AGAMA: ANTARA
YANG KUDUS DAN NAJIS
Yesus Kristus
berkata, bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepak bola. Maka kami,
aku dan teman-temanku, mengajak-Nya menonton. Sebuah pertandingan sengit
berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.
Kesebelasan
Katolik memasukkan bola terlebih dulu. Yesus bersorak gembira dan melemparkan
topinya tinggi-tinggi. Lalu ganti kesebelasan Protestan yang mencetak gol. Dan
Yesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.
Hal ini rupanya membingungkan penonton lain yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya,”Saudara berteriak untuk mendukung tim yang mana?”
Hal ini rupanya membingungkan penonton lain yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya,”Saudara berteriak untuk mendukung tim yang mana?”
“Saya?”, jawab
Yesus, yang saat itu sedang terpesona oleh permainan- “Oh, saya bersorak bukan bagi
satu tim saja; saya hanya senang menikmati permainan ini.”
Penanya itu
berpaling kepada temannya dan mencemooh Yesus, “Dasar Atheis!”
Dalam
perjalanan pulang kami menceritakan kepada Yesus tentang situasi agama di dunia
dewasa ini. “Tuhan, orang-orang beragama itu aneh,“ kata kami. “Mereka selalu
mengira bahwa Tuhan ada di pihak mereka dan menentang orang-orang yang ada di
pihak lain.”
Yesus mengangguk setuju. “Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama, Aku mendukung orang-orangnya,” kata-Nya. “Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.”
Yesus mengangguk setuju. “Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama, Aku mendukung orang-orangnya,” kata-Nya. “Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.”
“Tuhan,
berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu,” demikian seorang di antara kami mengingatkan
Yesus. ”Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.”
“Ya,” Yesus
mengangguk-angguk, “dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,”
kata Yesus sambil tersenyum kecewa. (Anthony de Mello)
Di hadapan agama
kita cenderung digiring kepada konsep determinasi dan pembedaan yang ekstrim
antara AKU atau KITA dan YANG LAIN, antara yang KUDUS/SUCI dan KOTOR/NAJIS,
antara yang KAFIR dan RELIGUS. Orang atau kelompok yang berada di luar
lingkaran yang „dicipta“ oleh subjek AKU (atau mungkin yang terberi/diwariskan)
lantas didakwa sebagai „musuh“ yang mesti dilawan bahkan dibasmi.
Sang Lewi - dalam
perumpamaan orang Samaria yang murah hati (bdk. Luk. 10:25-37) – yang memilih berlalu
pergi dari situasi korban para penyamun lebih memilih berpegang teguh pada hukum
agama (Yahudi) tentang kategori „yang kudus“ dan „yang najis“. (Dalam hal ini, „Yang
Kudus“ adalah segala apa yang menuntun orang kepada kedekatan dengan ALLAH:
Deines, R. 2003, Art, Rein und Unrein, 1126.) Dengan demikian, kategori „kekudusan“
menjadi syarat mutlak komunikasi dengan yang Ilahi – dan untuk seorang imam/Lewi,
kekudusan menjadi simbol status.
Tentang (kehidupan)
beragama, kita lebih mempersoalkan sistem-sistem simbol religius seperti kategori
„kudus-najis“ atau„kafir-religus/atheis“ lalu melalaikan aspek-aspek
kemanusiaan. Sakramen-sakramen, yang adalah tanda „pengudusan“ dan sarana keselamatan
(mendekatkan kita pada ALLAH), kiranya juga diterangi oleh spirit pelayanan kemanusiaan
dan bukan sekadar mewarisi tradisi. Bukankah jubah agama semestinya menjadikan
nilai-nilai kemanusiaan semakin terpancar, juga hingga ke ruang-ruang yang
gelap di mata kita? Ya, semestinya!
Selamat berhari
Minggu! VL
Quelle: JW.org |