OLA KENEU: MENGISI LUMBUNG PADI - MERAWAT
LADANG PERSAUDARAAN
Relasi
saling ketergantungan antara manusia dengan alam – yang mana telah mengalami
proses perubahan paradigma mulai dari „antroposentrisme“ ala Aristoteles dan
Thomas Aquinas hingga „biosentrisme“ dan „ekosentrisme“ yang terpetakan dalam
aneka refleksi seperti „filsafat lingkungan hidup“ (oekosphie) maupun „eko-teologi“
– telah menjadikan kedua „ciptaan“[1]
itu sebagai satu komunitas moral. Memandang realitas dunia saat ini menghantar
kita kepada sebuah kesadaran, bahwa konflik-konflik yang terjadi dan yang kita
alami tidak hanya berpusar pada tatanan relasi personal antar sesama tetapi
juga telah turut mengancam „ibu bumi“. Berbagai konflik perebutan tanah misalnya,
baik antara suku, desa, maupun antara pemerintah dan komunitas masyarakat adat pada
umumnya tidak lain didorong oleh libido untuk menguasai dan kemudian
mengekspolitasinya.
Konflik
penguasaan lahan atau tanah (akumulasi melalui perampasan) ini bukanlah hal
baru yang melilit peradaban manusia, baik itu dalam bidang ekonomi, politik
maupun budaya. Ketika Belanda membentangkan
layar kolinialisme dan para misionaris Eropa melebarkan sayap-sayap misi ke „Pulau
Bunga“ pada abad ke-20, sistem pemerintahan di Flores pada saat itu masih
terorganisasi dalam unit politik kecil „kampung-kampung adat“ yang memiliki
tata pemerintahan dan ekonomi yang independen dan beranggotakan 100-200 orang
(bdk. Metzner 1982, Tolo 2016). [Sejak awal mula desa-desa di Indonesia merupakan
sebuah „republik“ dan dalam kepustakaan tentang Indonesia sering dijumpai
terminologi „republik desa“. (B. A. Simanjuntak,1979/1980, 16)]
Dalam budaya Lamaholot kita mengenal istilah „Etan“,
„Newa“, „Ma“, „Netak“ yang dibagi dan dikuasai berdasarkan suku atau kelompok
suku (bdk. Kohl 1998: 17-131). Tatanan masyarakat dan budaya seperti ini
merupakan tantangan bagi misi kolonial; karena itu „Belanda membentuk sistem
kerajaan dengan cara memilih seorang pemimpin lokal yang kuat dan memiliki
tanah yang luas (Gordon 1975; Tule 2006). Dari tahun 1909-1929, Belanda membentuk
delapan oderafdeeling yang dipimpin
oleh seorang raja, yakni Manggarai, Ngada, Riung, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, dan
Larantuka (Tule 2004; Dhakidae 2013).“[2]
Struktur agraria dan mekanisme pengolahan lahan berada di bawah kontrol Belanda
untuk kepentingan kolonialisme (perampasan tanah). Dengan demikian, sistem
kepemilikan tanah komunal beralih menjadi kepemilikan individual atau privat. Metode
dan logika kolonialisme ini lalu menjadi semacam „warisan“ penjajahan yang
kemudian diadopsi oleh kalangan aristokrat tradisional. Hak atas tanah ulayat mulai
jatuh dalam genggaman golongan aristokrat tradisional. Padahal, sebagai bagian
dari bangsa Astronesia, di Flores tidak dikenal konsep tuan tanah (land lord), melainkan penjaga tanah (land guardian).[3]
Gereja atau misi katolik yang pada saat itu memiliki „kedekatan“ dengan
kolonial juga mendapat „warisan“ tanah yang dihibahkan (oleh tuan tanah atas
kontrol penjajah)[4] untuk tujuan
misi.
Ola
Keneu merupakan satu sistem dan strategi pengoalahan lahan (eta, newa) secara gotong royong yang telah dihidupi sejak
lama. Sistem kepemilikan tanah dan struktur organisasi tradisional sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya memiliki konsekuensi logis, bahwa lahan dalam suatu
masyarakat adat atau suku tidak dikerjakan secara individual melainkan dalam
semangat gotong royong dan kekeluargaan. Rasa persatuan, kebersamaan dan
kekeluargaan tidak hanya terjabar dalam mekanisme pembagian dan kepemilikan „eta“
atau „newa“, melainkan terejawantahkan juga dalam ekonomi-pertanian.
Ola Keneu: Sebuah Moralitas Ganda
Semangat
„ola keneu“ yang hingga kini masih dihidupi oleh masyarakat adat Lamaholot tentu
didasari oleh spiritual budaya yang memandang tanah, alam, sebagai bagian
integral dalam hidup manusia. Ia menyentuh inti paling dalam dari eksistensi manusia.
Keyakinan akan relasi ini tercermin dalam metafora „Lera Wulan Tana Ekan“ untuk melukiskan pengetahuan mereka tentang
Wujud Tertinggi. Langit (Lera Wulan)
dan Bumi (Tana Ekan) dalam penamaan
Wujud Tertinggi ini tidak hanya membahasakan transendensi ALLAH yang melampaui pengalaman manusia, apa yang
dilihat dan dipikirkan, namun serentak memetakan karakter lain dari ALLAH,
yakni imanensi, yang dekat dengan
manusia. Singkatnya, Allah Pencipta itu adalah Allah coincidentia oppositorum, Allah yang jauh tak terjangkau (Lera
Wulan), serentah Allah yang dekat, yang dapat „dijamah“ (Tana Ekan). Masyarakat
budaya Lamaholot percaya, bahwa dengan merawat tanah dalam bingkai
persaudaraaan adat, mereka secara bersama pula merawat relasi dengan Sang
Pencipta, yang dari-Nya mereka „lahir“ dan hidup: Ema Lera Wulan (Ibu Lera Wulan = Ibu Bumi) – Bapa Tana Ekan. Dalam diri mereka mengalir keyakinan, bahwa mereka
memiliki ikatan emosional dengan newa-eta
– tanah warisan leluhur. Mereka dan tanah
newa adalah satu tubuh. Dengan demikian, tanah-newa mesti menjadi „lahan“
kita merawat benih-benih persaudaraan, lahan yang mengikat-satukan kita di atas
tumpuan Tonu Wujo, di bawah tiang-tiang „keba“ yang lumbungnya menampung kasih
dan pengorbanan, dan bukannya iri hati, benci dan percecokan. Siklus pengolahan
tanah yang dibingkai dalam ritus-ritus adat (mulai dari „geto got“ – menebang, „ola
ho’i“ (merawat) hingga „geta“ dan „hama ma“ (memanen) menekankan, bahwa kita
terlibat dalam kegiatan bersama, dan sesuai peran kita masing-masing, kita
menjalankan fungsi dan tanggung jawab itu untuk saling melengkapi dalam
semangat kerja sama agar tanah memberikan hasil yang baik (bdk. Hayon 2002:
68-69).
Sampai
di sini kiranya kita mendapat pemahaman, bahwa „Ola Keneu“ memiliki implikasi
ganda. Ia memberikan pesan moral ganda, yakni solidaritas antar manusia dan
solidaritas dengan alam yang adalah Lera Wulan Tana Ekan. Semoga segala karya
dan kerja kita sungguh mencerminkan esensi kita sebagai „rekan“ kerja Allah
dalam menjaga dan merawat alam ciptaan, dalam melanjutkan karya cinta Allah
kepada sesama dan alam sekitar.
Salam Keneu!!!
Gera – Jerman, 20 Februari 2019
[1] Sejarahwan asal Amerika Lynn White
melayangkan kritik kepada kekristenan, bahwa agama besar itu turut „terlibat“
dalam seluruh krisis ekologi dan dampak-dampaknya. Kekristenan tidak hanya
mengadopsi ajaran Yahudi tentang konsep waktu linier orang Yahudi tetapi juga
tentang kisah penciptaan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Genesis, bahwa
dalam tujuh hari Allah menciptakan alam semestanya dan isinya beserta manusia.
Meskipun Adam – manusia pertama itu – diciptakan dari tanah liat, namun itu
bukan berarti manusia hanyalah sekadar bagian dari alam. Ia melampaui itu
karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan merupakan ciptaan yang
diberkati. Seruan „menguasai allam dan menaklukkannya“ telah menempatkan
teologi penciptaan dalam koridor: untuk kesenangan manusia semata. Lebih lanjut,
manusia dan alam tidak dlihat sebagai satu kesatuan, melainkan digiring kepada pandangan
dualistis dan menjadikan kekristenan sebagai „agama antroposentris“. Bdk. M.
Lohmann H (Ed.), Gefährdete Zukunft – Prognose angloamerikanischer
Wissenschaftler. 1970, 20ff.
[2] Dikutip menurut Emilianus Yakob
Sese Tolo, „Akumulasi melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores“ dalam: Masyarakat – Jurnal Sosiologi, Pusat Kajian
Sosiologi FISIP UI, Jakarta 2016, 183.
[4] John Prior dalam salah satu penelitiannya menekankan
bahwa Gereja juga merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa tanah.
Bdk. John Mansford Prior, „Hukum Adat dan
Hukum Positif Berseberangan: Mana Peran Teologi Kristen? Catatan dari Pulau
Flores“, dalam: Zakaria J. Ngelow, dkk., Teologi Tanah: Perspektif Kristen terhadap
Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia. Makassar 2015, 51-76.