PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

12 December 2018

FLORES DAN KASIH YANG MENDESAK: Oleh Elvin Sagala


FLORES DAN KASIH YANG MENDESAK
Elvin Sagala

Saya adalah seorang wanita kelahiran Medan – Sumatera Utara; dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya batak. Orang tua saya berasal dari Samosir. Saya merupakan anak sulung dari 4 bersaudara (3 adik wanita). Sejak saya berusia 9 tahun kedua orang tua memilih bercerai. Tentu masa-masa itu merupakan masa sulit  buat kami semua – tidak hanya untuk kedua orang tua tetapi juga kami anak-anak, terlebih adik bungsu yang masih berumur 3 tahun. Berkat keluarga besar di Medan kami semua dapat melewati masa-masa sulit itu.

Mimpi Untuk Kuliah Jerman

Setelah menamatkan Strata 1 Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Mendan, saya memutuskan untuk „berhijrah“ ke Jerman sebagai Au-Pair Mädchen. Pendidikan bahasa Jerman selama di Universitas merupakan modal dan motivasi yang mendorong saya untuk datang ke Jerman dengan harapan agar kemudian dapat melanjutkan kuliah di Jerman. Kesulitan finansial merupakan tantangan terbesar dalam usaha mewujudkan mimpi dan cita-cita saya; apalagi ketika saya tidak memiliki peluang untuk mendapatkan beasiswa. Namun saya tetap yakin dan percaya, bahwa Tuhan memiliki rencana indah dan terbaik untuk saya; dan juga dengan keyakinan manusiawi saya bahwa, di mana ada niat dan kemauan, di situ pasti selalu ada jalan – dan Tuhan pasti membuka jalan untuk segala niat baik.
Bagi saya, program Au-Pair Mädchen merupakan batu loncatan dalam menggapai mimpi untuk kuliah di Jerman; program Au-Pair Mädchen merupakan pintu masuk dan start awal menuju langkah-langkah perjuanganku selanjutnya. Dengan keberanian dan keyakinan seperti itu saya memulai etape baru dalam sejarah kehidupan di Jerman terhitung sejak awal tahun 2011. Sebagaimana galibnya dalam kehidupan, bahwa tantangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah perjuangan, masa-masa awal kehidan saya di Jerman juga penuh dengan kesulitan dan tantangan: mulai dari gagal ijian DSH, mengganti program studi, gagal dalam ujian, kuliah sambil kerja sebagai Cleaning service, juga tantangan dalam beradaptasi dengan bahasa, budaya, lingkungan dan orang-orang yang baru. Semuanya itu tidak membuat saya patah semangat tetapi justru semakin menguatkan saya untuk terus berjuang karena cita-cita dan impian jauh lebih kuat mengental di kepala. Berulang kali saya mengalami pengalaman jatuh dan bangkit kembali dari kejatuhan untuk terus berjuang dan berjuang hingga akhirnya pada akhir tahun 2016 saya berhasil menyelesaikan kuliah magister pendidikan bahasa Jerman pada Universtitas Friedrich Schiler-Jena dengan indeks prestasi yang memuaskan.

Yang Asing Untuk Yang Asing: Menjadi Guru Bahasa Jerman di Jerman

Namun prestasi ini bukan merupakan akhir dari langkah perjuangan saya melainkan membuka tahap baru untuk perjuangan selanjutnya. Prestasi ini justru merupakan awal baru untuk ziarah hidupku selanjutnya untuk terjun ke dalam dunia profesi. Beberapa bulan setelah kelulusan itu saya diterima pada sebuah institusi bahasa untuk menjadi staf pengajar bahasa Jerman di sebuah kota kecil, Gera. Pengalaman bekerja sebagai guru bahasa Jerman tidak hanya menjadikan saya sebagai „pengajar“ untuk orang lain tetapi serentak pula saya belajar banyak hal dari setiap pengalaman di tempat kerja, di ruang kelas. Pengalaman perjumpaan dengan rekan-rekan pengajar dan juga para peserta kursus beserta segala dinamikanya adalah pelajaran yang amat berharga dalam hidup. Hidup sebagai sebuah perjumpaan menjadikan saya terbuka untuk menerima dan belajar dari orang lain termasuk lingkungan dan budaya mereka.

Flores: Cinta Yang (Terus) Mekar

Flores – Pulau Bunga – menjadi locus baru dalam perjalanan hidup saya dengan setiap perhentian-perhentian: Jakarta – Medan – Jerman – Flores – …? Perjumpaan dengan suami yang adalah seorang Flores (Desa Mokantarak – Larantuka) sudah tentu menjadikan Flores sebagai bagian dari hidup saya – tidak hanya oleh karena hukum adat perkawinan budaya yang patrilinieal tetapi tetapi semacam „kebutuhan“ dan kerinduan sosial untuk menjejaki Flores. Itulah pengalaman jatuh cinta saya pada (pemuda) Flores. 



Setelah sekian lama menjadi „peziarah“ di tanah Jerman (sejak 2012) kami akhrinya mengunjungi tanah air Indonesia pada Oktober 2018; dan kali ini dengan rute perjalanan ke Timur Indonesia, yakni Larantuka – Flores Timur. Ini merupakan pengalaman perdana perjumpaan dengan keluarga suami: lagi-lagi dengan orang dan lingkungan budaya yang baru. 
Seperti biasa pada saat perjumpaan pertama, saya senantiasa dihinggapi oleh anek pertanyaan: apa dan bagaimana Flores yang sesungguhnya, seperti apa orang-orang di sana dan apakah saya diterima oleh keluarga? Itulah risiko dari sebuah perjumpaan: apakah saya bisa diterima oleh orang lain dan apakah saya bisa menerima orang lain.

Pengalaman liburan dan perjumpaan langsung dengan realitas menjawab segala pertanyaan dan keraguan saya. Saya menjumpai orang-orang yang begitu sederhana – tidak hanya dari hidup yang berkecukupan – tetapi juga dari cara mereka hidup. Mereka adalah pribadi-pribadi yang polos dan jujur. Kesempatan liburan di Desa Mokantarak, Larantuka-Flores juga memungkinkan saya untuk masuk dan bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat: sebuah potret kehidupan yang semata bergantung pada alam. Kisah hidup mereka (para petani kecil) adalah potret kehidupan dunia yang sedang merangkak berjuang untuk menyambung hidup. Dalam benak mereka tidak muncul kekhwatiran: „besok makan APA“ melainkan kekhwatiran „apakah ADA SESUATU untuk dimakan besok“. Oleh karena kehidupan ekonomi yang tidak menunjang, maka aspek pendidikan pun berjalan mandek. Banyak anak-anak yang gagal atau tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Universitas bahkan Sekolah Menengah Atas. Saya memahami persoalan dan kekhawatiran mereka karena pribadi dan kehidupan saya juga pernah ditempa dalam sulitnya perjuangan. 

Saya mengakui bahwa kesulitan dan persoalan yang pernah saya alami tidak sebanding dengan persoalan orang-orang kecil yang saya jumpai. Persoalan hidup mereka jauh lebih rumit dan berat. Pengalaman liburan ini mengajak saya untuk merefleksikan kembali seluruh perjalanan hidup saya. Kehidupan para petani kecil dan ibu-ibu rumah tangga coba saya hadirkan dalam refleksi saya tentang hidup, lebih tepatnya hidup bersama yang lain. Refleksi itu berujung pada sebuah niat untuk berbuat sesuatu: membagi kasih Tuhan yang telah saya terima selama hidup kepada orang-orang yang saya jumpai, terlebih mereka yang sangat membutuhkan uluran kasih tangan orang lain. 
Di Larantuka, di Flores, cinta itu terus mekar, cinta yang telah kusemaikan dan tumbuh antara relasi saya dengan suami. Dan mekar cinta itu juga saya temukan pada raut wajah orang-orang di Larantuka; wajah yang senantiasa senyum meski beban berat persoalan hidup. Perjumpaan dengan mereka dan realitas kehidupan mereka sekaligus merupakan momen panggilan buat saya untuk BERBAGI KASIH yang telah saya terima dengan cuma-cuma dalam hidup.


Perkenalan dengan „Abang“ Niko“:  Membuka Jaringan Kerjasama
Niat untuk „berbuat sesuatu“ bagi Kampung Mokantarak tetap akan menjadi mimpi yang tak terealisasikan jika itu tidak saya sharingkan dengan orang lain; dan saya akui bahwa untuk „perkara“ sebesar ini tidak bisa saya kerjakan sendiri. Saya mesti membutuhkan bantuan orang lain. Karena itu saya menceritakan secara terbuka kepada teman sekaligus memohon masukan dari mereka.
Bagai gayung bersambut, niat baik untuk berbuat sesuatu bagi Lewo Tana Desa Mokantarak perlahan terbuka jalannya ketika saya diperkenalkan oleh seorang teman dengan Abang Niko, seorang pejuang harkat dan martabat petani kopi di Manggarai, tepatnya di kampung Colol. Bersama istrinya, Abang Niko membuka jaringan kerjasama dengan para petani kopi di Desa Colol agar penjulan kopi tidak lagi diserahkan kepada para tengkulak yang biasanya dijual dengan harga yang murah. Para petani mesti menentukan harga sendiri, bukan sebaliknya para tengkulak. Kunjungan saya ke rumah Abang Niko dan melihat langsung Kaffee kostBAR yang dirintisnya bersama istri tentunya semakin memotivasi saya. Sharing pengalaman dengan Abang Niko tidak hanya menjadi masukan yang sangat berarti tetapi serentak menjadi tantangan bagi saya. Keterbukaan dan kesediaan Abang Niko bersama istri dalam menyambut baik maksud dan niat saya membuat saya semakin yakin, bahwa saya tidak berjalan sendirian. Kami pun segera membicarakan rencana ke depan berkaitan dengan maksud dan niat saya. Untuk langkah awal kami akan menyelenggarakan „Flores-Abend“ – Malam Flores – guna mempresentasikan rencana ini kepada teman-teman Abang Niko yang sudah tergabung dalam proyek yang telah dirintisnya. Refleksi tentang pengalaman perjumpaan dengan orang-orang sederhana di Desa Mokantarak kini perlahan menjadi aksi dalam sebuah „awal yang sederhana“: Flores-Abend pada tanggal 8 Desember 2018.
Semoga niat awal nan sederhana ini bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang saya jumpai di Desa Mokantarak-Flores, dan juga berkat bagi saya dan siapa saja yang siap membantu.

Gera, 06. November 2018
















Salam Sejahterah – Semoga Tuhan memberkati kita semua!!!!

Elvin Septiani



Larantuka - Flores Timur dan Pencaharian akan Surga Nusa Bunga yang Hilang

LARANTUKA - OSTFLORES UND DIE SUCHE NACH DEM "VERLORENEN BLUMENINSEL"
Larantuka - Flores Timur dan Pencaharian akan Surga Nusa Bunga yang Hilang

Tim Penyelenggara dalam kerjasama dengan KAFFEEkostBAR
dari kiri ke kanan: Igor (Papua), Vian (Mokantarak-Flotim), Niko (Medan -Pendiri Kaffeekostbar, Maria (Ile Ape - Lembata), Ayu (Jakarta), Elvin (Medan)
Flores - Nusa Bunga, adalah surga yang tersembunyi sejak para pedagang dari Portugis mencari rempah-rempah di tahun 1600an. Mereka begitu terkesan dengan tanaman yang subur di bagian timur laut Pulau Flores sehingga mereka membaptisnya dengan nama „Cabo de flores“, Tanjung Bunga. Sejak itu pula, Flores menjadi „incaran“ dalam monopoli arus dagang dan kolonialisme. Pada masa itu, di dunia Barat, Flores (dan juga kepualauan rempah-rempah lainnya seperti Maluku)  menjadi tempat yang mitis. Mereka meyakini, bahwa kepulauan di negeri Timur itu terletak dekat Firdaus, di mana penuh dengan rempah-rempah yang harum semerbak. Rempah-rempah pada masa itu menjadi simbol prestise dan  kekuasaan di istana-istana raja Eropa. Oleh karena itu orang menyimpannya di atas dulang perak atau dalam kotak-kotak yang bertakhta permata dan dijadikan sebagai hadiah kenegaraan. Rempah-rempah itu juga menjadi harta warisan yang bernilai, bahkan menjadi alat  bayar pengganti emas (bdk. Karl-Heinz Kohl, Der Tod der Reisjungfrau, 1998: 20-24).
Dalam catatan sejarah, Flores perlahan hancur oleh sistem monopoli dagang, peperangan sebelum kemerdekaan hingga pada masa diktator Soeharto.

Foto bersama tamu
Bila melirik realitas perekonomian dan pendidikan di Nusa Tenggara Timur pada umumnya, dan Flores Timur pada khususnya, saya mengamini, bahwa generasi-generasi masa kini merindukan Nusa Bunga yang kaya akan rempah-rempah itu, merindukan surga yang hilang. Pada alur-alur cerita para petani yang „dijajah“ para tengkulak oleh harga pasar yang tidak „fair“, pada kisah tragik para TKI yang bekerja di Malaysia, Hongkong, Singapur, atau pun di negara lainnya yang mati oleh kekerasan majikan, para korban „human trafficking“ (perdagangan manusia) yang kebanyakan adalah anak (bdk. Vian Lein, „Exodus Kronis para Perantau NTT“ (artikel klik di sini_Opini Pos Kupang) dan di pada wajah polos anak-anak yang putus sekolah karena kemelut ekonomi, kita dapat membaca kerinduan itu. Ditambah lagi dengan budaya KKN, perekonomian kita semakin diperparah.

Sarapan Kopi dari Manggarai dan Jagung titi
Realitas perekonomian dan pendidikan inilah yang kami presentasikan pada kesempatan Malam Budaya di Döbeln, sebuah kota kecil di Jerman, pada tanggal 8 Desember 2018. Pada malam itu, aya bersama istri dan teman-teman mahasiswa memperkenalkan Larantuka kepada para tamu yang hadir. Dalam momen itu kami juga memperkenalkan produk-produk pertanian dan perkebunan seperti kacang mente, kemiri, asam, kakao, jagung titi, sorgum. Selain itu kami juga menyajikan kulinarik khas Larantuka, antara lain: nasi-beras merah, kuah ikan asam, jagung titi, serta bahan makanan yang diolah dari sorgum, yakni bakwan dan kue kering dari tepung sorgum.

Menghadirkan kembali produk-produk pangan lokal seperti ini adalah juga merupakan undangan buat seluruh penduduk Flores Timur untuk mengkonsumsi kembali pangan lokal. Kita mesti berani mengubur stereotip, bahwa mengkonsumsi jagung (nasi-jagung) berarti „miskin“. Dan kini sebagai alternatif baru telah dikampanyekan sorgum sebagai makanan pokok selain beras; apalagi nutrsi yang kaya (protein riboflavin, niacin, thiamin,  magnesium, mangan, tembaga,  fosforzat besi, kalsium, dan kalium) dan khasiat luar biasa yang terkandung dalam sorgum (anti tumor, mencegah kanker, mencegah anemia, baik untuk penderita diabetes dan kesehatan jantung, meningkatkan kemampuan kognitif, meningkatkan stamina, baik untuk kesehatan tulang, mencegah osteoporisis dan manfaat lainnya).

Kue kering dari tepung Sorgum yang dipresentasikan malam
Lebih lanjut, promosi dan kampanye pangan lokal menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi muda untuk berani mengusahakan potensi-potensi alam pertanian yang ada di daerah kita. Jangan malu menjadi „petani milenial“; jangan malu untuk studi atau kuliah pertanian!!! Masa depan bukannlah bergantung sepenuhnya pada peluan tes CPNS, melainkan spirit wirausaha untuk membuat terobosan-terobosan baru di bidang pertanian (dan juga perikanan). Di sanalah surga kita sebagaimana kata para pedagang-misionaris pada zaman dahulu dan juga penyanyi kondang „Koes Plus“: Orang bilang tanah kita tanah surga ….

Mari kita temukan kembali Nusa Bunga, surga yang hilang itu!!!!