PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

28 September 2018

DEMOKRASI: ANTARA OTONOMI RAKYAT DAN HASRAT PENGUASA


DEMOKRASI: ANTARA OTONOMI RAKYAT DAN HASRAT PENGUASA
Vian Lein, Warga Desa Mokantarak-Flotim
Tinggal di Jerman

Homeros (700 SM), salah satu penyair ternama Yunani Kuno, pernah menggunakan metafor „gembala“ dan „ternak“ (domba) untuk melukiskan karakter relasi antara rakyat dan negarawan (penguasa). Ia juga menyebut Raja Agammenon, pemimpin pasukan dalam perang Troya sebagai poimén, gembala domba (Heitsch, Ernst dan Müller, C.W., Platon Werke. Minos: 2009, 167). Sementara itu Aristoteles membandingkan sosok seorang raja dengan nomeús, gembala (Etika Nikomakea 1161, 10ff). Kata atau sosok ‚gembala‘ menghadirkan kesan dan pesan ‚yang memberi perhatian‘, ‚yang menuntun‘. Lalu, mengapa rakyat dimetaforakan sebagai „domba“ yang membutuhkan kehadiran seorang gembala? Bagaimana sesungguhnya peran „gembala“ itu dimainkan?

Plato sendiri sangsi dan menaruh curiga pada metafor ini dan karena itu memberi argumen yang berseberangan: apakah sang gembala yang menuntun kawanan domba ke padang rumput yang hijau sungguh menempatkan prioritas domba in se sebagai tujuan yang dicapai dalam pikirannya, atau justru keuntungan dari penjualan atau pesta pora untuk kepentingan sendiri. Bagi Plato, seorang gembala pada dasarnya memanfaatkan domba-domba untuk kepentingannya sendiri, entah itu susu, bulu yang dijadikan woll, bahkan daging (Politeia 343a f). Di sini terlihat, bahwa metafor ini telah menyibak suatu kebenaran yang disembunyikan, bahwa kehadiran gembala itu tidak untuk kepentingan kesejahteraan kawanan domba, melainkan kesejahteraan pemilik kawanan itu. Lantas, maksud apa yang hendak dikatakan dari metafor yang menembus filsafat politik barat ini?
Sejarah gagasan filsafat politik menunjukkan, bahwa metafor „gembala“ dimainkan untuk pembenaran status quo para elite penguasa. Ia menciptakan sebuah konstruksi ideologi „orang-orang kecil“ sekaligus menutup cadar kepentingan pribadi dari mereka yang mempromosikan dan menawarkan diri sebagai pemimpin dan penuntun. Di sana terbentuk sebuah pembedaan kategorial antara ‚rakyat‘ dan ‚elite politik‘ yang menjadi bangunan konsep tentang demokrasi. Sampai pada titik ini kita melihat ada ketegangan dalam demokrasi: usaha mencapai tujuan bonum commune atau pemuasan nafsu kuasa dan kepentingan sektarian. Dari dua kekuatan sentrifugal ini kita pun menterjemahkan konsep demokrasi dalam dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang rakyat dan sudut pandang elite politik atau penguasa.

Pertama, dari sudut pandang rakyat: secara natural manusia dikuasai oleh ‚paksaan‘ atau ‚tekanan‘ dan ‚kebebasan‘. Sudah tentu manusia ingin menjadi pribadi yang otonom dan menolak jika ada orang lain mengendalikan ‚keinginan‘ pribadi. Kita tidak hanya memiliki kebebasan, tetapi juga mengaktualisasikan kebebasan itu dalam tindakan konkret. Hal inilah yang menjadi pendorong untuk memperjuangkan dan mempertahankan demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hans Keslen (1881-1973), seorang ahli hukum negara: di dalam demokrasi ada insting purba (Urinstikt) „pembebasan“ yang terus mendesak, sebuah protes melawan kehendak asing, melawan derita heteronomi, yakni penentuan asing dari luar diri (Keslen: 1920, 4). Kedua, dari sudut pandang penguasa, kita mengajukan pertanyaan: „apa yang menjadi roh penggerak dari demokrasi bagi para elite politik?“ Keslen memberi jawaban sederhana: tidak ada! Karena - secara sarkas - bagi para penguasa, demokrasi adalah bentuk pembatasan kehendak mereka untuk berkuasa dan keinginan akan kekayaan, dalamnya hasrat politik yang egois seolah menjadi rasionalitas politik publik. Untuk dapat „menenangkan“ (bukan memenuhi!) kerinduan dan kebutuhan warga akan kebebasan (akan demokrasi yang sesungguhnya), mereka lalu menyuntikkan candu „ilusi demokrasi“ ke dalam kepala warganya Berbarengan dengan itu metafor „Gembala-Domba“ juga dikhotbahkan. Metafor-metafor serupa bisa kita lihat dan alami dalam setiap suksesi Pemilu  (pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, maupun presiden) yang menggema lewat janji-janji politik.

Dalam hal ini sangat dituntut sikap kritis dari setiap warga atau paling tidak „sadar“ dari ilusi demokrasi yang diciptakan oleh para penguasa. Selama warga terpenjara dalam kepuasan-kepuasan semu, para penguasa dan elite politik justru senantiasa candu akan kuasa, merasa tidak puas dengan dengan apa yang telah dicaplok dari bangsa ini, bahkan takut akan kehilangan jabatan tertentu, seperti yang dikhwatirkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, bahwa kepala daerah dan pejabat negara akan habis menjadi tahanan KPK jika KPK terus menerus melakukan OTT. KPK sebagai representasi fungsi kontrol warga dipersalahkan secara gegabah tanpa sebuah penilaian rasional dan autokritik yang jujur dan berani.

Semoga di tahun politik ini para elite politik dan pejabat publik sanggup dan berani memperjuangkan demokrasi yang beradab, bukan barbar, demokrasi yang nyata, bukan utopi. Dan cita-cita ini akan terwujud jika kita terlebih dahulu sanggup menjadi „gembala untuk diri sendiri“, sebelum menjadi „gembala yang baik“ bagi orang lain, sebagaiamana Ada-nya kita sebagai „gembala Ada“ (Heidegger: Brief über den Humanismus an J. Beaufret: 1954). Itu berarti,  „menggembalakan“ adalah sebuah tugas pelayanan dalam „cara mengada“ yang otentik sebagai individu dan sebagai makhluk sosial.***