PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

02 May 2017

Hidup adalah Mimpi

HIDUP ADALAH MIMPI

Julia,
Dalam surat terakhirku kemarin aku membahasakan eksistensi manusia sebagai insan perindu: rindu pada apa dan siapa. Sebagai suatu kekuatan yang mencuat dari dalam jiwa, rindu atau kerinduan senantiasa berpautan erat dengan harapan. Dan usaha untuk mendekatkan jarak antara kerinduan „yang kini“ dan harapan „yang akan“ adalah kelana mimpi yang terus menantang. Karena itu kamu benar, bahwa mimpi itu juga menjadi alasan mengapa seseorang hidup dan berjuang. Sesungguhnya kita semua paham soal mimpi, namun terlalu sedikit yang berani untuk bermimpi. Ketika kita lupa untuk bermimpi atau kehilangan cara untuk bermimpi, pada titik itu kita mulai membunuh hidup karena kita sendiri telah mempersempit ruang gerak kehidupan, memasung harapan dalam penjara ketakutan.
Apakah kamu masih ingat kisah Ikal dan Arai dalam „Sang Pemimpi“, novel kedua dari trilogi Laskar Pelangi karya Andre Hirata? „Sang Pemimpi“ menantang kita untuk berani bermimpi dan percaya pada kekuatan mimpi. Dengan bermimpi, kita tahu arah dan tujuan ke mana langkah hidup ini akan dituntun – itulah kita, sang musafir yang senantiasa menanyakan arah dan tujuan perjuangan hidup. Maka di sana ada fokus dan oreintasi hidup yang jelas, dan tentu ada motivasi untuk melahirkan mimpi yang telah kita kandung dalam rahim kehidupan. Di sana pula ada pijar harapan yang menuntun kita untuk bertahan dan berjuang ketika kita kehilangan arah dan tujuan hidup, di sana ada pilar-pilar harapan yang menatang, ketika beban hidup terasa berat untuk dipanggul mengejar mimpi yang lari. Hal ini pula telah menjadi permenungan filosofis Immnauel Kant (1724-1804), tokoh besar dalam filsafat modern, yang dikemasnya dalam empat pertanyaan mendasar: 1) Was kann ich wissen? what can I know? [Apa yang dapat saya ketahui?], 2) Was soll ich tun?/what should I do? [Apa yang harus saya perbuat?], 3) Was darf ich hoffen?/what may I hope? [Apa yang boleh saya harapkan?], 4) Was ist der Mensch?/what is man? [Apakah manusia itu?]. Setiap kita mesti tahu tentang hidup, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Refleksi tentang hidup dan kehidupan itu akan membimbing kita dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Defenisi dan pemaknaan yang keliru tentang kehidupan tentu sangat mempengaruhi kita menjalaninya dari hari ke hari. Hidup yang dimaknai sebagai anugerah cuma-cuma akan menciptakan kesadaran moral dan religius dalam diri, bahwa kehidupan itu mesti disyukuri dan dijaga. Sebaliknya, hidup yang dimengerti sebagai kesia-siaan, penuh penderitaan, akan menggiring orang kepada kehancuran dan akhirnya mengutuk hidup dan sang pemberi hidup. Karena itu, dalam setiap tantangan dan persoalan hidup, dalam setiap peristiwa kejatuhan, bahkan ketika kita tak lagi menemukan arti cinta dan kehilangan keyakinan, cahaya harapan untuk bangkit dan terus berjuang tak boleh padam atau mati. Dum spiro spero, demikian adagium Latin, selama saya bernapas, saya berharap. Tetapi aku lebih cendrung membaliknya, Dum spero, spiro, selama saya berharap, saya bernapas. Artinya, harapan itu membawa kekuatan baru dalam hidup, meski aku telah „mati“ dalam perjuangan. Harapan merupakan nyawa kehidupan. Harapan merupakan rentang pelangi di atas riak-riak kehidupan yang keruh.  Pertanyaan tentang apa yang boleh kita harapkan – dan tentu juga dua pertanyaan sebelumnya – akan menentukan siapa kita sesungguhnya.

Mimpi dan harapan akan menjadikan kita mampu melihat apa yang belum tampak (visi). Tapi ia juga senantiasa menagih kepastian dan pemenuhan. Terkadang kita selalu sibuk dan menghabiskan waktu untuk berbicara tentang „suatu hari nanti“, tentang mimpi di masa akanan, tentang harapan yang belum nyata hingga lupa akan hidup hic et nunc – here and now,  di sini dan sekarang ini. Carpe diem, begitu engkau mengingatkanku. Kita telah bermimpi, sedang bermimpi dan akan terus bermimpi. Namun, selentingan „hidup adalah mimpi“ tidak boleh menjadikan kita hanya sebagai manusia pemimpi, tetapi juga mewujudkan mimpi-mimpi itu. Beranilah untuk terus bermimpi dalam hidup, dan hidupilah mimpi-mimpi itu. Untuk bisa menghidupkan mimpi-mimpi itu, kita mesti terjaga dari tidur panjang, selalu sadar akan kekinian, belajar dan bersyukur dari masalalu, dan berharap untuk masa akanan.***VL

Bilder-Quelle: http://www.heilpraxisnet.de/symptome/traum/
                         https://www.merdeka.com/sehat/ternyata-mimpi-juga-bisa-dikontrol-lho.html



No comments:

Post a Comment