PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

28 July 2015

KENANGAN


KENANGAN

Julia,

Selepas perpisahan di pantai Ostia, aku terus bergulat dalam rasa dan nalar
Tentang semua cerita yang kau tulis di bibir pantai,
tentang karang yang menyayat telapak tangan
tentang buih yang menggaram luka
dan ombak yang menghapus jejak-jejak kaki kita
Tentang Tuhanmu di alun-alun Basilika Santo Petrus
Tentang harapmu di pancuran mengering Fontana di Trevi
Tentang cintamu di Piazza Venezia
Semua terasa begitu cepat berlalu - berganti alur

Julia,
Aku pun baru mengerti tentang pesanmu
Yang kau tulis pada helai musim gugur tahun ini
Kamu benar, bahwa malam-malamku akan menjadi lebih panjang
dan tetes embun di kaca jendela kamar menjadi lebih dingin
Apakah ini semata fenomena alam yang bermain pada musim yang bergulir,
atau… karena perpisahan yang memenjara masing-masing kita pada ruang dan waktu?

Julia,
Jujur harus kuakui,
bahwa momen perjumpaan yang menggetar jiwa
akan meninggalkan jejak-jejak kenangan tiada pupus
Perjumpaan itu seperti butir-butir salju yang lembut menyengatmu,
membuat jiwamu merinding, lalu menghilang
Perjumpaan itu juga seperti tetes hujan yang mencium keningmu,
mengalir membasuh jiwamu dan membawa pergi bulir-bulir air mata
Perjumpaan itu seperti hembusan sang bayu yang membelai mesra tubuhmu,
lalu mengibar senyum di wajahmu hingga kamu merasa damai
Perjumpaan itu seperti bias-bias mentari yang merangkulmu penuh kasih,
senatiasa membuka lebar tangan dan hati hingga kamu merasa tentram
Perjumpaan itu seperti gugusan bintang yang membuatmu terpesona,
menggulir pupilmu pada kumparannya lalu tinggal dalam kenangan abadi
Dan ada pula perjumpaan yang membuat masing-masing kita hanya terdiam bisu…

Julia,
perjumpaan bersamamu adalah kata yang selalu berbicara padaku,
perjumpaan bersamamu adalah tindakan yang senantiasa menggerakanku tangan dan kakiku
Perjumpaan bersamu adalah KENANGAN


******

Vianney L.
September 2014

DUNIA MAYA DAN VIKTIMISASI KORBAN


DUNIA MAYA DAN VIKTIMISASI KORBAN*
(Vianey Lein)
 
Media sosial internet berperan sangat penting di panggung dunia komunikasi dan memikat perhatian jutaan publik. Jaringan media sosial akibat jasa  internet seperti E-Mail, Facebook dan Twitter tidak hanya menyebar di antara masyarakat perkotaan, melainkan juga menjalar ke pelosok. Hanya dalam hitungan detik orang bisa mengakses aneka informasi dari berbagai situs internet, meng-update status dan mem-posting apa saja  yang diinginkan. Setiap momen penting yang dialami, baik personal maupun komunal, tampil  secara lugas dan diabadikan dalam kata dan foto bahkan video.

Mungkin agak berlebihan jika dikatakan bahwa Facebook dan media sosial lainnya telah menjadi kebutuhan primer masyarakat kita. Meskipun begitu, informasi sesungguhnya tidak kalah penting dibandingkan dengan makan dan minum. Di tengah kesibukan karir di kantor-kantor dan rumah sakit, belanja, memasak dan menyediakan makanan, orang masih sempat meng‑update status: „Makan apa ya hari ini?“„Kapan yach makan siangnya?“, „Lagi nunggu jam makan“, dan masih banyak formulasi status menarik lainnya.

Lazimnya, apa yang di-posting pada dinding dunia maya dimaksud lahir dari emosi yang dialami seseorang: eufori bahagia, sedih dan duka akibat sebuah tragedi, atau kegalauan yang melanda. Posting singkat berbentuk frase, gambar dan video dapat membahasakan isi hati seseorang dan menyiratkan pesan informatif bagi publik. Mungkinkah inilah modus baru dari kebutuhan untuk „berbagi“ (?). Orang merasa puas ketika ia bisa berbagi pengalaman dan apa yang dirasakannya kepada orang lain di jaringan sosial online sekaligus bangga lantaran postingnya mendapat komentar dan like dari banyak orang. Dalam konteks berbagi, Facebook atau Twitter menjadi ruang yang beresonansi besar dan luas, bagaikan kamar yang memantul echo nan tajam.

Kita tidak bisa melarang orang-orang yang memiliki kebiasaan dan gemar menulis statusnya media sosial online, karena hal itu termasuk urusan pribadi setiap orang. Namun kegemaran itu akan problematis jika posting pada dinding dunia maya merambah masuk  dan melukai privasi pihak lain.  

Sering kita jumpai posting foto-foto atau video para korban kecelakaan atau kasus pembunuhan.  Sekedar contoh: Pasca tragedi jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TNI di Jalan Jamin Ginting - Medan, tersebar di Facebook dan situs lainnya foto-foto para korban yang membikin terenyuh. Rasa manusiawi menyentuh kita, ketika kita memandang hasil jepretan atau rekaman kamera.

Foto dan tayangan video dengan caranya sendiri bisa membantu kita mengenang para korban, tetapi serentak menyebabkan schock bagi yang memandangnya, terkhusus keluarga para korban. Di sini, foto dan video tampil sebagai „kekuatan“ yang mampu menggetarkan emosi manusia, karena dianggap sebagai „saksi“ sebuah peristiwa. Foto atau video bukan sekedar medium transparansi sebuah pesan atau berita, melainkan sesuatu yang „hidup“,  yang memiliki „jiwa“ dan perasaan. Orang lantas masuk dalam sebuah dialog dengan apa yang diindrainya.

Karena itu, satu pertanyaan esensial yang harus diperhatikan sebelum meng-upload sebuah foto atau video di jaringan sosial online seperti Facebook adalah: tujuan apa yang hendak dicapai dan konsekuensi atau dampak sosial apa yang mungkin terjadi. Pertanyaan mendasar ini tidak terlepas dari apa yang kita sebut dengan „kode etik media (jurnalistik)“, bahwa segala objek yang dipublikasi dalam media (komunikasi) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip etis dan human yang berlaku.

Tak mengherankan, jika di Jerman tidak diperbolehkan memotret atau mengambil video orang-orang yang sedang tidak sadar diri (seperti mabuk) dan  para korban kecelakaan dan mempublikasikannya di media sosial. Menyebarluaskan foto orang lain di media sosial (kecuali foto pada momen yang dihadiri publik) tanpa izin yang bersangkutan akan dikenakan sanksi berdasarkan hukum yang berlaku. Foto anak-anak di bawah umur harus mendapat persetujuan dari orang tua mereka sebelum dipublikasikan.  

Konsep etika media mensinyalir, bahwa posting  foto atau video pada dinding media sosial tidak boleh melanggar ruang privasi dan melecehkan martabat orang lain sebagai manusia. Patokan etik sebuah posting tidak boleh diabaikan begitu saja hanya demi „memasarkan“ sensasi pribadi. Dalam artian ini, sesungguhnya tidak dibenarkan dipublikasikan foto-foto para korban yang meninggal (termasuk anggota keluarga sendiri) pada dinding media sosial. Respek terhadap korban dan rasa solider dengan keluarga tidak bisa diekspresikan lewat meng-upload foto-foto mereka. Justru sebaliknya, hal ini bisa mengarah kepada model baru viktimisasi korban dan menambah sakit dan luka di atas balutan duka dan kesedihan keluarga. Dunia maya seperti Facebook bekerja seolah-olah tanpa sensor, atau tidak dihalang-halangi mempublikasikan „penderitaan korban dan keluarga“. Mungkin dunia maya menjadi ruang baru untuk „berbagi“ cerita. Tetapi „kebutuhan“ dan „kemampuan“ kita untuk berkomunikasi harus disalurkan secara human dan etis.***
 
*Artikel ini pernah dimuat pada Majalah Online Flores Bangkit 25 Juli 2015:

15 July 2015

An Julia

Dieses Ende ist auch mein Anfang

Julia,
Nach meinem langen Schweigen schrieb ich am Anfang dieses Monats wieder einen Brief, den du vielleicht nicht verstehen kannst.
Es ist ein Brief über eine Reise - ja die Reise meines Lebens. Um diesen Brief zu schreiben, schaue ich auch meine Erfahrung mit dieser Reise, vielleicht die längste Reise meines Lebens, die jetzt zu Ende ist.
Aber dieses Ende ist auch mein Anfang,
der bestimmt kein leichter sein wird, vielleicht wird er steinig und schwer.

Julia,
es tut mir leid,
dass ich diesen Brief schreiben musste.
Irgendwann wirst es dir klar,
und du wirst alles verstehen
vor allem mich verstehen...


Sankt Augustin, Anfang Juni 2015

09 July 2015

KORUPSI DAN KAPITALISME: POLUTAN BARU PENCEMAR PLANET BUMI

KORUPSI DAN KAPITALISME: POLUTAN BARU PENCEMAR PLANET BUMI*

(Catatan Hari Bumi 22 April)


Setiap tanggal 22 April dirayakan hari bumi (Earth Day). Kampanye global Hari Bumi sejak tahun 1990 ini bukanlah sekadar ritual ulangan, melainkan seruan dan gerakan mondial untuk menyelamatkan bumi yang sakit dan terluka oleh aksi „konsumtif“ manusia. Momentum ini mengajak kita untuk menelusuri kembali jejak-jejak interaksi kita dengan alam.

Industrialisasi modern menghilangkan harmoni kosmos, menghadirkan „chaos“ dan momok kematian ekologi. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan lewat sistem ekonomi perindustrian sangat membahayakan keberlangsungan hayati. Sampah karbondioksida dan metan merusak lapisan Ozon. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida menghancurkan fertilasi dan pori-pori tanah. Manusia, hewan dan tumbuhan terancam oleh akibat pembabatan hutan secara liar dan pemanasan global (global warming) seperti hujan asam, banjir, kekeringan berkepanjangan dan meningkatnya suhu.

Krisis lingkungan tersebut lahir akibat ulah manusia yang mengekploitasi alam secara serakah dan tanpa tanggung jawab ekologis-generatif. Kebanyakan rakyat kecil yang menjadi korban. Krisis ekonomi dan sosial akan terus memperparah bencana ekologi. Para investor dan kaum kapitalis menyerempet masuk ke banyak wilayah dengan proyek raksasa pertambangan yang menggiurkan, namun pada akhirnya yang ditinggalkan hanyalah sampah beracun.

Politik yang bobrok berandil terhadap kekisruan ekologi. Politik mencemarkan diri misalnya ketika izin tambang bagi investor diberi tanpa menghargai suara dan hak penduduk setempat. Protes dijawab dengan kekerasan. Jika mantan Perdana Menteri India, Indira Gandhi mengatakan „kemiskinan adalah polusi lingkungan yang paling buruk“ (poverty ist the worst pollution)“; teolog Jerman, Juergen Moltmann, menandaskan bahwa „sesungguhnya bukan kemiskinan yang merupakan bentuk polusi paling buruk, melainkan korupsi yang menyebabkan kemiskinan itu sendiri.“ Korupsi adalah bentuk polusi yang sangat berbahaya.

Berhadapan dengan krisis ekologi Leonardo Boff, pakar teologi pembebasan dari Brasil memperkenalkan konsep „budaya ekologi“ dengan cakupan berikut.

Pertama, eko-teknologi. Masyarakat modern terstrukturisasi atas prinsip-prinsip ekonomi yang menekankan pertumbuhan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan. Banyak tenaga kerja diperas demi kebutuhan produksi. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang menjanjikan kemajuan sosial, malah menyisakan sampah dan polusi. Eko-teknologi menggariskan bahwa segala bentuk penerapan teknik industri harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan membantu menyembuhkan alam yang telah „dilukai“.

Kedua, eko-politik. Politik sering dikaitkan dengan otoritas untuk menentukan kebijakan. Sistem politik dan birokrasi yang korup, kolusif dan nepotif akan melahirkan bencana ekonomi dan krisis moral yang mengancam iklim kehidupan berbangsa. Format kepemimpinan yang menempatkan interese pribadi, keluarga dan golongan di atas kepentingan bersama akan mengurung para elite politik dalam zona kenyamanan hidup, sementara rakyat miskin dan periferal terus menderita dalam lilitan persoalan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

Eko-politik harus mendahului eko-teknologi; artinya proses pengambilan kebijakan untuk penerapan teknologi industri terdahulunya mesti mempertimbangkan faktor kehidupan manusia dan ekosistem. Rasa solider dengan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam sekitar harus menjiwai setiap kebijakan politik, juga soal mega projek pertambangan.

Ketiga, ekologi sosial. Berbagai modus pencemaran dan pengrusakan lingkungan mulai dari membuang sampah sembarangan dan exploitasi perut bumi secara tidak bertanggung jawab merupakan gambaran relasi yang tidak harmonis antara manusia dan alam. Manusia menempatkan dirinya sebagai tuan atas alam dan pusat universum. Paradigma ini menciptakan model „perang“ baru yang permanen antara manusia dan alam, dimana manusialah pemenangnya dan alam terus terlukai. Penyembuhan luka alam membutuhkan waktu yang lama, bahkan tak ada harapan penyembuhan. Ritme pertumbuhan alam membutuhkan proses yang panjang, jika dibandingkan dengan buldoser atau mesin yang mengaruk alam hitungan menit bahkan detik.



Manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial (sosialitas human dan infrahuman). Alam adalah kepunyaan manusia dan manusia kepunyaan alam. Dalam interaksinya dengan alam, manusia harus mengintegrasikan dirinya dengan alam dan melindungi dan melestarikannya. Di sini perlu dipikirkan, model penerapan teknologi industri dan pertambangan yang tidak mendatangkan bencana baik bagi manusia maupun alam.

Keempat, ekologi etik. Etika masyarakat dan politik yang otoriter adalah utilitaris dan antroposentris. Manusia menempatkan diri sebagai tuan atas sumber daya alam dan memanfaatkannya demi pemuasan diri dan pemenuhan segala keinginannya. Berseberangan dengan itu, ekologi etik menempatkan alam sebagai pusat dalam „komunitas bumi“ (ekosentris).

Prinsip dasar etika ekologi adalah penjagaan dan pemeliharaan segala ciptaan, terutama makhluk yang lemah dan tak berdaya. Segala aksi yang melukai dan menghancurkannya adalah keburukan. Etika ekologi menyiratkan tanggung jawab terhadap segala yang ada dan hidup dalam bingkai koeksistensi (ada bersama). Kosmos dan moral merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bagaikan Yin dan Yang dalam filosofi Cina.

Kelima, spiritualitas kosmis-mistik. Spiritualitas ini memaksudkan suatu cara hidup yang menempatkan kehidupan sebagai titik pusat dan secara tegas melawan segala mekanisme pematian. Hidup mesti dijaga dan bukannya dimusnahkan.

Pelbagai demonstrasi damai dan aksi kreatif (film animasi, kartun dan foto selfie) yang menolak tambang di wilayah Nusa Tenggara Timur tak lain dari upaya penyelamatan bumi yang sedang sakit. Perjuangan ini bukan saja diapresiasi, melainkan harus didukung dan terus dikobarkan. Lebih jauh aksi dimaksud hendak membasmi polutan korupsi dan kapitalisme yang mencemarkan pertiwi.

Di tengah arus globalisasi, momen peringatan Hari Bumi harus menjadi seruan global untuk pelestarian lingkungan, menentang segala bentuk pencemaran, khususnya korupsi dan kapitalisme yang menjadi akar keserakahan yang mengeksploitasi alam. Arus globalisasi dengan teknologi industri yang canggih menawarkan pelbagai kemudahan untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan manusia. Dalam jargon Uskup Emeritus Limburg Franz Kamphaus, globalisasi industi dan teknologi „tanpa globalisasi religius dan moral menjadikan dunia kita tanpa masa depan“ (Ohne eine religiöse und moralische Globalisierung hat die „Eine Welt“ keine Zukunft).

Selamat Hari Bumi 22 April 2015!***

 
*Dalam revisi ulang pernah dimuat di Majalah Online Flores Bangkit dengan judul:
  POLITIK YANG BOBROK, ANDIL KEKISRUHAN EKOLOGI (22 May 2015)
 
 
 
Bild: