PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

20 February 2019

OLA KENEU: MENGISI LUMBUNG PADI - MERAWAT LADANG PERSAUDARAAN

OLA KENEU: MENGISI LUMBUNG PADI - MERAWAT LADANG PERSAUDARAAN

Relasi saling ketergantungan antara manusia dengan alam – yang mana telah mengalami proses perubahan paradigma mulai dari „antroposentrisme“ ala Aristoteles dan Thomas Aquinas hingga „biosentrisme“ dan „ekosentrisme“ yang terpetakan dalam aneka refleksi seperti „filsafat lingkungan hidup“ (oekosphie) maupun „eko-teologi“ – telah menjadikan kedua „ciptaan“[1] itu sebagai satu komunitas moral. Memandang realitas dunia saat ini menghantar kita kepada sebuah kesadaran, bahwa konflik-konflik yang terjadi dan yang kita alami tidak hanya berpusar pada tatanan relasi personal antar sesama tetapi juga telah turut mengancam „ibu bumi“. Berbagai konflik perebutan tanah misalnya, baik antara suku, desa, maupun antara pemerintah dan komunitas masyarakat adat pada umumnya tidak lain didorong oleh libido untuk menguasai dan kemudian mengekspolitasinya.

Konflik penguasaan lahan atau tanah (akumulasi melalui perampasan) ini bukanlah hal baru yang melilit peradaban manusia, baik itu dalam bidang ekonomi, politik maupun budaya.  Ketika Belanda membentangkan layar kolinialisme dan para misionaris Eropa melebarkan sayap-sayap misi ke „Pulau Bunga“ pada abad ke-20, sistem pemerintahan di Flores pada saat itu masih terorganisasi dalam unit politik kecil „kampung-kampung adat“ yang memiliki tata pemerintahan dan ekonomi yang independen dan beranggotakan 100-200 orang (bdk. Metzner 1982, Tolo 2016). [Sejak awal mula desa-desa di Indonesia merupakan sebuah „republik“ dan dalam kepustakaan tentang Indonesia sering dijumpai terminologi „republik desa“. (B. A. Simanjuntak,1979/1980, 16)]
Dalam budaya Lamaholot kita mengenal istilah „Etan“, „Newa“, „Ma“, „Netak“ yang dibagi dan dikuasai berdasarkan suku atau kelompok suku (bdk. Kohl 1998: 17-131). Tatanan masyarakat dan budaya seperti ini merupakan tantangan bagi misi kolonial; karena itu „Belanda membentuk sistem kerajaan dengan cara memilih seorang pemimpin lokal yang kuat dan memiliki tanah yang luas (Gordon 1975; Tule 2006). Dari tahun 1909-1929, Belanda membentuk delapan oderafdeeling yang dipimpin oleh seorang raja, yakni Manggarai, Ngada, Riung, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka (Tule 2004; Dhakidae 2013).“[2] Struktur agraria dan mekanisme pengolahan lahan berada di bawah kontrol Belanda untuk kepentingan kolonialisme (perampasan tanah). Dengan demikian, sistem kepemilikan tanah komunal beralih menjadi kepemilikan individual atau privat. Metode dan logika kolonialisme ini lalu menjadi semacam „warisan“ penjajahan yang kemudian diadopsi oleh kalangan aristokrat tradisional. Hak atas tanah ulayat mulai jatuh dalam genggaman golongan aristokrat tradisional. Padahal, sebagai bagian dari bangsa Astronesia, di Flores tidak dikenal konsep tuan tanah (land lord), melainkan penjaga tanah (land guardian).[3] Gereja atau misi katolik yang pada saat itu memiliki „kedekatan“ dengan kolonial juga mendapat „warisan“ tanah yang dihibahkan (oleh tuan tanah atas kontrol penjajah)[4] untuk tujuan misi.

Ola Keneu merupakan satu sistem dan strategi pengoalahan lahan (eta, newasecara gotong royong yang telah dihidupi sejak lama. Sistem kepemilikan tanah dan struktur organisasi tradisional sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya memiliki konsekuensi logis, bahwa lahan dalam suatu masyarakat adat atau suku tidak dikerjakan secara individual melainkan dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan. Rasa persatuan, kebersamaan dan kekeluargaan tidak hanya terjabar dalam mekanisme pembagian dan kepemilikan „eta“ atau „newa“, melainkan terejawantahkan juga dalam ekonomi-pertanian.

Ola Keneu: Sebuah Moralitas Ganda

Semangat „ola keneu“ yang hingga kini masih dihidupi oleh masyarakat adat Lamaholot tentu didasari oleh spiritual budaya yang memandang tanah, alam, sebagai bagian integral dalam hidup manusia. Ia menyentuh inti paling dalam dari eksistensi manusia. Keyakinan akan relasi ini tercermin dalam metafora „Lera Wulan Tana Ekan“ untuk melukiskan pengetahuan mereka tentang Wujud Tertinggi. Langit (Lera Wulan) dan Bumi (Tana Ekan) dalam penamaan Wujud Tertinggi ini tidak hanya membahasakan transendensi ALLAH yang melampaui pengalaman manusia, apa yang dilihat dan dipikirkan, namun serentak memetakan karakter lain dari ALLAH, yakni imanensi, yang dekat dengan manusia. Singkatnya, Allah Pencipta itu adalah Allah coincidentia oppositorum, Allah yang jauh tak terjangkau (Lera Wulan), serentah Allah yang dekat, yang dapat „dijamah“ (Tana Ekan). Masyarakat budaya Lamaholot percaya, bahwa dengan merawat tanah dalam bingkai persaudaraaan adat, mereka secara bersama pula merawat relasi dengan Sang Pencipta, yang dari-Nya mereka „lahir“ dan hidup: Ema Lera Wulan (Ibu Lera Wulan = Ibu Bumi) – Bapa Tana Ekan. Dalam diri mereka mengalir keyakinan, bahwa mereka memiliki ikatan emosional dengan newa-eta – tanah warisan leluhur. Mereka dan tanah newa adalah satu tubuh. Dengan demikian, tanah-newa mesti menjadi „lahan“ kita merawat benih-benih persaudaraan, lahan yang mengikat-satukan kita di atas tumpuan Tonu Wujo, di bawah tiang-tiang „keba“ yang lumbungnya menampung kasih dan pengorbanan, dan bukannya iri hati, benci dan percecokan. Siklus pengolahan tanah yang dibingkai dalam ritus-ritus adat (mulai dari „geto got“ – menebang, „ola ho’i“ (merawat) hingga „geta“ dan „hama ma“ (memanen) menekankan, bahwa kita terlibat dalam kegiatan bersama, dan sesuai peran kita masing-masing, kita menjalankan fungsi dan tanggung jawab itu untuk saling melengkapi dalam semangat kerja sama agar tanah memberikan hasil yang baik (bdk. Hayon 2002: 68-69).

Sampai di sini kiranya kita mendapat pemahaman, bahwa „Ola Keneu“ memiliki implikasi ganda. Ia memberikan pesan moral ganda, yakni solidaritas antar manusia dan solidaritas dengan alam yang adalah Lera Wulan Tana Ekan. Semoga segala karya dan kerja kita sungguh mencerminkan esensi kita sebagai „rekan“ kerja Allah dalam menjaga dan merawat alam ciptaan, dalam melanjutkan karya cinta Allah kepada sesama dan alam sekitar.

Salam Keneu!!!
Gera – Jerman, 20 Februari 2019



[1] Sejarahwan asal Amerika Lynn White melayangkan kritik kepada kekristenan, bahwa agama besar itu turut „terlibat“ dalam seluruh krisis ekologi dan dampak-dampaknya. Kekristenan tidak hanya mengadopsi ajaran Yahudi tentang konsep waktu linier orang Yahudi tetapi juga tentang kisah penciptaan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Genesis, bahwa dalam tujuh hari Allah menciptakan alam semestanya dan isinya beserta manusia. Meskipun Adam – manusia pertama itu – diciptakan dari tanah liat, namun itu bukan berarti manusia hanyalah sekadar bagian dari alam. Ia melampaui itu karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan merupakan ciptaan yang diberkati. Seruan „menguasai allam dan menaklukkannya“ telah menempatkan teologi penciptaan dalam koridor: untuk kesenangan manusia semata. Lebih lanjut, manusia dan alam tidak dlihat sebagai satu kesatuan, melainkan digiring kepada pandangan dualistis dan menjadikan kekristenan sebagai „agama antroposentris“. Bdk. M. Lohmann H (Ed.), Gefährdete Zukunft – Prognose angloamerikanischer Wissenschaftler. 1970, 20ff.

[2] Dikutip menurut Emilianus Yakob Sese Tolo, „Akumulasi melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores“ dalam: Masyarakat – Jurnal Sosiologi, Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI, Jakarta 2016, 183.

[3] Ebd. 184.

[4] John Prior dalam salah satu penelitiannya menekankan bahwa Gereja juga merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa tanah. Bdk. John Mansford Prior, „Hukum Adat dan Hukum Positif Berseberangan: Mana Peran Teologi Kristen? Catatan dari Pulau Flores“, dalam: Zakaria J. Ngelow, dkk., Teologi Tanah: Perspektif Kristen terhadap Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia. Makassar 2015, 51-76.

No comments:

Post a Comment