DEMOKRASI:
ANTARA OTONOMI RAKYAT DAN HASRAT PENGUASA
Vian Lein, Warga Desa Mokantarak-Flotim
Tinggal di Jerman
Homeros (700 SM), salah satu penyair ternama Yunani Kuno, pernah menggunakan
metafor „gembala“ dan „ternak“ (domba) untuk melukiskan karakter relasi antara
rakyat dan negarawan (penguasa). Ia juga menyebut Raja Agammenon, pemimpin
pasukan dalam perang Troya sebagai poimén,
gembala domba (Heitsch, Ernst dan Müller, C.W., Platon Werke. Minos: 2009, 167). Sementara itu Aristoteles membandingkan sosok seorang
raja dengan nomeús, gembala (Etika
Nikomakea 1161, 10ff). Kata atau sosok ‚gembala‘ menghadirkan kesan dan pesan
‚yang memberi perhatian‘, ‚yang menuntun‘. Lalu, mengapa rakyat dimetaforakan sebagai
„domba“ yang membutuhkan kehadiran seorang gembala? Bagaimana sesungguhnya peran
„gembala“ itu dimainkan?
Plato sendiri sangsi dan menaruh curiga pada metafor ini dan
karena itu memberi argumen yang berseberangan: apakah sang gembala yang
menuntun kawanan domba ke padang rumput yang hijau sungguh menempatkan
prioritas domba in se sebagai tujuan
yang dicapai dalam pikirannya, atau justru keuntungan dari penjualan atau pesta
pora untuk kepentingan sendiri. Bagi Plato, seorang gembala pada dasarnya
memanfaatkan domba-domba untuk kepentingannya sendiri, entah itu susu, bulu
yang dijadikan woll, bahkan daging (Politeia
343a f). Di sini terlihat, bahwa metafor ini telah menyibak suatu kebenaran
yang disembunyikan, bahwa kehadiran gembala itu tidak untuk kepentingan
kesejahteraan kawanan domba, melainkan kesejahteraan pemilik kawanan itu. Lantas,
maksud apa yang hendak dikatakan dari metafor yang menembus filsafat politik
barat ini?
Sejarah gagasan filsafat politik menunjukkan, bahwa metafor
„gembala“ dimainkan untuk pembenaran status
quo para elite penguasa. Ia menciptakan sebuah konstruksi ideologi „orang-orang
kecil“ sekaligus menutup cadar kepentingan pribadi dari mereka yang
mempromosikan dan menawarkan diri sebagai pemimpin dan penuntun. Di sana
terbentuk sebuah pembedaan kategorial antara ‚rakyat‘ dan ‚elite politik‘ yang
menjadi bangunan konsep tentang demokrasi. Sampai pada titik ini kita melihat
ada ketegangan dalam demokrasi: usaha mencapai tujuan bonum commune atau pemuasan nafsu kuasa dan kepentingan sektarian.
Dari dua kekuatan sentrifugal ini kita pun menterjemahkan konsep demokrasi
dalam dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang rakyat dan sudut pandang
elite politik atau penguasa.
Pertama, dari sudut pandang rakyat: secara natural manusia dikuasai oleh ‚paksaan‘
atau ‚tekanan‘ dan ‚kebebasan‘. Sudah tentu manusia ingin menjadi pribadi yang
otonom dan menolak jika ada orang lain mengendalikan ‚keinginan‘ pribadi. Kita
tidak hanya memiliki kebebasan, tetapi juga mengaktualisasikan kebebasan itu
dalam tindakan konkret. Hal inilah yang menjadi pendorong untuk memperjuangkan
dan mempertahankan demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hans Keslen
(1881-1973), seorang ahli hukum negara: di dalam demokrasi ada insting purba (Urinstikt) „pembebasan“ yang terus mendesak,
sebuah protes melawan kehendak asing, melawan derita heteronomi, yakni
penentuan asing dari luar diri (Keslen: 1920, 4). Kedua, dari sudut pandang penguasa, kita mengajukan pertanyaan:
„apa yang menjadi roh penggerak dari demokrasi bagi para elite politik?“ Keslen
memberi jawaban sederhana: tidak ada! Karena - secara sarkas - bagi para
penguasa, demokrasi adalah bentuk pembatasan kehendak mereka untuk berkuasa dan
keinginan akan kekayaan, dalamnya hasrat politik yang egois seolah menjadi
rasionalitas politik publik. Untuk dapat „menenangkan“ (bukan memenuhi!) kerinduan
dan kebutuhan warga akan kebebasan (akan demokrasi yang sesungguhnya), mereka
lalu menyuntikkan candu „ilusi demokrasi“ ke dalam kepala warganya Berbarengan
dengan itu metafor „Gembala-Domba“ juga dikhotbahkan. Metafor-metafor serupa
bisa kita lihat dan alami dalam setiap suksesi Pemilu (pemilihan kepala daerah, anggota legislatif,
maupun presiden) yang menggema lewat janji-janji politik.
Dalam hal ini sangat dituntut sikap kritis dari setiap warga atau
paling tidak „sadar“ dari ilusi demokrasi yang diciptakan oleh para penguasa. Selama
warga terpenjara dalam kepuasan-kepuasan semu, para penguasa dan elite politik
justru senantiasa candu akan kuasa, merasa tidak puas dengan dengan apa yang
telah dicaplok dari bangsa ini, bahkan takut akan kehilangan jabatan tertentu,
seperti yang dikhwatirkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, bahwa kepala daerah
dan pejabat negara akan habis menjadi tahanan KPK jika KPK terus menerus
melakukan OTT. KPK sebagai representasi fungsi kontrol warga dipersalahkan
secara gegabah tanpa sebuah penilaian rasional dan autokritik yang jujur dan
berani.
Semoga di tahun politik ini para elite politik dan pejabat publik sanggup
dan berani memperjuangkan demokrasi yang beradab, bukan barbar, demokrasi yang
nyata, bukan utopi. Dan cita-cita ini akan terwujud jika kita terlebih dahulu
sanggup menjadi „gembala untuk diri sendiri“, sebelum menjadi „gembala yang
baik“ bagi orang lain, sebagaiamana Ada-nya kita sebagai „gembala Ada“ (Heidegger:
Brief über den Humanismus an J. Beaufret:
1954). Itu berarti, „menggembalakan“ adalah
sebuah tugas pelayanan dalam „cara mengada“ yang otentik sebagai individu dan
sebagai makhluk sosial.***