MEMBANGUN DIALOG ANTARAGAMA
DALAM SPIRIT MISTIK COMPASSION
DALAM SPIRIT MISTIK COMPASSION
*Vianney Leyn
Mahasiswa Semester VI STFK Ledalero
Tinggal di Wisma Arnoldus – Nita Pleat
Pluralitas merupakan sebuah faktum yang tak dapat kita tolak. Kita tinggal dalam sebuah dunia dengan aneka budaya dan agama; dan pengalaman perjumpaan dengan faktum pluralitas itu telah menciptakan konsepsi tertentu tentang orang lain dan tentang apa yang dia miliki seperti agama atau budaya. Lebih lanjut, bangunan konsep itu akan mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang ketika ia berhadapan dengan faktum pluralitas. Dunia lalu dilihat sebagai medan kompetisi antara budaya yang satu dengan yang lain, antara agama yang satu dengan agama yang lain dan pada akhirnya menciptakan konflik antar suku, antar etnis, dan antaragama. Pada titik tegang inilah sebuah pertanyaan dapat kita ajukan: mungkinkah diadakan sebuah dialog di tengah realitas pluralitas seperti itu? Di tengah pluralitas agama dan budaya, dialog merupakan sesuatu yang urgen untuk menjembatani setiap perbedaan yang ada. Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan di mana semua agama besar dunia juga terdapat di dalamnya telah mengalami pasang surut kualitas hubungan antaragama. Wacana seputar hubungan antar umat beragama dapat dikatakan mengalami kemajuan pesat dan luas melalui aneka seminar, dialog, kuliah, literatur dan sebagainya, namun dalam tataran praktiknya masih jauh dari yang diharapkan.
Dalam kebeningan budi dan ketulusan hati kita mesti mengakui bahwa isu realitas konflik antaragama semakin merebak di negara kita. Kita sering dikejutkan oleh berbagai peristiwa kekerasan yang bernuansa agama di tengah masyarakat, mulai dari sulitnya mendirikan rumah ibadat, pembakaran atau perusakan rumah ibadat sampai ke konflik bernuansa agama seperti yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan kasus Poso di Sulawesi Selatan yang telah dimanipulasi menjadi perang antaragama. Dalam setiap kasus konflik antaragama, masing-masing pihak menempatkan diri atau kelompok yang mendominasi dalam tataran numeri atau pun sebaliknya kelompok (agama) tertentu merasa tersubordinasi di bawah kelompok lain. Dengan demikian akan ada keyakinan sesat bahwa orang-orang yang berbeda aliran atau pandangan dengan saya harus dimusuhi bahkan dimusnahkan. Nafsu untuk menguasai telah menggumpal dalam pikiran dan hati setiap orang sehingga mereka tak sanggup melihat penderitaan yang dialami orang lain.
Johann Baptista Metz, seorang teolog politik dan pemikir besar berkebangsaan Jerman telah menggagaskan sebuah pemikiran teologi politik baru yang bernafaskan mistik compassion untuk membangun sebuah dialog di tengah pluralisme agama. Compassion didefinisikannya sebagai kesanggupan untuk melihat dan memberi tempat bagi penderitaan orang lain. Tuntutannya jelas bahwa orang tidak boleh hanya ingat pada penderitaannya sendiri, melainkan mengarahkan juga seluruh perhatiannya pada penderitaan yang dialami orang lain. Compassion dipahami bukan sebagai satu rasa kasihan, rasa simpati dari atas yang kabur, atau dari luar, melainkan sebagai satu perasaan iba dari orang yang turut merasakan. Lalu bagaimana konsep mistik compassion ini bisa kita terapkan di Indonesia sebagai usaha untuk membangun dialog antaragama?
Bangsa kita akhir-akhir ini dilanda aneka bencana, baik bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan tsunami maupun bencana kemanusiaan seperti pelecehan terhadap martabat orang lain dan perampasan hak milik. Banyak orang menderita dan menjerit di bawah puing-puing reruntuhan bencana alam, menangis karena kemanusiaan mereka dicabik-cabik. Dan jika kita membuka mata lebih lebar lagi, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berbeda dengan kita dalam hal agama maupun budaya. Di sini muncul sebuah pertanyaan yang menggugat nurani kita: apakah kita tidak perlu berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka karena mereka bukan bagian dari kelompok kita? Terbersit sebuah optimisme yang begitu kuat dari dalam diri Johann Baptista Metz bahwa rasa iba atau spirit compassion yang mendorong kita untuk membantu arang lain dalam penderitaan mereka akan mengantar kita pada sebuah dialog antaragama. Sebuah dialog antaragama juga bisa terlaksana jika setiap orang bersedia keluar dari selubung eksklusivisme untuk melihat penderitaan orang lain dan turut merasakan apa yang mereka rasakan (compassion). Spirit mistik compassion merupakan inspirasi dan motivasi yang mendorong orang untuk membangun sebauh dialog dengan agama lain.
Badai tsunami yang melanda Aceh dan gempa bumi yang mengguncang Padang – Sumatera Barat tidak hanya menggugah hati kaum muslim dan muslimat tetapi juga orang-orang Kristen yang berada jauh di Pulau Bunga, Flores. Tim relawan dari Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero segera dikirim untuk membantu para korban tsunami Aceh dan sejumlah dana pun dikumpulkan untuk membantu para korban gempa bumi di Padang. Ini bukan hanya karena orang Flores melihat Aceh dan Padang sebagai bagian dari Negara Kesatuan RI, melainkan lebih dari itu ada rasa solidaritas dan spirit mistik compassion yang merasuki hati mereka untuk segera membantu meskipun berbeda agama. Di hadapan realitas penderitaan itu, agama tidak lagi menjadi sekat penghalang untuk menjangkau dan menjamah sesama yang menderita. Spirit mistik compassion telah membongkar semua sekat penghalang seperti agama dan etnis yang menutup ruang dialog antaragama karena memang “tidak ada penderitaan di atas bumi, yang tidak kena-mengena dengan kita, dengan saya”.
Mistik compassion tertata melalui pengalaman perjumpaan dengan penderitaan orang lain di sekitar, dalam masyarakat dan dunia. Mistik compassion merupakan satu mistik yang mendunia, satu mistik lintas batas. Itu berarti bahwa kita tidak hanya menaruh rasa iba terhadap penderitaan orang-orang yang ada di sekitar kita, tetapi juga penderitaan mereka yang tidak kita kenal, yang begitu jauh dari kita. Dalam roh mistik compassion inilah kita mendengar jeritan nurani mereka yang diiris pisau globalisasi dan digilas roda-roda modernisasi dan industri. Lantas penderitaan yang mereka alami juga menjadi sebuah kegelisahan yang semakin mengakrabi kemanusiaan kita. Ke dalam realitas ini kita dipanggil untuk menyapa dan menjamah mereka yang menderita dalam spirit mistik compassion. Sapaan dan jamahan kita merupakan daya yang memberi mereka harapan bahwa eksistensi mereka sebagai manusia masih diakui dan diterima.
Masalah dialog antaragama adalah sebuah wacana global yang terus didiskusikan saat ini dan terasa semakin mendesak. Berbagai konflik antaraagama yang telah menodai ke-bhineka tunggal ika-an turut mempertanyakan eksistensi agama yang mengajarkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Berbagai usaha untuk membangun dialog antaragama seperti aneka diskusi dan seminar rupanya belum menjawab secara tuntas spiral konflik antaraagama. Pemikiran Metz yang begitu berani menjadikan mistik compassion sebagai basis membangun membangun dialog dan terciptanya etos global merupakan sebuah tawaran baru bagi kita. Metz mengajak kita keluar dari ruang diskusi yang hanya berhenti pada tataran konseptual dan membuka mata untuk melihat realitas penderitaan yang terjadi dengan sesama. Lewat pengalaman melihat itu kita kemudian digerakkan oleh roh mistik compassion untuk turut merasakan apa yang dirasakan orang lain, turut merasakan duka dan penderitaan sesama. Lebih jauh lagi kita semua dihantar kepada sebuah ruang dialog yang berbasis passion dan compassion.
Mistik compassion memang telah dirumuskan dalam traktat teologi dan dogmatik masing-masing agama yang mewajibkan setiap pemeluknya untuk memper-HATI-kan (menaruh hati pada) sesama yang menderita. Namun gugusan nilai spiritual itu akan menjadi sebuah rumusan baku dan mati jika tidak diterjemahkan dalam kristalisasi aksi nyata. Kemungkinan untuk membangun sebuah dialog antaragama yang berbasis passion dan compassion juga mesti dipikirkan oleh setiap agama dan juga masing-masing kita. Kehancuran kemanusiaan juga dapat menjadi satu elemen refleksi kita dalam merekonstruksi religiositas agama. Orang tidak boleh hanya ingat pada penderitaannya sendiri, melainkan mengarahkan juga seluruh perhatiannya pada penderitaan yang dialami orang lain. Karena itu, berjaga-jaga dan bukalah mata untuk melihat derita sesamu!***
Konteks lokal-global