Baru saja kita berjumpa di halaman buku harian
Kemarin tanpa pamit engkau pergi
Karena aku masih bersetebuh dengan sisa angka di kamar waktu
Dan hari ini engkau mengirimkan aku undangan pernikahan
Entah yang ke berapa, waktuku tak mencatat pasti
Di Timur anak-anak bumi telah menanti
Melihat pernikahanmu dengan matahari
Tak ada dari mereka yang mempersoalkan apa agamamu,
dari mana asal-usulmu dan apa kelaminmu (?)
Dan mereka terkagum-kagum
Melihatmu bersetubuh dengan dewa atau dewi matahari itu
Di atas ranjang kabut beludru
Di balik selimut malam menudung restu
Dengan cinta yang berdarah-darah
Menetes jatuh ke kubah Mesjid yang patah sabitnya
Ke atap menara Gereja yang terbakar lengan salibnya
Ke pucuk-pucuk Pura yang gugur candinya
Ke Vihara dengan patung-patung Budha yang terpenggal
Ke tiang-tiang gapura Litang tercoreng „Baal“
Ternyata cinta itu lebih indah, ketika ia dinikmati dalam
gelap
saat mata hanya meraba yang telanjang:
aku dan kamu: manusia tak bersayap,
ujar seorang pengkhotbah dalam sembahyang
Rembulan, kapan kau kembali
Melunasi janji-janji di awal jumpa
Menjemput hari-hari yang sarat oleh rindu
Mencari surga yang hilang
Tempat kami bermain dengan telanjang
seperti Adam dan Hawa
VL_31.01.2018
Super Blue Blood Moon (Courtesy of Youtube) |
No comments:
Post a Comment