PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

03 September 2019

Pater Karel: Sri Sumarah yang Soemarah


Pater Karel: Sri Sumarah yang Soemarah

Oleh: Steph Tupeng Witin


Merenungi kematian seorang pendidik adalah membaca ulang tulisan-tulisan nuraninya yang ia hadirkan dalam keterbatasan dan kerapuhan manusiawi, namun terlampau agung ketika dikenang dalam lautan dan gelombang bahasa kasih.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk almarhum tercinta Pater Karel Kraeng, SVD, yang meninggal di RS Lela, Sikka, Selasa (13/7/2010) lalu. Sosoknya mungkin tidak terlalu banyak dikenal oleh publik bahasa dan sastra di NTT, namun anak-anak didiknya di lembah Seminari San Dominggo Hokeng yang kini tersebar di seluruh dunia telah merasakan. Banyak di antaranya yang menjadi pendidik, penulis dan jurnalis tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya. Ia adalah guru bahasa dan sastra Indonesia yang mengenalkan apa itu sastra: dunia peradaban yang penuh nilai dan Bahasa Indonesia: jendela untuk membaca kekayaan panorama intelektual  dan khazanah budaya negeri ini.

Almarhum berkarya dalam diam dan sunyi. Jauh dari publikasi popularitas. Tetapi tetap tekun menjelajah lembaran Bahasa dan sastra Indonesia. Perjalanannya dalam ruang sastra telah menjadi ilham dan inspirasi bagi setiap seminaris untuk tidak semata berhenti pada nama sastrawan, judul buku/karya tetapi lebih mendalam: apa isi dari karya sastra itu. Hal ini rupanya telah lama hilang dari ruang pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia kita. Melalui sastra, almarhum telah mengajak anak didiknya untuk menemukan kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna dalam karya-karya sastra melalui interpretasi, penarikan nilai dan kebebasan beropini.

Sebuah kritik terhadap pengajaran Bahasa dan sastra kita yang kehilangan 'rohnya' di tengah gemuruh romantisme pengagungan ilmu-ilmu eksakta yang menjadi argumen untuk mendegradasi, bahkan menghilangkan ruang humaniora dalam kerangka pencerahan dan pemberdayaan manusia. Kita sibuk mendidik para pembuat robot berteknologi tinggi, tetapi mengabaikan aspek kemanusiaan yang tertera dalam ilmu-ilmu humaniora, khususnya bahasa dan sastra. Kita bisa saksikan itu dalam kurikulum pendidikan kita di setiap jenjang.

Salah satu sastrawan Indonesia yang paling dikagumi adalah Umar Kayam. Karyanya-karyanya memperlihatkan kisah hidup dan budaya orang Jawa yang menampilkan perubahan sosial dengan melukiskan deep structure atau struktur dalam dari proses dislokasi sosial dan mobilitas sosial (Kleden, 2004: 49). Mungkin karena almarhum dulu belajar bahasa dan sastra di Yogya. Dari karya-karya Kayam, almarhum paling kerap menyebut cerpen Sri Sumarah dan Bawuk (1975) yang menampilkan kisah masa peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru yang ditandai peristiwa 30 September 21965 (Mellema, 2009: 2). Gaya bersastra almarhum mengingatkan saya akan cerpen Umar Kayam 'Sphinx' yang mengisahkan bagaimana seorang guru jebolan Pastor Katolik mengisahkan sejarah begitu hidup dan menarik sehingga murid-murid seakan sedang berjalan sebagai pelaku di dalam kisah itu (Kayam,2010: 53). Kami semua yang mendengar larut dalam ceritanya.

Nuansa Jawa yang kental terlihat dalam nama tokoh Sri Sumarah sebagaimana yang diajarkan neneknya yaitu Sri yang menyerah, terserah atau pasrah. Sri menerjemahkan itu sebagai ajakan neneknya dijodohkan dengan Mas Marto yang membuka lembaran hidup tragis: ditinggal mati suami, berjuang membesarkan Tun - anaknya - kemudian hamil di luar nikah-, kematian Yos - menantu - yang dibunuh dan Tun yang dipenjara karena terlibat PKI. Garis kehidupan Sumarah menggambarkan kepasrahan yang menggerakkan dia untuk berjuang, meski dengan keterbatasannya sebagai tukang pijit. Ia 'berkelana' dari satu lelaki ke lelaki lain tapi dengan sikap bakti pada suaminya yang sudah meninggal. Terkait hubungan antara peristiwa dan makna dalam sastra yang bersifat simbolik, maka Sri bisa menjdi simbol yang mewakili orang Jawa keseluruhan (Kleden: 69). Kayam menggambarkan itu dalam kutipan berikut

"Bukannya kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diaaaaam saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak, mengerti, nduk?" (Hlm 10). Sikap sumarah dapat diartikan sebagai sikap nrima yang artinya merasa puas dengan nasib, tidak memberontak serta menerima segala sesuatu dengan sikap terima kasih. 

Menurut Romo Magnis Suseno, nrima berarti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan keadaan sulit apa pun bereaksi dengan rasional, tidak ambruk dan tidak menentang secara percuma (Suseno, 1993: 19). Hal ini dibuktikan oleh Sri Sumarah sepeninggal suaminya, saat kesulitan ekonomi melanda ketika rumah dan sawah digadaikan, perhiasan yang ludes untuk mengangsur hutang dan uang kian menipis: Sumarah akhirnya menjadi tukang pijit yang berkelana dari hotel ke hotel. Meski melakoni pekerjaan sebagai tukang pijit, Sri memiliki sikap bakti yang tulus dan ikhlas hati untuk patuh, hormat dan setia justru ketika ia kehilangan suami. Meski ia sering meraba-raba tubuh lelaki, malah kadang ada lelaki iseng yang meraba tubuhnya, ia tidak menjadikan tubuhnya sebagai sarana pemuas kebutuhan seksualnya, meski pada akhirnya ia goyah ketika mesti memijit tubuh seorang pelanggan pria muda yang tampan dan gagah.

Episode ketika Sri memijit pelanggan muda yang tampan dan gagah itu dibaca almarhum dengan penuh ekspresi dan berenergi. Gelora jiwa Sri Sumarah yang terombang-ambing di antara bakti kepada suami dan gelombang nafsu birahi sebagai manusia menjadi bagian yang menarik bagi para calon pastor yang menghabiskan masa remajanya di antara deretan gedung-gedung sunyi-sepi itu, yang hanya mampu mengirim salam melalui sepucuk surat yang balasannya bisa menunggu hingga sebulan meski itu hanya dari Larantuka. Apalagi surat-surat itu selalu melewati pemeriksaan para romo/pastor. Biasanya, kata dan kalimat dalam surat diusahakan sedemikian agar bernada 'positif' untuk keberlanjutan hidup di lembah itu.

Menurut saya, almarhum telah menghidupi ke-soemarah-annya dengan keterbatasan manusiawi tetapi agung dalam bahasa kasih Allah yang memanggil dan memilihnya untuk membagikan sabdaNya. Kesunyian dan kesendirian di hadapanNya telah menjadikan almarhum sosok yang setia dan tulus dalam mendidik calon-calon penulis dan sastrawan muda yang kemudian akan mengisi ruang intelektal dan humanisme negeri ini dalam beragam bidang hidup dan pelayanan.

Kematian adalah simbol 'Soemarah' yang total ketika jiwa terbang ke alam yang lain. Alam yang bebas dari derita gula dan penyakit lain. Persis sastra: ruang yang bebas bagi eksistensi opini dan argumen. Kita berbangga atas pengabdian. Kita bersyukur atas hidup yang telah dipecah dan dibagikan. Kita yakin bahwa almarhum telah memasuki keabadian itu. Ruang yang lebih indah dari sebuah karya sastra.

Beristirahatlah dalam damai,  pahlawan sejatiku.*


Mantan Murid di Sesado Hokeng


Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com