PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

14 July 2019

AGAMA: ANTARA YANG KUDUS DAN NAJIS


AGAMA: ANTARA YANG KUDUS DAN NAJIS



Yesus Kristus berkata, bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepak bola. Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajak-Nya menonton. Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.

Kesebelasan Katolik memasukkan bola terlebih dulu. Yesus bersorak gembira dan melemparkan topinya tinggi-tinggi. Lalu ganti kesebelasan Protestan yang mencetak gol. Dan Yesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.
Hal ini rupanya membingungkan penonton lain yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya,”Saudara berteriak untuk mendukung tim yang mana?”

“Saya?”, jawab Yesus, yang saat itu sedang terpesona oleh permainan- “Oh, saya bersorak bukan bagi satu tim saja; saya hanya senang menikmati permainan ini.”

Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Yesus, “Dasar Atheis!”


Dalam perjalanan pulang kami menceritakan kepada Yesus tentang situasi agama di dunia dewasa ini. “Tuhan, orang-orang beragama itu aneh,“ kata kami. “Mereka selalu mengira bahwa Tuhan ada di pihak mereka dan menentang orang-orang yang ada di pihak lain.”
Yesus mengangguk setuju. “Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama, Aku mendukung orang-orangnya,” kata-Nya. “Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.”

“Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu,” demikian seorang di antara kami mengingatkan Yesus. ”Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.”

“Ya,” Yesus mengangguk-angguk, “dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,” kata Yesus sambil tersenyum kecewa. (Anthony de Mello)


Di hadapan agama kita cenderung digiring kepada konsep determinasi dan pembedaan yang ekstrim antara AKU atau KITA dan YANG LAIN, antara yang KUDUS/SUCI dan KOTOR/NAJIS, antara yang KAFIR dan RELIGUS. Orang atau kelompok yang berada di luar lingkaran yang „dicipta“ oleh subjek AKU (atau mungkin yang terberi/diwariskan) lantas didakwa sebagai „musuh“ yang mesti dilawan bahkan dibasmi. 


Sang Lewi - dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati (bdk. Luk. 10:25-37) – yang memilih berlalu pergi dari situasi korban para penyamun lebih memilih berpegang teguh pada hukum agama (Yahudi) tentang kategori „yang kudus“ dan „yang najis“. (Dalam hal ini, „Yang Kudus“ adalah segala apa yang menuntun orang kepada kedekatan dengan ALLAH: Deines, R. 2003, Art, Rein und Unrein, 1126.) Dengan demikian, kategori „kekudusan“ menjadi syarat mutlak komunikasi dengan yang Ilahi – dan untuk seorang imam/Lewi, kekudusan menjadi simbol status.


Tentang (kehidupan) beragama, kita lebih mempersoalkan sistem-sistem simbol religius seperti kategori „kudus-najis“ atau„kafir-religus/atheis“ lalu melalaikan aspek-aspek kemanusiaan. Sakramen-sakramen, yang adalah tanda „pengudusan“ dan sarana keselamatan (mendekatkan kita pada ALLAH), kiranya juga diterangi oleh spirit pelayanan kemanusiaan dan bukan sekadar mewarisi tradisi. Bukankah jubah agama semestinya menjadikan nilai-nilai kemanusiaan semakin terpancar, juga hingga ke ruang-ruang yang gelap di mata kita? Ya, semestinya!

Selamat berhari Minggu! VL
Quelle: JW.org