolonial lalu melahirkan suatu narasi heroik. Dalam fragmen konflik antara penjajah dan penduduk lokal, penulis seakan membalikkan apa yang lazim dan dominan dalam narasi besar kolonialisme. Lukisan „kanibalisme“ adalah sinisme penulis atas anggapan, bahwa orang belakang gunung adalah pembunuh – bukan sebaliknya kaum penjajah yang mencaplok hak hidup dengan senjata dan modal. Perselingkuhan antara agama dan negara tidak hanya menjadi pintu masuk untuk mencaplok hasil bumi tetapi juga mengeksploitasi budaya dan menghancurkan tatanan kehidupan penduduk lokal yang hidup menyatu dengan alam. Agama ditunggangi dan membiarkan diri ditunggangi oleh nafsu kekuasaan bagi kepentingan segelintir orang; mimbar ajaran lalu disulap jadi podium provokasi dan penistaan, misi dan karya pelayanan dipelintir jadi proyek kapital, panggilan profetis pun layu dan mati dalam kubang harta dan jabatan, realitas penderitaan dan ketidakadilan dilegitimasi sebagai kutukan dari Tuhan: „Kekalahan orang-orang belakang gunung tersebut diyakini sebagai cara Allah membinasakan orang-orang kafir dan penyembah berhala“.

Pendidikan Agama: antara Teologi dan Filsafat

„Jasa“ dan nama besar ayah Fransiskus terpatri dalam keberhasilan mengatolikkan orang kampung dengan memanfaatkan sekolah dasar Katolik dengan guru-guru konservatif sebagai tenaga pendidik. Internalisasi nilai-nilai religius tidaklah penting: intinya murid-murid itu sudah dibaptis dan bersedia meninggalkan tradisi-budayanya. Inilah model pendidikan agama pada masa itu yang diangkat penulis dalam cerpennya.

Pendidikan agama bukanlah perkara „memenangkan“ (jiwa) seseorang untuk bergabung dalam komunitas agama tertentu (proses inisiasi) atau sebagai persiapan mengambil bagian dalam ritual keagamaan (seperti sakramen). Salah satu hal penting yang semestinya tidak boleh alpa dari ruang pendidikan agama adalah kesanggupan dan keberanian berpikir kritis tentang iman dan bersedia mempetanggungjawabkannya. Itu berarti, iman (fides) dan akal budi (ratio) - teologi dan filsafat, adalah dua kebijaksanaan yang bersahabat. Pendidikan agama semestinya memampukan para murid untuk masuk dalam ruang refleksi kritis tentang agama sendiri, juga tentang agama-agama serta pandangan dunia atau ideologi lainnya. Proses indoktrinasi tanpa refleksi dalam ruang-ruang belajar agama akan melumpuhkan kemampuan bertanya dan daya nalar berpikir kritis serta melahirkan lulusan-lulusan konservatif. Proses ajar-belajar agama lalu menjadi penanaman nilai-nilai radikalisme yang menutup diri bagi „yang lain“. Kekhwatiran serta protes penulis tentang kelam masa lalu dan buram masa depan berkaitan dengan pendidikan agama seperti itu ditulisnya dalam larik: „Lahir struktur dan kelas sosial baru yang dikendalikan oleh elite agama“.

Selepas membaca cerpen „Hujan Pertama dari Kampung Kafir“, saya mengamini bahwa Penulis sungguh bergumul dengan persoalan-persolan lokal, baik itu di masa lampau maupun di masa kini sehingga ia dengan jelas dan gamblang mencurahkan itu dalam karyanya. Tentu pembacaan ini muncul dari salah seorang pembaca di antara sekian pembaca lainnya.

Pada akhirnya, sesudah kita dicurahkan oleh „hujan pertama dari kampung orang-orang kafir“, kita ditantang untuk memandang horison tentang „yang lain“, berani dan sanggup mengalami, bahwa „hujan“ juga turun di kampung orang-orang kafir lainnya - tidak untuk pertama kali, tetapi berkali-kali karena perjumpaan dengan „yang lain“ adalah bagian yang tak terpisahkan diri dan cara meng-ada kita.

*Penulis Tenaga pastoral pada Keuskupan Erfurt-Jerman, alumnus Philosophisch- theologische Hochschule St. Augustin, Jerman.

Cerpen "Hujan Pertama dari Kampung Kafir" karya Silvester klik di sini

Gambar: © Jawa Pos.com