Puisi-Puisi
Polykarpus Ulin Agan*
SENANDUNG
DOAKU DI PAGI INI
Tuhan,
tak ada yang dapat kumegah-megahkan dari diriku,
kecuali kelemahan dan keterpecahanku di hadapanMu.
Tetapi Engkau menggunakan keping-keping bejana kelemahan ini
untuk menyempurnakan apa yang sudah Engkau mulai.
Dalam kelemahan dan keterpecahan
Engkau telah mengantarku sekian jauh,
kadang-kadang harus melewati padang gurun yang tandus,
kadang-kadang harus melewati lembah dan ngarai.
Tetapi di saat aku berhadapan dengan jalan buntu,
Engkau selalu memberikan petunjuk kepadaku,
bukan seperti yang aku inginkan,
melainkan seperti yang Engkau kehendaki.
Tuhan,
tak ada yang dapat kumegah-megahkan dari diriku,
kecuali kelemahan dan keterpecahanku di hadapanMu.
Tetapi Engkau menggunakan keping-keping bejana kelemahan ini
untuk menyempurnakan apa yang sudah Engkau mulai.
Dalam kelemahan dan keterpecahan
Engkau telah mengantarku sekian jauh,
kadang-kadang harus melewati padang gurun yang tandus,
kadang-kadang harus melewati lembah dan ngarai.
Tetapi di saat aku berhadapan dengan jalan buntu,
Engkau selalu memberikan petunjuk kepadaku,
bukan seperti yang aku inginkan,
melainkan seperti yang Engkau kehendaki.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (1)
Avila...
Hari ini saya mengirimkan sebuah buku kecil untukmu berjudul: „Jesus für Atheisten“ (Yesus untuk orang-orang atheis).
Ditulis oleh Milan Machovec, seorang penganut Marxisme dari Ceko, buku ini mengandung seribusatu inspirasi untuk langkah-langkahmu menuju batas cakrawala.
Kalau engkau sudah mendapatkannya, bukalah buku ini lembaran demi lembaran. Rasakan angin simpati yang mengalir – simpati terhadap sosok dan pribadi seorang Yesus dari Nasaret.
Bacalah sampai halaman terakhir.
Di sana engkau akan memetik intisari tulisannya yang menantang untuk direnungkan.
Ia bertanya: Apakah segala kabar gembira yang dibawa oleh Yesus dari Nasaret – berhadapan dengan segala ketidakadilan, kebencian, pembunuhan dan perang – hanyalah isapan jempol yang sudah dibawa angin lalu.
Ambillah waktu untuk merenungkannya.
Nanti, kalau pucuk cemara diterpa angin barat, ketahuilah, bahwa aku sedang menanti balasanmu...
Avila...
Hari ini saya mengirimkan sebuah buku kecil untukmu berjudul: „Jesus für Atheisten“ (Yesus untuk orang-orang atheis).
Ditulis oleh Milan Machovec, seorang penganut Marxisme dari Ceko, buku ini mengandung seribusatu inspirasi untuk langkah-langkahmu menuju batas cakrawala.
Kalau engkau sudah mendapatkannya, bukalah buku ini lembaran demi lembaran. Rasakan angin simpati yang mengalir – simpati terhadap sosok dan pribadi seorang Yesus dari Nasaret.
Bacalah sampai halaman terakhir.
Di sana engkau akan memetik intisari tulisannya yang menantang untuk direnungkan.
Ia bertanya: Apakah segala kabar gembira yang dibawa oleh Yesus dari Nasaret – berhadapan dengan segala ketidakadilan, kebencian, pembunuhan dan perang – hanyalah isapan jempol yang sudah dibawa angin lalu.
Ambillah waktu untuk merenungkannya.
Nanti, kalau pucuk cemara diterpa angin barat, ketahuilah, bahwa aku sedang menanti balasanmu...
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (2)
Avila...
Balasanmu tiba, saat angin barat belum sempat redah.
Mataku tak habis-habisnya menyimak bias-bias pengalamanmu tentang kesia-siaan.
Engkau merasa jenuh dalam ziarah iman karena perjuanganmu sepertinya tanpa hasil.
Engkau bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam.
Segalanya sia-sia?
Engkau berdoa dan berdoa, tetapi Tuhan sepertinya tidak pernah mendengarkan doamu.
Malah orang yang menjadi tumpuan harapanmu berlalu darimu tanpa pamit.
Segalanya sia-sia?
Avila...
Bukalah Kitab Suci yang aku berikan kepadamu waktu pesawat hendak mengepakkan sayapnya.
Simaklah Kitab Yeremia, 20:7-11.
Kunyalah bulir-bulir sabda itu sampai terasa pahit di mulutmu.
Ingatlah!
Kesia-siaan adalah juga pengalaman nabi Yeremia.
Yeremia dipanggil Tuhan sebagai nabi ketika ia masih sangat muda.
Yeremia merasa seperti tidak berkembang dalam tugas kenabiannya.
Tetapi Tuhan sepertinya tanpa kompromi.
Yeremia harus berjuang melawan keinginan dan kehendaknya sendiri supaya bisa melaksanakan kehendak Tuhan.
Dan memang, kehendak Tuhan bukanlah suatu yang mudah untuk dilaksanakan.
Yeremia mendapat tugas dari Allah untuk berkotbah tentang runtuhnya Yerusalem dan sekaligus mempersiapkan umatNya terhadap kenyataan tragis ini.
Yeremia merasa berat, karena tugas yang diberikan Allah ini bukanlah kabar gembira, melainkan kabar penuh ancaman.
Celakanya, setelah pewartaan ini, lama tak terjadi apa-apa dengan Yerusalem.
Yeremia kehilangan kepercayaan sebagai nabi.
Ia sering dicemooh oleh orang-orang yang berjumpa dengannya, karena ia sudah lama meramalkan kehancuran Yerusalem, tapi toh itu tidak terjadi. Ia malah dituduh sebagai pembohong, dan hidupnya berada dalam bahaya.
Padahal ia hanya melanjutkan apa yang disampaikan oleh Tuhan kepadanya.
Segalanya sia-sia? Kunyalah pertanyaanku ini sampai terasa pahit di mulutmu. Aku menunggu sembari mencari jejakmu di salju...
Avila...
Balasanmu tiba, saat angin barat belum sempat redah.
Mataku tak habis-habisnya menyimak bias-bias pengalamanmu tentang kesia-siaan.
Engkau merasa jenuh dalam ziarah iman karena perjuanganmu sepertinya tanpa hasil.
Engkau bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam.
Segalanya sia-sia?
Engkau berdoa dan berdoa, tetapi Tuhan sepertinya tidak pernah mendengarkan doamu.
Malah orang yang menjadi tumpuan harapanmu berlalu darimu tanpa pamit.
Segalanya sia-sia?
Avila...
Bukalah Kitab Suci yang aku berikan kepadamu waktu pesawat hendak mengepakkan sayapnya.
Simaklah Kitab Yeremia, 20:7-11.
Kunyalah bulir-bulir sabda itu sampai terasa pahit di mulutmu.
Ingatlah!
Kesia-siaan adalah juga pengalaman nabi Yeremia.
Yeremia dipanggil Tuhan sebagai nabi ketika ia masih sangat muda.
Yeremia merasa seperti tidak berkembang dalam tugas kenabiannya.
Tetapi Tuhan sepertinya tanpa kompromi.
Yeremia harus berjuang melawan keinginan dan kehendaknya sendiri supaya bisa melaksanakan kehendak Tuhan.
Dan memang, kehendak Tuhan bukanlah suatu yang mudah untuk dilaksanakan.
Yeremia mendapat tugas dari Allah untuk berkotbah tentang runtuhnya Yerusalem dan sekaligus mempersiapkan umatNya terhadap kenyataan tragis ini.
Yeremia merasa berat, karena tugas yang diberikan Allah ini bukanlah kabar gembira, melainkan kabar penuh ancaman.
Celakanya, setelah pewartaan ini, lama tak terjadi apa-apa dengan Yerusalem.
Yeremia kehilangan kepercayaan sebagai nabi.
Ia sering dicemooh oleh orang-orang yang berjumpa dengannya, karena ia sudah lama meramalkan kehancuran Yerusalem, tapi toh itu tidak terjadi. Ia malah dituduh sebagai pembohong, dan hidupnya berada dalam bahaya.
Padahal ia hanya melanjutkan apa yang disampaikan oleh Tuhan kepadanya.
Segalanya sia-sia? Kunyalah pertanyaanku ini sampai terasa pahit di mulutmu. Aku menunggu sembari mencari jejakmu di salju...
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (3)
Avila,
Dari sekian banyak jejak di atas salju, aku tak henti-hentinya mencari jejakmu.
Jejak yang engkau tinggalkan, ketika naluri cakrawala memanggilmu.
Di ujung hamparan putih aku melihat pergulatanmu yang jujur.
Pergulatan memaknai serpihan sebuah ziarah malam, berdendangkan elegi seorang Yeremia.
Engkau benar, Avila...
Nabi Yeremia memang merasa sepertinya dikhianati.
Simaklah serak suaranya ketika ia berkata kepada Tuhan: „Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku“ (Yer 20,7).
Lihatlah Avila, seorang nabi Tuhan berada pada batas akhir kekuatannya.
Aku tidak keberatan, kalau engkau membaca situasi hidupmu dalam terang situasi nabi Yeriemia.
Di depan mataku aku melihat tayangan adegan hidupmu.
Engkau seringkali ditertawakan, karena engkau menyatakan dirimu sebagai orang beriman.
Terkadang engkau merasa sudah melakukan begitu banyak hal untuk Tuhan dan Gerejanya, tetapi Tuhan sepertinya tidak pernah memberikan upah yang setimpal kepadamu.
Engkau malah dibiarkan berjuang sendirian, sementara yang lain sepertinya menertawakanmu di belakang-belakang.
Apakah engkau mau pergi juga?
Apa gunanya engkau meninggalkan jejakmu di atas salju?
Untuk membiarkan aku mencari dan mencarinya tanpa perna menemukannya?
Avila,
Dari sekian banyak jejak di atas salju, aku tak henti-hentinya mencari jejakmu.
Jejak yang engkau tinggalkan, ketika naluri cakrawala memanggilmu.
Di ujung hamparan putih aku melihat pergulatanmu yang jujur.
Pergulatan memaknai serpihan sebuah ziarah malam, berdendangkan elegi seorang Yeremia.
Engkau benar, Avila...
Nabi Yeremia memang merasa sepertinya dikhianati.
Simaklah serak suaranya ketika ia berkata kepada Tuhan: „Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku“ (Yer 20,7).
Lihatlah Avila, seorang nabi Tuhan berada pada batas akhir kekuatannya.
Aku tidak keberatan, kalau engkau membaca situasi hidupmu dalam terang situasi nabi Yeriemia.
Di depan mataku aku melihat tayangan adegan hidupmu.
Engkau seringkali ditertawakan, karena engkau menyatakan dirimu sebagai orang beriman.
Terkadang engkau merasa sudah melakukan begitu banyak hal untuk Tuhan dan Gerejanya, tetapi Tuhan sepertinya tidak pernah memberikan upah yang setimpal kepadamu.
Engkau malah dibiarkan berjuang sendirian, sementara yang lain sepertinya menertawakanmu di belakang-belakang.
Apakah engkau mau pergi juga?
Apa gunanya engkau meninggalkan jejakmu di atas salju?
Untuk membiarkan aku mencari dan mencarinya tanpa perna menemukannya?
SEPUCUK SURAT UNTUK AVILA (4)
Avila,
Seiring berlalunya tetesan salju terakhir musim dingin ini, jejak yang engkau tinggalkan pun hilang ditelan senja.
Apakah segala usahaku mencari jejakmu selama ini sia-sia?
Sekarang engkau justru mengajakku untuk menangkap gerimis.
Gerimis yang dulu pernah membasahi rambutmu, ketika bulan sabit menggigit bibirnya hingga mengalirkan dua tetes darah.
Aku masih ingat!
Waktu itu engkau banyak berbicara tentang kerapuhan manusiawimu.
Engkau cepat menangis bersama dengan yang menangis.
Engkau gampang tertipu karena kebaikanmu.
Imanmu mudah goyah ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit terpecahkan.
Merefleksikan pengalaman kerapuhanmu ini, aku tiba pada ambang kesadaran untuk berkata bersama Paulus: „Di saat aku merasa lemah dan tak berdaya, pada saat itulah sebenarnya aku kuat, karena rahmat Tuhan bekerja secara intensif dalam diriku“ (bdk. 2 Kor 12,10).
Paulus berbicara ini dari pengalaman kerapuhan manusiawinya.
„Agar aku jangan sampai menyombongkan diri karena pernyataan-pernyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku ... Tentang hal itu, aku sudah tiga kali berseruh kepada Tuhan ... tetapi Ia berkata kepadaku: Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna“ (2 Kor 12,7-9).
Avila,
aku tidak tahu, apa yang dimaksudkan Paulus dengan „duri dalam daging“.
Banyak dari teman-temanku mengatakan, bahwa duri dalam daging itu adalah penyakit epilepsi yang diderita Paulus.
Kalau ini benar, bisa dibayangkan bagaimana penderitaan yang menggerogoti eksistensinya.
Dalam situasi seperti itu, hanya ada dua alternatif: Berseruh kepada Tuhan memohon pertolongan, atau merasa frustrasi dan menarik diri dari segala keramaian jagat.
Paulus justru memilih sesuatu yang sangat lain dari biasa.
Ia menerima penderitaan dan kelemahan manusiawinya sembari percaya, bahwa Tuhan bekerja lewat kelemahan-kelemahan dirinya.
Apakah engkau masih merasa malu karena kerapuhan manusiawimu?
Tidak cukupkah kasih karuniaNya bagimu, sehingga engkau mencari kekuatan lain di balik gerimis malam?
SEPUCUK SURAT UNTUK AVILA (5)
Avila…
Gerimis malam masih menyapa aku dalam lamunanku, ketika tembang yang engkau kirimkan bergema.
Dari bias-bias nada yang mengalir, aku menangkap bulir-bulir rindumu untuk keluar dari fragmen keterpecahan manusiawimu.
Terus terang, aku mengagumi caramu menyapa malam.
Malah serat-serat rindu yang melilit bulan engkau pilin menjadi pelangi merah darah.
Di balik rona pelangi itu, engkau kutip kembali sapaan Paulus: „Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, karena justru dalam kelemahanmulah kuasaKu menjadi sempurna“ (2 Kor 12,9ª).
Ya, Avila,
Allah bekerja lewat kelemahan-kelemahan manusiawimu.
Ia tidak pernah menuntutmu untuk menjadi „Superman“.
Ia hanya memintamu untuk menjadi mitraNya dengan segala kelemahan yang melekat dalam dirimu.
Di hadapan Tuhan engkau tidak perlu membuktikan apa-apa, karena semua yang engkau lakukan dalam hidupmu hanyalah hasil dari anugerah cuma-cuma Allah.
Coba ingat kembali doa-doamu, Avila!
Betapa sering engkau memaksakan Tuhan untuk berbuat seperti yang engkau kehendaki, bukan seperti yang Ia mau.
Engkau berceritra tentang kelompok doa yang engkau pimpin.
Engkau mengeluh, bahwa sering engkau merasa seperti ditinggalkan teman-temanmu.
Berjuang sendiri.
“Wong, apakah kelompok doa ini hanya untuk aku dan keluargaku?”, demikianlah suara hatimu terus menerus menggigit uluh hatimu.
Lalu engkau meminta, supaya Tuhan datang dan langsung mengetuk pintu hati sesama untuk membantumu.
Padahal Tuhan bisa jadi mempunyai cara lain untuk itu, bukan seperti yang engkau inginkan.
Mengapa engkau tidak mengosongkan hati dan pikiranmu, sembari memohon petunjuk Tuhan supaya engkau bisa melihat jalan yang telah disediakanNya bagimu?
Berhentilah berusaha untuk mengejar gerimis, Avila, karena ia sudah ada dalam genggamanmu!
SEPUCUK SURAT UNTUK AVILA (6)
Avila...
Sembari menggenggam gerimis di tangan, engkau mengajakku untuk memandang pucuk pinus di jantung desember silam.
Aku masih ingat!
Waktu itu aku tak sempat membedakan air matamu dan hujan yang mengalir di keningmu, karena aku sibuk bermain dengan angin.
Sekarang baru aku tahu, bahwa airmata itu engkau masih simpan di pelupuk matamu.
Tetapi sejujurnya aku bangga, Avila!
Karena justru airmata itulah yang memilin kesabaranmu, hingga engkau menyapa kelopak pagi ini.
Menjawabi resah suaramu ketika engkau bertanya: “Sampai kapankah aku harus bersabar?”, aku hanya mampu menjawabnya dengan sebuah suguhan ceritra kecil. Begini, Avila:
“Beberapa tahun lalu hiduplah seorang janda di pedalaman Rusia bernama Varenka.
Suatu waktu berkobarlah perang saudara.
Semua penduduk di kampung-kampung bergegas mengungsi ke tempat lain.
Tetapi Varenka berkata: Kalau aku juga mengungsi, siapa yang akan menerima mereka yang ingin mencari tumpangan?
Suatu pagi, di saat udara masih bening, datanglah seorang gembala sederhana dengan satu-satunya domba yang masih tersisa.
Ia mengetuk pintu seraya berkata: "Terimalah kami dalam rumahmu. Kalau tidak kami akan mati di tangan para serdadu."
Varenka pun membuka pintunya.
Malam itu Varenka berdoa: „Tuhan, tolong dirikan sebuah tembok yang mengelilingi rumahku, supaya para serdadu tidak bisa masuk dalam rumahku dan membunuh kami.” Tetapi permohonannya tidak dikabulkan Tuhan.
Hari berikutnya datanglah seorang gadis kecil.
Ia kehilangan orang tua dan saudara-saudaranya dalam pengungsian.
Varenka pun membuka pintu untuknya.
Malam itu pun mereka berdoa lagi: „Tuhan, tolong dirikan sebuah tembok yang mengelilingi rumah ini, supaya para serdadu tidak bisa masuk dan membunuh kami.“
Tetapi Tuhan tetap tidak mengabulkan permohonannya.
Hari berikutnya mereka mendengar bunyi tembakan senjata semakin dekat.
Dalam ketakutan mereka pun berdoa lagi: „Tuhan, tolong dirikan sebuah tembok yang mengelilingi rumah ini, supaya para serdadu tidak bisa masuk dan membunuh kami.“
Sekali lagi Tuhan tidak mendengarkan doa mereka.
Malam berikutnya, ketika para serdadu semakin dekat ke rumahnya, turunlah badai salju yang hebat.
Saking banyaknya salju yang turun, sehingga rumah janda itu tertimbun salju hingga ke tepian atas jendela.
Para serdadu pun melewati rumahnya, tanpa tahu, bahwa di dalam rumah itu ada orang yang sementara mengatupkan tangannya di hadapan Tuhan.
Mereka pun selamat.
Sampai kapan engkau harus bersabar, Avila?
Tuhan tidak menolong dengan cara seperti yang engkau inginkan, tetapi Ia selalu menolong dengan cara yang Ia inginkan.
Janganlah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau mampu berbuat segalanya.
Biarkanlah tempat bagi Tuhan dalam kelemahanmu, karena Ia berkarya justru di saat engkau tidak mampu lagi dan menemukan jalan buntu.
Dalam Tuhan tidak ada kata terlambat!
Akuilah segala kelemahanmu dan biarkan Tuhan datang dan mengisi relung-relung hatimu dengan pengampunanNya yang tanpa batas.
Lihatlah di balik cakrawala.
Pucuk pinus desember silam masih melambai....
CAWAN ABU
Badai dan hujan abu
Menerjang ranting-ranting patah
Melantahkan serat pembalut matahari
Hingga darah mengucur dari langit
Di penghujung universum
Seorang abdi berdiri
Tangannya berlumuran darah
Selepas merenggut jantung ibunda
Tangan itu pernah kulihat
Ketika Desember silam ia mengangkat cawan
Di depannya ibunda bertekuk
Bersama dua rona mawar dalam perutnya
Badai dan hujan abu datang lagi
Mengisi cawan di genggaman tangannya
Sembari melihat ibunda bertekuk
Ia meneguk hujan abu hingga tetesan terakhir
Pada saat itu dua rona mawar menguncup
Menghiasi bibir ibunda
Lalu mereka meninggalkan malam
Yang masih ditaburi badai dan hujan abu...
Sankt Augustin, Rabu Abu 2013
Badai dan hujan abu
Menerjang ranting-ranting patah
Melantahkan serat pembalut matahari
Hingga darah mengucur dari langit
Di penghujung universum
Seorang abdi berdiri
Tangannya berlumuran darah
Selepas merenggut jantung ibunda
Tangan itu pernah kulihat
Ketika Desember silam ia mengangkat cawan
Di depannya ibunda bertekuk
Bersama dua rona mawar dalam perutnya
Badai dan hujan abu datang lagi
Mengisi cawan di genggaman tangannya
Sembari melihat ibunda bertekuk
Ia meneguk hujan abu hingga tetesan terakhir
Pada saat itu dua rona mawar menguncup
Menghiasi bibir ibunda
Lalu mereka meninggalkan malam
Yang masih ditaburi badai dan hujan abu...
Sankt Augustin, Rabu Abu 2013
SUJUDKU DIAM
Kau bilang kita lahir dari nafas,
Aku mengangguk, lalu melangkah,
Ingin memeluk bulan yang jatuh,
Dan menghantarnya ke pangkuanmu,
Biar seluruh dunia tahu,
Bahwa bulan yang jatuh itu milikmu.
Kau bilang kita lahir dari rindu,
Aku tertegun, lalu melangkah,
Melangkah ke ujung dunia,
Biar seluruh dunia tahu,
Bahwa ujung dunia adalah mahkota keabadianku.
Ketika kau bilang kita lahir untuk apa,
Sering kuberdiri di pinggir dunia,
Menyangka "Hauptbahnhof"* biara,
dan biara "Hauptbahnhof".
Di balik kesendirian pekat,
sujudku diam.
* Stasiun Kereta Api
Melangkah di remang rel senja,
Bonn.
Kau bilang kita lahir dari nafas,
Aku mengangguk, lalu melangkah,
Ingin memeluk bulan yang jatuh,
Dan menghantarnya ke pangkuanmu,
Biar seluruh dunia tahu,
Bahwa bulan yang jatuh itu milikmu.
Kau bilang kita lahir dari rindu,
Aku tertegun, lalu melangkah,
Melangkah ke ujung dunia,
Biar seluruh dunia tahu,
Bahwa ujung dunia adalah mahkota keabadianku.
Ketika kau bilang kita lahir untuk apa,
Sering kuberdiri di pinggir dunia,
Menyangka "Hauptbahnhof"* biara,
dan biara "Hauptbahnhof".
Di balik kesendirian pekat,
sujudku diam.
* Stasiun Kereta Api
Melangkah di remang rel senja,
Bonn.
MENGEJAR
MATAHARI
Istriku,
Marilah kita turun gunung
Menghisap endapan tanah liat
Yang menimbun rumah kita.
Nanti di persimpangan bukit berduri
Petiklah sekuntum bakung jingga
Untuk anak kita
Yang semestinya lahir kemarin pukul tujuh
Istriku,
Marilah kita turun gunung
Lepaslah bulan yang kau panen dari bara asmara
Nanti kuganti dengan mutiara
Yang kubentuk dari tetesan keringatku
Bergegaslah istriku,
Sebelum peronda malam
Menelan pelangi di matamu
Nanti malam,
Setelah kabut dari barat menghampirimu
Aku akan bangun mengejar matahari.
Sankt Augustin, 27 Februari 2013
Istriku,
Marilah kita turun gunung
Menghisap endapan tanah liat
Yang menimbun rumah kita.
Nanti di persimpangan bukit berduri
Petiklah sekuntum bakung jingga
Untuk anak kita
Yang semestinya lahir kemarin pukul tujuh
Istriku,
Marilah kita turun gunung
Lepaslah bulan yang kau panen dari bara asmara
Nanti kuganti dengan mutiara
Yang kubentuk dari tetesan keringatku
Bergegaslah istriku,
Sebelum peronda malam
Menelan pelangi di matamu
Nanti malam,
Setelah kabut dari barat menghampirimu
Aku akan bangun mengejar matahari.
Sankt Augustin, 27 Februari 2013
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (8)
Avila...
Jarak antara biru langit dan hatimu ternyata hanya dibatasi oleh sekat aroma malam.
Aku merasa tertipu, Avila!
Engkau bilang pucuk cemara telah patah diterpa angin barat. Ternyata engkau sendiri yang mematahkannya.
Engkau bilang jejakmu telah sirna bersama hilangnya tetesan salju terakhir musim dingin. Ternyata engkau sendiri yang menyembunyikannya di telaga musim gugur.
Engkau bilang naluri cakrawala lah yang memanggilmu pergi. Ternyata engkau pergi karena senja di matamu melahirkan matahari.
Engkau tak pernah bosan mengajakku untuk menangkap gerimis. Padahal gerimis itu sudah ada dalam genggamanmu.
Engkau membuatku terpesona dengan caramu menyapa malam. Padahal rindumu telah kaukuburkan bersama jeritan senja.
Sungguh, aku merasa tertipu, Avila!
Sekarang engkau datang lagi dan berbicara tentang mimpimu menangkap biru langit.
Aku tidak perna lelah menghitung setiap huruf yang engkau tulis dengan tanganmu.
Malah desahan suara yang berada di balik coretan tinta birumu kubawa dalam tidurku yang sendiri.
Benakku terusik oleh mimpi-mimpi malam yang menggelisahkan.
Mengapa?
Karena engkau sekarang lebih suka berlari menuju sebuah dunia pengandaian.
Ingatlah, Avila!
Dunia pengandaian adalah sebuah dunia penuh pesona imaginasi.
Tetapi ia tetaplah sebuah dunia kata-kata khayalan dan pesona-pesona pikiran absurd.
Walaupun merasa tertipu, aku juga tidak mau menyembunyikan kebanggaanku.
Aku bangga karena di tengah kesibukanmu, engkau masih memalingkan matamu sejenak menuju masa lalu kehidupanmu, sembari menyimak segala hal yang pernah engkau lakukan.
Engkau benar, Avila.
Sebenarnya engkau harus berbuat lebih baik lagi, daripada yang telah engkau lakukan.
Banyak hal dalam kehidupanmu berjalan di luar apa yang sebenarnya engkau inginkan.
Tapi jangan lupa!
Secara faktual engkau tidak dapat merubahnya kembali.
Yang tertinggal hanyalah serpihan-serpihan makna yang mendorongmu untuk membangun kehidupanmu selanjutnya secara lebih reflektif dan lebih terinspirasi.
Avila... Maafkan aku telah mengehentikan usahamu mengejar biru langit.
Nanti bulan baru, aku akan membuka sekat aroma malam.
Di situ engkau tahu, bahwa jarak antara biru langit dan hatimu sebenarnya tidak berdurasi...
Avila...
Jarak antara biru langit dan hatimu ternyata hanya dibatasi oleh sekat aroma malam.
Aku merasa tertipu, Avila!
Engkau bilang pucuk cemara telah patah diterpa angin barat. Ternyata engkau sendiri yang mematahkannya.
Engkau bilang jejakmu telah sirna bersama hilangnya tetesan salju terakhir musim dingin. Ternyata engkau sendiri yang menyembunyikannya di telaga musim gugur.
Engkau bilang naluri cakrawala lah yang memanggilmu pergi. Ternyata engkau pergi karena senja di matamu melahirkan matahari.
Engkau tak pernah bosan mengajakku untuk menangkap gerimis. Padahal gerimis itu sudah ada dalam genggamanmu.
Engkau membuatku terpesona dengan caramu menyapa malam. Padahal rindumu telah kaukuburkan bersama jeritan senja.
Sungguh, aku merasa tertipu, Avila!
Sekarang engkau datang lagi dan berbicara tentang mimpimu menangkap biru langit.
Aku tidak perna lelah menghitung setiap huruf yang engkau tulis dengan tanganmu.
Malah desahan suara yang berada di balik coretan tinta birumu kubawa dalam tidurku yang sendiri.
Benakku terusik oleh mimpi-mimpi malam yang menggelisahkan.
Mengapa?
Karena engkau sekarang lebih suka berlari menuju sebuah dunia pengandaian.
Ingatlah, Avila!
Dunia pengandaian adalah sebuah dunia penuh pesona imaginasi.
Tetapi ia tetaplah sebuah dunia kata-kata khayalan dan pesona-pesona pikiran absurd.
Walaupun merasa tertipu, aku juga tidak mau menyembunyikan kebanggaanku.
Aku bangga karena di tengah kesibukanmu, engkau masih memalingkan matamu sejenak menuju masa lalu kehidupanmu, sembari menyimak segala hal yang pernah engkau lakukan.
Engkau benar, Avila.
Sebenarnya engkau harus berbuat lebih baik lagi, daripada yang telah engkau lakukan.
Banyak hal dalam kehidupanmu berjalan di luar apa yang sebenarnya engkau inginkan.
Tapi jangan lupa!
Secara faktual engkau tidak dapat merubahnya kembali.
Yang tertinggal hanyalah serpihan-serpihan makna yang mendorongmu untuk membangun kehidupanmu selanjutnya secara lebih reflektif dan lebih terinspirasi.
Avila... Maafkan aku telah mengehentikan usahamu mengejar biru langit.
Nanti bulan baru, aku akan membuka sekat aroma malam.
Di situ engkau tahu, bahwa jarak antara biru langit dan hatimu sebenarnya tidak berdurasi...
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (9)
Avila...
Bunyi tekukur terdengar di tanah kita, pertanda musim memangkas tlah tiba.
Adegan gadis kecil yang menunggu hujan di tengah ladang seperti yang engkau ceritrakan dalam suratmu tak pernah minggat dari pelataran keningku.
Juga adegan bocah kecil yang mengais mutiara di angin sempat mencuri ketenangan tidurku semalam.
Tahukah engkau, Avila, betapa hatiku pun rindu untuk mengubah airmata mereka menjadi hujan?
Untuk menyulap arakan awan menjadi serpihan-serpihan mutiara berharga?
Aku tahu, engkau pun letih membantu mereka, Avila.
Membantu mereka yang menunggu dalam ketakpastian.
Menopang mereka yang mengais dalam kesia-siaan.
Guratan lelah di keningmu kurasakan seperti jeritan pucuk cemara yang patah.
Bilur di bibirmu mengingatkanku kembali akan saat-saat, ketika kembang yang kausiapkan untuk menyambut gerhana, tiba-tiba diterbangkan ke balik rembulan.
Aku mengerti perasaanmu, Avila.
Terkadang engkau merasa seperti bulan jatuh dan menindih jiwamu.
Tetapi mengapa aku masih tetap punya alasan untuk berbangga?
Karena bulan yang menindih jiwamu telah kauiris-iris menjadi serpihan pamacu rindu.
Avila...
Sebelum tinta terakhir penaku mengakhiri jeritan rinduku pada ladang titipan ayahmu, kuingin menyiram jiwamu dengan sapaan Yesus dalam Markus 6,31: "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
Waktu itu Yesus melihat bias-bias lelah yang terpancang pada wajah murid-muridNya, setelah mereka pulang mewartakan kabar gembira ke segenap umat tertebus.
Ia mengundang mereka untuk beristirahat barang sejenak dan mengalami apa artinya „kesendirian bermakna“.
Ketika tugas-tugas menyita tenaga dan pikiran, sementara masih terdapat begitu banyak „mata“ yang mengharapkan sentuhan para murid yang terberkati, sampai makan pun mereka tak sempat, Yesus melafalkan sebuah kalimat sederhana: „Berhentilah sejenak!“
"Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
Avila...
Ambillah waktu untuk merasakan sepoi angin senja yang mengalir menelusuri pori-pori jiwamu.
Beranikanlah dirimu untuk keluar dari labirint persoalan yang mengukung kebebasanmu.
Janganlah bersikap, seolah-olah dunia tak dapat berputar lagi tanpa campur tanganmu.
Seolah-olah tanpa dirimu bulan jatuh dan menindih bumi.
Sampaikan salamku untuk gadis kecil yang masih menunggu hujan di tengah ladang titipan ayahmu.
Sampaikan rinduku juga untuk bocah kecil yang masih tetap mengais mutiara di angin.
Untukmu Avila... Berhentilah sejenak dan duduklah di bawah pohon Tarbantin di sebelah selatan petak jagung ayahmu.
Tunggulah sampai aku datang dan menyapamu sebelum senja bergerak ke peraduan malam.
Avila...
Bunyi tekukur terdengar di tanah kita, pertanda musim memangkas tlah tiba.
Adegan gadis kecil yang menunggu hujan di tengah ladang seperti yang engkau ceritrakan dalam suratmu tak pernah minggat dari pelataran keningku.
Juga adegan bocah kecil yang mengais mutiara di angin sempat mencuri ketenangan tidurku semalam.
Tahukah engkau, Avila, betapa hatiku pun rindu untuk mengubah airmata mereka menjadi hujan?
Untuk menyulap arakan awan menjadi serpihan-serpihan mutiara berharga?
Aku tahu, engkau pun letih membantu mereka, Avila.
Membantu mereka yang menunggu dalam ketakpastian.
Menopang mereka yang mengais dalam kesia-siaan.
Guratan lelah di keningmu kurasakan seperti jeritan pucuk cemara yang patah.
Bilur di bibirmu mengingatkanku kembali akan saat-saat, ketika kembang yang kausiapkan untuk menyambut gerhana, tiba-tiba diterbangkan ke balik rembulan.
Aku mengerti perasaanmu, Avila.
Terkadang engkau merasa seperti bulan jatuh dan menindih jiwamu.
Tetapi mengapa aku masih tetap punya alasan untuk berbangga?
Karena bulan yang menindih jiwamu telah kauiris-iris menjadi serpihan pamacu rindu.
Avila...
Sebelum tinta terakhir penaku mengakhiri jeritan rinduku pada ladang titipan ayahmu, kuingin menyiram jiwamu dengan sapaan Yesus dalam Markus 6,31: "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
Waktu itu Yesus melihat bias-bias lelah yang terpancang pada wajah murid-muridNya, setelah mereka pulang mewartakan kabar gembira ke segenap umat tertebus.
Ia mengundang mereka untuk beristirahat barang sejenak dan mengalami apa artinya „kesendirian bermakna“.
Ketika tugas-tugas menyita tenaga dan pikiran, sementara masih terdapat begitu banyak „mata“ yang mengharapkan sentuhan para murid yang terberkati, sampai makan pun mereka tak sempat, Yesus melafalkan sebuah kalimat sederhana: „Berhentilah sejenak!“
"Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
Avila...
Ambillah waktu untuk merasakan sepoi angin senja yang mengalir menelusuri pori-pori jiwamu.
Beranikanlah dirimu untuk keluar dari labirint persoalan yang mengukung kebebasanmu.
Janganlah bersikap, seolah-olah dunia tak dapat berputar lagi tanpa campur tanganmu.
Seolah-olah tanpa dirimu bulan jatuh dan menindih bumi.
Sampaikan salamku untuk gadis kecil yang masih menunggu hujan di tengah ladang titipan ayahmu.
Sampaikan rinduku juga untuk bocah kecil yang masih tetap mengais mutiara di angin.
Untukmu Avila... Berhentilah sejenak dan duduklah di bawah pohon Tarbantin di sebelah selatan petak jagung ayahmu.
Tunggulah sampai aku datang dan menyapamu sebelum senja bergerak ke peraduan malam.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (10)
Avila...
Aku merasa berdosa, membiarkanmu menunggu di bawah pohon Tarbantin sembari menyimak arakan awan berlalu.
Aku mengerti gundah perasaanmu, karena di tempat itu engkau pernah belajar mengukir jejak waktu.
Aku teringat akan guratan amarah di wajahmu, ketika angin senja datang membawa pesan: „Besok matahari terbit di barat!“
Aku juga terkenang akan sehelai rambutmu yang jatuh tepat di atas bilur waktu, sementara jejak yang engkau tinggalkan di jalan setapak meratap sedih karena semakin ditinggalkan.
Ketahuilah, Avila...
Ratapan jejak-jejakmu itulah yang menempa hatimu untuk bertahan menahan kerasnya musim dingin kehidupanmu.
Avila...
Membiarkanmu menunggu bukan berarti aku tak menghargai jejak waktu yang pernah engkau ukir.
Bersabarlah! Aku di sini masih berjuang untuk menyulap bukit gersang menjadi anak sungai berair jernih.
Kemarin aku terpaksa menghentikan perjuanganku untuk sementara, karena suara hatiku terus menerus digigit oleh ketaksabaranmu menunggu dalam keheningan.
Apakah engkau sudah lupa, bahwa pohon Tarbantin di ladang ayahmu begitu setia menunggumu dalam keheningan?
Pernakah engkau mendengar keluhan pohon Tarbantin, bahwa sepanjang hidupnya ia mengunyah kesepian hari demi hari?
Bersabarlah Avila dan renungkan kembali ajakan Yesus dalam Markus 6,31: "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
Aku tahu: Tanpa sadar sehari sudah berlalu lagi, sementara masih ada begitu banyak hal yang belum sempat engkau selesaikan.
Tugas-tugas dan kewajibanmu semakin menumpuk, sementara perjalanan waktu dan peredaran bumi mengelilingi matahari tak dapat ditunda.
Aku mengerti kalau engkau merasa letih dalam perjalanan waktu. Stress!
Tetapi tahukah engkau, apa yang membuatku geram, Avila?
Bahwa engkau harus menelan pil untuk menghilangkan stress, untuk bisa tidur dan untuk bisa melanjutkan kerja.
Apakah pil-pil penenang dapat menjawabi segala persoalan hidupmu?
Avila... Kalau pohon Tarbantin saja begitu setia menunggumu, apalagi Yesus yang engkau imani sejak kecil!
Ia mengundangmu untuk berhenti sejenak dan bertanya: Untuk apa segala kesibukan-kesibukan harianmu?
Makna apa yang berada di balik kisi-kisi kesibukan harianmu?
Warna apa yang harus engkau ambil untuk memetakan perjalanan hidupmu selanjutnya?
Bukankah engkau hidup untuk meneguk sebuah „nilai lebih“ daripada berjalan tak tentu arah ditempa gelombang zaman?
Aku akan datang Avila, setelah bukit gersang ini sudah berubah menjadi anak sungai berair jernih.
Pada saatnya bulan akan tersenyum, karena jejak waktu yang engkau ukir dalam keheningan terpancang di jantung cakrawala.
Avila...
Aku merasa berdosa, membiarkanmu menunggu di bawah pohon Tarbantin sembari menyimak arakan awan berlalu.
Aku mengerti gundah perasaanmu, karena di tempat itu engkau pernah belajar mengukir jejak waktu.
Aku teringat akan guratan amarah di wajahmu, ketika angin senja datang membawa pesan: „Besok matahari terbit di barat!“
Aku juga terkenang akan sehelai rambutmu yang jatuh tepat di atas bilur waktu, sementara jejak yang engkau tinggalkan di jalan setapak meratap sedih karena semakin ditinggalkan.
Ketahuilah, Avila...
Ratapan jejak-jejakmu itulah yang menempa hatimu untuk bertahan menahan kerasnya musim dingin kehidupanmu.
Avila...
Membiarkanmu menunggu bukan berarti aku tak menghargai jejak waktu yang pernah engkau ukir.
Bersabarlah! Aku di sini masih berjuang untuk menyulap bukit gersang menjadi anak sungai berair jernih.
Kemarin aku terpaksa menghentikan perjuanganku untuk sementara, karena suara hatiku terus menerus digigit oleh ketaksabaranmu menunggu dalam keheningan.
Apakah engkau sudah lupa, bahwa pohon Tarbantin di ladang ayahmu begitu setia menunggumu dalam keheningan?
Pernakah engkau mendengar keluhan pohon Tarbantin, bahwa sepanjang hidupnya ia mengunyah kesepian hari demi hari?
Bersabarlah Avila dan renungkan kembali ajakan Yesus dalam Markus 6,31: "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
Aku tahu: Tanpa sadar sehari sudah berlalu lagi, sementara masih ada begitu banyak hal yang belum sempat engkau selesaikan.
Tugas-tugas dan kewajibanmu semakin menumpuk, sementara perjalanan waktu dan peredaran bumi mengelilingi matahari tak dapat ditunda.
Aku mengerti kalau engkau merasa letih dalam perjalanan waktu. Stress!
Tetapi tahukah engkau, apa yang membuatku geram, Avila?
Bahwa engkau harus menelan pil untuk menghilangkan stress, untuk bisa tidur dan untuk bisa melanjutkan kerja.
Apakah pil-pil penenang dapat menjawabi segala persoalan hidupmu?
Avila... Kalau pohon Tarbantin saja begitu setia menunggumu, apalagi Yesus yang engkau imani sejak kecil!
Ia mengundangmu untuk berhenti sejenak dan bertanya: Untuk apa segala kesibukan-kesibukan harianmu?
Makna apa yang berada di balik kisi-kisi kesibukan harianmu?
Warna apa yang harus engkau ambil untuk memetakan perjalanan hidupmu selanjutnya?
Bukankah engkau hidup untuk meneguk sebuah „nilai lebih“ daripada berjalan tak tentu arah ditempa gelombang zaman?
Aku akan datang Avila, setelah bukit gersang ini sudah berubah menjadi anak sungai berair jernih.
Pada saatnya bulan akan tersenyum, karena jejak waktu yang engkau ukir dalam keheningan terpancang di jantung cakrawala.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (12)
Avila...
Waktumu menungguku ternyata bukanlah waktu yang sia-sia.
Engkau banyak belajar berbicara dengan angin.
Gadis cilik yang menunggu hujan di tengah ladang kauberikan sekeping harapan dengan lukisan biru „jejak waktu“ di sudut prahara langit.
Tangisan bocah kecil yang mengais mutiara di angin engkau rekam di dasar jiwamu.
Riak-riak waktu yang berjalan lewat engkau sematkan di dadamu.
Sembilu jejak-jejakmu yang semakin jauh ditinggalkan kau abadikan dalam lukisan gerhana.
Inilah sebenarnya Avila yang aku kenal.
Masih ingat elegi rabu petang di penghujung bulan baru, ketika aku harus meninggalkanmu?
Ketika kita menyusuri hamparan padang ilalang dalam diam yang menghanyutkan?
Dan ketika engkau melihat guratan malam di keningku, engkau berjanji untuk menerjemahkan diammu dalam kata-kata penuh nuansa?
Avila... Hari ini, ketika membaca kalimat pertama suratmu yang penuh nuansa, aku merasa seperti dilahirkan kembali.
Engkau menulis dalam bahasa yang sudah kaugeluti selama tujuh tahun: “Mir ist ein Stein vom Herzen gefallen!”
Juga kalau pribahasa Jerman ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti yang berada di baliknya sungguh mengena situasi jiwamu dan jiwaku saat ini: Dari relung hati dan jiwaku, sebuah batu yang selama ini menindih tiba-tiba terlepas dengan sendirinya!
Ya, Avila, aku legah!
Setelah terombang ambing antara harapan dan kenyataan, dokter akhirnya mengeluarkan hasil diagnosa, bahwa apa yang kauderita sekarang, bukanlah penyakit seperti yang kau takutkan selama ini.
Tahukah engkau, Avila, bahwa perubahan waktu hari ini tidak memiliki sedikit pun makna untukku?
Bagaikan sebuah batu terlepas dari relung hati dan jiwaku!
Menyimak situasimu dan situasiku saat ini, aku teringat akan raut wajah ibumu ketika engkau menamatkan kuliahmu beberapa tahun silam.
Setelah sekian lama membiayai kuliahmu dengan peluh dan keringat, akhirnya engkau dinyatakan lulus dengan hasil yang sangat memuaskan.
Bukan hanya itu. Setelah lulus, engkau pun langsung mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan yang terkenal.
Betapa legahnya hati ibumu.
„Ihr ist ein Stein vom Herzen gefallen“: Bagaikan sebuah batu terlepas dari dasar hati dan jiwanya.
Avila...
Betapa indahnya hadiah Paskah untukmu tahun ini.
”Dir ist ein Stein vom Herzen gefallen”: Bagaikan sebuah batu terpepas dari dasar hati dan jiwamu!
Seandainya jarak yang memisahkan kita hanyalah sebuah jarak geografis, kuingin kepakkan sayapku malam ini untuk berbagi kebahagiaan bersamamu.
Tetapi engkau tahu, Avila: Jarak yang memisahkan kita ini adalah sebuah jarak eksistensial.
Kalau sempat, kirimkan batu yang terlepas dari relung jiwamu untukku di perantauan.
Aku akan berusaha memahatnya menjadi mutiara yang menghubungkan titian hati.
Avila...
Waktumu menungguku ternyata bukanlah waktu yang sia-sia.
Engkau banyak belajar berbicara dengan angin.
Gadis cilik yang menunggu hujan di tengah ladang kauberikan sekeping harapan dengan lukisan biru „jejak waktu“ di sudut prahara langit.
Tangisan bocah kecil yang mengais mutiara di angin engkau rekam di dasar jiwamu.
Riak-riak waktu yang berjalan lewat engkau sematkan di dadamu.
Sembilu jejak-jejakmu yang semakin jauh ditinggalkan kau abadikan dalam lukisan gerhana.
Inilah sebenarnya Avila yang aku kenal.
Masih ingat elegi rabu petang di penghujung bulan baru, ketika aku harus meninggalkanmu?
Ketika kita menyusuri hamparan padang ilalang dalam diam yang menghanyutkan?
Dan ketika engkau melihat guratan malam di keningku, engkau berjanji untuk menerjemahkan diammu dalam kata-kata penuh nuansa?
Avila... Hari ini, ketika membaca kalimat pertama suratmu yang penuh nuansa, aku merasa seperti dilahirkan kembali.
Engkau menulis dalam bahasa yang sudah kaugeluti selama tujuh tahun: “Mir ist ein Stein vom Herzen gefallen!”
Juga kalau pribahasa Jerman ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti yang berada di baliknya sungguh mengena situasi jiwamu dan jiwaku saat ini: Dari relung hati dan jiwaku, sebuah batu yang selama ini menindih tiba-tiba terlepas dengan sendirinya!
Ya, Avila, aku legah!
Setelah terombang ambing antara harapan dan kenyataan, dokter akhirnya mengeluarkan hasil diagnosa, bahwa apa yang kauderita sekarang, bukanlah penyakit seperti yang kau takutkan selama ini.
Tahukah engkau, Avila, bahwa perubahan waktu hari ini tidak memiliki sedikit pun makna untukku?
Bagaikan sebuah batu terlepas dari relung hati dan jiwaku!
Menyimak situasimu dan situasiku saat ini, aku teringat akan raut wajah ibumu ketika engkau menamatkan kuliahmu beberapa tahun silam.
Setelah sekian lama membiayai kuliahmu dengan peluh dan keringat, akhirnya engkau dinyatakan lulus dengan hasil yang sangat memuaskan.
Bukan hanya itu. Setelah lulus, engkau pun langsung mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan yang terkenal.
Betapa legahnya hati ibumu.
„Ihr ist ein Stein vom Herzen gefallen“: Bagaikan sebuah batu terlepas dari dasar hati dan jiwanya.
Avila...
Betapa indahnya hadiah Paskah untukmu tahun ini.
”Dir ist ein Stein vom Herzen gefallen”: Bagaikan sebuah batu terpepas dari dasar hati dan jiwamu!
Seandainya jarak yang memisahkan kita hanyalah sebuah jarak geografis, kuingin kepakkan sayapku malam ini untuk berbagi kebahagiaan bersamamu.
Tetapi engkau tahu, Avila: Jarak yang memisahkan kita ini adalah sebuah jarak eksistensial.
Kalau sempat, kirimkan batu yang terlepas dari relung jiwamu untukku di perantauan.
Aku akan berusaha memahatnya menjadi mutiara yang menghubungkan titian hati.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (14)
Avila...
Aku tidak tahu, bahwa setelah menitip kemasan sari pelangi di lembah Kamboja Jepang, engkau masih setia datang ke tempat itu tiap pukul tujuh.
Walaupun engkau tidak mengekspresikan maksudmu dalam surat, aku dapat menangkap linangan rindu di setiap huruf yang mengalir dari tarian jemarimu, betapa engkau mengharapkan supaya titipanmu tiba sebelum bulan menelan matahari.
Aku trenyuh dengan kesetiaanmu, Avila.
Ingin rasanya kuberenang melawan arus sungai menjemput kemasan titian hatimu. Tetapi sengat malam tiba-tiba melumpuhkan impianku.
Aku menghargai kepercayaanmu padaku, Avila. Engkau menitip kemasan pelangi kepadaku, karena aku telah berjanji untuk memahatnya menjadi mutiara yang menghubungkan titian hati.
Tak sadar, aku pun tenggelam dalam mekanisme keakuanku yang fana.
Motivasiku memang selangit untuk membantumu keluar dari labirin persoalanmu.
Tapi aku lupa, bahwa terkadang aku terlalu mengandalkan kemampuanku, seolah-olah aku dapat membalikkan arah aliran arus sungai yang mengalir ke hilir ketakmengertianku.
Avila... kuharap engkau tidak kecewa setelah mengunyah ketakmampuanku memahat batu yang menindih jiwamu.
Ingatlah peristiwa Paska kemarin! Sembari memikul kemasan batu besar yang menindih jiwanya setelah peristiwa jumat agung, para perempuan bergegas ke kubur Yesus.
Mereka ingin meminyaki tubuhNya sebagai tanda penghormatannya yang terakhir.
Tetapi sebagai wanita mereka pun bertanya: „Siapa yang akan menggulingkan batu besar itu bagi kita dari pintu kubur?“
Sejujurnya, peristiwa Paska inilah yang memangkas kesombongan diriku untuk menggulingkan batu dari dasar jiwamu.
Seperti para wanita yang datang ke kubur Yesus, aku pun akhirnya merasa tak berdaya dan bertanya: Siapa yang akan menggulingkan batu itu dari pintu kubur harapanmu?
Siapa yang akan mengambil batu yang selama ini menekan jiwamu?
Avila.. Dengan kekuatan sendiri, kita tidak akan sanggup menggulingkan batu dari pintu kubur harapan kita. Kita pun tak berdaya untuk mengambil batu dari dasar jiwa, batu yang selama ini menjadi beban hidup kita.
Tetapi jangan takut! Ceritra tidak berakhir di sini.
„Ketika mereka melihat dari dekat, tampaklah, batu yang memang sangat besar itu sudah terguling“ (Mk 16,4).
Di saat kita merasa tak berdaya dan hampir kehilangan harapan, justru pada saat itu rahmat Allah bekerja. Batu yang menghalangi kehidupan dari kematian tiba-tiba sudah terguling.
Batu yang menekan jiwa kita, tiba-tiba jatuh dengan sendirinya karena kekuatan dari atas.
Avila... aku bukannya mengkhianati kesetiaan dan kepercayaanmu padaku. Bukan!!
Besok pagi pukul tujuh, kalau engkau datang lagi ke lembah Kamboja Jepang, ingatlah, bahwa akupun masih setia menunggu kemasan pelangimu sembari memandang riak-riak gelombang kecil yang mengalir lewat.
Kalau buritan senja memanggilku, sebelum pergi aku akan memangkas kembang bakawali yang tumbuh di taman delima.
Di hadapan DIA yang sanggup menggulingkan batu dari pintu kubur harapanmu, akan kurangkai bakawali berdaun delima.
Di tempat itulah akan kubawa kemasan pelangimu, kalau arus aliran air sudah membawanya ke sini.
Avila... Besok pukul tujuh aku datang lagi.
Avila...
Aku tidak tahu, bahwa setelah menitip kemasan sari pelangi di lembah Kamboja Jepang, engkau masih setia datang ke tempat itu tiap pukul tujuh.
Walaupun engkau tidak mengekspresikan maksudmu dalam surat, aku dapat menangkap linangan rindu di setiap huruf yang mengalir dari tarian jemarimu, betapa engkau mengharapkan supaya titipanmu tiba sebelum bulan menelan matahari.
Aku trenyuh dengan kesetiaanmu, Avila.
Ingin rasanya kuberenang melawan arus sungai menjemput kemasan titian hatimu. Tetapi sengat malam tiba-tiba melumpuhkan impianku.
Aku menghargai kepercayaanmu padaku, Avila. Engkau menitip kemasan pelangi kepadaku, karena aku telah berjanji untuk memahatnya menjadi mutiara yang menghubungkan titian hati.
Tak sadar, aku pun tenggelam dalam mekanisme keakuanku yang fana.
Motivasiku memang selangit untuk membantumu keluar dari labirin persoalanmu.
Tapi aku lupa, bahwa terkadang aku terlalu mengandalkan kemampuanku, seolah-olah aku dapat membalikkan arah aliran arus sungai yang mengalir ke hilir ketakmengertianku.
Avila... kuharap engkau tidak kecewa setelah mengunyah ketakmampuanku memahat batu yang menindih jiwamu.
Ingatlah peristiwa Paska kemarin! Sembari memikul kemasan batu besar yang menindih jiwanya setelah peristiwa jumat agung, para perempuan bergegas ke kubur Yesus.
Mereka ingin meminyaki tubuhNya sebagai tanda penghormatannya yang terakhir.
Tetapi sebagai wanita mereka pun bertanya: „Siapa yang akan menggulingkan batu besar itu bagi kita dari pintu kubur?“
Sejujurnya, peristiwa Paska inilah yang memangkas kesombongan diriku untuk menggulingkan batu dari dasar jiwamu.
Seperti para wanita yang datang ke kubur Yesus, aku pun akhirnya merasa tak berdaya dan bertanya: Siapa yang akan menggulingkan batu itu dari pintu kubur harapanmu?
Siapa yang akan mengambil batu yang selama ini menekan jiwamu?
Avila.. Dengan kekuatan sendiri, kita tidak akan sanggup menggulingkan batu dari pintu kubur harapan kita. Kita pun tak berdaya untuk mengambil batu dari dasar jiwa, batu yang selama ini menjadi beban hidup kita.
Tetapi jangan takut! Ceritra tidak berakhir di sini.
„Ketika mereka melihat dari dekat, tampaklah, batu yang memang sangat besar itu sudah terguling“ (Mk 16,4).
Di saat kita merasa tak berdaya dan hampir kehilangan harapan, justru pada saat itu rahmat Allah bekerja. Batu yang menghalangi kehidupan dari kematian tiba-tiba sudah terguling.
Batu yang menekan jiwa kita, tiba-tiba jatuh dengan sendirinya karena kekuatan dari atas.
Avila... aku bukannya mengkhianati kesetiaan dan kepercayaanmu padaku. Bukan!!
Besok pagi pukul tujuh, kalau engkau datang lagi ke lembah Kamboja Jepang, ingatlah, bahwa akupun masih setia menunggu kemasan pelangimu sembari memandang riak-riak gelombang kecil yang mengalir lewat.
Kalau buritan senja memanggilku, sebelum pergi aku akan memangkas kembang bakawali yang tumbuh di taman delima.
Di hadapan DIA yang sanggup menggulingkan batu dari pintu kubur harapanmu, akan kurangkai bakawali berdaun delima.
Di tempat itulah akan kubawa kemasan pelangimu, kalau arus aliran air sudah membawanya ke sini.
Avila... Besok pukul tujuh aku datang lagi.
Mengenang
dua tahun kematian ayah...
DIAM-MU MENGGUGAT
Selepas meninggalkan buritan lembah
Engkau diam-diam jatuh cinta
Pada seorang gadis berjilbab ungu
Tetapi sepucuk surat cinta untuknya pun
Tak sempat kaukirim
Walau telah menulisnya
Diam-diam engkau membangun rumah
Menyusun batu yang satu di atas yang lain
Memagarinya dengan cinta
Yang engkau bentuk dari pualam merah darah
Gadis berjilbab ungu pun
Terlanjur jatuh cinta pada diam-mu
Diam-mu membuahkan lima benua
Di atasnya engkau tanam pohon pengetahuan
Menyiraminya dengan peluh irisan sukma
Yang mengalir dari pori-pori lambungmu
Hingga melahirkan anak sungai bercabang dua
Dalam diam
Sengat waktu menguji diam-mu
Ketika surat cinta
Yang dulu tak sempat kaukirimkan kepadanya
Dicarik-carik waktu
Hingga gadis berjilbab ungu pun ditelan gerhana
Kali ini engkau sungguh-sungguh diam!
Di kebisuan senja
Diam-mu terpatri abadi
Tak seorang pun menemani pergulatanmu terakhir
Hanya nyanyian alam
Yang menyaksikan diam-mu
Diiringi tetesan airmata langit
Sankt Augustin, 16 April 2013
DIAM-MU MENGGUGAT
Selepas meninggalkan buritan lembah
Engkau diam-diam jatuh cinta
Pada seorang gadis berjilbab ungu
Tetapi sepucuk surat cinta untuknya pun
Tak sempat kaukirim
Walau telah menulisnya
Diam-diam engkau membangun rumah
Menyusun batu yang satu di atas yang lain
Memagarinya dengan cinta
Yang engkau bentuk dari pualam merah darah
Gadis berjilbab ungu pun
Terlanjur jatuh cinta pada diam-mu
Diam-mu membuahkan lima benua
Di atasnya engkau tanam pohon pengetahuan
Menyiraminya dengan peluh irisan sukma
Yang mengalir dari pori-pori lambungmu
Hingga melahirkan anak sungai bercabang dua
Dalam diam
Sengat waktu menguji diam-mu
Ketika surat cinta
Yang dulu tak sempat kaukirimkan kepadanya
Dicarik-carik waktu
Hingga gadis berjilbab ungu pun ditelan gerhana
Kali ini engkau sungguh-sungguh diam!
Di kebisuan senja
Diam-mu terpatri abadi
Tak seorang pun menemani pergulatanmu terakhir
Hanya nyanyian alam
Yang menyaksikan diam-mu
Diiringi tetesan airmata langit
Sankt Augustin, 16 April 2013
SEPUCUK SURAT UNTUK AVILA (15)
Avila...
Menanti pukul tujuh bak bercermin pada sungai yang mengalir.
Setiap detak jam dinding di kamarku memberikan isyarat, bahwa sedetik hidupku telah berlalu.
Aku melambaikan tangan perpisahan pada molekul-molekul saat yang telah membentuk nirwarna hatiku. Mereka adalah bagian hidupku tapi bukan menjadi milikku.
Kuharap engkau tidak menertawakan aku, bahwa sepanjang malam aku hanya duduk menghitung detak-detak jam dinding di kamarku. Aku menghitungnya detik demi detik, karena engkau tahu: setiap detik penantian memancarkan aroma rindu yang berbeda.
Menjelang subuh aku merasa lelah dan tertidur.
Dalam tidurku yang singkat menanti pukul tujuh, aku melihat lagi dalam mimpiku goresan tinta emas jemarimu: “Mir ist ein Stein vom Herzen gefallen“ (Bagaikan sebuah batu terlepas dari dasar jiwaku). Ketika terjaga dari tidur, bibirku berucap: Inilah Paska untukmu dan untukku, Avila!
Masih dililit sengat goresanmu, aku malah teringat akan malam paska kita di lautan lepas beberapa tahun silam, saat mengantarmu mencari manik-manik masa depanmu.
Di tengah arus dan gelombang, telinga kita sempat menangkap pesan dan amanat paska yang disiarkan lewat corong pengeras suara: "Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia“ (Mrk 16,6-7).
Sebuah pesan singkat sarat makna.
Di depan mataku aku masih melihat perubahan rona wajahmu setelah mengunyah pesan ini. Tahukah engkau, Avila, bahwa aku sempat mengabadikan perubahan rona wajahmu itu dalam lembaran kenangan di dasar jiwaku?
Avila... Sebelum berangkat menanti datangnya kemasan pelangimu, tak ingin kulewatkan waktu yang singkat ini untuk merangkai fragmen-fragmen harapanku untukmu:
Jangan takut! Imanmu akan Kristus yang bangkit dan imanmu akan kehidupan abadi tidak berhenti di pintu kubur.
Cinta Allah kepada dirimu tidak terkubur dengan peristiwa jumad agung. Cinta Allah itu lebih kuat dari kematian.
Batu yang selama ini menekan jiwamu hingga engkau tak berdaya menghadapi kehidupan, bukan jatuh dengan sendirinya dari dasar jiwamu.
Batu itu telah diambil oleh Dia yang disalibkan, wafat dan dibangkitkan pada hari ketiga.
Harapanmu yang sudah lama kaukuburkan, bangkit kembali. Inilah Paska!
Avila... Sebenarnya aku masih ingin mengemas fragmen-fragmen harapanku untukmu.
Tetapi detak-detak terakhir menuju pukul tujuh telah berdering.
Aku harus bergegas ke hilir sungai menuju lubuk sempit. Di sana akan kutebarkan molekul-molekul saat yang telah mengikat hatimu dan hatiku.
Kubiarkan mereka dibawah aliran sungai menuju pelabuhan Artatis, tempat engkau pernah mendulang manik-manik masa depanmu.
Avila.. Aku harus berpacu dengan waktu, karena kuingin mendapatkan kemasan sari pelangimu sebelum Bakawali berdaun Delima menjadi layu.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (16)
Avila...
Aku tak menyangka, kalau pelabuhan Artatis ternyata menyimpan segudang manik-manik nostalgia untukmu.
Aku melansirnya dalam suratku kemarin, karena aku tahu, bahwa dari pelabuhan itu engkau pernah belajar menggapai awan yang berlalu. Dari pelabuhan itu juga engkau pernah mengirimkan kepadaku pelangi tiga warna, setelah rintik hujan mengering di bulan desember.
Maafkan aku, karena aku tak sempat mendengar detak jantungmu yang kau alirkan lewat gelombang remang pagi.
Maafkan aku, karena aku membiarkanmu bergumul dengan gerimis yang tegah menembusi prahara jiwamu.
Menyimak elegi pelabuhan Artatis yang kau deretkan huruf demi huruf dalam suratmu, aku merasa berdosa, Avila!
Berdosa karena telah membiarkan gelombang detak jantungmu berlalu dari sorotan keningku.
Berdosa karena gema pergulatanmu melawan gerimis kubiarkan berdengung di hampa udara.
Berdosa karena janjiku untuk berjalan bersamamu menyusuri liku-liku pantai Artatis, hilang bersama kemarau pelangi. Lebih berdosa lagi ketika aku tahu, bahwa besok pukul tujuh engkau bertolak lagi menuju palabuhan Artatis untuk mencari remah-remah pergulatanmu yang jatuh di telaga Maroni.
Avila... walau merasa berdosa, aku sungguh mengapresiasi usahamu untuk beranjak dari lembah Kamboja Jepang menuju pelabuhan Artatis.
Kukira engkau beranjak karena lelah menanti kemasan pelangi dariku. Ternyata engkau pergi karena sengatan „roh paska“ melantahkan sanubarimu.
Engkau benar, Avila! Peristiwa paska tidak berhenti setelah batu yang memisahkan kehidupan dari kematian digulingkan.
Engkau sendiri mengutip kata-kata Yesus yang bangkit dalam suratmu: “Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu" (Mrk 16:6-7).
Sujudku diam! Besok pukul tujuh engkau beranjak ke pelabuhan Artatis.
Bukankah pelabuhan Artatis itu adalah „Galilea“, tempat perutusanmu setelah batu digulingkan dari kubur harapanmu? Ingatlah, Avila! Setelah paska engkau pun diserahi tugas utuk mendahuluiNya ke „Galilea“.
Walaupun „Galilea“ yang kumaksudkan adalah sebuah tempat simbolis, dimana engkau mencari dan menemukan remah-remah pergulatanmu, coba simaklah juga nuansa Galilea di zaman Yesus dan berusaha untuk mengerti, mengapa Yesus mengutus murid-muridNya ke sana.
Galilea adalah tempat, dimana Yesus paling banyak menghabiskan waktuNya untuk memberikan kesaksian tentang Allah dalam kata dan perbuatanNya.
Galilea juga adalah tempat, dimana Yesus memanggil murid-muridNya.
Tak lupa pula, Galilea adalah tempat, dimana Yesus mengutus murid-muridNya untuk pergi berdua-dua dan mewartakan Injil: “Kerajaan Allah sudah dekat”.
Avila... Selamat beranjak menuju pelabuhan Artatis.
Sembari mencari remah-remah pergulatanmu, tolong sempatkan dirimu untuk singgah di kawasan Sekupang, simpang masuk ke daratan Merdeka.
Di sana engkau akan mendapatkan sepucuk kembang Hidayah yang telah mengering.
Saat itu engkau tahu, bahwa aku pun masih berjuang menemukan “Galilea-ku”.
Avila...
Aku tak menyangka, kalau pelabuhan Artatis ternyata menyimpan segudang manik-manik nostalgia untukmu.
Aku melansirnya dalam suratku kemarin, karena aku tahu, bahwa dari pelabuhan itu engkau pernah belajar menggapai awan yang berlalu. Dari pelabuhan itu juga engkau pernah mengirimkan kepadaku pelangi tiga warna, setelah rintik hujan mengering di bulan desember.
Maafkan aku, karena aku tak sempat mendengar detak jantungmu yang kau alirkan lewat gelombang remang pagi.
Maafkan aku, karena aku membiarkanmu bergumul dengan gerimis yang tegah menembusi prahara jiwamu.
Menyimak elegi pelabuhan Artatis yang kau deretkan huruf demi huruf dalam suratmu, aku merasa berdosa, Avila!
Berdosa karena telah membiarkan gelombang detak jantungmu berlalu dari sorotan keningku.
Berdosa karena gema pergulatanmu melawan gerimis kubiarkan berdengung di hampa udara.
Berdosa karena janjiku untuk berjalan bersamamu menyusuri liku-liku pantai Artatis, hilang bersama kemarau pelangi. Lebih berdosa lagi ketika aku tahu, bahwa besok pukul tujuh engkau bertolak lagi menuju palabuhan Artatis untuk mencari remah-remah pergulatanmu yang jatuh di telaga Maroni.
Avila... walau merasa berdosa, aku sungguh mengapresiasi usahamu untuk beranjak dari lembah Kamboja Jepang menuju pelabuhan Artatis.
Kukira engkau beranjak karena lelah menanti kemasan pelangi dariku. Ternyata engkau pergi karena sengatan „roh paska“ melantahkan sanubarimu.
Engkau benar, Avila! Peristiwa paska tidak berhenti setelah batu yang memisahkan kehidupan dari kematian digulingkan.
Engkau sendiri mengutip kata-kata Yesus yang bangkit dalam suratmu: “Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu" (Mrk 16:6-7).
Sujudku diam! Besok pukul tujuh engkau beranjak ke pelabuhan Artatis.
Bukankah pelabuhan Artatis itu adalah „Galilea“, tempat perutusanmu setelah batu digulingkan dari kubur harapanmu? Ingatlah, Avila! Setelah paska engkau pun diserahi tugas utuk mendahuluiNya ke „Galilea“.
Walaupun „Galilea“ yang kumaksudkan adalah sebuah tempat simbolis, dimana engkau mencari dan menemukan remah-remah pergulatanmu, coba simaklah juga nuansa Galilea di zaman Yesus dan berusaha untuk mengerti, mengapa Yesus mengutus murid-muridNya ke sana.
Galilea adalah tempat, dimana Yesus paling banyak menghabiskan waktuNya untuk memberikan kesaksian tentang Allah dalam kata dan perbuatanNya.
Galilea juga adalah tempat, dimana Yesus memanggil murid-muridNya.
Tak lupa pula, Galilea adalah tempat, dimana Yesus mengutus murid-muridNya untuk pergi berdua-dua dan mewartakan Injil: “Kerajaan Allah sudah dekat”.
Avila... Selamat beranjak menuju pelabuhan Artatis.
Sembari mencari remah-remah pergulatanmu, tolong sempatkan dirimu untuk singgah di kawasan Sekupang, simpang masuk ke daratan Merdeka.
Di sana engkau akan mendapatkan sepucuk kembang Hidayah yang telah mengering.
Saat itu engkau tahu, bahwa aku pun masih berjuang menemukan “Galilea-ku”.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (17)
Avila...
Menemukan “Galilea” ternyata tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.
Biru langit yang menarik simpati tak dapat kugapai dengan mengobral mimpi-mimpiku.
Oase di padang gurun kehidupan tak dapat kutemukan dengan mengejar bayanganku sendiri.
Ketahuilah, inilah yang melantahkan nubariku saat ini!
Kemarin aku berusaha mengejar bayanganku. Tetapi setiap kali aku menghampirinya, ia pun beranjak selangkah lagi meninggalkanku.
Apakah aku harus menyerah mengejar bayanganku, Avila?
Saat aku menorehkan bisunya rindu ini di atas kertas, aku tahu, bahwa engkau sementara berada di lautan lepas menuju pelabuhan Artatis.
Setiap kali memandang cakrawala, kulihat buritan hatimu membelah samudra.
Kupandang hingga ia berlalu dari jarak pantauan indraku.
Walaupun balasanmu enggan membuka pintu fajar untukku di pagi ini, aku sempat merasakan rintihan jiwamu yang kau pancarkan lewat sengatan mentari.
Kukira engkau tidak keberatan, kalau rintihan jiwamu ini kugenggam hingga kapalmu bertepi di pelabuhan “Antara”.
Ingatlah, Avila! Kalaupun di pelabuhan “Antara” engkau menemukan bakung jingga kesayanganmu, janganlah berhenti di situ dan membangun kemahmu.
Masih ingatkah engkau akan pesan Paska yang mendorongmu untuk beranjak menuju pelabuhan Artatis: “Janganlah berhenti setelah batu dari pintu kubur harapanmu digulingkan”?
Avila... Bergegaslah ke „Galilea“. Bergegaslah menuju masa depanmu dalam iman akan Kristus yang bangkit.
Segala-galanya boleh tidak pasti, tetapi satu yang pasti, ialah bahwa Yesus tidak membiarkanmu berjalan sendirian menuju “Galilea”.
Aku tahu, jalan menuju ke „Galilea“ bukanlah sebuah jalan yang mudah. Tetapi janganlah mengambil “jalan potong” supaya lebih cepat sampai ke sana.
Ikutilah petunjuk yang diberikan Tuhan dan gurumu.
Kadang-kadang harus melewati segudang tantangan dan rintangan.
Tidak jarang harus berhadapan dengan „batu-batu“ yang merintangi pintu jalan.
Tetapi kalau engkau berjalan dalam harapan dan keyakinan akan tangan Tuhan yang menolong, batu-batu itu akan terguling dengan sendirinya – juga kalau engkau harus menapaki tapal batas kemampuanmu dan ingin menyerah.
Avila...
Serak suaraku ini bergema selagi aku masih berjuang menuju ke “Galilea”-ku.
Engkau pasti merasakan sengatan kata-kataku setelah menerima surat ini, karena kata-kata ini mengalir dari bibir seorang yang pernah jatuh dan ingin menyerah.
Engkau pasti masih ingat, ketika tujuh tahun yang lalu aku berusaha mencangkokkan Bakawali dan Delima. Aku mencangkokkannya karena aku tak puas dengan serat-serat daun Bakawali, sementara kembangnya sudah mencuri hatiku.
Tetapi apa lacur? Segalanya sia-sia!
Avila, nanti kalau engkau sudah datang ke sini, aku ingin mencobanya lagi.
Avila...
Menemukan “Galilea” ternyata tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.
Biru langit yang menarik simpati tak dapat kugapai dengan mengobral mimpi-mimpiku.
Oase di padang gurun kehidupan tak dapat kutemukan dengan mengejar bayanganku sendiri.
Ketahuilah, inilah yang melantahkan nubariku saat ini!
Kemarin aku berusaha mengejar bayanganku. Tetapi setiap kali aku menghampirinya, ia pun beranjak selangkah lagi meninggalkanku.
Apakah aku harus menyerah mengejar bayanganku, Avila?
Saat aku menorehkan bisunya rindu ini di atas kertas, aku tahu, bahwa engkau sementara berada di lautan lepas menuju pelabuhan Artatis.
Setiap kali memandang cakrawala, kulihat buritan hatimu membelah samudra.
Kupandang hingga ia berlalu dari jarak pantauan indraku.
Walaupun balasanmu enggan membuka pintu fajar untukku di pagi ini, aku sempat merasakan rintihan jiwamu yang kau pancarkan lewat sengatan mentari.
Kukira engkau tidak keberatan, kalau rintihan jiwamu ini kugenggam hingga kapalmu bertepi di pelabuhan “Antara”.
Ingatlah, Avila! Kalaupun di pelabuhan “Antara” engkau menemukan bakung jingga kesayanganmu, janganlah berhenti di situ dan membangun kemahmu.
Masih ingatkah engkau akan pesan Paska yang mendorongmu untuk beranjak menuju pelabuhan Artatis: “Janganlah berhenti setelah batu dari pintu kubur harapanmu digulingkan”?
Avila... Bergegaslah ke „Galilea“. Bergegaslah menuju masa depanmu dalam iman akan Kristus yang bangkit.
Segala-galanya boleh tidak pasti, tetapi satu yang pasti, ialah bahwa Yesus tidak membiarkanmu berjalan sendirian menuju “Galilea”.
Aku tahu, jalan menuju ke „Galilea“ bukanlah sebuah jalan yang mudah. Tetapi janganlah mengambil “jalan potong” supaya lebih cepat sampai ke sana.
Ikutilah petunjuk yang diberikan Tuhan dan gurumu.
Kadang-kadang harus melewati segudang tantangan dan rintangan.
Tidak jarang harus berhadapan dengan „batu-batu“ yang merintangi pintu jalan.
Tetapi kalau engkau berjalan dalam harapan dan keyakinan akan tangan Tuhan yang menolong, batu-batu itu akan terguling dengan sendirinya – juga kalau engkau harus menapaki tapal batas kemampuanmu dan ingin menyerah.
Avila...
Serak suaraku ini bergema selagi aku masih berjuang menuju ke “Galilea”-ku.
Engkau pasti merasakan sengatan kata-kataku setelah menerima surat ini, karena kata-kata ini mengalir dari bibir seorang yang pernah jatuh dan ingin menyerah.
Engkau pasti masih ingat, ketika tujuh tahun yang lalu aku berusaha mencangkokkan Bakawali dan Delima. Aku mencangkokkannya karena aku tak puas dengan serat-serat daun Bakawali, sementara kembangnya sudah mencuri hatiku.
Tetapi apa lacur? Segalanya sia-sia!
Avila, nanti kalau engkau sudah datang ke sini, aku ingin mencobanya lagi.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (18)
Avila...
Buritan rindumu sudah kulihat berlabuh di dermaga cakrawala.
Guratan lelah yang terpancang di keningmu mengisyaratkan terpaan ombak yang mengombang-ambingkan pelayaran jiwamu.
Sekarang kapalmu akhirnya menepi di dermaga Artatis. Syukur kepada Allah!
Kulihat bulan sabit warna ungu menyambut perhentian kakimu.
Tapi aku merasa cemas, Avila! Cemas karena langkahmu justru terhenti di simpang Samara, tempat aku pernah merekat serpihan harapan dengan manik-manik airmatamu.
Engkau pasti kecewa, karena engkau ingin melihat intan hasil rakitanku, ternyata yang kaudapatkan hanyalah bulir-bulir debu.
Avila... Aku tahu, engkau masih menyimpan rintihan gerimis di matamu.
Biarkanlah rintihan gerimis itu berubah menjadi hujan yang mengairi petak-petak simpang Samara.
Nanti malam pukul tujuh aku akan bergumul dengan dewi Teratai dari utara untuk menghembuskan pelangi ke sana.
Bersabarlah! Tinggalkanlah dahulu simpang Samara dan pergilah mengais kembali mutiara mimpimu yang telah hilang.
Janganlah menyerah sebelum engkau menemukannya.
Sembari melukis buritan rindumu dengan sisa manik airmatamu yang masih kusimpan, kudengungkan kembali gema kebangkitan di penghujung masa paska tahun ini untukmu.
Seandainya Yesus yang bangkit datang kembali hari ini di tengah liku-liku pengembaraanmu, Ia tentu akan berkata kepadamu: “Janganlah letih dalam iman. Lihatlah! Aku hidup. Dan Kuingin, supaya engkau juga hidup. Janganlah tenggelam dalam masa lalumu yang penuh luka. Janganlah bertanya: ‘Siapa yang akan menggulingkan batu itu untukku dari pintu kubur harapanku’. Yakinlah, bahwa sekecil apapun batu yang menindih jiwamu akan diambil oleh-Nya dan diletakkan di kaki salib-Nya.
Avila...
Karena “roh Paska”-lah yang menuntunmu ke situ, ijinkanlah aku menuangkan bara harapanku yang mengalir dari rintihan jiwaku untukmu.
Ketahuilah, bahwa pelabuhan Artatis bukanlah perhentian terakhir dalam hidupmu.
Pengembaraanmu setelah berlabuh di dermaga Artatis pasti masih akan menemukan banyak tantangan.
Engkau akan berjumpa dengan Gereja-Gereja yang nyaris mati, hanya institusi dan museum, kubur kosong tanpa penghuni.
Tetapi janganlah berkecil hati! Percayalah, bahwa Ia tidak akan meninggalkanmu sampai akhir jaman.
“Lihatlah! Aku hidup. Dan kuingin, supaya engkau juga hidup!“ (Yoh 14,19).
Sebelum pukul tujuh tiba, dan aku harus bergumul dengan dewi Teratai dari utara malam ini, aku ingin mengajakmu untuk bangkit dan mengejar mimpi-mimpimu. Beranilah untuk menjadi „Gereja yang hidup“, karena Kristus hidup dan berkarya di dalamnya. Kristus ini pulalah yang telah mengambil batu yang selama ini menindih jiwamu, sehingga harapanmu yang sudah terkubur bangkit kembali.
Avila... Kalau aku kalah dalam pergumulanku malam ini, simpanlah mutiara yang telah aku rakit dari serpihan rinduku dan manik-manik airmatamu di relung malam kehidupanmu.
Avila...
Buritan rindumu sudah kulihat berlabuh di dermaga cakrawala.
Guratan lelah yang terpancang di keningmu mengisyaratkan terpaan ombak yang mengombang-ambingkan pelayaran jiwamu.
Sekarang kapalmu akhirnya menepi di dermaga Artatis. Syukur kepada Allah!
Kulihat bulan sabit warna ungu menyambut perhentian kakimu.
Tapi aku merasa cemas, Avila! Cemas karena langkahmu justru terhenti di simpang Samara, tempat aku pernah merekat serpihan harapan dengan manik-manik airmatamu.
Engkau pasti kecewa, karena engkau ingin melihat intan hasil rakitanku, ternyata yang kaudapatkan hanyalah bulir-bulir debu.
Avila... Aku tahu, engkau masih menyimpan rintihan gerimis di matamu.
Biarkanlah rintihan gerimis itu berubah menjadi hujan yang mengairi petak-petak simpang Samara.
Nanti malam pukul tujuh aku akan bergumul dengan dewi Teratai dari utara untuk menghembuskan pelangi ke sana.
Bersabarlah! Tinggalkanlah dahulu simpang Samara dan pergilah mengais kembali mutiara mimpimu yang telah hilang.
Janganlah menyerah sebelum engkau menemukannya.
Sembari melukis buritan rindumu dengan sisa manik airmatamu yang masih kusimpan, kudengungkan kembali gema kebangkitan di penghujung masa paska tahun ini untukmu.
Seandainya Yesus yang bangkit datang kembali hari ini di tengah liku-liku pengembaraanmu, Ia tentu akan berkata kepadamu: “Janganlah letih dalam iman. Lihatlah! Aku hidup. Dan Kuingin, supaya engkau juga hidup. Janganlah tenggelam dalam masa lalumu yang penuh luka. Janganlah bertanya: ‘Siapa yang akan menggulingkan batu itu untukku dari pintu kubur harapanku’. Yakinlah, bahwa sekecil apapun batu yang menindih jiwamu akan diambil oleh-Nya dan diletakkan di kaki salib-Nya.
Avila...
Karena “roh Paska”-lah yang menuntunmu ke situ, ijinkanlah aku menuangkan bara harapanku yang mengalir dari rintihan jiwaku untukmu.
Ketahuilah, bahwa pelabuhan Artatis bukanlah perhentian terakhir dalam hidupmu.
Pengembaraanmu setelah berlabuh di dermaga Artatis pasti masih akan menemukan banyak tantangan.
Engkau akan berjumpa dengan Gereja-Gereja yang nyaris mati, hanya institusi dan museum, kubur kosong tanpa penghuni.
Tetapi janganlah berkecil hati! Percayalah, bahwa Ia tidak akan meninggalkanmu sampai akhir jaman.
“Lihatlah! Aku hidup. Dan kuingin, supaya engkau juga hidup!“ (Yoh 14,19).
Sebelum pukul tujuh tiba, dan aku harus bergumul dengan dewi Teratai dari utara malam ini, aku ingin mengajakmu untuk bangkit dan mengejar mimpi-mimpimu. Beranilah untuk menjadi „Gereja yang hidup“, karena Kristus hidup dan berkarya di dalamnya. Kristus ini pulalah yang telah mengambil batu yang selama ini menindih jiwamu, sehingga harapanmu yang sudah terkubur bangkit kembali.
Avila... Kalau aku kalah dalam pergumulanku malam ini, simpanlah mutiara yang telah aku rakit dari serpihan rinduku dan manik-manik airmatamu di relung malam kehidupanmu.
SEPUCUK
SURAT UNTUK AVILA (19)
Avila...
Sembari menunggu bulir-bulir debu dirakit menjadi mutiara, engkau malah bermandikan debu dan abu.
Kuharap engkau dapat menunggu hingga pergumulanku terakhir melawan suratan rembulan, engkau malah memutuskan untuk mmembiarkan bulan jatuh dan menindih tubuhmu.
Aku menuangkan bara harapanku hingga lusuh serat-serat jiwaku, supaya engkau bangun dan mengejar mimpi-mimpimu yang hilang. Ternyata engkau membangun kemahmu di simpang Samara dan berusaha merakit intan dari rema-rema airmata masa lalumu yang membeku di dasar jiwa. Apakah engkau lelah menunggu janji-janjiku menangkap matahari?
Ketahuilah, Avila! Perjuanganku untuk menghembuskan pelangi ke simpang Samara adalah sebuah perjuangan menyangkut manusia seperti engkau dan aku.
Apakah engkau sudah lupa, bahwa engkau pernah menghapus airmata seorang bocah cilik yang mengais mutiara di hampa udara? Apakah adegan ini sudah minggat dari perbendaharaan pikiranmu, bahwa engkau pernah menghabiskan waktumu untuk menunggu hujan bersama seorang gadis kecil di tengah ladang ayahmu?
Mengenang adegan-adegan ini dan menyimak segala kesabaranmu menunggu, aku merasa seperti berada di depan pengadilan suara hatimu.
Avila... Karena engkau telah memutuskan untuk merakit intan dari remah-remah airmata masa lalumu, aku hanya menghembuskan sebuah elegi sederhana untukmu sebagai bahan refleksi – elegi yang lahir dari bilur-bilur permenunganku.
Begini Avila: Waktu itu aku berumur 7 tahun. Karena perubahan tempat kerja ayahku, aku pun terpaksa ikut meninggalkan kampung kelahiran menuju sebuah tempat asing.
Semuanya kuhadapi dan kuterima tanpa berpikir tentang apa yang akan terjadi di masa datang.
Ketakutan bahwa saya akan kehilangan segala sesuatu yang sudah akrab dengan diriku, belum menjadi tema yang harus kugeluti saat itu.
Baru kemudian, setelah berada jauh dari keluarga demi menuntut ilmu, aku sadar, bahwa meninggalkan dan melepaskan sesuatu yang sudah akrab adalah sesuatu yang datang silih berganti dalam kehidupan.
Bahkan cepat atau lambat, suatu waktu semua manusia akan melepaskan segala-galanya, ketika kemah kehidupannya di atas bumi dibongkar.
Memang! Tidak mudah untuk melepaskan sesuatu yang sudah akrab dengan diri.
Tetapi aku pun tak dapat menyembunyikan kegembiraanku, ketika engkau memutuskan untuk memulai langkah baru di pedalaman Artatis, terdorong oleh „roh Paska“.
Sekarang, mengapa engkau justru menghentikan langkahmu di simpang Samara, hanya karena sengat-sengat masa lalumu menggigit bathin dan kecewa dengan janjiku menghembuskan pelangi? Kebaskanlah abu dan debu dari badanmu.
Lepaskanlah sesuatu yang sudah akrab dan melekat dalam dirimu untuk bisa memulai sebuah langkah baru.
Ketahuilah: Janjiku menghembuskan pelangi untukmu tak’kan kubiarkan berlalu dari pelataran keningku.
Avila... Aku tahu, kamu lelah menanti janjiku. Kalau pelangi sudah dapat kuhembuskan, kuingin supaya debu dan abu yang kaukebaskan berbaur dengan jingga pelangi kesayanganmu.
Aku masih akan terus bergumul dengan suratan rembulan selama matahari masih terbit di timur. Walaupun aku tahu, bahwa aku memang seorang peziarah yang selalu kalah, juga dalam segala kemenanganku.
Avila...
Sembari menunggu bulir-bulir debu dirakit menjadi mutiara, engkau malah bermandikan debu dan abu.
Kuharap engkau dapat menunggu hingga pergumulanku terakhir melawan suratan rembulan, engkau malah memutuskan untuk mmembiarkan bulan jatuh dan menindih tubuhmu.
Aku menuangkan bara harapanku hingga lusuh serat-serat jiwaku, supaya engkau bangun dan mengejar mimpi-mimpimu yang hilang. Ternyata engkau membangun kemahmu di simpang Samara dan berusaha merakit intan dari rema-rema airmata masa lalumu yang membeku di dasar jiwa. Apakah engkau lelah menunggu janji-janjiku menangkap matahari?
Ketahuilah, Avila! Perjuanganku untuk menghembuskan pelangi ke simpang Samara adalah sebuah perjuangan menyangkut manusia seperti engkau dan aku.
Apakah engkau sudah lupa, bahwa engkau pernah menghapus airmata seorang bocah cilik yang mengais mutiara di hampa udara? Apakah adegan ini sudah minggat dari perbendaharaan pikiranmu, bahwa engkau pernah menghabiskan waktumu untuk menunggu hujan bersama seorang gadis kecil di tengah ladang ayahmu?
Mengenang adegan-adegan ini dan menyimak segala kesabaranmu menunggu, aku merasa seperti berada di depan pengadilan suara hatimu.
Avila... Karena engkau telah memutuskan untuk merakit intan dari remah-remah airmata masa lalumu, aku hanya menghembuskan sebuah elegi sederhana untukmu sebagai bahan refleksi – elegi yang lahir dari bilur-bilur permenunganku.
Begini Avila: Waktu itu aku berumur 7 tahun. Karena perubahan tempat kerja ayahku, aku pun terpaksa ikut meninggalkan kampung kelahiran menuju sebuah tempat asing.
Semuanya kuhadapi dan kuterima tanpa berpikir tentang apa yang akan terjadi di masa datang.
Ketakutan bahwa saya akan kehilangan segala sesuatu yang sudah akrab dengan diriku, belum menjadi tema yang harus kugeluti saat itu.
Baru kemudian, setelah berada jauh dari keluarga demi menuntut ilmu, aku sadar, bahwa meninggalkan dan melepaskan sesuatu yang sudah akrab adalah sesuatu yang datang silih berganti dalam kehidupan.
Bahkan cepat atau lambat, suatu waktu semua manusia akan melepaskan segala-galanya, ketika kemah kehidupannya di atas bumi dibongkar.
Memang! Tidak mudah untuk melepaskan sesuatu yang sudah akrab dengan diri.
Tetapi aku pun tak dapat menyembunyikan kegembiraanku, ketika engkau memutuskan untuk memulai langkah baru di pedalaman Artatis, terdorong oleh „roh Paska“.
Sekarang, mengapa engkau justru menghentikan langkahmu di simpang Samara, hanya karena sengat-sengat masa lalumu menggigit bathin dan kecewa dengan janjiku menghembuskan pelangi? Kebaskanlah abu dan debu dari badanmu.
Lepaskanlah sesuatu yang sudah akrab dan melekat dalam dirimu untuk bisa memulai sebuah langkah baru.
Ketahuilah: Janjiku menghembuskan pelangi untukmu tak’kan kubiarkan berlalu dari pelataran keningku.
Avila... Aku tahu, kamu lelah menanti janjiku. Kalau pelangi sudah dapat kuhembuskan, kuingin supaya debu dan abu yang kaukebaskan berbaur dengan jingga pelangi kesayanganmu.
Aku masih akan terus bergumul dengan suratan rembulan selama matahari masih terbit di timur. Walaupun aku tahu, bahwa aku memang seorang peziarah yang selalu kalah, juga dalam segala kemenanganku.
*Polykarpus
Ulin Agan,
seorang imam Serikat Sabda Allah (SVD), lahir di Lamapaha (Adonara –
Flores Timur), 22 Januari 1970. Tahun
1998 menyelesaikan studi dalm bidang teologi jenjang S2 pada
Philosophisc-Theologische Hochschule Sankt Augustin. Setelah menjalankan tugas
pastoral sebagai imam di sebuah paroki Jerman, Pater Poly melanjutkan studi
dalam bidang filsafat agama pada Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman,
dan menyelesaikan tesis berjudul: Der Stachel der religiös-kulturellen
Differenzen und die Macht der christlichen Identität. Eine interkulturelle Hermeneutik der
Interaktion zwischen Eigenem und Fremdem - Plädoyer für eine mystagogische
Theologie der Inkulturation.
Sekarang menjadi dosen pada
Philosophisch-Theologsche Hochschule Sankt Augustin, Jerman.
No comments:
Post a Comment