PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

09 October 2010

IN MEMORIAM KORBAN MANGAN

LUBANG MANGAN: ANTARA HAJAT HIDUP DAN LIANG MAUT
In Memoriam Tiga Perempuan Korban Timbunan Longsor Mangan:
Agnes, Yustina dan Filomena

Vianney Leyn
Mahasiswa Semester VII STFK Ledalero
Tinggal di Wisma St. Arnoldus Jannsen Nita Pleat

Sabtu, 18 September 2010 tiga perempuan kakak beradik: Agnes Natun (39), Yustina Natun (28), dan Filomena Natun (41), warga Letkase, RT 04/RW 02, Desa Persiapan Nian Timur, Kecamatan Miomafo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara tewas tertimbun longsoran mangan (PK, Minggu 19 September 2010). Tragedi itu terjadi ketika tiga perempuan kakak beradik sedang mengais hidup di antara timbunan tambang, mengumpulkan batu mangan guna mempertahankan hidup di alam yang kian keras dan ganas menantang. Demi menebus 10 kue pisang goreng yang telah dikonsumsi, ketiga perempuan itu harus berjuang di antara timbunan tambang, (mungkin) tanpa bantuan alat teknologi canggih seperti mesin-mesin industri pertambangan yang menggusur hamparan lahan luas dalam hitungan detik. Mereka cuma mengandalkan jemari lembut tanpa peduli panas mentari yang membakar atau pun zat beracun yang membahayakan kulit atau tubuh. Itulah perjuangan tiga perempuan desa untuk mempertahankan hidup di lubang mangan tapi toh pada akhirnya di lubang itu juga mereka mengakhiri hidup. Lubang mangan yang darinya mereka mengais hidup serentak juga menjadi liang maut yang menghentikan perjuangan mereka untuk hidup.
Sebagaimana yang dilansir oleh Pos Kupang, terhitung sejak Agustus 2009 hingga Juli 2010 sudah tercatat 15 korban yang tewas di lokasi pertambangan mangan di Kabupaten Kupang, Belu, TTU dan TTS. Tentu ini merupakan jumlah yang tidak sedikit. Proyek raksasa itu tidak hanya “berhasil” menambang mangan untuk menambah pendapatan daerah tetapi juga membenam sejumlah nyawa di bawah timbunan materialnya. Di sini sederet pertanyaan dapat diajukan, dan saya sendiri juga tidak tahu tepatnya kepada siapa pertanyaan ini mesti dialamatkan: apakah sudah ada sikap yang diambil untuk mengatasi persoalan ini di samping seruan bagi para karyawan dan masyarakat untuk lebih waspada dan hati-hati? Musibah ini menjadi tanggung jawab siapa? Apakah kita mesti tunduk pada sebuah pengakuan bahwa semuanya adalah takdir atau mungkin menggugat ke-mahabaik-an Sang Pencipta tanpa melengkung ke dalam diri sambil mempersoalkan kebebasan manusia di hadapan mallum (penderitaan atau kebobrokan)?
Tanpa mengurangi cita rasa sebagai insan ber-Tuhan saya ingin menguraikan beberapa hal berkaitan dengan proyek raksasa, pertambangan ini. Pertama, sebuah proyek mesti didahului dengan perencanaan yang matang dan jelas. Perencanaan itu mesti dibingkai dalam sebuah diskursus yang melibatkan berbagai pihak terkait. Perbedaan pendapat, pro-kontra, dalam sebuah diskursus bukan menjadi alasan yang mengarah kepada perpecahan melainkan menjadi sumbang pikiran yang sungguh berarti dalam mempertimbangkan sebuah keputusan untuk bertindak. Oleh karena itu ruang kebebasan mesti diciptakan agar kebebasan setiap individu dihargai dan martabatnya sebagai manusia tetap diakui. Kedua, sebuah proyek harus didasarkan pada sebuah studi yang kredibel dan bukan manipulasi data dengan melihat berbagai keuntungan yang dapat dicapai namun juga tidak sengaja menutup mata terhadap berbagai kemungkinan negatif sebagai dampak buruk dari proyek pertambangan. Nilai profit yang diperoleh saat ini tidak bisa membutakan mata untuk melihat dampak buruk di masa yang akan datang. Ketiga, tujuan yang hendak dicapai adalah bonum commune, kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan kelompok. Berbagai kepentingan individu dan kelompok mesti dilebur dalam semangat pengorbanan, pelayanan dan pengabdian bagi kepentingan bersama.
Pertanyaan seputar tragedi lubang mangan tidak bermaksud menggiring kita ke dalam lingkaran setan “pengkambing hitaman”, saling mempersalahkan satu sama lain melainkan sebagai sentilan bagi kita semua untuk merefleksikan perjuangan hidup kita di tengah alam yang kian keras. Bahwa hidup itu mesti dipertahankan, itu kenyataan yang tak dapat dielak; tetapi bagaimana usaha kita untuk mempertahankan hidup, itu merupakan teka-teki yang mesti dijawab dan persoalan yang mesti disiasati. Namun adalah sebuah kemalangan jika taktik yang kita gunakan untuk mempertahankan hidup justru menjadi boomerang bagi diri kita sendiri. Ketiga perempuan desa, Agnes, Yustina, dan Folomena akhirnya harus membayar 10 potong kue pisang goreng dengan nyawa mereka sendiri. Dalam kalkulasi ekonomi, itu merupakan harga yang terlampau mahal dan tidak sebanding dengan 10 potong kue pisang goreng karena memang manusia sebagai persona tidak bisa dinilai dengan materi apapun. Manusia adalah subjek yang bermartabat luhur yang tidak bisa direduksi ke dalam objek atau materi apapun lalu diberi nilai atau harga.
Tragedi yang kembali menimpa ketiga perempuan desa itu mesti membuka mata semua kita akan suatu perjuangan yang tidak mudah di sekitar lubang mangan karena nyawa adalah taruhan untuk mendapatkan seonggok mangan demi menyambung hidup. Tragedi ini juga mesti membangkitkan ingatan semua kita akan para korban yang tewas di sekitar lubang mangan, entah karyawan pertambangan maupun masyarakat desa. Manusia bukanlah mesin yang dirakit dan dioperasikan untuk memproduksi mangan. Manusia adalah subjek yang otonom dan bermartabat. Manusia bukanlah instrumen atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan manusia adalah tujuan itu sendiri, masa kini dan manusia masa depan (generasi berikutnya).
Musibah ini tentunya menjadi pengalaman traumatis bagi masyarakat desa yang setiap hari mencari nafkah di sekitar lubang mangan. Mengumpulkan mangan lalu menjadi pekerjaan yang tidak memberikan rasa aman dan bebas karena para pekerja “dikungkung” dalam liang ketakutan dan penuh risiko: maut sedang mengintai di setiap timbunan material tambang. Para pekerja masih merasa terganggu dengan peristiwa tragis itu. Jika memang mengumpulkan mangan adalah opsi tunggal dan final untuk memenuhi kebutuhan setiap hari, maka tidak mustahil masyarakat desa terus berbondong-bondong datang ke lubang mangan meskipun taruhannya adalah hidup atau mati karena mungkin lahan garapan mereka telah digusur untuk lokasi pertambangan mangan. Karena itu mungkin dipikirkan alternatif atau solusi untuk mengatasi persoalan ini agar tidak lagi bertambah panjang deretan para korban yang tewas di lokasi pertambangan mangan. Timbunan dari aktivitas pertambangan sedapat mungkin tidak menjadi ancaman bagi masyarakat desa yang akan mengumpulkan mangan. Karena itu berpikirlah dengan bijak dan bertindaklah dengan hati (hati) dalam merencanakan dan melaksanakan sesuatu!!!***

No comments:

Post a Comment