“MAAF!”: Mengapa Begitu Sulit?
John Elton, seorang penyanyi berkebangsaan Inggris dan
pelantun lagu Candle in the Wind pernah
menggoreskan lirik lagu “sorry seems to be
the hardest word” – Sepertinya “maaf” merupakan kata yang paling sulit. Kita bisa
mengamini pengakuan John Elton ketika mengenang atau mengingat kembali masa
kecil, bahwa kedua orang tua senantiasa membisikkan dua kata ini ke telinga: Terima
Kasih dan Maaf.
Dalam budaya timur Indonesia, lingkungan di mana saya
dibesarkan dan dididik, anak-anak selalu diajarkan untuk tak lupa mengucapkan
kata “Terima Kasih” jika mendapat atau menerima sesuatu (hadiah misalnya) dari
orang lain – dan bahkan harus menerima (dan tentu memberi) dengan tangan kanan.
Lebih lanjut, anak-anak diajarkan untuk harus meminta maaf jika berbuat salah, melukai
atau menyinggung perasaan orang lain, baik dalam kata maupun tindakan. Meminta
maaf dan mengucapkan terima kasih lantas menjadi habitus yang terus dihidupi
dalam lingkungan sosial, dalam kebersamaan dengan yang lain. Hal ini bisa kita
alami misalnya pada momen perpisahan, ketika orang menyampaikan kata pisah: syukur
dan terima kasih untuk segala kebaikan dan maaf atas segala kekurangan; bahkan
pada peristiwa kematian, keluarga dalam kesadaran budi dan keyakinan iman mewakili
almahrum/ah untuk menyampaikan permohonan maaf. Begitu pula dalam politik
maupun agama, para pemimpin negara dan tokoh agama dalam kerendahan hati mengungkapkan
penyesalan dan permohonan maaf secara kolektif. Bill Clinton misalnya, menyampaikan
permohonan maaf atas praktek perdangagan manusia dan perbudakan; atau Paus
Fransiskus yang secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada dunia atas skandal
seksual yang dilakukan oleh para imam pada masa lampau.
Dalam negara hukum kata „maaf“ memang tidak (se)lalu menjadi air yang
membasuh bersih segala noda kesalahan; ia menjadi perkara yang mesti diselesaikan
dalam ranah hukum: Permohonan maaf Ahok sama sekali tidak membebaskan dia dari
tuntutan hukum. Namun sebagai manusia yang berbudi – apalagi beiman – sepotong
kata “maaf“ sudah menjadi air penyejuk yang memberi damai - tidak hanya buat
para “korban”, tetapu juga pelaku sendiri – ia menjadi kekuatan yang mampu mengurai
ketegangan dalam relasi.
Nyatanya, bahwa bukan hanya “memberi maaf”, melainkan juga “meminta maaf”
menjadi perilaku yang tidak mudah, Permohonan maaf menuntut adanya suatu
kesadaran penuh yang memampukan seseorang untuk melihat dan merasakan, bahwa ada
orang atau kelompok lain yang terluka/tersinggung oleh perilaku saya (kata dan
perbuatan), dengannya terjadi ketegangan bahkan konfik dalam ketersalingan. Kesadaran
semacam ini mesti mampu melumpuhkan ego dalam diri serentak membangkitkan kekuatan
dan jiwa besar, bahwa manusia bukanlah makluk yang sempurna tanpa luput dari kekeliruan
dan kesalahan: manusia adalah bejana tanah liat yang mudah rapuh. Kesadaran dan
penyesalan serta maaf atas luka ketersinggungan dan benturaran relasi yang terlanjur
ada tentu menghembuskan angin segar perdamaian karena dalamnya dibahasakan juga
rasa empati atas apa yang dialami korban atau pihak yang dirugikan (spirit compassio);
dan di atas luka dan kesedihan mereka mampu menyulam kembali “kepercayaan” yang
mungkin sobek oleh pisau kata dan tindakan. Sepotong kata “maaf” sama sekali tidak
menurunkan harga diri dan status sosial; dengan „maaf“ seseorang akan semakin
dihargai oleh karena kerendahan hati dan jiwa besarnya.
Bahwa banyak manusia tidak lagi memiliki jiwa besar untuk memohon maaf, seperti
John Elton, kita mungkin berlirih miris dan sedih:
It's sad, so sad
(so sad)
It's a sad, sad
situation
And it's getting
more and more absurd
It's sad, so sad
(so sad)
Why can't we talk
it over?
Oh it seems to me
That sorry seems
to be the hardest word