SEBUAH SENJA DI BULAN MAI
(Vianney
Leyn)
D
|
epan taman balik jendela kamar, kulihat
hanyalah tembok berabad usia memagari tempat, dimana aku belajar dan terus
belajar untuk memahami eksistensi Yang
Transendens (Allah) yang terus dipertanyakan dan dugugat, serta kehadiran
manusia dan segala ciptaan yang lain di planet bumi ini. Hanya tumpukan
dedaunan, gugur di antara bias cahya. Di halaman dekat kapela kecil itu, juga
dibentangi dedaunan sejak musim kemarin. Dan sebelah atas palang salib, ada
mentari memancar.
Di antara deru udara bersorak ria membelai,
antara kegembiraan yang tercurah ke atas bumi aku menatap hanya bayangan
keteduhan dedaunan yang bermain pada gorden putih; juga bias-bias cahaya yang
membakar ranting-ranting kering lalu menebarkan aroma di sudut-sudut kamarku,
seperti dupa mewangi membubung naik pada perayaan ekaristi Minggu kemarin. Kurasakan
hembusan angin yang begitu lembut dan bayangan-bayangan pada tirai itu menjadi
lebih hidup. Ketika segumpal awan di balik mentari berarak muncul, seberkas
cahya keemasan terlihat, terpantul di antara puteri malu yang menjalar di
taman.
Seperti seorang yang terperangkap dalam gua
aku terpaku sendirian di hadapan bayang-bayang dunia. Sebuah senja di bulan
Mai. Udara dingin tak mengalir. Berkas cahya mentari terpantul pada tiap
dinding dan sisi „rumahku“, mendandani setiap objek dalam sebuah senyum yang
abadi. Siapakah aku ini dan apa yang
dapat kulakukan jika tidak melangkah dan menjejaki dedaunan dan bermain pada
cahaya merambah kota?
Ketika aku mencoba untuk meraih diriku
sendiri, aku hanya bisa meraihnya di kedalaman terang cahyanya. Dan ketika aku berusaha
menjamah setiap keindahan serta
menikmati kelembutan yang menyajikan rahasia alam, aku menemukan diriku sendiri
terbujur pada dasar segala yang ada. Ya, diriku sendiri, termasuk segala rasa
yang menghempaskan aku dari dunia sekitarku, dan segala yang ada, juga manusia,
akan segera menjeratku. Tapi biarlah aku pada
detik-detik ini bebas keluar dari tenunan waktu seperti kembang yang
tergeletak di antara halaman-halaman buku setelah mengakhiri sebuah perjalanan menggores
cinta. Dan aku juga berjalan pada jalanNya, Dia, Sang Empunya Cinta, yang telah
lebih dahulu menulis cinta pada diriku, pada awal mula adanya aku. Hidup itu
singkat, dan kehilangan waktu yang dianugerahkanNya adalah sebuah dosa? Hampir saja aku kehilangan banyak waktu
dalam sehari, tetapi para sahabat memujiku: „kamu begitu aktif!“ Bagiku, hari
ini adalah sebuah permenungan, dan hatiku terbuka untuk sebuah perjumpaan
dengan diriku sendiri.
Satu-satunya ketakutan yang terus
menghantuiku adalah perasaan bahwa pengalaman kekinian yang tak mampu kupahami
dengan akal manusiawiku, mengalir seperti mutiara di antara jemari tangan. Aku
tak lagi mengeluh, tak lagi menggerutu karena aku merasa seperti di rumahku
sendiri, di mana pecah tangis pertamaku terdengar. Ini kisahku, ini rasaku,
yang semuanya tertulis pada jendela kamar, dan pada tirainya membelah, langit
biru curahkan kepenuhannya. Aku bisa katakan dan akan segera mengatakan itu,
bahwa ini semua amat manusiawi, sederhana saja. Kemanusiawian dan
kesederhanaan.
Keabadian ada di sana. Mungkin jauh… dan amat
jauh dari diriku. Atau mungkin juga dekat, melekat erat pada eksistensi diriku.
Dan aku tidak tahu, apa yang bisa aku inginkan untuk diriku selain daripada
situasi kekinianku. Yang aku inginkan saat ini adalah bukan untuk sebuah
kebahagiaan melainkan agar aku sadar. Yang aku inginkan adalah sebuah kesadaran
diri. Aku ingin sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang dengannya aku belajar
bertanggung jawab. Tiap menit kehidupan mengusung nilai dan makna dalam dirinya
sebagai keajaiban/mujizat luar biasa dan yang akan mengubah wajah kehidupan menjadi
lebih hidup.***
Sankt
Augustin, 21 Mai 2013
No comments:
Post a Comment